Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda Ekosistem Mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo

dokumen-dokumen yang mirip
Kelimpahan, Keanekaragaman dan Kemerataan Gastropoda di Ekosistem Mangrove Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo pada bulan Mei sampai Juli

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata Gastropoda berasal dari Bahasa Yunani, Gastro yang berarti perut

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

STUDI POPULASI MAKROINVERTEBRATA BENTIK YANG BERNILAI EKONOMIS DI HUTAN MANGROVE MUARA SUNGAI GAMTA, DISTRIK MISOOL BARAT, KABUPATEN RAJA AMPAT

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

III. METODA PENELITIAN. Kabupaten Indragiri Hilir terletak pada posisi 102*52,28-103*18,9' BT dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Community Structure Gastropod on Mangrove Ecosystems in the Kawal River Kabupaten Bintan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

ABSTRAK ABSTRACT. Keywords: Gisi Village, Population gastropods, mangrove density, A. Latar Belakang

Gastropods Community Structure in the Mangrove Ecosystem in the Teluk Buo, Bungus Sub-district,Teluk Kabung District, Padang, Sumatera Barat Province

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB III METODE PENILITIAN. Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian murni atau pure research yang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BIODIVERSITAS DAN ADAPTASI MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN MANGROVE

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI GASTROPODA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KECAMATAN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. di danau dan lautan, air sungai yang bermuara di lautan akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB I PENDAHULUAN. lain: waduk, danau, kolam, telaga, rawa, belik, dan lain lain (Wibowo, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

3. METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kupang Barat Kabupaten Kupang pada Bulan November- Desember 2014

ANALISIS SUMBERDAYA BIVALVIA PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DAN PEMANFAATANNYA DI DESA PENGUDANG KABUPATEN BINTAN

III. METODE KERJA. A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan

Keanekaragaman dan Kepadatan Gastropoda di Hutan Mangrove Pantai Si Runtoh Taman Nasional Baluran

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I. PENDAHULUAN. pelestaraian mangrove dengan mengubahnya menjadi tambak-tambak. Menurut

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

BAB III METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE DAN BEKANTAN (KKMB) KOTA TARAKAN. Fanny Septiani dan 2) Dhimas Wiharyanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN

Salah satu pantai yang mempunyai ekosistem mangrove di Kabupaten Merauke adalah perairan Pantai Payum. Pada perairan pantai ini masih sangat alami, in

Transkripsi:

1 Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda Ekosistem Mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo Yunita Lihawa 1, Femy M. Sahami 2, Citra Panigoro 3 Email : lihawa_y@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan Gastropoda di ekosistem mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juli 2013. Metode pengambilan sampel menggunakan line transek (transek garis) secara sistematis dengan menggunakan kuadran 2 x 2m. semua jenis Gastropoda yang terdapat dalam kuadran (epifauna dan treefauna) dihitung dan diidentifikasi. Wilayah kajian dibagi menjadi empat stasiun yaitu stasiun I, stasiun II, stasiun III, dan stasiun IV. Untuk mengetahui perbedaan epifauna dan treefauna pada setiap stasiun dianalisis secara deskriptif berdasarkan nilai indeks keanekaragaman. Hasil penelitian menunjukan di ekosistem mangrove Desa Lamu ditemukan 7 jenis Gastropoda yaitu Telescopium-telescopium, Cerithidea cingulata, Littorina melanostoma, Littorina scabra, Terebralia sulcata, Chicoreus capucinus, dan Sphaerassiminea miniata. Nilai indeks keanekaragaman Gastropoda di ekosistem mangrove Desa Lamu menunjukkan perbedaan antar epifauna dan treefauna pada setiap stasiun maupun antar stasiun. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun II (epifauna) dengan nilai 0,79 yang masuk kategori keanekaragaman tinggi dan yang terendah pada stasiun I (treefauna) dengan nilai 0,45 dan masuk kategori keanekaragaman rendah. Nilai indeks keanekaragaman menunjukkan adanya perbedaan antar stasiun, namun semuanya masuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang. Nilai indeks kelimpahan tertinggi dimiliki spesies Chicoreus capucinus dengan nilai 67.3% pada stasiun II (treefauna) dan terendah spesies Littorina melanostoma dengan nilai 0,79% pada stasiun II (epifauna). Parameter lingkungan terukur masih berada pada kondisi yang baik untuk kehidupan Gastropoda. Kata Kunci : Gastropoda, Ekosistem mangrove, Keanekaragaman, Kelimpahan. PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir tropis atau sub tropis yang sangat dinamis serta mempunyai produktivitas, nilai ekonomis, dan nilai ekologis yang tinggi (Susetiono, 2005). Hutan mangrove sebagai daerah dengan produktivitas tinggi memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di sekitarnya (Suwondo, 2006).

2 Hutchings dan Saenger (1987) dalam Susetiono (2005) menjelaskan bahwa Moluska terutama dari kelas Gastropoda merupakan kelompok hewan yang dominan dalam ekosistem hutan mangrove. Gastropoda memilki peran yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan komponen biotik di kawasan hutan mangrove, karena di samping sebagai pemangsa detritus, Gastropoda berperan dalam proses dekomposisi serasah dan menetralisasi materi organik yang bersifat herbivor dan detrivor (Irwanto, 2006). Gastropoda secara langsung berperan penting dalam percepatan penyediaan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh biota lainnya melalui rantai makanan. Mengingat pentingnya peranan Gastropoda dalam rantai makanan terhadap organisme-organisme yang hidup di ekosistem mangrove, serta masih minimnya informasi tentang keberadaan Gastropoda di kawasan mangrove Desa Lamu, maka perlu diadakan penelitian mengenai Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda di Ekosistem Mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo. METODE PENELITIAN A. Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel Penentuan titik koordinat stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat bantu Global Posting System (GPS). Pengambilan sampel Gastropoda dilakukan dengan menggunakan metode line transek (transek garis). Transek garis ditarik dari pinggir sungai secara horizontal garis pantai dengan menggunakan roll meter ±50m yang dibagi menjadi 4 titik stasiun pengamatan yang mewakili wilayah kajian. Stasiun I pada titik koordinat 00 30.18.52' LU - 122 18.974' BT, stasiun II pada titik koordinat 00 30.19.26' LU - 122 19.149 BT, stasiun III pada titik koordinat 00 30.13.37' LU - 122 18.926' BT, dan stasiun IV pada titik koordinat 00 30.13.20' LU - 122 19.103 BT. Tiap stasiun dibagi menjadi 3 sub stasiun. Pencatatan data pada setiap sub stasiun dengan menggunakan kuadran yang berukuran 2 x 2 m (Dharma, 1992). Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut dimulai pada pagi hari sampai siang

3 hari. Tipe substrat diamati secara visual. Tahapan penelitian sebagai berikut: a) Dibuat garis transek dari arah pinggiran sungai kearah daratan pada titik yang telah ditetapkan sebagai stasiun pengambilan sampel. b) Panjang garis transek ±50m dari pinggiran sungai ke arah mangrove yang ditarik secara horizontal garis pantai. Masing-masing garis transek diletakkan titik antar sub stasiun dan jarak antara kuadran. c) Masing-masing titik digunakan sebagai pusat kuadran yang berukuran 2x2m. Kuadran ini dipakai sebagai tempat pengambilan sampel epifauna dan treefauna. Gastropoda yang terdapat dalam setiap kuadran yang berukuran 2x2 m dihitung masing-masing jenis yang ditemukan. Pengambilan sampel dilakukan pada saat surut, sehingga dapat mempermudah dalam menghitung dan mengidentifikasi jenis Gastropoda. Setiap jenis diambil 2 individu dan disimpan dalam kantong plastik yang diberi tanda menggunakan kertas label dan selanjutnya didokumentasikan dan diidentifikasi di Laboratorium Jurusan Teknologi Perikanan dengan menggunakan buku identifikasi (Dharma, 1992). Cara pengambilan sampel Gastropoda yaitu : a) Dihitung semua jenis Gastropoda yang terdapat baik epifauna maupun treefauna pada kuadran 2 x 2m, selanjutnya dicatat jumlahnya. b) Masing-masing diambil 2 individu untuk setiap spesies Gastropoda yang ditemukan, disimpan dalam kantong plastik dan diberi label untuk diidentifikasi. B. Pengukuran parameter lingkungan a) Pengukuran parameter lingkungan yang dilakukan adalah pengukuran salinitas menggunakan refaraktometer, pengukuran ph tanah menggunakan kertas lakmus yang sebelumnya telah dimasukkan di dalam wadah, pengukuran DO (oksigen terarut) dan suhu menggunakan Oxygen meter, pengukuran ph air menggunakan ph meter. b) Pengukuran langsung dilakukan di lapangan pada saat pengambilan sampel.

4 C. Analisis Data 1. Indeks Keanekaragaman Spesies Indeks keanekaragaman/diversitas menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas. Indeks diversitas dihitung menurut Rumus Simpson (Krebs, 1989 ; Waite, 2000 dalam Sahami, 2003) sebagai berikut : Keterangan : D' D D' = 1 D = Indeks Diversitas = Indeks Dominansi Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus Simpson (Krebs, 1989 ; Waite, 2000 dalam Sahami, 2003). Dimana, Pi = Keterangan : D = Indeks dominansi N = Total cacah individu dalam sampel ni = Cacah individu spesies-i Odum (1996) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman 0,50 berarti keanekaragamannya rendah, nilai indeks keanekaragaman 0,50 sampai 0,75 berarti indeks keanekaragamannya sedang, sedangkan 0,75 sampai mendekati 1 berarti indeks keanekaragamannya tinggi. 2. Indeks Kelimpahan Spesies Kelimpahan merupakan gambaran banyaknya jenis Gastropoda yang ditemukan pada setiap stasiun atau titik garis transek (Retno, dkk, dalam Dharmawan, 1995). Indeks kelimpahan spesies (Abundance index) dengan menggunakan formulasi (Ludwig dan Reynolds, 1981 dalam Dharmawan, 1995). D = x 100% Rangan (2000), suatu spesies dinyatakan melimpah apabila ditemukan individunya dalam jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan individu dari spesies lainnya. Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (D') dari tiap-tiap stasiun pengamatan selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan nilai indeks keanekaragaman epifauna dan treefauna pada setiap stasiun. Selanjutnya dianalisis perbedaan keanekaragaman antar stasiun secara deskriptif berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Gastropoda yang ditemukan pada setiap stasiun.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis-Jenis Gastropoda di Ekosistem Mangrove Desa Lamu Jenis-jenis Gastropoda yang ditemukan di setiap stasiun penelitian disajikan pada Tabel 1. Jenis Gastropoda yang ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 7 jenis yaitu Telescopium telescopium, Cerithidea cingulata, Littorina melanostoma, Littorina scabra, Terebralia sulcata, Chicoreus capucinus, dan Sphaerassiminea miniata. Gastropoda pada umumnya hidup di permukaan substrat atau menempel pada pohon mangrove. Gastropoda yang hidup di hutan mangrove pada umumnya bersifat bergerak (mobile), bergerak aktif turun naik mengikuti pasang surut sehingga Gastropoda sendiri memiliki adaptasi yang cukup besar dengan perubahan faktor lingkungan yang disebabkan oleh suhu dan salinitas. Selama air pasang Gastropoda bergerak sampai ke bagian atas dan bergerak turun ke bawah pohon atau di lantai pohon mangrove saat surut. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem hutan mangrove sebagai habitat tempat hidup, berlindung, memijah, dan juga sebagai daerah suplai makanan yang menujang pertumbuhan (Nontji, 1993). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ada beberapa jenis Gastropoda yang hanya ditemukan sebagai epifauna yaitu jenis Telescopium-telescopium, Cerithidea cingulata, dan Terebralia sulcata. Ketiga jenis ini merupakan Gastropoda asli ekosistem mangrove, dimana mereka lebih menyukai permukaan yang berlumpur atau daerah dengan genangan air yang cukup luas (Kusrini, 2000). Jenis-jenis Gastropoda Littorina melanostoma, Littorina scabra, dan Sphaerassiminea miniata ditemukan sedikit di semua stasiun. Kurniawan (2007) dalam Nento (2012) menjelaskan bahwa banyak atau tidaknya Gastropoda dilokasi penelitian, dimungkinkan berhubungan dengan kondisi substrata tau tempat hidup dari masing-masing spesies.

6 Tabel 1. Jenis-jenis dan Jumlah (Individu) serta Nilai Indeks Keanekaragaman Gastropoda yang Ditemukan di Lokasi Penelitian NO SPESIES STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV E T E T E T E T 1 Telescopium-telescopium 5.67 0 4.67 0 3.67 0 6.33 0 2 Cerithidea cingulata 0 0 10.67 0 5 0 5.67 0 3 Littorina melanostoma 2 0 0.33 3.67 0 0.67 0 2.33 4 Littorina scabra 1.67 1.33 3.33 2 0 1 2 1.33 5 Terebralia Sulcata 9 0 13.67 0 6.67 0 10.33 0 6 Chicoreus capucinus 0 0.67 6 11.67 0 0 8.33 4.33 7 Sphaerassiminea miniata 0 0 3.33 0 0 0 0 2 Total Individu (N) 18.34 2 42 17.34 15.34 1.67 23.66 9.99 Total Spesies (ni) 4 2 7 3 3 2 5 4 Ind. Dominansi (D) 0.36 0.55 0.21 0.51 0.35 0.52 0.33 0.29 Indeks Keanekaragaman (D') 0.64 0.45 0.79 0.49 0.65 0.48 0.67 0.71 Rata-rata Indeks Keanekaragaman 0.54 0.64 0.56 0.69 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 B. Indeks Keanekaragaman Spesies (D') Gastropoda yang Ditemukan di Lokasi Penelitian Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi untuk jenis epifauna terdapat pada stasiun II dengan nilai 0,79. Selanjutnya stasiun IV dengan nilai 0,67, stasiun III 0,65 dan stasiun I dengan nilai 0,64 masuk dalam kategori indeks keanekaragaman sedang. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi untuk jenis treefauna terdapat pada stasiun IV dengan nilai 0,71diikuti oleh stasiun II dengan nilai 0,49, stasiun III dengan nilai 0,48 dan stasiun I dengan nilai 0,45. Semuanya masuk dalam kategori tingkat keanekaragaman rendah untuk stasiun I, II, dan III, sedangkan stasiun IV masuk kategori tingkat keanekaragaman sedang. Perbandingan antara nilai keanekaragaman epifauna dan treefauna disajikan pada Gambar 1. 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0.64 0.45 0.79 0.65 0.49 0.48 0.71 0.67 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Epifauna Treefauna Gambar 15. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Antara Epifauna dan Treefauna pada Setiap Stasiun Pengamatan

7 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Berdasarkan Tabel 1, nilai indeks keanekaragaman masing-masing stasiun memperoleh nilai dimana stasiun IV yang memiliki keanekaragaman tertinggi. Selanjutnya stasiun II, disusul stasiun III dan terendah adalah stasiun I, tetapi semua stasiun masuk dalam kategori dengan tingkat keanekaragaman sedang. Perbandingan nilai keanekaragaman antar stasiun disajikan pada Gambar 2. 0.54 0.64 0.56 0.69 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Gambar 2. Perbandingan Nilai Indeks Keaanekaragaman Antar Stasiun Pengamatan Odum (1996) menjelaskan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu eksosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu eksositem relatif tinggi maka kondisi eksosistem tersebut cenderung stabil. Lingkungan ekosistem yang memiliki gangguan keanekaragaman cenderung sedang, pada kasus lingkungan ekosistem yang tecemar keanekaragaman cenderung rendah. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi lapangan bahwa stasiun IV dan stasiun II tidak banyak mengalami gangguan (dimanfaatkan oleh masyarakat), karena untuk menuju kelokasi tersebut harus menggunakan perahu, sehingga mungkin hal ini yang menyebabkan kurangnya aktifitas masyarakat dikedua stasiun tersebut. Hal ini pula yang mungkin menyebabkan kedua stasiun ini memiliki nilai indeks keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun I dan III. Rendahnya indeks keanekaragaman pada stasiun I dan stasiun III mungkin diakibatkan oleh banyaknya aktifitas masyarakat disekitar stasiun tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa disekitar kedua stasiun tersebut ada kegiatan pertambakan, dan perumahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Heddy dan Kurniati (1996) bahwa keanekaragaman rendah menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya menurun. C. Indeks Kelimpahan Hasil penghitungan nilai indeks kelimpahan spesies Gastropoda yang

8 ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Indeks Kelimpahan (%) Spesies Gastropoda yang Ditemukan di Lokasi Penelitian No SPESIES STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV E T E T E T E T Rata-Rata 1 Telescopium-telescopium 30.9 0 11.1 0 23.9 0 19.4 0 10.65 2 Cerithidea cingulata 0 0 25.4 0 32.6 0 17.3 0 9.41 3 Littorina melanostoma 10.9 0 0.79 21.1 0 40 0 23.3 12.01 4 Littorina scabra 9.09 66.7 7.94 11.5 0 60 6.12 13.3 21.83 5 Terebralia Sulcata 49.1 0 32.5 0 43.5 0 31.6 0 19.59 6 Chicoreus capucinus 0 33.3 14.3 67.3 0 0 25.5 43.3 22.96 7 Sphaerassiminea miniata 0 0 7.94 0 0 0 0 20 3.49 Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 Nilai rata-rata Gastropoda yang memiliki indeks kelimpahan tertinggi yaitu Chicoreus capucinus dengan nilai 67,3% dan yang terendah Littorina melanostoma dengan nilai 0,79%. Hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa jenis Chicoreus capucinus lebih melimpah dibandingkan jenis Gastropoda lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rangan (2000), suatu spesies dinyatakan melimpah apabila ditemukan individunya dalam jumlah yang sangat banyak dibandingkan dengan individu dari spesies lainnya. Menurut Kurniawan (2007) dalam Nento (2012) bahwa jenis Chicoreus capucinus melimpah disebabkan oleh adaptasai hidup yang lebih dibanding jenis yang lain karena jenis ini memiliki cangkang tebal dan berat, sehingga apabila mendapat gangguan mudah untuk berlindung serta tetap ditempat, dimana banyak ditemukan pada daerah permukaan berlumpur maupun batang mangrove. D. Parameter Lingkungan Spesies Gastropoda di Ekosistem Mangrove Desa Lamu Pengukuran parameter lingkungan berupa suhu, salinitas, oksigen terlarut, ph air dan ph tanah dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel. Hasil dari pengukuran masing-masing parameter disajikan pada Tabel 3.

9 Tabel 3. Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian No Parameter STASIUN Ratarata Lingkungan I II III IV 1 Suhu ( C) 29.2 31 29 31.5 30.1 2 Salinitas ( ) 29.5 30 28.9 28 29.1 3 DO (Mg/L) 6.2 5.7 6.6 5 5.9 4 ph air 7.2 7.6 7.2 7 7.2 5 ph Tanah 6 8 6 8 7 6 Substrat Lumpur Lumpur Lumpur lumpur berpasir berpasir Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 a. Suhu Berdasarkan hasil pengukuran suhu yang dilakukan di lokasi penelitian, terlihat adanya perbedaan suhu pada setiap stasiun. Hasil pengukuran suhu tertinggi terdapat pada stasiun II dan IV dengan nilai suhu pada stasiun II 31 C dan stasiun IV 31,5 C. untuk stasiun I dan III memiliki nilai kisaran suhu yang relative rendah, dimana untuk suhu pada stasiun I 29,2 C dan stasiun III 29 C. Hal ini disebabkan karena waktu pengukuran suhu yang berbeda. Stasiun I dan stasiun III pengukuran suhu dilakukan pada saat pagi hari, sedangkan stasiun II dan stasiun IV pengukuran suhu dilakukan siang hari. Kondisi cuaca yang semakin panas mempengaruhi kenaikan suhu. Odum (1996), menjelaskan bahwa secara umum kisaran suhu yang ideal untuk pertumbuhan Gastropoda pada umumnya adalah 25-32 C. Jadi, hasil pengukuran suhu di eksosistem mangrove Desa Lamu yang diperoleh dapat dikatakan normal untuk kehidupan Gastropoda. Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan Gastropoda. Kehidupan organisme dalam suatu ekosistem dipengaruhi oleh faktor fisika tempat hidupnya. Perubahan suhu dapat menjadi syarat bagi organisme untuk memulai dan mengakhiri berbagai aktifitas (Nybaken, 1992). b. Salinitas Salinitas merupakan nilai yang menunjukan banyaknya kandungan garamgaram mineral yang menyusun suatu perairan yang ikut mempengaruhi kehidupan Moluska (Gastropoda) pada hutan mangrove (Nybakken, 1992). Hasil pengukuran yang diperoleh, nilai salinitas

10 tertinggi pada stasiun II dengan nilai salinitas 30, stasiun I 29,5, stasiun III memiliki nilai salinitas 28,9 dan stasiun IV memiliki nilai salinitas 28. Tingginya nilai salinitas pada stasiun I dan stasiun II diduga karena stasiun ini berada pada hilir sungai Lamu sehingga pengaruh air laut naik sangat tinggi. Selain itu juga terjadinya penurunan salinitas dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang panas pada saat pengukuran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1996), bahwa cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan, sehingga cahaya matahari akan meningkatkan salinitas perairan. Carley (1998) dalam Dharma (1992) menjelaskan, salinitas yang layak untuk kehidupan Gastropoda berada pada kisaran 28-34. Hasil pengukuran salinitas di ekosistem mangrove Desa Lamu ditiap stasiun berkisar 28-30. Hal ini menunjukan bahwa kisaran tesebut masih dalam keadaan baik dan layak untuk kehidupan Gastropoda. c. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menunjang kehidupan organisme karena berkaitan erat dengan proses metabolisme makanan yang diperlukan untuk kehidupan organisme itu sendiri. Oksigen terlarut (DO) merupakan suatu nilai yang menunjukan banyaknya oksigen yang terkandung dalam setiap liter air laut (Nybakken, 1992). Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut pada Tabel 6 diperoleh kandungan oksigen terlarut pada stasiun I dengan nilai 6,2 mg/l untuk stasiun III 6,6 mg/l, stasiun II dengan nilai 5,7 mg/l dan stasiun IV 5 mg/l. Terjadinya penurunan oksigen terlarut dipengaruhi oleh adanya kenaikan suhu. Pada stasiun IV hasil pengukuran suhu 29 0 C dan distasiun IV 31,5 0 C. Rumalutur (2004) menjelaskan bahwa meningkatnya suhu menyebabkan kandungan oksigen berkurang. Tinggi atau rendahnya oksigen terlarut dalam lokasi penelitian tidak berpengaruh karena kandungan oksigen terlarutnya masih dikatakan layak untuk kehidupan Gastropoda. Konsentrasi oksigen terlarut untuk kehidupan Gastropoda berada pada kisaran 5-8mg/L (Odum, 1996). d. ph Air ph air memegang peranan penting di perairan karena dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme yang berada

11 diperairan tersebut (Nybakken, 1992). Hasil pengukuran ph air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa stasiun pengamatan yang memiliki nilai ph air tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 7,6. Stasiun I dan stasiun III memiliki nilai ph air yang relative sama yaitu 7,2 dan pada stasiun IV 7. Kisaran ph air untuk kehidupan Gastropoda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran masih dikatakan layak untuk kehidupan Gastropoda di ekosistem mangrove. Gasper (1990) dalam Odum (1996) menjelaskan bahwa Gastropoda membutuhkan ph air antara 6,5-8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. e. ph Tanah Gastropoda pada umumnya membutuhkan ph tanah antara 6-8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi (Gasper, 1990 dalam Odum, 1996). Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 3 untuk ph tanah tertinggi terdapat pada stasiun II dan stasiun IV dengan nilai relative sama yaitu 8 dan stasiun I dan III dengan nilai relative sama yaitu 6. Effendi (2003) menjelaskan bahwa penurunan ph tanah mungkin dipengaruhi oleh kedalaman tanah maupun substrat yang terdapat pada lokasi penelitian. Kisaran ph tanah pada lokasi penelitian ini masih dikatakan layak untuk kelangsungan hidup dan reproduksi Gastropoda. f. Substrat Berdasarkan hasil pengamatan langsung kondisi substrat yang terdapat di lokasi penelitian stasiun I dan III memiliki tipe substrat berlumpur, sedangkan stasiun II dan IV memiliki tipe substrat lumpur berpasir. Rangan (2000) menjelaskan bahwa kondisi substrat berpengaruh pada susunan fauna di ekosistem mangrove karena ada jenis Gastropoda yang lebih menyukai kondisi substrat berpasir, kondisi substrat lumpur berpasir ataupun keduanya. Kondisi substrat berpengaruh terhadap perkembangan komunitas Gastropoda dimana substrat yang terdiri dari lumpur dan pasir berlumpur merupakan substrat yang disenangi oleh Gastropoda. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Jenis-jenis Gastropoda yang ditemukan di eksosistem mangrove Desa Lamu Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo ada 7 jenis yaitu Telescopiumtelescopium, Cerithidea cingulata,

12 Littorina melanostoma, Littorina scabra, Terebralia sulcata, Chicoreus capucinus, dan Sphaerassiminea miniata. 2. Nilai indeks keanekaragaman Gastropoda di ekosistem mangrove Desa Lamu masuk dalam kategori tingkat keanekaragaman sedang. 3. Nilai indeks kelimpahan tertinggi dimiliki spesies Chicoreus capucinus (treefauna) dan terendah spesies Littorina melanostoma (epifauna). 4. Parameter lingkungan terukur masih berada pada kondisi yang baik untuk kehidupan Gastropoda SARAN 1. Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang organisme yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove di Desa Lamu, sehingga mempermudah dalam perencanaan pengelolaan kedepan. 2. Perlu pengelolaan kawasan perairan Desa Lamu khususnya mangrove, sehingga dapat tetap lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Dharma, B. 1992.Siput dan kerang Indonesia.Indonesian shells I. Verlgcusta Hemmen. Wiesbaden. Germany. 2. Dharmawan, A. 1995. Studi Komunitas Moluska Di Hutan Mangrove Laguna Segara Anaka Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.Tesis. Universitas Gadjah Madah. Yogyakarta. 3. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 4. Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. Yogyakarta. 5. Kusrini, D. M. 2000. Komposisi dan Struktur Komunitas Keong Pottamididae di Hutan Mangrove Teluk Harun Kecamatan Padang Cermin, Naputen Lampung Selatan. Skripsi. Departemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor 6. Nento, R. 2012. Kelimpahan, Keanekaragaman, dan Kemerataan Gastropoda di Ekosistem Mangrove Di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. 7. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 8. Nybakken, 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. 9. Odum. 1996. Dasar-dasar Ekologi.Edisi ketiga. Gajah Mada Universitas press. Yogyakarta. 10. Rangan, J. 2000. Struktur dan apologi Komunitas Gastropoda pada Zona

13 Hutan Mangrove Perairan Kulu Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.Skripsi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 11. Rumalutur, F. 2004. Komposisi jenis Gastropoda pada komunitas hutan mangrove dipulau temani dan pulau raja, desa gita, kabupaten halmahera tengah, maluku utara. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 13. Susetiono. 2005. Krustacea dan Mollusca Mangrove Delta Mahakam. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. 14. Suwondo, E. Febrita., F. Sumanti. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove Di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. 12. Sahami, F. 2003. Struktur Komunitas Bivalvia Di Wilayah Estuari Sungai Donan dan Sungai Sapuregel Cilacap.