BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

BAB V PEMBAHASAN. Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

Marianne, S.Si., M.Si., Apt.

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyakit yang merusak nefron ginjal (Price dan Wilson, 2006).

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

ANTIHIPERLIPIDEMIA YENI FARIDA S.FARM., M.SC., APT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular yang diakibatkan karena penyempitan pembuluh darah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bahkan terjadi gagal ginjal. Jika tidak diobati, penyakit ginjal bisa

PENGANTAR FARMAKOLOGI

kematian sebesar atau 2,99% dari total kematian di Rumah Sakit (Departemen Kesehatan RI, 2008). Data prevalensi di atas menunjukkan bahwa PGK

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi penting dalam

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia termasuk salah satu abnormalitas fraksi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB 1 PENDAHULUAN. Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS FARMAKOKINETIKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

BAB 1 PENDAHULUAN. kolesterol yang meningkat dapat memfasilitasi proses penyempitan pembuluh. terjadinya penyakit jantung dan stroke (Davey, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Pada tahun 1990, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ke-27 di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN.

Pengantar Farmakologi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pada wanita penurunan ini terjadi setelah pria. Sebagian efek ini. kemungkinan disebabkan karena selektif mortalitas pada penderita

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Metabolisme bilirubin meliputi sintesis, transportasi, intake dan konjugasi serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

FARMAKOKINETIK KLINIK ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA G I N A A R I F A H : : A S T I Y U N I A : : YUDA :: R I F N A

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

KESEIMBANGAN ASAM BASA Pengertian ph Definisi ph -log (H + ) Untuk menghitung ph larutan : 1.Hitung konsentrasi ion Hidrogen (H + ) 2.Hitung logaritma

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing

Dislipidemia. Ema Rachmawati

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Peningkatan asupan lemak sebagian besar berasal dari tingginya

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiinflamasi nonsteroid

Nutrition in Elderly

BAB I PENDAHULUAN. utama kematian di negara dengan pendapatan rendah dan menengah

Gambaran hasil produk kalsium dan fosfor pada pasien penyakit ginjal kronik stadium V di Ruang Hemodialisis RSUP Prof. Dr. R. D.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang mengkonsumsi produk

Transkripsi:

23 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronis Hiperfosfatemia merupakan konsekuensi klinis yang penting dan tidak dapat dihindari pada pasien penyakit ginjal kronis stadium lanjut. 6 Menurut konsensus GMT-PGK (2009) Hiperfosfatemia ialah kadar serum fosfat > 4,6 mg/dl. Kadar fosfat darah normal adalah 2,5 4,5 mg/dl, pada pasien hemodialisis atau dialisis peritoneal kadar serum fosfat hendaknya dipertahankan antara 3.5 5,5 mg/dl. Selain itu, produk kalsium-fosfat (perkalian antara kadar fosfat darah dan kalsium total darah) harus dipertahankan <55 mg 2 /dl 2. 7 Hampir semua pasien dengan PGK menderita hiperfosfatemia. Di Amerika Serikat angka hiperfosfatemia pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah sekitar 70%. 8 Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam mengekskresikan fosfat dan tingginya asupan fosfat (Gambar 2.1). Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekuensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskular dan jaringan lunak. 1 4

24 Gambar 2.1 Keseimbangan Fosfat pada Pasien Dialisis (Sumber: Hutchison AJ, Smith CP and Brenchley PE. Pharmacology, efficacy and safety of oral phosphate binders. Dalam: Ireland R, Editor. Medscape Referance. 2011. Available at www.medscape.org. Cited on Oct,28 2012) Penatalaksanaan hiperfosfatemia ini meliputi pembatasan asupan fosfat, meningkatkan efektifitas dialisis, pemberikan obat pengikat fosfat dan pemakaian bahan kalsimemetik. 1 Konsensus GMT-PGK (2009) menganjurkan diet rendah fosfor 800-1000 mg/hari. Selain itu, tindakan dialisis hanya sedikit membuang fosfat. Klirens fosfat pada hemodialisis adalah 32,5 mmol dalam 4 jam, sedang dalam CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah sebesar 12 mmol dalam 24 jam. 7 Oleh karena itu, diperlukan obat pengikat fosfat (phosphatebinding agents) untuk mengikat fosfat di lumen usus dan akhirnya akan mengurangi absorbsinya. 9 2.2 Obat pengikat fosfat yang ada pada saat ini dan keterbatasannya Obat pengikat fosfat diharapkan dapat mengikat fosfat yang ada pada makanan penderita PGK, sehingga tidak di absorbsi dan dikeluarkan melalui feses. Dengan demikian kadar fosfat dalam darah tidak meningkat. 1 Berbagai jenis pengikat fosfat yang sering dipergunakan serta keuntungan dan kerugian obat pengikat fosfat adalah (Tabel 2.1):

25 a) Garam aluminum Garam aluminium merupakan pengikat fosfat yang paling dulu diketahui, sangat efektif dalam menurunkan fosfat plasma, dan bisa berperan sebagai antasida yang dapat mengurangi gejala mual/muntah pada penderita uremia. Tetapi pemakaian jangka panjangnya dapat mengakibatkan intoksikasi aluminium dengan gejala anemia, gangguan serebral, gangguan tulang (adynamic bone disease). Indikasi pemakaian garam aluminium jangka pendek adalah hiperfosfatemia disertai hiperkalsemia, atau hasil perkalian kalsium (Ca) dengan fosfat (PO 4 ) adalah 65. Pemberian dilakukan selama 4-8 minggu. Setelah kadar kalsium normal dipertahankan dengan pengikat fosfat garam kalsium. 1 b) Garam kalsium Garam kalsium yang dipergunakan sebagai pengikat fosfat adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat. Di dalam saluran cerna kalsium karbonat akan terurai menjadi ion kalsium dan karbonat. Ion kalsium akan berikatan dengan fosfat yang ada di makanan menjadi kalsium fosfat yang akan keluar bersama feses. Sedangkan ion karbonat akan diabsorbsi ke dalam darah untuk kemudian menjadi bikarbonat. Garam kalsium asetat dilaporkan mempunyai kapasitas mengikat fosfat yang lebih kuat dibandingkan kalsium karbonat. Rasio kalsium yang diabsorbsi juga lebih rendah dibandingkan kalsium karbonat, sehingga risiko hiperkalsemia yang terjadi juga lebih kecil. Namun, efek samping gangguan pencernaan yang ditimbulkan lebih sering, dan harganya lebih mahal dibandingkan kalsium karbonat. 1 c) Sevelamer hydrochloride Sevelamer merupakan pengikat fosfat sintetik pertama, non kalsium dan non aluminium. Merupakan pengikat fosfat yang kuat, tidak di absorbsi di saluran cerna dan resisten terhadap degradasi. Banyak studi klinis yang membuktikan bahwa sevelamer mempunyai kemampuan mengikat fosfat yang sebanding dengan garam kalsium, walau masih lebih

26 lemah dibandingkan garam aluminium. Sevelamer mencegah terjadinya kalsifikasi lebih banyak dibandingkan garam kalsium, sehingga memperkecil resiko kematian akibat gangguan kardiovaskular pada penderita PGK. Beberapa kekurangan yang dimiliki sevalemer sebagai pengikat fosfat adalah efektifitasnya yang berkurang pada suasana asam, dapat menghambat absorbsi vitamin yang larut dalam lemak (antara lain vitamin D), dapat mengurangi kadar bikarbonat yang kemungkinan disebabkan oleh adanya ikatan hydrochlorida. Disamping itu ukuran tabletnya yang besar mengurangi kenyamanan pasien untuk mengkonsumsinya. 1 d) Lanthanum karbonat Lanthanum karbonat adalah pengikat fosfat non kalsium dan non aluminium. Banyak studi membuktikan, bahwa lantanum karbonat memilki kemampuan pengikat fosfat yang sama dengan garam aluminium, tanpa efek samping yang berarti. Efektif pada suasana asam ph (3-5) dan tidak mengahambat absorbsi lemak. Demikian juga dengan efek gastrointestinalnya yang kecil, 1 namun harganya mahal. e) Pengikat fosfat berbasis besi Beberapa peneliti melaporkan bahwa komponen feri dapat mengikat fosfat yang ada dalam makanan bila diberikan secara oral maupun intravena. Hergessel dan Ritz (1999) melaporkan penurunan kadar fosfat darah sebesar 20% serta ekskresi fosfat lewat urin sebesar 37% pada 13 penderita PGK dengan hiperfosfatemia yang diberikan 3x2,5 gram polinuclear iron hidrochlorida bersama-sama makanan selama 12 minggu. Tidak ada efek samping jangka pendek selain obstipasi dan tinja berwarna hitam. Namun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 1

27 Tabel 2.1.Jenis Serta Keuntungan & Kerugian Obat Pengikat Fosfat 6 Selain obat-obat yang telah disebutkan, saat ini ada obat yang berdasarkan hasil penelitian juga bermanfaat dalam menurunkan kadar serum fosfat pada pasien yang menjalani hemodialisis, yaitu nikotinamide. Nikotinamide, yang pada awalnya diresepkan untuk mengobati dislipidemia dengan menurunkan kadar serum LDL (Low Density Lipoprotein) dan meningkatkan serum HDL (High Density Lipoprotein), merupakan inhibitor aktif absorbsi fosfat transelular. 2 2.3 Nikotinamide 2.3.1 Rumus Bangun Nikotinamide merupakan vitamin larut air, amida turunan dari nicotinic acid (niacin, vitamin B3). Merupakan obat yang sudah lama ada yang mempunyai banyak indikasi dan pengobatan. 10 Nikotinamide juga dikenal sebagai niacinamide, selain itu 3-pyridinecarboxamide, nicotinic acide amide dan vitamin PP. Formula molekulnya adalah C 6 H 6 N 2 O (gambar 2.2) dan berat molekulnya adalah 122.13 daltons serta struktur bangunnya adalah 11 :

28 Gambar 2.2 Struktur Bangun Nikotinamide (Sumber: Royal Society of Chemistry. Nicotinamide. Available at: www.chemspider.com/chemical-structure.911.html. Cited on Oct,28 2012) 2.3.2 Farmakodinamik Niacin diabsorbsi dalam bentuk nikotinamide dan nicotinic acid. Makanan yang mengandung nicotinic acid pertama kali dikonversikan menjadi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) di usus dan hati kemudian diubah menjadi nikotinamide dan dilepaskan ke aliran darah untuk di uptake oleh jaringan ekstrahepatik. Namun tubuh manusia tidak sepenuhnya bergantung pada makanan yang mengandung niacin, karena pada kebanyakan pasien, nikotinamide juga dapat disintesis dari asam amino trypthophan, selain itu juga diproduksi oleh katabolisme nukleotida pyridine. 10 Fosfat di filtrasi di ginjal dan kebanyakan direabsorbsi melalui epitel tubulus proksimal. Menurut penelitian, kotransport sodium-dependent phosphate protein 2a (NaPi2a), kotransporter NaPi2c, dan transporter sodium-dependent phosphat 2 memediasi transport fosfat melalui apical brush border dari sel tubulus proksimal. 10 Studi in vitro menunjukkan bahwa nikotinamide mengurangi uptake fosfat dengan menghambat kotransporter NaPi2a di tubulus proksimal ginjal dan kotransporter NaPi2b di usus (Gambar 2.3). Selain itu, nikotinamide mengurangi absorbsi fosfat di usus dengan menghambat ekspresi NaPi2b pada tikus percobaan yang gagal ginjal kronik. Studi in vitro lainnya mendapatkan bahwa NaPi2b bertanggung jawab besar dalam absorpsi fosfat di usus dan berkontribusi untuk mempertahankan homeostasis fosfat sistemik. 10 Schiavi et al. mendapatkan bahwa penambahan pengikat fosfat secara oral dengan target NaPi2b juga berguna dalam memodulasi kadar serum fosfat pada gagal ginjal kronik. 12

29 Gambar 2.3. Mekanisme Kerja Nikotinamide pada Membran Brush Border Enterosit Usus (Sumber: Lenglet A, Liabeuf S, Guffroy P, Fournier A, Brazier M, Massy ZA. Use of nicotinamide to treat hyperphosphatemia in dialysis patient. Springerlink. 2013;13:165-173) Nikotinamide mengurangi kadar fosfat dengan cara yang berbeda dengan obat pengikat fosfat oral lainnya yang mengikat fosfat di saluran pencernaan kemudian membentuk komplex yang tidak dapat diabsorbsi ataupun dengan mengikatkan ion ke resin. Oleh sebab itu, hanya sedikit fosfat yang tersedia untuk di absorbsi oleh saluran pencernaan dan lebih banyak yang diekskresikan di usus. Modulasi proses transport fosfat pada ginjal dan usus merupakan pendekatan baru dalam mengontrol kadar fosfat serum. 10 2.3.3 Farmakokinetik Pada studi klinis, pemberian nikotinamide 2 kali sehari secara oral (total dosis harian 25 mg/kg) berhubungan dengan waktu paruh plasma 3,5 jam dan konsentrasi puncak plasma 42,1 µg/ml. 10 Studi farmakokinetik pada subjek yang sehat memakan nikotinamide 1-6 gram secara oral berhubungan dengan konsentrasi plasma yang tinggi dan menunjukkan toksisitas yang rendah. 10

30 2.3.4 Metabolisme Nikotinamide di metabolisme di hati oleh sitokrom P450 menjadi bentuk nicotinamide-n-oxide (melalui reaksi oksidatif), 6-hydroxy-nicotinamide (melaui reaksi hidroksilasi), dan N-metyl-nicotinamide (MNA, melalui katalisis oleh nicotinamide-n-metyltransferase). Pada mamalia, MNA selanjutkan akan dimetabolisme menjadi N-methyl-2-pyridone-5-carboxamine (2PY) atau N- methyl-4-pyridone-5-carboxamide (4PY) dengan oksidasi aldehid. Rasio 2PY/4PY berbeda-beda tergantung spesies dan jenis kelamin. 10 Pada konteks uremia, studi pada tikus menunjukkan akumulasi plasma 4PY. Meskipun 4PY dan dideteksi pada plasma manusia, metabolik utama produk MNA adalah 2 PY. Rutkowski et al. mendapatkan bahwa konsentrasi 2 PY di darah meningkat sesuai dengan perburukan fungsi ginjal. Selanjutnya dapat merupakan novel toksin uremik, karena secara signifikan menghambat poli (ADP- Ribose) polymerase 1 (PRP-1, enzim nuklear yang mungkin terlibat dalam respon DNA terhadap kerusakan DNA). 10 Slominska et al. mendapatkan bahwa nikotinamide, 2PY, dan 4PY terakumulasi dalam plasma anak-anak dengan gagal ginjal kronik dan efek dari kombinasi ketiganya menyebabkan penghambatan aktivitas PARP-1. 13 Potensial toksisitas selular metabolit nikotinamide memerlukan penelitian lebih lanjut. 10 2.3.5 Distribusi Seperti yang sudah disebutkan, nikotinamide merupakan bentuk sirkulasi dari nicotinic acid. Nikotinamide menghilang dengan cepat dari sirkulasi dan terdistribusi ke seluruh jaringan. Rutkowski et al. mendapatkan bahwa pada tikus nikotinamide ditemukan pada plasma, eritrosit, paru-paru, hati, dan otak tetapi hanya sedikit pada jaringan lemak. Akumulasi produk akhir dari nikotinamide ditemukan pada hati, paru-paru, dan otot skeletal tetapi tidak ditemukan pada jaringan lemak ataupun di otak. Nikotinamide mempunyai ekstraksi ratio hepatik yang tinggi, dan bersihan plasma sering rendah pada pasien dengan gagal hati. 10

31 2.3.6 Eliminasi Produk akhir dari nikotinamide di ekskresikan oleh ginjal, dimana nikotinamide itu sendiri direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Hal inilah yang membuat hanya sedikit jumlah nikotimanide yang tidak termodifikasi dijumpai di urin, meskipun setelah pemberikan dosis tinggi. 10 2.3.7 Efikasi Terapeutik Ada beberapa studi yang telah menggali potensial dari niacin dan analognya dalam mengkontrol fosfat pada pasien dialisis. 14 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nicotinic acid efektif sebagai pengobatan hiperfosfatemia. 4,15-17 Studi in vivo terhadap konversi nicotinic acid ke nikotinamide memerlukan penelitian lebih lanjut. 10 Studi klinis nikotinamide sebagai pengobatan hiperfosfatemia pada pasien hemodialisis tercantum pada tabel 2.2. Studi pertama oleh Takashi et al. menunjukkan bahwa nikotinamide menurunkan kadar fosfat (dari 6,9 menjadi 5,4 mg/dl) dan ipth (tanpa meningkatkan kadar serum kalsium) 18. Cheng et al. merupakan penelitian pertama yang melakukan double-blind, placebo-controlled, randomized clinical trial nikotinamide (dosis 300-1.800 mg). Setelah 8 minggu pengobatan, kadar rerata serum fosfat turun secara signifikan pada grup nikotinamide (dari 6,26 menjadi 5,47 mg/dl) tetapi tidak dengan grup placebo (meningkat dari 5,85 menjadi 5,98 mg/dl) (tabel 2.2). 5 Studi lainnya yang di lakukan oleh Young et al. merupakan studi yang prospektif, randomized, double blind, placebo-conrolled trial nikotinamide mendapatkan bahwa setelah 8 minggu pemberian nikotinamide 750 mg, terjadi sedikit penurunan kadar fosfat namun signifikan (dari 5,9 menjadi 5,2 mg/dl), namun tidak pada grup plasebo (tabel 2.2). 19 Shahbazian et al. juga mendapatkan hasil yang sama. Dimana dengan pemberian nikotinamide 500 mg/hari didapatkan penurunan kadar fosfat yang signifikan (dari 5,9 menjadi 4,77 mg/dl). Selain itu, peneliti juga menjumpai penurununan kadar trombosit dan menekankan pentingnya monitor trombositopenia ketika digunakan sebagai terapeutik (tabel 2.2). 20

32 Vasantha et al. melaporkan studi open-label nikotinamide 750 mg/hari dan didapatkan penurunan kadar fosfat 2,3 mg/dl setelah 8 minggu pengobatan. Selain itu juga didapatkan penurunan kadar ALP (Alkaline phosphatase) (Tabel 2.2). 3 Meskipun demikian, tidak ada satu pun dari studi-studi ini yang menggunakan pasien dialisis dalam jumlah yang besar. Nikotinamide dapat digunakan sebagai tambahan pada pengikat fosfat yang sudah ada seperti pada studi yang dilakukan oleh Cheng et al. Young et al. dan shahbazian et al. ataupun digunakan sendiri seperti pada studi Takashi et al. dan Vasantha et al. 10 Tabel 2.2 Studi Klinis Nikotinamide Sebagai Pengobatan Hiperfosfatemia pada Pasien Dialisis 10 2.3.8 Efek Samping Banyak data menunjukkan bahwa nikotinamide pada orang dewasa aman diberikan pada dosis di bawah 3 mg/hari. 10 Keamanan pemberian nikotinamide pada pasien dengan fungsi ginjal normal diobservasi oleh European Nicotinamide Diabetes Intervention Trial. Meskipun peneliti tidak mendemostrasikan efek perlindungan dari nikotinamide pada diabetes tipe 1, peneliti berkesimpulan toleransinya bagus. 21 Efek samping utama dari dosis terapeutik adalah gejala gastrointestinal (terutama diare) yang secara umum akan sembuh dengan pengobatan dihentikan. 10 Delanaye et al. melaporkan 5 dari 6 pasien yang mengikuti studi openlabel menjadi diare setelah mendapatkan nikotiamide dengan rerata ± SD dosis

33 1.050 ± 447 mg/hari dan sembuh setelah obat dihentikan. Peneliti menunjukkan bahwa semua pasien juga mengkonsumsi calcium binders dengan atau tanpa sevalemer, yang juga memberikan efek samping yang sama. 22 Selain itu, ada juga laporan kasus hepatotoksisitas berat pada pasien yang mendapatkan nikotinamide 9 gram/hari, namun gejala hilang setelah obat dihentikan. 10 Rottembourg et al. melaporkan 6 pasien dialisis yang diobati dengan nikotinamide 1000 mg/hari menjadi trombositopenia dalam 3 bulan pengobatan. Hasil ini mengkonfirmasi penelitian Shahbazian et al. Meskipun mekanisme efek samping ini belum diketahui dengan pasti, trombositopenia kemungkinan akibat rendahnya kadar thyroxin-binding globulin yang diinduksi oleh nikotinamide dan turunannya. 23