JURNAL ILMIAH. Disusun oleh : Indah Dewi Nirwana

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan


C UN MURNI Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BERITA RESMI STATISTIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mengeluarkan uang dalam rangka membiayai proses pendidikan adalah investasi yang sangat menguntungkan dan dapat dinikmati selama-lamanya.

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian.

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011


TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. yang dilaksanakan oleh sejumlah negara miskin dan negara berkembang.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

BERITA RESMI STATISTIK

2

KINERJA PENDIDIKAN BERDASARKAN INDEKS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN UNTUK SEMUA DAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM TAHUN 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

INFOGRAFI PENDIDIKAN Tahun 2011/2012 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi,

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

Transkripsi:

PENGARUH VARIABEL PENDIDIKAN TERHADAP PERSENTASE PENDUDUK MISKIN (STUDI PADA 33 PROVINSI DI INDONESIA, 6 PROVINSI DI PULAU JAWA, DAN 27 PROVINSI DI LUAR PULAU JAWA PADA TAHUN 2006-2011) JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Indah Dewi Nirwana 0910210059 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL Artikel Jurnal dengan judul : Pengaruh Variabel Pendidikan Terhadap Persentase Penduduk Miskin (Studi pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada Tahun 2006-2011) Yang disusun oleh : Nama : Indah Dewi Nirwana NIM : 0910210059 Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 05 Maret 2013. Malang, 05 Maret 2013 Dosen Pembimbing, Dr. Rachmad Kresna Sakti, SE., Msi. NIP. 19631116 199002 1 001

PENGARUH VARIABEL PENDIDIKAN TERHADAP PERSENTASE PENDUDUK MISKIN (STUDI PADA 33 PROVINSI DI INDONESIA, 6 PROVINSI DI PULAU JAWA, DAN 27 PROVINSI DI LUAR PULAU JAWA PADA TAHUN 2006-2011) Indah Dewi Nirwana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya nirwana_chan@yahoo.com ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variabel pendidikan yang digambarkan oleh Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Unit yang dianalisis adalah PPM, AMH, APS, AMP, APK, dan RLS pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa buku, kamus, artikel ilmiah, data yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Dunia, United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations (UN). Tipe data yang digunakan adalah data panel, berupa data runtun waktu selama tahun 2006-2011 dan data cross section berupa 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provisi di luar Pulau Jawa. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil perhitungan regresi liner berganda menunjukkan bahwa AMH, APS, APM, APK, dan RLS memiliki pengaruh terhadap PPM. Pada perhitungan untuk 33 provinsi di Indonesia pendidikan memiliki pengaruh sebesar 82.8% terhadap kemiskinan, untuk perhitungan pada 6 provinsi di Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh 98.1% terhadap kemiskinan, dan untuk perhitungan pada 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh sebesar 83.2% terhadap kemiskinan. Perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia, APS berpengaruh positif, APM dan RLS berpengaruh negatif, AMH dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Perhitungan pada 6 provinsi di Pulau Jawa, APS berpengaruh positif, RLS berpengaruh negatif, AMH, APM, dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Perhitungan pada 27 provinsi di Pulau Jawa, APS berpengaruh positif, APM dan RLS berpengaruh negatif, AMH dan APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada tahunh 2006-2011. Penelitian ini hanya berfokus kepada satu aspek penyebab kemiskinan, yaitu pendidikan yang digambarkan oleh AMH, APS, APM, APK, dan RLS. Pada penelitian selanjutnya dapat memasukkan variabel lain yang diduga memiliki pengaruh terhadap PPM, yaitu produktivitas, pendapatan, investasi, dan tabungan. Impikasi dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kondisi pendidikan dan kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 dan dapat digunakan sebagai penelitian pendahuluan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai salah satu komponen untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Kata kunci: Persentase Penduduk Miskin (PPM), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Analisis Regresi Linier Berganda, Indonesia. A. LATAR BELAKANG Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Sampai saat ini fenomena kemiskinan terjadi pada banyak negara di dunia. Menurut Todaro dan Smith (2006: 231) kemiskinan masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang signifikan selama lebih dari separuh abad terakhir. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang belum dapat keluar dari masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan terasa sedemikian berat dan sulit sehingga seolah-olah tidak dapat diatasi. Menurut Basri dan Munandar

(2009: 53) sesungguhnya masalah ekonomi apa pun pada dasarnya dapat diatasi apabila megetahui akar penyebab dan segera diatasi. Menurut Suharto (2009: 17) kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor dan jarang ditemukan kemiskinan hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Menurut Bank Dunia (1997: 2) menjadi miskin memiliki hubungan dengan bermacam-macam faktor, mencakup pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang-barang, lokasi geografis, gender, suku, dan keadaan keluarga. Menurut Yustika (2005: 25) kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan modal, kepemilikan lahan, sumber daya manusia, kekurangan gizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, pendapatan perkapita yang rendah, dan minimnya investasi. Pendidikan merupakan salah satu salah faktor penyebab kemiskinan. Menurut Wahid (2008: 84) korelasi antara pendidikan dan kemiskinan sudah lama menjadi isu sentral di banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan perlu diketahui sebenarnya faktor apa saja yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan. Menurut Bank Dunia (2013) pendidikan merupakan salah satu instrumen yang paling ampuh untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan dan meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan tergambar dari penelitian yang dilakukan di Ghana (Adjasi dan Osei: 2007), Sri Lanka (Silva: 2008), dan Chile (Neilson et.al: 2008). Berdasar uraian di atas penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah variabel pendidikan yang diproyeksikan oleh Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) memiliki pengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Alasan peneliti melakukan pembagian perhitungan antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa untuk mendapatkan gambaran yang lebih spesifik dan akurat akan keterkaitan antara pendidikan dan kemiskinan. Alasan pembagian Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa berdasar pada jumlah dan distribusi penduduk yang didapatkan dari hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010. Dari hasil sensus penduduk tergambar bahwa telah terjadi pemusataan permukiman penduduk, yaitu lebih dari 50% penduduk Indonesia bermukim di Pulau Jawa dan kurang dari 50% penduduk tersebar di luar Pulau Jawa (BPS: 2013). B. KAJIAN TEORITIS Kemiskinan Menurut Piven dan Clowad dan Swanson dalam Suharto (2009: 15) kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Marger (2008: 142) mengkonsepkan kemiskinan dengan 3 (tiga) cara yang berbeda, yaitu kemiskinan absolut, relatif, dan official. Dalam arti absolut, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi di mana orang-orang tidak bisa karena alasan apa pun untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Dalam arti relatif, kemiskinan adalah standar dan harapan orang-orang dalam masyarakat pada waktu tertentu. Dalam arti official, pemerintah menerangkan pendapat mengenai siapa yang miskin dan kemiskinan dengan menerapkan ukuran yang sama untuk menghitung kemiskinan dan menghitung jumlah orang miskin Sharp, et.al dalam Kuncoro (1997: 131) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitas rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Menurut Nurkse dalam Kuncoro (1997: 32) ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Menurut Marger (2008: 160) ketika seseorang berada dalam kemiskinan, mereka menghadapi ketakutan untuk keluar dan mengatasi masalah ini. Menurut Marger (2008: 161) kaum miskin adalah orang-orang yang berada pada kelas hierarki bawah. Menurut BPS (2012) penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Memperkirakan angka kemiskinan, memerlukan data-data tentang ukuran kesejahteraan dan perkiraan garis kemiskinan. Di Indonesia, ukuran kesejahteraan yang digunakan adalah konsumsi perkapita. Rumah tangga dengan konsumsi perkapita di bawah garis kemiskinan digolongkan miskin (Bank Dunia, 2007: 35). Garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu satu untuk komponen makanan dan satu untuk komponen bukan makanan. Kedua, komponen garis kemiskinan digunakan sebagai komponen utama untuk menghitung daftar kebutuhan dasar minimal. Ini dilakukan untuk setiap provinsi secara terpisah, menurut daerah perkotaan maupun pedesaan untuk memberi gambaran mengenai perbedaan pola konsumsi (Bank Dunia, 2007: 35). Menurut BPS (2012) Persentase Penduduk Miskin (Head Count Index) adalah persentase penduduk yang memiliki tingkat konsumsi dibawah garis kemiskinan. Persentase Penduduk Miskin (PPM) dihitung menggunakan rumus: (1) Dimana α = 0; z adalah garis kemiskinan; y i adalah rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3,..., q); y i < z; q adalah banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ; n adalah jumlah penduduk. Pendidikan Menurut Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008: 326) pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut Tim Redaksi Longman Advanced American Dictionary (2007: 509) pendidikan adalah proses untuk mengembangkan pikiran seseorang melalui belajar di sekolah atau perguruan tinggi. Variabel pendidikan yang digunakan dalam penelitian adalah Angka Melek Hurf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Menurut UNESCO dalam BPS (2010: 70) melek aksara atau huruf adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca dan menulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuan. Tujuan tersebut berkaitan langsung dengan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Menurut BPS (2011: 111) Angka Melek Huruf (AMH) adalah proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca atau ditulisnya terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Data AMH tidak diperoleh, sehingga untuk mendapatkan AMH dihitung dengan cara 100% dikurangi dengan Angka Buta Huruf (ABH+AMH = 100%). Menurut BPS (2012) Angka Buta Huruf (ABH) adalah proporsi penduduk usia tertentu yang tidak dapat membaca dan atau menulis huruf latin atau huruf lainnya terhadap penduduk usia tertentu. Dalam penelitian, ABH kelompok usia 15 tahun ke atas, ABH 15-44 tahun, dan ABH 45 tahun ke atas dikelompokkan menjadi satu. ABH dihitung menggunakan rumus: AAAAAA 15+ tt = BBBB1 tt 15+ tt x 100% (2) PP 15+ tt tt Dimana AAAAAA 15+ adalah Angka Buta Huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; BBBB1 15+ adalah jumlah penduduk tt usia 15 tahun keatas yang buta huruf pada tahun ke-t; PP 15+ adalah jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun ke-t. Menurut BPS (2010: 52) Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS mempertimbangkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Menurut BPS (2010: 53) partisipasi sekolah berkaitan dengan aktivitas pendidikan formal dan non formal seseorang. Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan, khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Dalam penelitian, APS kelompok usia 7-12 tahun, APS kelompok usia 13-15 tahun, APS kelompok usia 16-18 tahun, dan APS kelompok usia 19-24 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus:

AAAAAA 7 12 = P 7 12 MMMMMMMMh ssssssssssssh P 7 12 x 100% (3) Dimana APS 7-12 adalah Angka Partisipasi Sekolah penduduk usia 7-12 tahun; P 7-12 Masih sekolah adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang masih sekolah; P 7-12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 58) Angka Partisipasi Murni (APM) adalah proporsi jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Sebagai gambaran, misalnya APM SD adalah proporsi jumlah murid SD yang berusia 7-12 tahun terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7-12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100%. Dalam penelitian, APM kelompok SD usia 7-12, APM SMP usia 13-15 tahun, dan APM SM usia 16-18 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus: AAAAAA SD = P 7 12 SSSS P 7 12 x 100% (4) Dimana APM SD adalah Angka Partisipasi Murni penduduk yang bersekolah pada jenjang Sekolah Dasar (SD); P 7 12 SSSS adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang sekolah di SD; P 7 12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 56) Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang sedang mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. APK merupakan proporsi jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mancakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Dalam penelitian, kelompok APK SD/MI usia 7-12, APK SLTP/MTs usia 13-15 tahun, dan APK SLTA/MA usia 16-18 tahun dikelompokkan menjadi satu. APS dihitung menggunakan rumus: AAAAAA SSSS/MMMM = P SD /MI P 7 12 x 100% (5) Dimana APK SD / MI adalah Angka Partisipasi Kasar penduduk yang bersekolah pada jenjang SD / MI; P SD /MI adalah jumalah penduduk yang sekolah di SD / MI; P 7 12 adalah jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Menurut BPS (2010: 74) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas merupakan cerminan tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan. RLS merupakan indikator yang menunjukkan rata-rata jumlah tahun efektif untuk bersekolah yang dicapai penduduk. Jumlah tahun efektif adalah jumlah tahun standar yang harus dijalani oleh seseorang untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan. Perhitungan lama sekolah dilakukan tanpa memperhatikan apakah seseorang menamatkan sekolah lebih cepat atau lebih lama dari waktu yang telah ditetapkan. RLS merupakan indikator pendidikan yang diformulasikan oleh UNDP pada tahun 1990 untuk menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sesuai dengan target pemerintah melalui program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan sejak tahun 1994, rata-rata lama sekolah penduduk diharapkan dapat mencapai sebesar 9 tahun (pendidikan dasar), yaitu minimal tamat jenjang pendidikan dasar atau tamat SMP. RLS dihitung menggunakan rumus: RRRRRR = TTTThuuuu KKKKKKKKKKKKKKKK + KKKKKKKKKK TTTTTTTTTTTTTTTTTT yyyyyyyy pppppppppph dddddddddddddddd 1 (6) Tahun konversi dari pendidikan yang ditamatkan adalah SD 6 tahun; SMP 9 tahun; SM 12 tahun; Diploma I 13 tahun; Diploma II 14 tahun; Akademi/Diploma III 15 tahun; Sarjana/Diploma IV 16 tahun; Pasca Sarjana 18 tahun; Doktor 21 tahun. Data RLS yang tersedia di BPS hanya pada tahun 2007-2011, sedangkan untuk data pada tahun 2006 tidak tersedia. Sehingga untuk mendapatkan angka RLS pada tahun 2006 peneliti melakukan perhitungan tersendiri dengan cara melakukan ekstrapolasi, yaitu penaksiran atau peramalan berapa angka RLS yang berada di luar batas yang diamati pada tahun 2006.

Hubungan antara Pendidikan dan Kemiskinan Menurut United Nations dalam Todaro dan Smith (2006: 434) pendidikan adalah hal mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Menurut Bank Dunia (2007: 58) kemiskinan memiliki kaitan erat dengan pendidikan yang tidak memadai. Capaian jenjang pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi. Koefisien korelasi parsial pada umumnya lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah pedesaan, baik bagi kepala rumah tangga maupun anggota keluarga lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di daerah perkotaan memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga di daerah pedesaan untuk setiap tambahan tahun pendidikan. Melampaui jenjang pendidikan sekolah dasar dapat meningkatkan kesejahteraan secara berarti. Terlihat dari hasil survey Susenas tahun 1999-2002 di daerah perkotaan, kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki korelasi dengan tingkat konsumsi 33% lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan (Bank Dunia, 2007: 58). Menurut Bank Dunia (2007: 49) risiko relatif kemiskinan menurun dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Lulusan sekolah menengah pertama memiliki kemungkinan menjadi miskin 26.7% lebih kecil dari pada lulusan sekolah dasar. Bahkan kemungkinan lulusan sekolah menengah atas dan lulusan universitas menjadi miskin lebih rendah lagi. Menurut Bank Dunia (2007: 66) kenaikan koefisien korelasi pendidikan berimplikasi kepada melebarnya kesenjangan konsumsi antara kepala rumah tangga yang berpendidikan lebih tinggi dan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Menurut Saputro dan Utomo (2010: 98) nilai koefisien faktor pendidikan yang terdiri dari variabel tidak tamat SD, APS, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan angka melek huruf adalah negatif, menunjukkan bahwa hubungan faktor pendidikan dengan P1 adalah negatif. Jika nilai faktor pendidikan meningkat akan menyebabkan peluang P1 akan menurun dan mendekati nol, hal ini menunjukkan bahwa nilai P1 akan berpeluang besar mempunyai nilai di bawah atau sama dengan nilai P1 Indonesia. Menurut Adjasi dan Osei (2007) kesejahteraan rumah tangga meningkat ketika Ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Menurut Hill (2002: 275) pendapatan orang yang berpendidikan adalah signifikan. Rata-rata pendapatan perbulan dari lulusan perguruan tinggi sangat tinggi jika dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah atau tidak terdidik sama sekali. Menurut Kyereme dan Thorbecke, Coulombe dan Mckay, dan Grootaert dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) isu ekonomi dan sosial seperti melakukan aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan, pendidikan, dan lain-lain diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan dan merupakan hal penting dalam pemodelan faktor yang menentukan kemungkinan seseorang menjadi miskin. Menurut Gang et al. dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan terlihat dari kelompok-kelompok kasta dan etnis di pedesaan India. Tercatat bahwa pendidikan khususnya dari tingkat menengah ke atas lebih mungkin untuk dapat mengurangi tingkat kemiskinan pada kasta tertentu. Menurut Coulombe dan Mckay dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan memberikan pengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Afrika. Menurut Grootaert dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) pendidikan berpengaruh terhadap pengurangan tingkat kemiskinan dan secara nyata memberikan efek yang jelas pada daerah pedesaan di Cote d Ivoire. Menurut Okurut et al. dalam Adjasi dan Osei (2007: 451) di Uganda kepala rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan berpeluang semakin besar untuk menjadi tidak miskin. Menurut Adjasi dan Osei (2007: 464) kesejahteraan pada rumah tangga semakin meningkat seiring dengan peningkatan level pendidikan seorang ibu. Menurut Silva (2008) kepala rumah tangga yang berpendidikan, bekerja, dan berpenghasilan secara signifikan akan berpengaruh terhadap standar hidupnya. Menurut Schultz dan Psacharopoulous dalam Silva (2008) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pendidikan dan pendapatan. Menurut Silva (2008) kemiskinan menurun seiring dengan meningkatnya tahun pendidikan. Semakin meningkatnya tahun pendidikan seseorang maka akan menjadi meningkat pula modal manusia yang dimiliki. Semakin meningkat modal manusia yang dimiliki, akan memberikan kontribusi negatif terhadap kemungkinan berada dalam kemiskinan. Pendidikan dapat meningkatkan modal manusia, lalu diimbangi dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja, pendapatan, dan konsumsi. Menurut Neilson et. al (2008) pendidikan berkaitan dengan kemungkinan seseorang untuk dapat keluar atau menurunkan risiko masuk ke dalam kemiskinan. Modal manusia yang dimiliki oleh suatu keluarga diproyeksikan dari pendidikan kepala rumah tanga, serta rata-rata lama sekolah anggota keluarga lainnya.

C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan meneliti hubungan antar variabel, sehingga variabel-variabel yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur-prosedur statistik (Creswell, 2010: 5). Unit yang dianalisis adalah Persentase Penduduk Miskin (PPM), Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Menurut Kuncoro (2003: 148) unit yang dianalisis adalah objek atau subjek yang akan diamati. Sumber data adalah data sekunder berupa buku, kamus, artikel ilmiah, data yang dikumpulkan dan dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Dunia, United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations (UN). Tipe data yang digunakan adalah data panel. Menurut Gujarati dan Porter (2012: 31) data panel adalah kombinasi data runtun waktu dan data cross section. Data runtun waktu yang digunakan selama tahun 2006-2011 dan data cross section berupa 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provisi di luar Pulau Jawa. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Model dalam penelitian ini adalah, PPM = β 1 AMH + β 2 APS + β 3 APM + β 4 APK + β 5 RLS + μ (7) Dimana PPM adalah Persentase Penduduk Miskin pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); AMH adalah Angka Melek Huruf pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APS adalah Angka Partisipasi Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APM adalah Angka Partisipasi Murni pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APK adalah Angka Partisipasi Kasar pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); RLS adalah Rata-rata Lama Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (tahun); μ adalah error term. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 Banyaknya penduduk yang tersebar pada berbagai pulau di Indonesia menyebabkan terjadinya keragaman. Keragaman antar wilayah merupakan ciri khas Indonesia, selain keragaman persebaran penduduk, Indonesia juga memiliki keragaman yang tergambar dari ketimpangan antar wilayah di daerah pedesaan dan perkotaan. Dengan melintasi kepulauan Indonesia yang luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan di dalam daerah itu sendiri. Sebagai contoh pada tahun 2006 Persentase Penduduk Miskin (PPM) di daerah DKI Jakarta 4.57%, Nusa Tenggara Timur 29.34%, dan di Papua 41.52%. Pada tahun 2011 PPM di daerah Riau 8.47%, Sulawesi Barat 13.89%, dan Maluku 23%. Jika melihat kemiskinan dari PPM Indonesia yang bertempat tinggal di kota maupun di desa, maka kemiskinan mengalami penurunan pada setiap tahunnya. Pada tahun 2006 presentase penduduk miskin berjumlah 17.75%, 2007 berjumlah 16.58%, 2008 berjumlah 15.42%, 2009 berjumlah 14.15%, dan 13.13% untuk tahun 2010, dan berjumlah 12.49% pada tahun 2011. Menurunnya PPM pada setiap tahunnya bukan berarti secara langsung penduduk miskin dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Indonesia memiliki jumlah penduduk hampir-miskin yang sangat besar. Penduduk hampir miskin diartikan sebagai penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan nasional, yakni memiliki pendapatan sekitar 1.55 dolar AS per hari tetapi termasuk ke dalam 40% kelompok penduduk dengan tingkat penghasilan terendah. Dari hasil analisis penduduk hampir miskin memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan dengan penduduk miskin (Bank Dunia, 2007: 32). Penduduk hampir miskin berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Ketika terjadi guncangan yang relatif kecil sudah cukup untuk mendorong mereka jatuh ke dalam kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir, setengah dari seluruh rumah tangga miskin belum termasuk ke dalam keluarga miskin satu tahun sebelumnya, sementara seperempat dari seluruh penduduk Indonesia sudah pernah mengalami kemiskinan setidaknya satu kali selama periode tahun 2008 hingga 2010 (Bank Dunia, 2012: xi). Berdasar kepada data yang diolah dari BPS, diketahui rata-rata PPM Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 14.95%. Terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata PPM di bawah rata-rata PPM Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Banten, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan terdapat 16 provinsi yang memiliki rata-rata PPM di atas rata-rata PPM Indonesia, yaitu Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Terdapat 3 (tiga) provinsi di Pulau Jawa yang memiliki rata-rata PPM di bawah rata-rata PPM Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Sedangkan Provinsi Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah memiliki rata-rata PPM di atas angka PPM Indonesia. Terdapat 14 provinsi di luar Pulau Jawa yang memiliki rata-rata PPM di atas rata-rata PPM Indonesia, yaitu Bali, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk 13 provinsi di luar Pulau Jawa memiliki rata-rata PPM di atas ratarata PPM Indonesia, yaitu Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Keterkaitan antara Pendidikan dan Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2011 Analisis regresi linier berganda dalam penelitian digunakan untuk menguji pengaruh variabel pendidikan terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM). Menurut Ghozali (2011: 13) regresi linier berganda bertujuan untuk menguji pengaruh 2 (dua) atau lebih variabel independent terhadap 1 (satu) variabel dependent dan umumnya dinyatakan dalam persamaan: Y = α + β 1 X 1 + β 2 X 2 + + β n X n + μ (8) Model regresi linier berganda dalam penelitian digunakan untuk menganalisis data panel. Umumnya dinyatakan dalam persamaan: PPM = β 1 AMH + β 2 APS + β 3 APM + β 4 APK + β 5 RLS + μ (9) Dimana PPM adalah Persentase Penduduk Miskin pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); AMH adalah Angka Melek Huruf pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APS adalah Angka Partisipasi Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APM adalah Angka Partisipasi Murni pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); APK adalah Angka Partisipasi Kasar pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (%); RLS adalah Rata-rata Lama Sekolah pada 33 provinsi di Indonesia/6 provinsi di Pulau Jawa/27 Provinsi di luar Pulau Jawa tahun 2006-2011 (tahun); μ adalah error term. Berikut hasil analisis regresi liner berganda untuk 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 33 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 menggunakan SPSS 17: Tabel 1. Nilai Coefficients Hasil Analisis Regresi Linier Berganda untuk 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa 33 Provinsi di Indonesia 6 Provinsi di Pulau Jawa 27 Provinsi di luar Pulau Jawa AMH 0.033-0.082-0.158 APS 1.651 0.371 2.656 APM -1.219 0.468-1.617 APK 0.428 0.041 0.041 RLS -5.931-4.910-4.156 Sumber: Data dimodifikasi dari hasil SPSS 17 (2013) Persamaan regresi linier berganda untuk 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011: PPM 33provIND = 0.033AMH 33provIND + 0.1651APS 33provIND - 1.219APM 33provIND + 0.428APK 33provIND - 5.931RLS33provIND Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar 0.033. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.033%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 1.651. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 1.651%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar -1.219. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 1.219%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.428. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.428%.

5. Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -5.931. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 5.931%. Persamaan regresi linier berganda untuk 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006-2011: PPM 6provPJ = -0.082AMH 6provPJ + 0.371APS 6provPJ + 0.468APM 6provPJ + 0.041APK 6provPJ 4.910RLS6provPJ Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar -0.082. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 0.082%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 0.371. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.371%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar 0.468. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.468%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.041. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.041%. 5. Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -4.910. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 4.910%. Persamaan regresi linier berganda untuk 27 provinsi di Luar Pulau Jawa (LPJ): PPM 27provLPJ = -0.158AMH 27provLPJ + 2.656APS 27provLPJ 1.617APM 27provLPJ + 0.041APK 27provLPJ 4.156RLS27provLPJ Dengan interpretasi: 1. Koefisien regresi Angka Melek Huruf (AMH) sebesar -0.158. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 0.158%. 2. Koefisien regresi Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 2.656. Memiliki arti, apabila APS naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 2.656%. 3. Koefisien regresi Angka Partisipasi Murni (APM) sebesar -1.617. Memiliki arti, apabila APM naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 1.617%. 4. Koefisien regresi Angka Partisipasi Kasar (APK) sebesar 0.041. Memiliki arti, apabila AMH naik sebesar 1% maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan meningkat sebesar 0.041%. 5. Koefisien regresi Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) sebesar -4.156. Memiliki arti, apabila RLS naik sebesar 1 tahun lama pendidikan maka Persentase Penduduk Miskin (PPM) akan berkurang sebesar 4.156%. Hasil perhitungan regresi liner berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan yang diwakili oleh variabel Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) memiliki pengaruh terhadap kemiskinan yang tergambar dari Persentase Penduduk Miskin (PPM). Perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011 pendidikan memiliki pengaruh 82.8% terhadap PPM, pada 6 provinsi di Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh 98.1% terhadap PPM, sedangkan pada 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan memiliki pengaruh sebesar 83.2% terhadap PPM. Tabel 2. Pengaruh Variabel Pendidikan Terhadap Kemiskinan pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada Tahun 2006-2011 Studi Pada Pengaruh Pendidikan terhadap PPM AMH APS APM APK RLS 33 Provinsi di Indonesia (+) (-) (-) 6 Provinsi di Pulau Jawa (+) (-) 27 Provinsi di luar Pulau Jawa (+) (-) (-) Keterangan: (+): berpengaruh positif; (-): berpengaruh negatif; : tidak berpengaruh Sumber: Data dimodifikasi dari hasil SPSS 17 (2013) Dari kelima variabel pendidikan, jika dilihat secara individual tidak semua variabel berpengaruh terhadap kemiskinan. AMH tidak berpengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APS berpengaruh positif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APM berpengaruh negatif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa, sedangkan

tidak berpengaruh terhadap PPM pada 6 provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APK tidak berpengaruh terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia. 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. RLS berpengaruh negatif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Pendidikan adalah modal penting bagi manusia, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perbedaan kepemilikan modal ini yang menjadi pembeda kualitas antara satu manusia dengan manusia yang lain. Apabila kualitas sumberdaya manusia rendah maka produktivitasnya akan rendah. Rendahnya produktivitas akan berdampak kepada rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya pendapatan yang diterima akan berimplikasi kepada rendahnya investasi dan tabungan. Rendahnya investasi dan tabungan akan berakibat pada keterbelakangan dan begitu seterusnya. Hal ini akan terus berada dalam suatu siklus atau lingkaran. Oleh karena itu manfaat dari pendidikan tidak dapat secara langsung (dalam jangka pendek) berpengaruh terhadap kemiskinan. Pengaruh Angka Melek Huruf (AMH) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM( pada tahun 2006-2011 Angka Melek Huruf (AMH) menjadi tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia pada suatu daerah. AMH memiliki hubungan dengan Angka Buta Huruf (ABH). AMH di Indonesia masih tergolong rendah, karena ABH di Indonesia masih tinggi. Tingginya ABH di Indonesia disebabkan oleh 5 (lima) penyebab utama, yaitu tingginya angka putus Sekolah Dasar, beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta huruf baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, dan kembalinya seseorang menjadi penderita buta huruf. Rata-rata AMH di Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 90.32%. terdapat 22 provinsi yang memiliki ratarata AMH di atas rata-rata AMH Indonesia, yaitu Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Riau, Maluku, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Gorontalo, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Aceh, Sulawesi Tengah, Bangka Belitung, Banten, Jambi, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Papua Barat. Sedangkan 11 provinsi memiliki rata-rata AMH di bawah rata-rata AMH Indonesia, yaitu DI Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Dari hasil perhitungan pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 AMH tidak berpengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM). Menurut UNESCO dalam BPS (2010: 69) terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja sesorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Sedangkan buta aksara atau buta huruf sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayaan masyarakat. Apabila di suatu provinsi memiliki jumlah penduduk yang dapat membaca semakin tinggi maka akan diimbangi dengan menurunnya PPM. Akan tetapi, pada penelitian ini AMH tidak berpengaruh terhadap kemiskinan pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa. Tidak berpengaruh AMH terhadap PPM karena untuk dapat membaca seseorang tidak harus mengeluarkan biaya. Memiliki kemampuan membaca dapat dimiliki oleh seseorang tanpa harus memasuki dunia pendidikan formal. Selain itu, diduga masih banyak penduduk di Indonesia yang dapat membaca tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, mengomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan membaca yang dimiliki oleh penduduk Indonesia belum seluruhnya melibatkan pembelajaran berkelanjutan, sehingga masih banyak penduduk yang belum dapat mencapai tujuannya. Hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana penduduk mendapatkan pengetahuan, menggali potensi, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, AMH pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh terhadap PPM pada tahun 2006-2011. Pengaruh Angka Partisipasi Sekolah (APS) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada tahun 2006-2011 Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS adalah indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah dan dapat juga digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Rata-rata APS Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 63%. Terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata APS di atas rata-rata APS Indonesia, yaitu DI Yogyakarta, Aceh, Maluku, Sumatera Barat, Sumatera Utara,

Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, Bali, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Sedangkan 16 provinsi, yaitu Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Jawa Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua memiliki rata-rata APS dibawah rata-rata APS Indonesia. Menurut BPS (2012) Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada satu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. APS merupakan ukuran daya serap, pemerataan, dan akses sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan, seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Menurut BPS (2010: 53) partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Indikator ini juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Berdasar kepada hasil perhitungan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa APS memiliki pengaruh yang sama, yaitu berpengaruh positif terhadap PPM pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. Ini menunjukkan bahwa apabila APS meningkat akan berpengaruh terhadap peningkatan PPM. Meningkatnya APS pada 33 provinsi di Indonesia. 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011 tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat menunjukkan semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan penambahan infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah, sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau semakin rendah. Partisipasi sekolah menyebabkan Persentase Penduduk Miskin (PPM) semakin meningkat. Hal ini terjadi karena bagi penduduk yang ingin mengikuti aktivitas formal diperlukan biaya. Bagi warga belajar yang berasal dari kalangan rumah tangga kurang mampu atau rumah tangga yang tergolong miskin, biaya pendidikan formal menjadi faktor utama yang menghambat kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat partisipasi sekolah terutama pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi akan dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi penduduk pada 33 provinsi di Indonesia, 6 provinsi di Pulau Jawa, dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa pendidikan masih menjadi barang mahal. Banyak penduduk Indonesia yang tersebar dari Aceh sampai dengan Irian Jaya yang putus sekolah. Angka putus sekolah mulai tingkat SD hingga SMA masih relatif tinggi dan penduduk yang dapat melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi rendah. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan menggambarkan partisipasi sekolah penduduk Indonesia. Pada tahun 2007, 100% penduduk yang masuk SD dan melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80%, sedangkan 20% penduduk putus sekolah. Dari 80% penduduk yang lulus SD, hanya sekitar 61% yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah setingkat lainnya. Kemudian dari jumlah tersebut, yang sekolah hingga lulus hanya sekitar 48%. Sementara itu, dari 48% jumlah penduduk, yang melanjutkan ke SMA hanya 21% dan yang berhasil lulus hanya sekitar 10%. Sedangkan yang melanjutkan ke perguruan tinggi hanya sekitar 1.4%. Angka putus sekolah di Indonesia masih relatif cukup tinggi, artinya APS di Indonesia, baik 6 provinsi di Pulau Jawa dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa masih rendah. Menurut UNICEF (2013) cukup tingginya angka putus sekolah dikarenakan orang tua memerlukan tenaga anak mereka yang berada dalam usia sekolah untuk bekerja, alasan lain karena keluarga tak mampu membayar biaya sekolah. Sepertiga dari keluarga termiskin mengatakan mereka tak mampu bayar uang sekolah maupun biaya lain seperti seragam, buku, transportasi dan makanan. Mengindikasikan bahwa masih tinggi biaya pendidikan di Indonesia sehingga, banyak penduduk khususnya penduduk yang tergolong miskin tidak dapat ikut berpartisipasi dalam pendidikan formal. Jadi, diduga program pemerintah yang merupakan implementasi dari penjabaran amandemen UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 yang memiliki tujuan untuk mengurangi beban dan biaya pendidikan bagi penduduk yang dirasa semakin mahal belum berjalan secara efektif dan memberikan dampak yang signifikan di seluruh wilayah Indonesia. Angka Partisipasi Murni (APM) digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat pada waktunya. Apabila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat pada waktunya, maka APM akan mecapai 100%. Nilai APM akan selalu lebih rendah dari APK, karena APK menyangkut anak di luar usia sekolah pada jenjnag pendidikan yang bersangkutan. Jika dilihat dari APM pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011, tidak ada yang mencapai angka 100%. Rata-rata APM Indonesia pada tahun 2006-2011 sebesar 68.77%. terdapat 16 provinsi yang memiliki ratarata APM di atas rata-rata APM Indonesia, yaitu Aceh, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, Maluku, Kepulauan

Riau, Bali, Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Tengah. Sedangkan terdapat 17 provinsi yang memiliki rata-rata APM di bawah rata-rata APM Indonesia, yaitu Sulawesi Utara, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Papua Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Menurut BPS (2012) Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan proporsi jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Apabila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan selalu rendah. APM pada 33 provinsi di Indonesia dan 27 provinsi di luar Pulau Jawa memiliki pengaruh negatif terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada tahun 2006-2011. Hal ini mengindikasikan bahwa, penduduk memiliki kemampuan untuk dapat sekolah tepat pada waktunya sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Penduduk tidak terbebani dengan biaya pendidikan. Jadi, apabila APM semakin meningkat pada suatu daerah, mengindikasikan bahwa kemiskinan pada daerah tersebut semakin berkurang. APM pada 6 provinsi di Pulau Jawa tidak memiliki pengaruh tehadap PPM, karena di Pulau Jawa banyak peluang untuk dapat bekerja. Banyak penduduk usia sekolah yang harus bekerja di luar waktu sekolah mereka untuk dapat memenuhi kewajiban membayar biaya pendidikan. Kebanyakan dari mereka (warga miskin) dapat bersekolah bukan karena sepenuhnya mampu membiayai pendidikan, tetapi karena mereka bekerja di luar jam sekolah. Selain itu banyak sekolah di Pulau Jawa yang sudah bebas dari biaya pendidikan. Sehingga penduduk dari golongan miskin dapat ikut berpartisipasi dalam pendidikan tepat pada waktunya sesuai dengan usia. Berbeda dengan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa, belum banyak sekolah yang bebas dari biaya. Oleh karena itu, APS pada 6 provinsi di Pulau Jawa tidak berpengaruh terhadap PPM karena banyaknya bantuan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk miskin yang menjadikan mereka dapat berpartisipasi dalam pendidikan bukan semata-mata karena kemampuan dari segi ekonomi yang menjadikan mereka dapat berpartisipasi. Pengaruh Angka Partisipasi Kasar (APK) terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada Tahun 2006-2011 Angka Partisipasi Kasar (APK) memiliki fungsi sebagai indikasi partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselanggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Rata-rata APK Indonesia pada tahun 2006-2011, yaitu sebesar 84.99%. Jika dilihat rata-rata APK pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2006-2011, tidak ada yang bernilai lebih dari 100%. Terdapat 18 provinsi yang memiliki rata-rata APS di atas APS Indonesia, yaitu Maluku, Aceh, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bali, Riau, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan 15 provinsi, yaitu Jambi, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Papua memiliki rata-rata APK di bawah rata-rata APK Indonesia. APK tidak berpengaruh terhadap Persentase Penduduk Miskin (PPM) pada 33 Provinsi di Indonesia, 6 Provinsi di Pulau Jawa, dan 27 Provinsi di Luar Pulau Jawa pada tahun 2006-2011. APK memberikan gambaran proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut terhadap penduduk pada kelompok usia tertentu. Nilai APK bisa lebih dari 100% karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Adanya anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan atau dapat dikatakan bahwa ada anak yang bersekolah tidak sesuai dengan usianya, seperti keterlambatan untuk mengenyam pendidikan. Keterlambatan ini dapat menjadi indikasi bahwa biaya sekolah menjadi permasalahan bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal. Akibat tidak dapat berpartisipasi dalam pendidikan formal, maka alternatif yang dapat dilakukan oleh penduduk adalah mengikuti pendidikan melalui jalur lain.