STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH

dokumen-dokumen yang mirip
PENYISIPAN WATERMARK MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM PADA CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

PERBANDINGAN TEKNIK PENYEMBUNYIAN DATA DALAM DOMAIN SPASIAL DAN DOMAIN FREKUENSI PADA IMAGE WATERMARKING

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

Blind Watermarking Citra Digital Pada Komponen Luminansi Berbasis DCT (Discrete Cosine Transform) Irfan Hilmy Asshidiqi ( )

BAB II. DASAR TEORI 2.1 CITRA DIGITAL

Stenografi dan Watermarking. Esther Wibowo Erick Kurniawan

Penyembunyian Pesan pada Citra GIF Menggunakan Metode Adaptif

STUDI DAN IMPLEMENTASI NON BLIND WATERMARKING DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

PEMBERIAN TANDA AIR PADA CITRA DIGITAL DENGAN SKEMA TANDA AIR BERDASARKAN KUANTITASI WARNA DAN MENGGUNAKAN STANDARD ENKRIPSI TINGKAT LANJUT

BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL DALAM DOMAIN DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT) BERBASIS ALGORITMA GENETIKA

ANALISA WATERMARKING MENGGUNAKAN TRASNFORMASI LAGUERRE

Studi Perbandingan Metode DCT dan SVD pada Image Watermarking

Grafik yang menampilkan informasi mengenai penyebaran nilai intensitas pixel-pixel pada sebuah citra digital.

N, 1 q N-1. A mn cos 2M , 2N. cos. 0 p M-1, 0 q N-1 Dengan: 1 M, p=0 2 M, 1 p M-1. 1 N, q=0 2. α p =

Penerapan Watermarking pada Citra berbasis Singular Value Decomposition

ADAPTIVE WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN TEKNIK DISCRETE WAVELET TRANSFORM-DISCRETE COSINE TRANSFORM DAN NOISE VISIBILITY FUNCTION

ALGORITMA DETEKSI ADAPTIF BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL DALAM DOMAIN TRANSFORMASI

Watermarking Citra Digital Berwarna Dalam Domain Discrete Cosine Transform (DCT) Menggunakan Teknik Direct Sequence Spread Spectrum (DSSS)

PERBANDINGAN KUALITAS WATERMARKING DALAM CHANNEL GREEN DENGAN CHANNEL BLUE UNTUK CITRA RGB PADA DOMAIN FREKUENSI ABSTRAK

Analisis Beberapa Teknik Watermarking dengan Domain Spasial pada Citra Digital

Penyembunyian Pesan pada Citra Terkompresi JPEG Menggunakan Metode Spread Spectrum

OPTIMASI AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN TEKNIK SINGULAR VALUE DECOMPOSITON MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

IMPLEMENTASI STEGANOGRAPHY MENGGUNAKAN ALGORITMA DISCRETE COSINE TRANSFORM

BAB III. ANALISIS MASALAH

FRAGILE IMAGE WATERMARKING BERBASIS DCT DENGAN OPERATOR EVOLUSI HYBRID OF PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

ABSTRAK. Kata kunci : Watermarking, SVD, DCT, LPSNR. Universitas Kristen Maranatha

BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

Kombinasi Teknik Steganografi dan Kriptografi dengan Discrete Cosine Transform (DCT), One Time Pad (OTP) dan PN-Sequence pada Citra Digital

TUGAS AKHIR. Watermarking Citra Digital dengan Metode Skema Watermarking Berdasarkan Kuantisasi Warna

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. Perancangan aplikasi yang dibuat dalam skripsi ini menggunakan aturan

Studi Dan Implementasi Steganografi Pada Video Digital Di Mobile Phone Dengan DCT Modification

Implementasi Algoritma Blind Watermarking Menggunakan Metode Fractional Fourier Transform dan Visual Cryptography

Teknik Watermarking Citra Digital Dalam Domain DCT (Discrete Cosine Transform) Dengan Algoritma Double Embedding

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Analog

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Pada tugas akhir ini citra yang digunakan adalah citra diam.

Perbandingan Penggunaan Mean Lokal, Median Lokal dan Invarians Statistik Koefisien DCT dalam Perancangan Image Hashing

BAB V. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

Penyembunyian Pesan Rahasia Dalam Gambar dengan Metoda JPEG - JSTEG Hendry Hermawan / ABSTRAK

Kata Kunci : Steganografi, Fragile watermarkin, watermarking, Linear Congruential Generator, Blum Blum Shub

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM (DWT) DAN DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

I. PENDAHULUAN. Key Words Tanda Tangan Digital, , Steganografi, SHA1, RSA

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

A B C D E A -B C -D E

WATERMARKING PADA BEBERAPA KELUARGA WAVELET

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

LOGO PEMBERIAN TANDA AIR MENGGUNAKAN TEKNIK KUANTISASI RATA-RATA DENGAN DOMAIN TRANSFORMASI WAVELET DISKRIT. Tulus Sepdianto

Pemberian Tanda Air Pada Citra Dijital Menggunakan Skema Berbasis Kuantisasi Warna

ROBUST BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN TEKNIK KUANTISASI KOEFISIEN DISCRETE WAVELET TRANSFORM

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maraknya social media, aplikasi foto sharing dan blog gambar

PENYEMBUNYIAN CITRA DALAM CITRA DENGAN ALGORITMA BERBASIS BLOK ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan digital watermarking. Watermarking bekerja dengan menyisipkan

PERANCANGAN DAN ANALISIS STEGANOGRAFI VIDEO DENGAN MENYISIPKAN TEKS MENGGUNAKAN METODE DCT

TUGAS SEKURITI KOMPUTER

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. 1. Citra diam yaitu citra tunggal yang tidak bergerak. Contoh dari citra diam adalah foto.

Pendahuluan. Media Penampung Data yang akan disembunyikan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III ANALISIS KEBUTUHAN DAN PERANCANGAN

WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN TEKNIK MODIFIKASI INTENSITAS PIKSEL DAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM (DWT)

Aplikasi Metode Steganografi Berbasis JPEG dengan Tabel Kuantisasi yang Dimodifikasi Kris Reinhard /

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latarbelakang

BLIND WATERMARKING ADAPTIF PADA CITRA DIGITAL BERDASARKAN NOISE VISIBILITY FUNCTION DALAM DOMAIN DWT-DCT

Studi analisis dan perbandingan teknik steganografi citra pada domain spasial, domain frekuensi, dan domain kompresi

KOMBINASI KRIPTOGRAFI DENGAN HILLCIPHER DAN STEGANOGRAFI DENGAN LSB UNTUK KEAMANAN DATA TEKS

Percobaan Perancangan Fungsi Pembangkit Bilangan Acak Semu serta Analisisnya

PEMBERIAN TANDA AIR PADA CITRA DIGITAL DENGAN SKEMA TANDA AIR BERDASARKAN KUANTISASI WARNA

TINJAUAN PUSTAKA. Kriptografi

Penerapan Metode Adaptif Dalam Penyembunyian Pesan Pada Citra

DAFTAR ISI ABSTRAK... ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL...

BAB VI PENGUJIAN. 6.1 Tujuan Pengujian. 6.2 Rancangan Pengujian

STMIK MDP. Program Studi Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil Tahun 2011/2012

IMPLEMENTASI ALGORITMA ADAPTIVE WATERMARKING PADA PELABELAN IDENTITAS FILE CITRA DIGITAL

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM. linear sequential (waterfall). Metode ini terdiri dari empat tahapan yaitu analisis,

2

Digital Watermarking pada Gambar Digital dengan Metode Redundant Pattern Encoding

Aplikasi Teknik Adaptive Digital Image Watermarking Untuk Proteksi Hak Cipta Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

Analisis Hasil Implementasi HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL FOTOGRAFI METODE DISCRETE WAVELET TRANSFORM

STEGANOGRAPHY CHRISTIAN YONATHAN S ELLIEN SISKORY A. 07 JULI 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Watermark pada Game I. PENDAHULUAN II. TEKNIK WATERMARKING PADA CITRA

STEGANOGRAFI GANDA PADA CITRA BERBASISKAN METODE LSB DAN DCT DENGAN MENGGUNAKAN DERET FIBONACCI

PENYEMBUNYIAN GAMBAR DALAM GAMBAR MENGGUNAKAN SISTEM FUNGSI ITERASI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan-penyimpangan berupa penduplikatan-penduplikatan atau

WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL BERBASIS DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN SINGULAR VALUE DECOMPOSITION

Implementasi Boosted Steganography Scheme dengan Praproses Citra Menggunakan Histogram Equalization

METODE BLIND IMAGE-WATERMARKING BERBASIS CHAOS DALAM RANAH DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

BAB 2 LANDASAN TEORI

Transkripsi:

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH Fahmi Program Studi Teknik Informatika, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung e-mail: huicassava@yahoo.com ABSTRAK Penyisipan watermark digital dilakukan sebagai salah satu cara untuk menandai kepemilikan hak cipta atas sebuah citra digital. Salah satu cara penyisipan watermark yang dapat dilakukan adalah penyisipan pada ranah frekuensi. Citra digital ditransformasikan dengan DCT (Discrete Cosine Transform), diubah koefisien-koefisiennya dan kemudian ditransformasikan kembali dengan IDCT (Inverse Discrete Cosine Transform). Pengubahan dilakukan terhadap beberapa koefisien frekuensi menengah yang terpilih untuk mendapatkan keseimbangan antara robustness dan fidelity. Untuk menghasilkan sinyal watermark yang aman, diperlukan ketergantungan pola bit watermark terhadap citra asli. Ketergantungan ini dapat diperoleh dengan menggunakan fungsi hash. Untuk menghasilkan ketergantungan terhadap citra asli, digunakan fungsi hash MD5 yang digabungkan dengan algoritma enkripsi DES (Data Encryption Standard) untuk menghasilkan masukan untuk pembangkit bilangan acak (PRNG, Pseudo Random Number Generator). Bilangan acak yang dihasilkan kemudian digunakan dalam pengolahan data watermark. Hasil pengujian menunjukkan bahwa teknik penyisipan watermark yang diterapkan dapat memenuhi kriteria security dan fidelity. Selain itu, watermark yang disisipkan memiliki robustness terhadap operasi-operasi manipulasi citra sampai batas tertentu. Kata kunci : watermark, DCT, ranah frekuensi, fungsi hash, MD5, DES, PRNG. Makalah diterima 20 Juli 2007. Revisi akhir 20 Juli 2007. 1. PENDAHULUAN Perkembangan komputer memberikan banyak kemudahan di bidang multimedia digital yang memberikan keungulan dibandingkan dengan multimedia konvensional. Di antaranya adalah kemudahan dalam penyalinan dan penyebaran sebuah arsip multimedia digital. Selain memberikan nilai positif, hal ini juga menimbulkan dampak negatif, yaitu jika penyalinan dan penyebaran arsip multimedia dilakukan secara ilegal. Ini merupakan ancaman terhadap hak kekayaan intelektual dari pemilik arsip multimedia yang bersangkutan. Salah satu cara untuk melindungi hak kekayaan intelektual tersebut adalah dengan melakukan watermarking. Untuk meningkatkan keamanan, data watermark terlebih dahulu diacak dan disebarkan pada data arsip penampung. Hal ini dilakukan dengan menggunakan pola bilangan acak. Pola bilangan acak dibuat bergantung kepada citra asli dengan menggunakan fungsi hash dalam proses menghasilkan seed, yaitu bilangan yang digunakan sebagai nilai awal dalam pembangkitan bilangan acak. Fungsi hash digunakan karena setiap bit yang dihasilkan fungsi hash bergantung kepada setiap bit pada pesan asli. 2. DIGITAL WATERMARKING Digital watermarking adalah penambahan data rahasia (watermark) ke dalam sebuah arsip digital. Watermark berisi informasi yang berkaitan dengan arsip penampungnya. Watermark dapat berupa data teks, citra, maupun suara. Penyisipan watermark pada arsip citra dapat dilakukan pada ranah spasial maupun pada ranah frekuensi. Penyisipan pada ranah frekuensi memiliki keunggulan dibandingkan dengan penyisipan pada ranah spasial. Pada ranah frekuensi, sebuah modifikasi akan mempengaruhi keseluruhan pixel dalam blok. Dengan begitu, kemungkinan rusaknya watermark oleh manipulasi citra akan menjadi lebih kecil. Ada beberapa kriteria yang perlu dipenuhi dalam digital watermarking, yaitu: Robustness, yaitu ketahanan watermark terhadap manipulasi yang dilakukan pada arsip penampungnya. Fidelity, yaitu perbandingan antara kualitas arsip penampung setelah penyisipan watermark dengan kualitas arsip semula. Pada penyisipan yang baik, perubahannya tidak dapat dikenali oleh manusia.

Recovery, yaitu pengungkapan terhadap data yang disembunyikan. Watermark yang disisipkan harus dapat diambil kembali. Security, yaitu keamanan watermark. Watermark tidak boleh terdeteksi oleh pihak lain, sekalipun algoritma penyisipannya bersifat publik. Pengukuran fidelity dapat dihitung dengan menghitung nilai MSE (Mean Squared Error) dan PSNR (Peak Signal to Noise Ratio). MSE dan PSNR dapat dihitung dengan persamaan (1) dan (2). Pada persamaan (1), I(x,y) adalah nilai grey-level citra asli di posisi (x,y), I adalah nilai derajat keabuan citra yang telah diberi watermark di posisi (x,y), X dan Y adalah ukuran panjang dan lebar. Pada persamaan (2), m adalah nilai maksimum yang mungkin dimiliki oleh sebuah pixel. Sebagai contoh, untuk data citra 8 bit, nilai maksimumnya adalah 255. dengan ukuran citra biner yang memiliki panjang dan lebar masing-masing setengah dari panjang dan lebar citra asli. MSE = 1 XY x y [ I( x, y) I' ( x, y) ] 2 (1) Gambar 1. Penyisipan watermark dari citra biner 2 m PSNR = 10log (2) MSE Penghitungan nilai PSNR hanya terdefinisi dengan baik pada pengukuran luminance (intensitas cahaya, misalnya pada citra grayscale). Untuk citra berwarna, pendekatan yang dapat dilakukan adalah menghitung nilai PSNR masing-masing kanal dan kemudian menghitung nilai rata-ratanya. 3. METODE Pada makalah ini, penyisipan watermark dilakukan pada ranah frekuensi. Transformasi citra dilakukan dengan menggunakan DCT (Discrete Cosine Transform), sehingga dapat dikatakan bahwa penyisipan dilakukan pada ranah DCT. Penyisipan dilakukan terhadap citra bitmap dengan kedalaman warna 24 bit. Pada makalah ini, ada dua metode yang digunakan untuk menyisipkan watermark. Perbedaan kedua metode ini adalah pada data watermark yang disisipkan. Metode pertama menggunakan citra biner sebagai watermark, sedangkan metode kedua menggunakan watermark yang dibangkitkan secara acak. Diagram kedua metode ini disajikan pada gambar 1 dan gambar 2. I melambangkan matriks nilai piksel citra asal, C melambangkan matriks koefisien DCT citra asal, W melambangkan data watermark yang disisipkan, C melambangkan matriks koefisien DCT yang sudah dimodifikasi, dan I melambangkan matriks nilai piksel sesudah penyisipan watermark. Khusus untuk watermark yang dibangkitkan secara acak, ukuran watermark yang disisipkan kira-kira setara Gambar 2. Penyisipan watermark yang dibangkitan secara acak Seperti yang terlihat pada gambar, citra asli ditransformasikan ke ranah DCT, dan kemudian dilakukan modifikasi koefisien DCT. Setelah itu citra ditransformasikan kembali ke ranah spasial dengan menggunakan IDCT. Modifikasi koefisien DCT dilakukan berdasarkan persamaan di bawah ini: c i = c i (1 + αw i ) (3) c i adalah koefisien DCT setelah modifikasi, c i koefisien DCT sebelum modifikasi, α adalah kekuatan penyisipan watermark, dan w i adalah nilai bit watermark yang disisipkan. Nilai w i adalah -1 jika bit yang akan disisipkan adalah 0, dan 1 jika bit yang akan disisipkan adalah 1. Nilai kekuatan penyisipan α = 0,1 jika nilai absolut dari c i lebih besar atau sama dengan 15, dan α = 0,5 untuk nilai c i yang lain. Penyisipan bit watermark dilakukan pada koefisien frekuensi menengah. Hal ini dilakukan sebagai trade-off antara fidelity dan robustness. Penyisipan pada frekuensi

rendah dapat menyebabkan perubahan yang terlalu besar, sedangkan penyisipan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan watermark mudah rusak. Koefisien yang dimodifikasi adalah koefisien-koefisien bernilai tertinggi sebanyak bit yang akan disisipkan pada sebuah blok koefisien DCT. Pengelompokan frekuensi pada sebuah blok DCT dapat dilihat pada gambar 3. LF menyatakan koefisien frekuensi rendah, MF menyatakan koefisien frekuensi menengah, dan HF menyatakan koefisien frekuensi tinggi. Perbandingan antara watermark yang terdeteksi dengan watermark asli dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi. Perhitungan dilakukan dengan persamaan berikut ini: wi wi ' C ( W, W ') = (5) 2 2 w w ' C(W,W ) adalah koefisien korelasi, W adalah watermark asli, W adalah watermark terdeteksi, w i adalah bit watermark asli ke-i, w i adalah bit watermark terdeteksi ke-i. i i 4. PENGUJIAN Gambar 3. Pengelompokan koefisien DCT Bit-bit watermark yang disisipkan adalah hasil dari proses permutasi (untuk watermark dari citra biner) maupun proses pembangkitan watermark. Kedua proses ini menggunakan pola bilangan acak. Pembangkitan pola bilangan acak dilakukan dengan menggunakan metode linear congruential generator (LCG) seperti yang terdapat pada [2]. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: I j+1 = (ai j + c) mod m (4) dengan a=16807, c=0, dan m=2147483647. Untuk menghasilkan watermark yang aman, maka pola bilangan acak harus bergantung kepada citra asli. Untuk menghasilkan ketergantungan ini digunakan fungsi hash. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2, citra asli di-hash dengan algoritma MD5. Nilai hash yang dihasilkan dibagi dua dan kemudian di lakukan enkripsi DES dengan menggunakan bagian pertama sebagai plainteks dan bagian kedua sebagai kunci. 32 bit pertama dari hasil enkripsi ini dijadikan sebagai seed untuk pembangkit bilangan acak. Seed yang dihasilkan ini bergantung kepada citra asli, sehingga pola bilangan acak yang dihasilkan juga bergantung kepada citra asli. Ekstraksi dilakukan dengan melakukan transformasi DCT terhadap citra ber-watermark dan membandingkannya dengan koefisien citra asli untuk mendapatkan pola bit. Pola bit yang terdeteksi dibandingkan dengan pola bit yang disisipkan untuk mengetahui keberadaan watermark. Watermarking dilakukan terhadap beberapa arsip citra dengan berbagai ukuran dengan ukuran watermark yang berbeda-beda. Beberapa hasil penyisipan watermark dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5. Beberapa skenario pengujian dilakukan untuk menguji metode watermarking yang digunakan. Skenario-skenario tersebut adalah: Penggunaan normal. Ekstraksi dari citra yang tidak diberi watermark. Ekstraksi dengan citra asli yang dimodifikasi. Dua kali penyisipan watermark. Ketahanan terhadap cropping. Ketahanan terhadap scaling. Ketahanan terhadap rotasi. Ketahanan terhadap kompresi JPEG. Ketahanan terhadap screen capture. 5. KESIMPULAN Hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk ukuran citra yang sama, penyisipan watermark yang lebih besar menghasilkan perubahan yang lebih besar. Hal ini terlihat dari penurunan nilai PSNR seiring dengan peningkatan ukuran watermark. Watermark yang disisipkan sudah memenuhi kriteria keamanan. Watermark tidak dapat dideteksi ketika citra asli diubah meskipun hanya 1bit. Artinya fungsi hash dapat digunakan untuk menghasilkan watermark yang aman. Penyisipan watermark juga sudah memenuhi kriteria fidelity, karena perubahan yang diakibatkan tidak dapat dikenali oleh mata manusia. Watermark memiliki robustness yang terbatas terhadap masing-masing modifikasi citra. Secara umum, robustness ditentukan oleh jenis dan besarnya manipulasi yang dilakukan terhadap citra. Pada watermark yang berasal dari citra biner, hasil deteksi masih dapat dikenali ketika nilai koefisien

(a) citra asli (b) citra watermark (c) citra ter-watermark Gambar 4. Watermarking dengan watermark dari citra biner (a) citra asli (b) citra ter-watermark Gambar 5. Watermarking dengan watermark yang dibangkitkan secara acak

korelasinya lebih besar atau sama dengan 0,40. Nilai ini dapat dijadikan nilai batas untuk menentukan keberadaan watermark, terutama untuk watermark yang dibangkitkan secara acak. REFERENSI [1] Reka Major, Valentin Deac, Monica Borda, An Application of the Hash Functions in Digital Watermarking, 2002. [2] W. H. Press, S.A. Teukolsky, W.T. Vetterling, B.P. Flannery, Numerical Recipes in C. The Art of Scientific Computing, Cambridge University Press, 1997. [3] Jiri Fridrich, Application of Data Hiding in Digital Images, 1998. [4] Juan R. Hernandez, DCT-Domain Watermarking Techniques for Still Images: Detector Performance Analysis and a New Structure, 2000.