BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat secara global. TB Paru menduduki peringkat ke 2 sebagai

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

I. PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Menurut World Health Organization (WHO)

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN DUKUNGAN PMO DAN KETERATURAN MINUM OBAT DENGAN KEGAGALAN KONVERSI TB PARU

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

ANALISA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka***

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain:

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,


ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat saat ini dan termasuk ke dalam global emergency. TB adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

Unnes Journal of Public Health

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. tergantung pada potensi biologinya. Tingkat tercapainya potensi biologi seorang

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aspek Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Penularan TB tergantung dari lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya menghirup udara, kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB dan derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control and Preventive (CDC, 2014) penularan TB dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita TB dengan cara bersin, batuk, berbicara dan tidak mmenular melalui bersalaman, berbagi makanan atau minuman, berbagi sikat gigi dan berciuman. Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih (Riskesdas, 2013). Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, proporsi penderita TB paru tertinggi terjadi pada laki-laki (Riskesdas, 2013). Angka kejadian tuberkulosis (semua kasus/100.000 penduduk/tahun) di Indonesia sudah mengalami penurunan selama empat tahun terakhir yaitu 187/100.000 penduduk (2011), 185/100.000 penduduk (2012), 185/100.000 penduduk (2013) dan 183/100.000 penduduk (2014) (Laporan TB, Global Report WHO, 2013). Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang masih perlu menjadi perhatian yaitu kekambuhan pasien TB yang dapat menyebabkan meningkatnya TB-MDR, TB-HIV dan masyarakat rentan lainnya. 8

9 2.2 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) kasus baru; 2) kasus yang pernah diobati (kambuh, putus obat, gagal, pindahan). 2.3 Diagnosa Penyakit Tuberkulosis Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB yaitu 1) diagnosa TB paru dengan pengambilan spesimen dahak selama dua hari kunjungan berurutan dengan waktu pengambilan Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS); 2) diagnosa TB ekstra paru; 3) diagnosa TB pada orang dengan HIV-AIDS. 2.4 Pengobatan TB Tujuan pengobatan tuberkulosis antara lain penyembuhan pasien serta mengembalikan produktifitas dan kualitas hidup, pemutusan rantai penularan, pencegahan kekambuhan, pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan penularannya serta pencegahan kematian (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini yaitu pengobatan dengan sistem DOTS (Directly Observed Treatment Short course chemotherapy). Pengobatan TB dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap intensif yang kemudian diikuti dengan tahap lanjutan.

Gambar 2.1 Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2014) 10

11 2.5 Kekambuhan Tuberkulosis Kuman TB sangat mudah resisten terhadap obat sehingga dalam pengobatan TB selalu digunakan beberapa macam obat bersamaan untuk mencegah resistensi terhadap satu jenis obat dan beberapa populasi kuman TB juga dapat menjadi dorman (tidak aktif). Kuman dalam fase demikian tidak dapat dibunuh oleh obat anti TB. Dalam keadaan tertentu antara lain daya tahan tubuh menurun, kuman tersebut dapat aktif kembali. Faktor risiko medis yang diketahui berperan pada TB relaps dan gagal pengobatan antara lain infeksi HIV, Diabetes Mellitus (DM), berat badan kurang, kavitas pada foto thorak, beban bakteri yang tinggi, durasi pengobatan yang singkat, resistensi OAT, dan hasil kultur positif setelah 2 bulan pengobatan. Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan TB relaps dan gagal pengobatan yaitu pengangguran, penyalahgunaan obat, alkohol, merokok dan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap pengobatan (Kelly, et al. 2011). Adanya penderita kambuh ini dapat meningkatkan sumber penularan TB di lingkungan masyarakat dan dapat menghambat tercapainya tujuan pengobatan dan pengendalian TB. 2.6 Faktor Risiko Kekambuhan Tuberkulosis Teori roda terdiri atas manusia dengan substansi genetik dan host pada bagian intinya dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi penjamu (Murti, 1995). Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi kekambuhan TB terdapat faktor yang berpengaruh terhadap kekambuhan TB dan tidak berpengaruh terhadap kekambuhan TB. Berikut merupakan hasil analisis penelitian tentang TB kambuh.

12 1. Umur Umur mempunyai hubungan dengan besarnya risiko terhadap penyakit TB paru dan sifat resistensi pada berbagai kelompok umur tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Triman (2002), umur penderita yang mengalami kekambuhan berkisar 25-50 tahun 71,4%, sedangkan umur > 50 tahun 28,6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ubon (2010) 64,7% penderita yang mengalami kekambuhan TB paru adalah pada usia 25-44 tahun. 2. Jenis Kelamin Insiden berbagai penyakit diantara jenis kelamin dapat berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena pajanan terhadap agent bagi setiap jenis kelamin berbeda. Kebiasaan laki-laki merokok, minum alkohol dan keluar malam hari dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh hal ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami kekambuhan TB (Dhewi 2011). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2009) menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk kambuh dibanding laki-laki. 3. Status sosial ekonomi Sosial ekonomi yang rendah berpengaruh pada kekambuhan TB paru. Hasil penelitian Triman (2002) menyatakan bahwa sosial ekonominya rendah berpengaruh terhadap kekambuhan TB paru. 4. Pengetahuan penderita Pengetahuan dan pemahaman penderita memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) menemukan bahwa pengetahuan berhubungan dengan kekambuhan TB paru (OR=17,3; p=0,0001).

13 5. Sikap penderita Sikap merupakan salah satu komponen perilaku, dimana perilaku yang mempengaruhi status kesehatan anggota masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) menemukan bahwa sikap berhubungan dengan kekambuhan TB paru. 6. Kepatuhan minum obat Kepatuhan minum obat adalah suatu perilaku dari seseorang yang tetap melakukan aktivitasnya. Pengobatan TB di Kota Denpasar dapat diperoleh di Rumah Sakit, klinik, dokter praktik swasta dan puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan oleh peneliti dengan pemegang program TB tidak ada masalah dalam penyediaan obat TB. Hasil penelitian Ika (2015) menyatakan bahwa angka insiden ketidakteraturan minum obat TB menggunakan analisis repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan memperhitungkan pasien yang mengalami lebih dari sekali ketidakteraturan selama masa pengobatan. Selama pengamatan dalam periode pengobatan TB, sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat dan 72,7% puskesmas di Kota Denpasar memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 1 minggu pada fase intensif sedangkan pada fase lanjutan 63,6% puskesmas memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 2 minggu. Berdasarkan kesepakatan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar, durasi pemberian obat dilakukan setiap 1 minggu, namun beberapa puskesmas memiliki kebijakan lokal sesuai dengan kebutuhan setempat. Terkait dengan pemberian obat pada fase peralihan kepada pasien apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir

14 fase intensif sebanyak 36,4% puskesmas tetap memberikan obat fase sisipan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% memberikan obat fase lanjutan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3% tidak memberikan obat hingga hasil dahak diketahui, dan 9,1% puskesmas menyatakan tidak pernah mengalami keterlambatan tersebut. Sedangkan untuk pemberian obat apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase sisipan dan bulan kelima, semua puskesmas telah menerapkan cara yang sama yaitu dengan tetap memberikan obat fase lanjutan. OAT harus diminum teratur sesuai jadwal, terutama pada fase pengobatan intensif untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan (Supriyono, et al. 2007). Hasil penelitian di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta ada hubungan antara riwayat minum obat dengan kejadian tuberkulosis relaps. Pada tingkat kepercayaan 95% diketahui odds ratio sebesar 2,27 hal ini berarti penderita TB paru berisiko kambuh karena riwayat minum obat tidak teratur sebesar 2,27 kali dibandingkan dengan penderita yang teratur meminum obat. Penelitian yang dilakukan di India Selatan menemukan bahwa riwayat minum obat tidak teratur merupakan faktor risiko kekambuhan (Gopi, 2001). Angka insiden ketidakteraturan minum obat TB di Puskesmas Kota Denpasar menggunakan analisis repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan memperhitungkan pasien yang mengalami lebih dari sekali ketidakteraturan selama masa pengobatan dan sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat (Ika, 2015). Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui faktor risiko kepatuhan minum obat terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar.

15 7. Status konversi Luasnya lesi bakteriologis TB paru juga ditemukan terkait dengan kemungkinan kekambuhan. Tidak terjadinya konversi sputum pada akhir fase intensif dapat mengindikasikan rendahnya tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan, rendahnya kualitas OAT, penggunaan OAT dengan dosis yang tidak sesuai dengan yang diresepkan, lambatnya penyembuhan akibat luasnya kavitas dan tingginya beban bakteri TB sejak awal pengobatan, terdapatnya Mycobacterium tuberculosis yang resisten OAT dan tidak merespon terhadap pengobatan lini pertama. Kegagalan konversi dahak setelah dua bulan pengobatan TB menyebabkan penderita TB bersifat infeksius pada waktu yang lebih lama dibandingkan penderita yang mengalami konversi. Pasien yang tidak mengalami konversi sputum pada tahap pengobatan intensif, kemudian tidak juga mengalami konversi pada tahap lanjutan semakin meningkatkan risiko untuk mengalami kekambuhan dan menjadi suspektb MDR (Babalik, et al. 2012). Hasil penelitian di Korea oleh Kyung (2014) menemukan dahak yang tetap positif pada 2 bulan pengobatan merupakan faktor risiko kekambuhan tuberkulosis (OR=15,56, 95% CI 2,56-98,71, p = 0,003). Hasil penelitian yang dilakukan di Atlanta oleh The Tuberculosis Trials Consortium (2002) menemukan bahwa dahak yang tetap positif setelah 2 bulan pengobatan merupakan prediktor signifikan dari kekambuhan tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan di India Selatan oleh Gopi (2001) menemukan bahwa kegagalan konversi bukan merupakan faktor risiko kekambuhan pasien TB paru (OR=1,0, 95% CI 0,6-1,8).

16 8. Status gizi Kekurangan gizi dapat disebabkan karena asupan gizi yang tidak seimbang. Sebuah penelitian yang dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kekambuhan TB paru (Ruslantri, 2013). Umumnya orang yang berpengahasilan rendah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik. Padahal orang yang tidak dapat memenuhi gizinya dengan baik dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi demikian kalau dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian yang serius dapat menyebabkan kondisi penderita dari hari ke hari makin lemah, sehingga lebih rentan terinfeksi Mycobacterium tuberculosis kembali. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui faktor risiko status gizi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 9. Penyakit penyerta DM Adanya penyakit lain yang menyertai seperti Diabetes Mellitus (DM) dan infeksi HIV-AIDS dapat menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru (Laporan PPTI, 2012). Diabetes Mellitus dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularitas. Penyakit penyerta DM merupakan faktor risiko kekambuhan TB paru (Pedro, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruslantri (2013) bahwa penyakit penyerta tidak berhubungan dengan kekambuhan TB paru (p=0,725).

17 10. Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok dapat mengganggu kesehatan, tidak dapat dipungkiri lagi banyak penyakit yang terjadi akibat dari kebiasaan merokok. Hasil penelitian Joanna et al. (2008) menyebutkan bahwa merokok berhubungan dengan kekambuhan TB paru (OR=2,53, 95% CI 1,23-5,21, p=0,016). Penelitian yang dilakukan oleh Sianturi (2013) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru di BKPM Semarang (p=1,000). Banyak fakta yang menyatakan bahwa perilaku merokok merupakan penyebab utama penyakit paru, termasuk tuberkulosis. Pajanan terhadap tembakau, baik secara aktif maupun pasif, meningkatkan risiko timbulnya kekambuhan tuberkulosis paru. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko pajanan asap rokok terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 11. Faktor resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT TB resisten bisa terjadi akibat pengobatan TB yang tidak tepat atau tidak standar. Penelitian yang dilakukan di Vietnam oleh Quy (2000) menemukan bahwa resistensi obat primer merupakan faktor risiko untuk gagal dan kekambuhan tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan di India Selatan oleh Gopi (2001) menemukan bahwa pasien yang resistensi obat awal terhadap isoniazid dan rifampisin memiliki risiko 4 kali untuk mengalami kekambuhan tuberkulosis (OR=4,8, 95% CI 2,0-11,6). TB MDR dan polyresistance obat berkontribusi terhadap tingginya tingkat kekambuhan dan kematian setelah pengobatan berhasil.

18 12. Kontak serumah Khuram (2009) menyatakan bahwa orang yang pernah kontak dengan penderita TB paru berisiko 3,74 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru. Hasil penelitian Ruslantri (2013) bahwa tidak ada hubungan kontak serumah dengan kekambuhan TB paru (p=0,248). Berdasarkan wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi dan kondisi perumahan yang padat. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko kontak serumah terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 13. Pencahayaan Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah diharapkan dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk, sehingga jumlah kuman dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga berkurang. Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Hasil penelitian Triman (2002) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kekambuhan TB paru (p=1,000). 14. Ventilasi Standar luas ventilasi sesuai Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 adalah 10% dari luas lantai. Hasil penelitian Sutiasih (2013) menyebutkan bahwa ventilasi tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko TB paru. Hasil penelitian Triman (2002) menemukan bahwa penderita tuberkulosis yang tinggal dengan

19 ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai kemungkinan 3 kali untuk kambuh dibanding penderita yang tinggal dengan ventilasi yang memenuhi syarat OR=2,9 (95%CI: 1,25-6,98). Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan masih adanya perbedaan. Oleh karena itu menarik untuk dilihat lebih lanjut faktor risiko ventilasi terhadap kekambuhan pasien tuberkulosis paru di Kota Denpasar. 15. Kepadatan hunian rumah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan sederhana sehat minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Hasil penelitian Rusnoto et al (2005) menemukan bahwa kepadatan rumah berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983). Sebuah studi penelitian yang dilakukan oleh Gustafson (2003) menemukan bahwa kepadatan rumah merupakan faktor risiko untuk terjadinya kekambuhan tuberculosis. Hasil penelitian Ruslantri (2013) bahwa kepadatan hunian kamar tidak berhubungan dengan kekambuhan TB paru.