BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal-hal yang tidak terduga seperti kecelakaan, bencana alam, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Luthans (2005) dalam bukunya Organizational Behaviour mengutip pendapat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB II LANDASAN TEORI. Crites (dalam Brown, 2002) mendefinisikan kematangan karir sebagai tingkat di mana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. kondisi perekonomian yang cukup sulit bagi sebagian lapisan masyarakat mendorong mahasiswa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

BAB I PENDAHULUAN. norma-norma yang berlaku. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana secara etis,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. manajemen, dan sumber daya manusia (SDM). Untuk memenuhi hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia

BAB II TINJAUAN TEORI

2

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas X di

TINGKAT ADVERSITAS SISWA KMS (KARTU MENUJU SEJAHTERA) DI SMA NEGERI SE-KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BABI PENDAHULUAN. Pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) berhubungan erat

BAB I PENDAHULUAN. semua tingkatan manajemen di perusahaan. Bagaimanapun majunya. berhasil atau tidaknya suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. daya sekolah untuk dapat menjalankan tugas secara profesional.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. II. PEMBELAJARAN PENGAYAAN A. Pembelajaran Menurut SNP... B. Hakikat Pembelajaran Pengayaan... C. Jenis Pembelajaran Pengayaan...

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. Guru merupakan

Sikap Mental Wirausaha (Inovatif, Kreatifitas, Motivasi, Efektif dan Efisien) Kuliah 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:43) analisis merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

BAHAN AJAR (MINGGU KE 1) MATA KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN FISIKA STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang dapat ditempuh untuk mengembangkan. dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan sarat perkembangan. Perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru di Madrasah Aliyah Al-Mursyid Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa

Nur Asyah Harahap 1) dan Ria Jumaina 2) Dosen FKIP UMN Al Washliyah dan 2) Mahasiswa FKIP UMN Al Washliyah. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam

BAB II TINJAUAN TEORITIS. berkaitan dengan kecerdasan ganda (multipe intelligences). Gardner, menyatakan bahwa IQ tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang dimulai dari usia

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia per 31 Desember 2010 (KPK, 2010). Sumber lain menyebutkan jika

BAB II LANDASAN TEORI. Adversity quotient atau bisa disingkat AQ, dikembangkan. menyerah. Faktor itu disebut adversity quotient (Stoltz, 2000:16).

STAYING TRUE TO YOUR MORAL COMPASS

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang sebagai usaha mencerdaskan manusia melalui kegiatan. manusia dewasa, mandiri dan bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya krisis perekonomian di Indonesia yang berdampak sangat luas,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia dalam. mengoptimalkan dan memaksimalkan perkembangan seluruh dimensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

I. PENDAHULUAN. ataupun tidaknya suatu pendidikan pada bangsa tersebut. Oleh karena itu, saat ini

PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME

BAB IV ANALISIS KUALITAS SOFT SKILL MAHASISWA PRODI EKONOMI SYARI AH DALAM KESIAPANNYA MENGHADAPI DUNIA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. malu, benci, dan ketakberdayaan pada realitas hidup. Stres bisa menyerang siapa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

HIiII,[ E=I ; E. 2 el'v't. ffi' o=, .az. z a. ;r9. a 2=a g, 3. o. -o. 3r c6 3E. =o =! ,-r. -tr. -t' {,E. OrE. leq. EE f- a I. F-(l -- =E. -.

BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat

Keterkaitan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja SDM

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi hambatan maupun tantangan yang dihadapi dan tentunya pantang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 Tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pendidikan merupakan dasar dalam memajukan suatu negara. Majunya suatu negara tercermin dari pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang diprioritaskan, dalam pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

AAT SRIATI UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JATINAGOR

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang berbasis eksport melakukan PHK ataupun merumahkan

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Adversitas 1. Pengertian Kecerdasan Adversitas Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini merupakan terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Stoltz (2000), mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang individu dalam pekerjaan maupun kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas, dimana kecerdasan adversitas dapat memberitahukan: (1) seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; (2) siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; (3) siapa yang akan melampaui harapan harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal; dan (4) siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan. Kecerdasan adversitas mempunyai tiga bentuk. Pertama, kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru dalam memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Melalui riset-riset yang telah dilakukan kecerdasan adversitas menawarkan suatu pengetahuan baru dan praktis dalam merumuskan apa saja yang diperlukan dalam meraih keberhasilan. Kedua, kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Melalui kecerdasan adversitas pola-pola respon terhadap kesulitan tersebut untuk pertama kalinya dapat diukur, dipahami dan diubah. Ketiga, kecerdasan adversitas merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan (Stoltz, 2000).

Menurut Stoltz (2000), kecerdasan adversitas adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Kecerdasan adversitas mempengaruhi pengetahuan, kreativitas, produktivitas, kinerja, usia, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, energi, vitalitas, stamina, kesehatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan yang dihadapi. Beberapa ahli lain menyebut istilah kecerdasan adversitas dengan resilience. Resilience yang berasal dari bahasa latin yaitu resilire (melompat atau mundur) adalah konsep yang berhubungan dengan adaptasi positif dalam menghadapi tantangan. Dalam ilmu perkembangan manusia, resilience memiliki makna yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas sehari hari. Dan yg paling utama, resilience itu berarti pola adaptasi yang positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz, 2006). Menurut Jackson (2002) resilience adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Menurut Papalia & Olds (1998) resilience adalah sikap ulet dan tahan banting yang dimiliki seseorang ketika dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Berdasarkan uraian dan defenisi beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adversitas adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi suatu kesulitan, dengan karakteristik mampu mengontrol situasi sulit, menganggap sumber sumber kesulitan berasal dari luar diri, memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit, mampu membatasi pengaruh situasi sulit dalam aspek kehidupannya, dan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit.

2. Dimensi-dimensi Kecerdasan Adversitas Menurut Stoltz (2008), kecerdasan adversitas memiliki empat dimensi yang biasa disingkat dengan CO2RE yaitu: a. Control (C) Dimensi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak atau seberapa besar kontrol yang dirasakan oleh individu terhadap suatu peristiwa yang sulit. Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang dirasakan individu terhadap situasi yang sulit. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversitas yang tinggi merasa bahwa mereka memiliki kontrol dan pengaruh yang baik pada situasi yang sulit bahkan dalam situasi yang sangat di luar kendali. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control akan berpikir bahwa pasti ada yang bisa dilakukan, selalu ada cara menghadapi kesulitan dan tidak merasa putus asa saat berada dalam situasi sulit. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah, merespon situasi sulit seolah olah mereka hanya memiliki sedikit bahkan tidak memiliki control, tidak bisa melakukan apa - apa dan biasanya mereka menyerah dalam menghadapi situasi sulit. b. Origin dan Ownership (O2) Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu apa atau siapa yang menjadi penyebab dari suatu kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mampu menghadapi akibat akibat yang ditimbulkan oleh situasi sulit tersebut. Origin Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan. Dimensi ini berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah, cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu satunya

penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut. Selain itu, individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah juga cenderung untuk menyalahkan diri sendiri. Individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi origin cenderung berpikir bahwa ia telah melakukan kesalahan, tidak mampu, kurang memiliki pengetahuan, dan merupakan orang yang gagal. Sedangkan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi menganggap sumber sumber kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang memiliki tingkat origin yang lebih tinggi akan berpikir bahwa ia merasa saat ini bukan waktu yang tepat, setiap orang akan mengalami masa masa yang sulit, atau tidak ada yang dapat menduga datangnya kesulitan. Ownership Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu bersedia mengakui akibat akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit. Mengakui akibat akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit mencerminkan sikap tanggung jawab (ownership). Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi mampu bertanggung jawab dan menghadapi situasi sulit tanpa menghiraukan penyebabnya serta tidak akan menyalahkan orang lain. Rasa tanggung jawab yang dimiliki menjadikan individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi untuk bertindak dan membuat mereka jauh lebih berdaya daripada individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi lebih unggul daripada individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan. Sementara individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah, menolak untuk bertanggung jawab, tidak mau mengakui akibat akibat dari suatu kesulitan dan lebih sering merasa menjadi korban serta merasa putus asa.

c. Reach (R) Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversitas yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan mempengaruhi bagian atau sisi lain dari kehidupan individu. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memperhatikan kegagalan dan tantangan yang mereka alami, tidak membiarkannya mempengaruhi keadaan pekerjaan dan kehidupan mereka. Indvividu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah membiarkan kegagalan mempengaruhi area atau sisi lain dalam kehidupan dan merusaknya. d. Endurance (E) Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan berapa lama suatu situasi sulit akan berlangsung. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah merasa bahwa suatu situasi yang sulit akan terjadinya selamanya. Individu yang memiliki respon yang rendah pada dimensi ini akan memandang kesulitan sebagai peristiwa yang berlangsung terus menerus dan menganggap peristiwa peristiwa positif sebagai sesuatu yang berssifat sementara. Sementara individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan dan optimis. 3. Tipe tipe Individu Stoltz (2000) menjelaskan teori kecerdasan adversitas dengan menggambarkan konsep pendakian gunung, yaitu menggerakkan tujuan hidup ke depan, apapun tujuannya. Terkait dengan pendakian, ada tiga tipe individu, yaitu: 1. Individu yang berhenti (quitters) Individu yang berhenti (quitters) adalah individu yang menghentikan pendakian, memilih keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka meninggalkan dorongan untuk

mendaki, dan kehilangan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters dalam bekerja memperlihatkan sedikit ambisi, motivasi yang rendah dan mutu dibawah standar. Mereka mengambil resiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali pada saat harus menghindari tantangan yang besar. 2. Individu yang berkemah (campers) Menurut Stoltz (2000), individu yang memiliki kecerdasan adversitas sedang (campers) merupakan individu yang mulai mendaki, namun karena bosan, individu tersebut mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat yang rata dan nyaman sebagi tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. Campers dengan penuh perhitungan melakukan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan resiko yang tidak terlalu sulit, tetapi biasanya dengan memilih jalan yang relatif aman. Mereka merasa puas dengan mencukupi dirinya dan tidak mau mengembangkan diri. Campers merasa cukup dengan apa yang sudah ada, dan mengorbankan kesempatan untuk melihat atau mengalami suatu kemajuan, tidak mau mengembangkan diri, dan tidak merasa bersalah untuk berhenti berusaha. Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka yaitu makanan, air, rasa aman, tempat berteduh, bahkan rasa memiliki. Akibatnya, campers menjadi sangat termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan mencari rasa aman dari perkemahan mereka yang kecil dan aman (Stoltz, 2000). Dalam dunia kerja, campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apapun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Kebanyakan campers tidak akan mengambil resiko sehubungan dengan kinerja mereka. Mereka juga cenderung tidak menggunakan seluruh

kemampuannya (Stoltz, 2000). Campers bisa melakukan pekerjaan yang menuntut kreativitas dan mengambil resiko dengan penuh perhitungan, tetapi biasanya mereka mengambil jalan yang aman. Kreativitas dan kesediaan mengambil resiko hanya dilakukan pada bidang bidang yang ancamannya kecil sekali. Semakin lama seseorang menjadi campers, lama kelamaan mereka akan kehilangan kemampuan untuk terus maju, kehilangan keunggulannya dan menjadi semakin lamban dan lemah, serta kinerjanya semakin merosot (Stoltz, 2000). 3. Individu yang mendaki (climbers) Climbers atau si pendaki adalah sebutan bagi individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi. Menurut Stoltz (2000), mereka ini adalah individu yang seumur hidupnya melakukan pendakian, tanpa memperhitungkan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalanginya. Climbers menjalani hidupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan bisa merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya, dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Karena tahu bahwa mencapai puncak itu tidak mudah, maka climbers tidak pernah melupakan kekuatan dari perjalanan yang pernah ditempuhnya (Stoltz, 2000). Climbers tahu bahwa banyak imbalan datang dalam bentuk manfaat-manfaat jangka panjang dan langkah-langkah sekarang akan membawanya pada kemajuan dikemudian hari. Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang ada. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat mereka

bertahan saat menghadapi situasi yang sulit. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh (Stoltz, 2000). Climbers sangat gigih, ulet dan tabah. Mereka terus bekerja keras. Saat mereka menemui jalan buntu, mereka akan mencari jalan lain. Saat merasa lelah mereka akan melakukan introspeksi diri dan terus bertahan. Mereka memiliki kematangan dan kebijaksanaan untuk memahami bahwa kadang-kadang manusia perlu mundur sejenak supaya dapat bergerak maju lagi. Climbers menempuh kesulitan hidup dengan keberanian dan disiplin (Stoltz, 2000). Climbers menyambut baik tantangan-tantangan yang datang, dan mereka hidup dengan pemahaman bahwa ada hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup (Stoltz, 2000). Climbers bekerja dengan visi dan penuh inspirasi. Climbers menyambut baik perubahan yang positif. Tantangan yang ditawarkan oleh perubahan membuat mereka berkembang pesat. Mereka juga menyambut baik kesempatan untuk bergerak maju dan bergerak ke atas dalam setiap usaha (Stoltz, 2000). Climbers sering memberikan kontribusi yang paling banyak dalam suatu hal. Climbers mewujudkan potensi mereka, yang berkembang sepanjang hidup. Climbers memperbesar kemampuannya dalam memberikan kontribusi dengan belajar dan memperbaiki diri seumur hidup. Climbers bersedia mengambil resiko, menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut, mempertahankan visi, memimpin, dan bekerja keras sampai pekerjaannya selesai (Stoltz, 2000).

Tipe tipe individu di atas menjelaskan cara tiap - tiap orang merespon situasi sulit untuk menuju kesuksesan. Dimana tipe tipe individu tersebut dapat berubah dari tipe yang satu ke yang lainnya sesuai dengan kemampuan beradaptasi individu. 4. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas Stoltz (2000) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan adversitas antara lain: 1. Bakat Bakat adalah suatu kondisi pada diri seseorang yang dengan suatu latihan khusus memungkinkannya mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus. Bakat menggambarkan penggabungan antara keterampilan, kompetensi, pengalaman dan pengetahuan yakni apa yang diketahui dan mampu dikerjakan oleh seorang individu. 2. Kemauan Kemauan menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat yang menyala nyala. Seorang individu tidak akan menjadi hebat dalam bidang apapun tanpa memiliki kemauan untuk menjadi individu yang hebat. 3. Kecerdasan Menurut Gardner (dalam Stoltz, 2000) terdapat tujuh bentuk kecerdasan, yaitu linguistik, kinestetik, spasial, logika matematika, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Individu memiliki semua bentuk kecerdasan sampai tahap tertentu dan beberapa di antaranya ada yang lebih dominan. Kecerdasan yang lebih dominan mempengaruhi karir yang dikejar oleh seorang individu, pelajaran pelajaran yang dipilih, dan hobi.

4. Kesehatan Kesehatan emosi dan fisik juga mempengaruhi individu dalam mencapai kesuksesan. Jika seorang individu sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian dari proses pencapaian kesuksesan. Emosi dan fisik yang sehat sangat membantu dalam pencapaian kesuksesan. 5. Karakteristik kepribadian Karakteristik kepribadian seorang individu seperti kejujuran, keadilan, ketulusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan merupakan sejumlah karakter penting dalam mencapai kesuksesan. 6. Genetika Meskipun warisan genetis tidak menentukan nasib, namun faktor ini juga mempengaruhi kesuksesan individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mendasari perilaku dalam diri individu. 7. Pendidikan Pendidikan mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan individu. 8. Keyakinan Keyakinan merupakan hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup individu. Menurut Benson (dalam Stoltz, 2000) berdoa akan mempengaruhi epinefrin dan hormone kortikosteroid pemicu stress, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernafasan lebih santai. Keyakinan merupakan ciri umum yang dimiliki oleh sebagian orang orang sukses karena iman merupakan faktor yang sangat penting dalam harapan, tindakan moralitas, kontribusi, dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita. Semua faktor yang telah disebutkan di atas merupakan hal-hal yang dibutuhkan untuk tetap bertahan dalam situasi yang sulit agar mencapai kesuksesan.

Menurut Anthony dkk (dalam Papalia dkk, 1998) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan indvidu untuk dapat berhasil beradaptasi meskipun dihadapkan pada keadaan yang sulit, yaitu: 1. kepribadian Remaja yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit adalah remaja yang adaptable. Mereka berusaha untuk melihat suatu masalah dari berbagai sisi. Mereka ramah, mandiri, dan sensitif. Mereka merasa kompeten, memiliki harga diri yang tinggi, dan cenderung menjadi siswa yang baik. 2. keluarga Remaja yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit memiliki hubungan yang baik dengan salah satu atau kedua orangtua yang mendukungnya. Jika tidak, mereka biasanya dekat dengan orang dewasa lain yang mereka percayai. 3. kemampuan untuk belajar dari pengalaman (learning experience) Remaja yang mampu beradaptasi dengan keadaan sulit berpengalaman dalam memecahkan masalah masalah sosial. Mereka belajar dari orang tua, saudara yang lebih tua, atau orang lain yang berhasil mengatasi frustasi dan membuat situasi yang terbaik dari hal buruk. Mereka menghadapi perubahan yang terjadi pada diri mereka, mencari solusi, dan belajar bahwa mereka memiliki keahlian untuk mengendalikan semua hal - hal buruk yang menimpa mereka. Dacey & Kenny (1997) juga menambahkan bahwa kemampuan remaja utk beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang selalu memberikan dukungan pada remaja dapat memberikan perasaan hangat pada diri remaja tersebut. Perasaan hangat merupakan salah satu faktor pelindung bagi remaja untuk menghadapi hal - hal beresiko dalam kehidupan remaja. Orang tua remaja yang dapat beradaptasi dengan keadaan sulit akan

menggabungkan dukungan, pengertian dan pengawasan serta disiplin yang konsisten pada aktivitas anak anak. Faktor kedua yang mempengaruhi kemampuan remaja untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan pada situasi sulit adalah jaringan sosial. Masyarakat yang memberikan dukungan penuh pada remaja akan membuat remaja percaya pada kemampuannya dalam mengatasi masalah. Dan faktor ketiga adalah karakteristik kepribadian. B. Siswa Sekolah Bertaraf Internasional 1. Siswa Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, siswa adalah istilah bagi peserta didik atau murid pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. 2. Sekolah Bertaraf Internasional Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, Sekolah Bertaraf Internasional yang disingkat dengan SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Adaptasi standar pendidikan ini juga dapat dilakukan dari negara maju lainnya yang memunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, dan lulusannya memiliki

kemampuan daya saing internasional. Adapun Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang harus dipenuhi oleh suatu sekolah untuk dapat dijadikan sebagai SBI adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun yang termasuk dalam ruang lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: 1. standar isi yaitu ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu 2. standar proses adalah Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan 3. standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan 4. standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan 5. standar sarana dan prasarana adalah Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi 6. standar pengelolaan adalah Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan

7. standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun; dan yang terakhir 8. standar penilaian pendidikan adalah Standar Nasional Pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik (Tilaar, 2006). 3. Siswa Sekolah Bertaraf Internasional Dari pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa Sekolah Bertaraf Internasional adalah murid atau pelajar di Sekolah Bertaraf Internasional yaitu sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau negara maju lainnya. C. Gambaran Kecerdasan Adversitas Siswa Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri 1 Sidikalang Kelas X Siswa Sekolah Bertaraf Internasional memiliki tuntutan akademik yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa lain yang masih menggunakan kurikulum yang lama. Siswa SBI dituntut untuk mampu menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi dibandingkan siswa lain pada sekolah reguler lainnya (Haryana, 2009). Dalam proses belajar mengajar, siswa SBI menggunakan buku bahasa Inggris terutama untuk mata pelajaran science, menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi antara guru dengan siswa pada awal pelajaran, serta standar kelulusan nilai setiap mata pelajaran di atas angka 8. Dengan konsep pembelajaran yang berbeda dibandingkan sekolah reguler, diharapkan siswa SBI harus mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya menunjukkan prestasi akademik yang

lebih tinggi. Dalam proses mencapai kesuksesan akademik, seorang individu tidak cukup hanya memiliki IQ yang tinggi. Stoltz (2000) menyatakan bahwa IQ berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam kondisi dan situasi yang normal, namun tidak terlalu berperan pada situasi yang sulit. Sehingga untuk meraih kesuksesan dapat dijawab dengan kerangka berpikir yang disebutnya dengan kecerdasan adversitas (kecerdasan menghadapi tantangan). Saat ini kecerdasan adversitas telah mendasari semua segi kehidupan. Kecerdasan adversitas ini dapat diartikan sebagai kemampuan siap menghadapi tantangan dan problema hidup, berupa motivasi, dorongan dari dalam diri serta sikap pantang menyerah. Kecerdasan adversitas adalah kemampuan yang dimiliki individu dalam mengatasi situasi sulit. Kecerdasan adversitas merupakan sebuah bentuk kemampuan yang memberikan ketahanan terhadap stres (daya resiliensi) tinggi, kemampuan merespon stres (coping mechanism) yang baik serta membangkitkan kemauan dan kemampuan untuk mencapai puncak prestasi (Stoltz, 2000). Kecerdasan adversitas ini harusnya dimiliki oleh siswa di Sekolah Bertaraf Internasional untuk mencapai kesuksesan akademik. Meskipun tugas siswa SBI banyak serta sistem pembelajaran di SBI menuntut siswa untuk lebih proaktif dalam proses belajar agar mampu mengimbangi tuntutan akademik yang tinggi namun jika siswa SBI memiliki kecerdasan adversitas tinggi mereka dapat mencapai prestasi akademik seperti yang diharapkan. Tee & Crawford (2000) menyatakan bahwa memiliki kecerdasan adversitas tinggi merupakan suatu modal untuk meningkatkan energi, motivasi, vitalitas dan performansi dalam dunia sekolah. Selain itu, Stoltz (2000) juga menyatakan bahwa kecerdasan adversitas dapat mempengaruhi tingkat kinerja individu dalam berusaha. Kecerdasan adversitas juga dapat membantu individu mencapai kesuksesan di mana saja termasuk dalam bidang akademik.

Untuk dapat mencapai kesuksesan dalam bidang akademik juga diperlukan kemampuan siswa untuk bersikap positif, fokus terhadap masa depan, dan memiliki motivasi utk sukses (Olson, 2008). Selain itu, sifat optimis juga turut mendukung keberhasilan dalam bidang akademik seperti yang dinyatakan oleh Dwek (dalam Stoltz, 2000) bahwa pelajar yang optimis akan mengungguli pelajar yang pesimis. Sifat optimis dalam diri individu, menunjukkan usaha dan ketekunan serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi tugas yang sulit merujuk pada kemampuan individu dalam menghadapi kondisi yang sulit. Dengan kata lain, siswa SBI harus memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi tututan akademik yang tinggi di SBI. Selain memiliki daya tahan yang baik dalam situasi yang sulit, individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi juga mampu mengontrol situasi sulit yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi merasa memiliki kendali atas apa yang terjadi dan percaya bahwa ia mampu melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi yang sulit. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi menganggap sumber sumber kesulitan berasal dari luar diri mereka, memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit, serta tidak membiarkan situasi sulit mempengaruhi aspek kehidupan yang lainnya. Jika siswa SBI memiliki ciri ciri ini, maka siswa SBI akan memperoleh prestasi akademik yang baik. Inc (dalam Lazaro, 2004) mengungkapkan bahwa kecerdasan adversitas berkorelasi positif dengan performansi. Kecerdasan adversitas juga merupakan sebuah prediktor performansi individu. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi lebih baik performansinya dibandingkan dengan individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah. Stoltz (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi kecerdasan adversitas seseorang, semakin baik performansinya dan individu tersebut juga mampu mempertahankan performansinya. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas yang tinggi mampu mengatasi tantangan. Sementara semakin rendah kecerdasan adversitas

seseorang, maka individu tersebut tidak akan dapat memaksimalkan potensinya. Hasil penelitian Lazaro (2004) juga menunjukkan bahwa kecerdasan adversitas memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat performansi seseorang. Stoltz (dalam Tee & Crawford, 2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan adversitas dengan kesuksesan akademik. Jika siswa berusaha untuk mengatasi masalah akademik dan melakukan hal yang positif untuk menyelesaikannya dengan sebuah rencana yang terstruktur maka siswa dapat meningkatkan harga diri, motivasi untuk mengerjakan tugas, dan kemampuan untuk sukses dalam prestasi akademik. Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka penulis merasa perlu mengadakan penelitian untuk mengetahui bagaimanakah gambaran kecerdasan adversitas pada siswa Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri 1 Sidikalang kelas X.