BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Air suling, cangkang telur ayam broiler, minyak VCO, lanolin, cera flava, vitamin E asetat, natrium lauril sulfat, seto stearil alkohol, trietanolamin (TEA), asam stearat, propilenglikol, propil paraben, metil paraben, setil alkohol, kalium hidroksida. 3.2 Alat Timbangan analitik (Toledo), ball mill (Alfred Schwinherr), ultra Ultra turax T 25 (Janke & Kunkel IKA Labortechnik), analytical Sieve Shakers, test sieves and Rack (mesh 50, 100, 125, 140, 250, 315), pengaduk propelar tipe RW 10 R, viskometer Brookfield tipe DV I, ph meter (Beckman), penangas air, alat cukur, lampu UV mineralight, mesin pengering, blender (Phillips Cucina), lemari pendingin, oven. 3.3 Hewan Percobaan 3 ekor Kelinci albino galur New Zealand dengan usia ± 3 bulan, bobot minimal 2,5 kg, dan jenis kelamin jantan. 3.4 Pemeriksaan Bahan Bakum Minyak Kelapa Murni Pemeriksaan dilakukan terhadap minyak kelapa murni yang digunakan agar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang meliputi pemeriksaan angka yodium, angka penyabunan, angka lemak bebas (sebagai asam laurat), kadar air, dan asam laurat. Pemeriksaan dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (hasil dapat dilihat pada tabel 4.1 dan 4.2). 20
21 3.5 Pengolahan Bahan Baku Serbuk Cangkang Telur Telur ayam broiler dipilih yang memiliki karakterisitik permukaan halus dan berwarna kecoklatan. Telur ayam dicuci menggunakan air biasa dan membran putih pada cangkang dibuang. Kemudian dikeringkang dan dihancurkan terlebih dahulu menggunakan blender. Hasil penghancuran blender dihaluskan dengan ball mill kemudian dihitung distribusi ukuran partikel yang terkecil. 3.6 Orientasi Formula Krim Orientasi formula krim yang dilakukan meliputi pembuatan basis krim menggunakan emulgator dengan mekanisme panyabunan menggunakan kombinasi trietanolamin asam stearat dengan perbandingan kombinasi 1 : 3 sebanyak 5 % (b/b), Na lauril sulfat setostearil alkohol dengan perbandingan kombinasi 1 : 5 dengan kadar 5 % (b/b) karena kedua kombinasi dan konsentrasi tersebut merupakan optimum dari pasangan emulgator tersebut, dan KOH asam stearat dengan lanolin. 3.7 Pembuatan Sediaan Krim Basis krim dibuat dengan cara memanaskan masing-masing fase minyak dan fase air di atas tangas air hingga suhu 70 C. Fase minyak terdiri dari VCO, setil alkohol, lanolin, asam stearat, cera flava, dan vitamin E asetat. Fase air terdiri dari aqua destilata, KOH, propilen glikol, metil paraben dan propil paraben. Setelah masing-masing fase telah mencapai suhu 70 C, kedua fase tersebut dicampur dan diaduk dalam kedaan panas dengan menggunakan alat pengaduk Ultra Turax dengan kecepatan 8000 rpm selama 30 menit. Penambahan masingmasing serbuk cangkang telur sebanyak 5 % dan 10 % dari bobot total krim ke dalam basis krim dilakukan pada saat basis krim mencapai suhu 50 C dan tetap disertai pengadukan dengan menggunakan alat pengaduk Ultra Turax dengan kecepatan 8000 rpm selama 30 menit
22 3.8 Evaluasi Sediaan Krim Evaluasi sediaan krim meliputi pengamatan organoleptik, tipe emulsi, kestabilan fisik dengan sentrifugasi dan metode Freeze Thaw, homogenitas, ph dan viskositas. 3.8.1 Pengamatan Organoleptik Pengamatan organoleptik terhadap sediaan krim tabir surya dilakukan selama masa penelitian meliputi bau, warna, dan pertumbuhan jamur. 3.8.2 Tipe Emulsi Tipe emulsi dievaluasi dengan mengoleskan sediaan krim di atas kaca objek dan kemudian ditambah larutan biru metilen dalam air dan kemudian diamati di bawah mikroskop. Tipe emulsi merupakan minyak dalam air apabila fase air tewarnai oleh metilen biru. 3.8.3 Kestabilan Fisik Uji stabilitas fisik sediaan krim dilakukan dengan metode sentrifugasi dan metode Freeze Thaw. a. Uji Pemisahan Fase dengan Metode sentrifuga Sebanyak 2 gram krim dimasukkan ke dalam tabung sentrifuga, lalu disentrifuga dengan kecepatan 3750 rpm selama 5 jam dengan interval waktu pengamatan setiap 1 jam. Diamati pemisahan fase minyak dan fase air yang terjadi dalam setiap interval waktu pengamatan (Lachman, 1990) b. Uji Pemisahan Fase dengan Metode Freeze Thaw Sediaan krim untuk masing-masing formula ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam 14 vial dan ditutup rapat. 2 vial akan digunakan sebagai kontrol yang disimpan pada suhu 25 C, 12 vial akan digunakan untuk siklus Freeze Thaw dengan penyimpanan suhu 4 C pada 48 jam pertama dan suhu 40 C pada 48 jam berikutnya. Setelah 48 jam pertama dengan penyimpanan 4 C, sebanyak 2 vial diambil dan dioleskan sedikit pada kaca objek untuk diamati ukuran globul dari sejumlah 50 globul di bawah mikroskop. Sediaan krim dalam vial tersebut selanjutnya disimpan pada suhu 40 C selama 48 jam. Setelah 48 jam, sebanyak 2 vial
23 yang sama diambil dan dioleskan sedikit pada kaca objek untuk diamati ukuran globul dari sejumlah 50 globul di bawah mikroskop. Siklus Freeze Thaw terdiri dari satu rentang waktu penyimpanan pada suhu 4 C dan satu rentang waktu penyimpanan pada 40 C, dilanjutkan selama sediaan masih baik secara fisik. Diameter 50 globul setelah setiap penyimpanan diukur menggunakan mikrometer. Hasil pengukuran diameter globul diolah secara statistik. (Lachman, 1990). 3.8.4 Homogenitas Sediaan Sediaan dioleskan tipis-tipis pada permukaan kaca objek kemudian diamati homogenitas sediaan di bawah mikroskop. Untuk mendapat permukaan yang homogen dilakukan dengan menggeser sejumlah sediaan dari ujung satu sampai yang lainnya dengan menggunakan bantuan kaca objek yang lain. 3.8.5 Pengukuran ph Sediaan Akhir Sediaan yang memiliki kestabilan fisik yang baik diukur ph-nya dengan ph meter Beckman dan kertas ph universal untuk krim dengan tipe emulsi air dalam minyak (a/m) setiap tiga hari sekali. 3.8.6 Pengukuran Viskositas Sediaan diukur viskositasnya menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 28 dan kecepatan 0,5 rpm. Pengukuran viskositas dilakukan setiap tiga hari sekali. 3.9 Uji Aktivitas Pelindung Surya Secara In vivo Sumber UV B yang digunakan adalah lampu UV Mineralight dengan panjang gelombang 180 300 nm. prinsip Penentuan faktor tabir surya secara in vivo dilakukan pada kelinci galur New Zealand. Nilai faktor tabir surya merupakan perbandingan nilai Minimal Erythema Dose (MED) yang diperoleh setelah diberi krim tabir surya terhadap nilai MED tanpa krim tabir surya. Penelitian ini diawali dengan orientasi nilai Minimal Eythema Dose (MED). Setelah diperoleh nilai MED, dilakukan uji aktivitas tabir surya. Pada setiap tahap, kelinci yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari bulu dan ditandai seluas 2 x 2 cm 2. Sembilan puluh menit sebelum radiasi ultraviolet, kelinci disensitisasi dengan 8-metoksi psoralen (dosis
24 10 mg/kg bb) peroral untuk mempersingkat waktu munculnya eritema. Dua puluh empat jam kemudian, diamati timbulnya eritema pada daerah yang disinari (Lowe, 1990). 3.9.2 Uji Aktivitas Tabir Surya Krim Aktivitas tabir surya krim yang mengandung serbuk cangkang telur ditentukan dengan meradiasikan ultraviolet pada punggung kelinci yang telah diberi krim tabir surya sebanyak 2,0 µl/cm 2 30 menit sebelum penyinaran dengan tingkat energi mulai dari nilai MED tanpa krim tabir surya. Dua puluh empat jam kemudian, diamati timbulnya eritema pada daerah yang disinari dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dipapari oleh sinar ultraviolet. Dua puluh empat jam kemudian dilakukan penyinaran dengan meningkatkan energi penyinaran sebesar 25% dari sebelumnya sampai terjadi eritema. Tingkat energi yang dapat menimbulkan eritema pada kulit dibandingkan dengan nilai MED menunjukkan nilai faktor pelindung surya dari krim.