BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu 1. Wheny Margaretta (2006), berjudul: Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Iklim Komunikasi Organisasi dalam Ray White Real Estate Di Surabaya. Dengan hasil penelitian sebagai berikut: gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap iklim komunikasi organisasi sebesar 42,3%. Artinya bahwa iklim komunikasi organisasi dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan hanya sebesar 42,3% sedangkan sisanya sebesar 57,7% dipengaruhi oleh faktor lain. 2. Sri Sulistiani (1998), berjudul: Peran Gaya Kepemimpinan terhadap Iklim Komunikasi (Kasus Pada Suatu Lembaga Penelitian). Dengan hasil penelitian sebagai berikut: Gaya kepemimpinan berpengaruh pada iklim komunikasi baik itu suportif atau defensif, dan pada akhirnya mempengaruhi pula motivasi kerja anggota-anggota organisasi tersebut. 3. Yugih Setyanto (2004), berjudul: Gaya Kepemimpinan dan Iklim Komunikasi di Departemen Pertahanan. Dengan hasil penelitian sebagai berikut: Gaya kepemimpinan di Dephan cenderung bersifat otoriter dan cara komunikasi yang dipakai adalah directing (instruksi). Komunikasi yang terjadi pun hingga saat ini cenderung mengarah kepada komunikasi satu arah.
B. Kepemimpinan Kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain (Effendi, 1986: 3). Tujuan kepemimpinan adalah membantu orang untuk menegakkan kembali, mempertahankan dan meningkatkan motivasi mereka. Jadi, pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Kepemimpinan diwujudkan melalui gaya kerja atau cara bekerja sama dengan orang lain yang konsisten. Melalui apa yang dikatakannya (bahasa) dan apa yang diperbuatnya (tindakan), seseorang membantu orang-orang lainnya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Cara seseorang berbicara kepada yang lainnya dan cara seseorang bersikap di depan orang lain merupakan suatu gaya kerja. Pendekatan-pendekatan tersebut meliputi: Memberitahu (Telling), Mempromosikan (Selling), Berpartisipasi (Participating), Mewakilkan (Delegating) (Mulyana, 2005: 279 & 284-287) Teori-Teori Kepemimpinan (Mulyana, 2005: 279 & 284-287): 1. Teori Kisi Kepemimpinan (Blake dan Mouton) Kisi ini menggambarkan bagaimana perhatian pemimpin pada tugas dan pada manusia berkelindan sehinggan menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan. Lima jenis gaya kepemimpinan yang dikemukakan model kisi: 1) Gaya ini ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap produksi. Pemimpin yang lemah cenderung menerima keputusan orang lain, menyetujui pendapat, sikap, dan gagasan-gagasan orang lain, seta menghindari sikap
memihak. Bila terjadi konflik, pemimpin pengalah jarang terlibat. Pemimpin pengalah hanya berusaha sedikit untuk mengatasi keadaan. 2) Gaya pemimpin pertengahan Gaya ini ditandai oleh perhatian yang seimbang terhadap produksi dan manusia. Pemimpin jenis ini mencari cara-cara yang dapat berguna, meskipun mungkin tidak sempurna, untuk memecahkan masalah. Bila ada pendapat, gagasan, dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, pemimpin gaya pertengahan berusaha untuk jujur tetapi tegas dan mencari pemecahan yang tidak memihak. Bila mendapat tekanan, pemimpin gaya pertengahan mungkin saja menjadi bimbang dan mencari jalan untuk menghindari ketegangan. Pemimpin seperti ini akan berusaha untuk mempertahankan keadaan tetap baik. 3) Gaya tim Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Pemimpin tim amat menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan kesepakatan anggota organisasi. Pemimpin tim mendengarkan dan mencari gagasan, pendapat dan sikap yang berbeda dari yang dianutnya. 4) Gaya santai Gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap tugas dan perhatian yang tinggi terhadap manusia. Pemimpin gaya santai selalu bersikap hangat dan ramah untuk mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh adanya gangguan. Pemimpin seperti ini lebih banyak bersikap menolong daripada memimpin.
5) Gaya kerja Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan kerja tetapi amat kurang memperhatikan manusianya. Pemimpin gaya kerja amat menghargai keputusan yang telah dibuat. Pemimpin gaya kerja adalah orang yang perhatian utamanya adalah melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan secara efisien. 2. Teori 3-D Reddin (1967) membuat teori berdasarkan pada kisi tugas manusia yang dikemukakan Blake dan Mouton dengan menambahkan dimensi ketiga, yaitu efektivitas. Kisi 3-D menghasilkan delapan gaya kepemimpinan, empat gaya termasuk kurang efektif dan empat gaya lainnya dinilai lebihefektif. Empat gaya kepemimpinan Lebih Efektif. 1) Eksekutif Tugas berat, hubngan kuat, muncul sebagai motivator yang baik, yang memperlakukan setiap orang dengan cara tersendiri dan lebih suka melakukan manajemen tim. 2) Otokrat Lunak Tugas berat, hubungan lemah, tampaknya mengetahui apa yang diinginkannya dan tahu cara memperolehnya tanpa menimbulkan ketidaksenangan. 3) Pengembang Tugas ringan, hubungan kuat, tampaknya mempercayai orang lain secara terselubung dan menaruh perhatian utama pada pengembangan hubungan yang selaras.
4) Birokrat Tugas ringan, hubungan lemah, tampaknya menaruh perhatian pada aturan-aturan dan prosedur demi kepentingan mereka sendiri, dan karena ingin menjaga serta mengawasi situasi dengan menggunakan aturan dan prosedur itu, mereka sering terlihat amat berhati-hati. Empat gaya kepemimpinan Kurang Efektif: 1) Pencari Kompromi Tugas berat, hubungan kuat, meskipun hanya ada satu atau mungkin tidak satu pun yang sesuai, muncul sebagai pembuat keputusan yang buruk dan membiarkan tekanan amat mempengaruhinya, tampaknya lebih suka meminimalkan tekanan dan masalah daripada memaksimalkan produksi jangka panjang. 2) Otokrat Tugas berat, hubungan lemah ketika perilaku seperti ini tidak sesuai, tampaknya tidak mempunyai kepercayaan kepada orang lain, hanya tertarik pada tugas-tugas langsung. 3) Pembawa Misi Tugas ringan, hubungan kuat ketika perilaku seperti ini tidak sesuai, tampaknya lebih tertarik kepada manusia sebagai pribadi. 4) Penyendiri Tugas ringan, hubungan lemah ketika perilaku seperti ini tidak sesuai, tampak seperti tidak terlibat dan pasif.
3. Teori Kepemimpinan Situasional Empat gaya Kepemimpinan Situasional: 1) Memberitahu (telling) Gaya ini ditandai oleh komunikasi satu arah; dalam hal ini memimpin menentukan peranan anak buah dan memberitahu apa, dimana, kapan, dan bagaimana cara mengerjakan berbagai macam tugas. 2) Mempromosikan (selling) Gaya ini ditandai oleh usaha melalui komunikasi dua arah, meskipun hampir semua pengaturan dilakukan oleh pemimpin. Pemimpin juga menyediakan dukungan sosioemosional supaya anak-buah turut bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan. 3) Berpartisipasi (participating) Gaya ini ditandai oleh kepemimpinan dan anak-buah yang bersama-sama terlibat dalam pembuatan keputusan melalui komunikasi dua arah yang sebenarnya. Pemimpin lebih banyak terlibat dalam pemberian kemudahan karena anak-buahnya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menyelesaikan tugasnya. 4) Mewakilkan (delegating) Gaya ini ditandai oleh pemimpin yang membiarkan anak-buahnya bertanggung jawab atas keputusan-keputusan mereka. Pemimpin mewakilkan keputusan kepada anak-buahnya karena mereka mempunyai tingkat kesiapan yang tinggi, bersedia serta mampu bertanggung jawab untuk mengatur perilaku mereka sendiri.
4. Teori Empat-Sistem Likert (1967) menemukan empat gaya atau sistem manajerial yang berdasarkan pada suatu analisis atas delapan variabel manajerial, yaitu: (1) kepemimpinan, (2) motivasi, (3) komunikasi, (4) interaksi, (5) pengambilan keputusan, (6) penentuan tujuan, (7) pengendalian, dan (8) kinerja. Likert membagi gaya manajerial tersebut sebagai berikut: 1. Penguasa mutlak 2. Penguasa semi-mutlak 3. Penasihat 4. Pengajak-Serta 5. Teori Kontinum Tannenbaum dan Schmidt (1957) menyebutkan ciri-ciri pemimpin yang berhasil sebagai pemimpin yang tidak melakukan pengawasan terlalu ketat atau terlalu longgar. Selanjutnya, pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang mempunyai gaya yang konsisten, sesuai dengan tuntutan situasi. 6. Teori Ketergantungan Menurut Fiedler (1967) pada teori kebergantungan, keefektifan pemimpin bergantung pada hubungan-hubungan dalam gaya kepemimpinannya, juga situasi tertentu yang dihadapinya. Gaya kepemimpinan digambarkan dalam variabel-variabel yang sudah kita kenal: tugas dan hubungan. Jadi, pemimpin ditinjau sebagai bermotivasi-tugas (task-motivated) atau bermotivasihubungan (relationship-motivated).
7. Cara Melaksanakan Kepemimpinan (Effendi, 1986: 26-28) a. Kepemimpinan demokratis Kepemimpinan demokratis ialah melaksanakan kepemimpinannya secara demokratis. Si pemimpin melakukan tugasnya sedemikian rupa, sehingga suatu keputusan merupakan keputusan bersama dari semua anggota kelompok. Setiap anggota mempunyai kebebasan untuk menyatakan pendapatnya. Tugas pemimpin disini adalah menuntun dan mengkoordinasikan proses pengambilan suatu keputusan. Sedang dalam cara kepemimpinan demokratis tampak adanya kecenderungan kerjasama secara timbal balik diantara anggota-anggota kelompok. Kepemimpinan inilah yang dianggap paling baik, karena menimbulkan suasana kerja dan produktivitas kelompok yang paling tinggi derajatnya. Kelompok dalam kepemimpinan demokratis dalam melakukan pekerjaannya tidak sebanyak pekerjaan dalam kepemimpinan otoriter, tetapi dalam kelompok demokratis ini terdapat kegairahan. Mereka terus bekerja dengan senang, ada atau tidak ada pemimpin mereka disampingnya. Dalam kepemimpinan demokratis ini, si pemimpin berinteraksi dan melakukan komunikasi dengan anggota-anggota kelompoknya. Si pemimpin berinisiatif, tetapi dalam pelaksanaannya ia mengikutsertakan anggota kelompoknya untuk membahasnya bersama-sama terlebih dahulu. Para anggota diminta pendapatnya sehingga keputusan yang dihasilkan dengan cara demikian akan menyebabkan para anggota kelompok merasa dirinya berharga, dan merasa bertanggung jawab atas berhasilnya keputusan yang mereka ikut serta membuatnya itu.
b. Kepemimpinan Otoriter Kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan berdasarkan kekuasaan mutlak. Seorang pemimpin otoriter memimpin tingkah laku anggota-anggota kelompoknya dengan mengarahkan kepada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh si pemimpin. Segala keputusan berada di satu tangan, yakni si pemimpin otoriter yang menganggap dirinya dan dianggap orang lain lebih mengetahui daripada orang-orang lain dalam kelompoknya. Pada cara kepemimpinan otoriter terdapat agresifitas, pertentangan, usaha mencari kambing hitam (scape-goatism) diantara para anggota kelompok, dan sikap apatis. Kelompok dalam kepemimpinan otoriter melakukan paling banyak pekerjaan, tetapi mereka berhenti bekerja jika pemimpinnya pergi. Mereka tidak senang kepada pemimpinnya, dan beberapa orang diantara mereka menjadi agresif. Lalu disebabkan perasaan tidak senangnya kepada pemimpinnya itu tidak bisa mereka cetuskan secara terbuka, maka mereka bertengkar diantara mereka sendiri. Branca berkesimpulan bahwa kepemimpinan otoriter mungkin paling baik untuk suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan cepat. Disitu diperlukan pemimpin yang kuat (strong leader), tetapi cara kepemimpinan itu hanya untuk keadaan darurat saja; begitu keadaan sudah biasa lagi, cara kepemimpinan seperti itu harus segera dihentikan. Pemimpin yang tidak memberikan bimbingan sama sekali akan menimbulkan rasa permusuhan dan ketidakpuasan di kalangan anggota-anggota kelompok.
c. Kepemimpinan Bebas Kepemimpinan bebas ialah kepemimpinan dimana si pemimpin menyerahkan penentuan tujuan dan usaha-usaha yang akan dicapai sepenuhnya kepada anggota-anggota kelompok. Si pemimpin dalam menjalankan peranan kepemimpinannya hanya pasif saja. Dialah yang menyediakan bahan-bahan dan alat-alat untuk suatu pekerjaan, tetapi inisiatif diserahkan kepada para anggota. Kelompok bebas melakukan pekerjaannya paling sedikit. Dan cara bekerjanya pun tidak karuan. Para anggota kelompok tidak menyukai pemimpinnya dan tampak pada mereka perasaan tidak puas. 8. Ciri-Ciri Kepemimpinan (Effendi, 1986: 9-19) a. Persepsi sosial adalah kecakapan dalam melihat dan memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota-anggota lainnya dalam suatu kelompok. b. Kemampuan berpikir abstrak ini berarti mempunyai kecerdasan yang tinggi. Pemimpin kelompok memiliki kecakapan untuk berpikir abstrak yang lebih tinggi daripada rata-rata anggota kelompok yang memimpin. c. Keseimbangan emosional merupakan faktor yang penting dalam kepemimpinan. Dalam diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam akan kebutuhankebutuhan, keinginan-keinginan, cita-cita, dan alam perasaan serta pengintegrasian kesemuanya itu ke dalam suatu kepribadian yang harmonis.
C. Komunikasi Organisasi Menurut Katz & Robert Kahn (1966), bahwa komunikasi adalah pertukaran informasi dan penyampaian makna yang merupakan hal utama dari suatu sistem sosial atau organisasi. Jadi komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi, dan pengertian dari satu orang ke orang lain yang merupakan satu-satunya cara memanajemen aktivitas dalam suatu organisasi adalah melalui proses komunikasi. Mulyana (2005: 31) menyatakan bahwa komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan diantara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari satu organisasi tertentu. Satu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkaran. Komunikasi organisasi terjadi kapan pun setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu pertunjukkan. Analisis komunikasi organisasi menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang terjadi simultan. Sistem tersebut menyangkut pertunjukkan dan penafsiran pesan diantara lusinan bahkan ratusan individu pada saat yang sama yang memiliki jenis-jenis hubungan berlainan yang menghubungkan mereka; yang pikiran, keputusan, dan perilakunya diatur oleh kebijakan-kebijakan, regulasi, dan aturan-aturan; yang mempunyai gaya berlainan dalam berkomunikasi, mengelola, dan memimpin; yang dimotivasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang berbeda; yang berada pada tahap perkembangan berlainan dalam berbagai kelompok; yang mempersepsi iklim komunikasi berbeda; yang mempunyai tingkat kepuasan berbeda dan tingkat kecukupan informasi yang berbeda pula; yang lebih menyukai
dan menggunakan jenis, bentuk, dan metode komunikasi yang berbeda dalam jaringan yang berbeda; yang mempunyai tingkat ketelitian pesan yang berlainan; dan yang membutuhkan penggunaan tingkat materi dan energi yang berbeda untuk berkomunikasi efektif. Interaksi diantara semua faktor tersebut, dan mungkin lebih banyak lagi, disebut sistem komunikasi organisasi (Gambar 2.1.). Gambar 2.1. Sistem Komunikasi Organisasi Sumber: (Mulyana, 2005: 32)
D. Iklim Komunikasi Istilah iklim disini merupakan kiasan (metafora). Kiasan adalah bentuk ucapan yang didalamnya suatu istilah atau frase yang jelas artinya diterapkan pada situasi yang berbeda dengan tujuan menyatakan suatu kemiripan. Frase iklim komunikasi organisasi menggambarkan suatu kiasan bagi iklim fisik, cara orang bereaksi terhadap aspek organisasi menciptakan suatu iklim komunikasi (Mulyana, 2005: 146). Komunikasi berasal dari Bahasa Latin Communis yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua atau lebih. Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum (Pareno, 2002: 2): 1. Kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. 2. Kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat. Cara anggota bereaksi terhadap segenap aspek oraganisasi menciptakan sebuah iklim komunikasi. Iklim Komunikasi Organisasi terdiri dari persepsipersepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi. Pengaruh ini didefinisikan, disepakati, dikembangkan dan dikokohkan secara berkesinambungan melalui interaksi dengan anggota organisasi lainnya (Mulyana, 2005: 149). Iklim Komunikasi Organisasi tersusun dari pengalaman dan persepsi karyawan tentang (Hardjana, 2000: 55, Mulyana, 2005: 159&160):
1. Saling percaya / kepercayaan (trust) Personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang di dalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitasnya didukung oleh pernyataan dan tindakan. 2. Partisipasi dalam pembuatan keputusan Para pegawai di semua tingkat dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai di semua tingkat harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan. 3. Pemberian dukungan Suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat, bawahan, atau atasan. 4. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah Kecuali untuk keperluan informasi rahasia, anggota organisasi harus relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat itu, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagianbagian lainnya, dan yang berhubungan luas dengan perusahaan, organisasinya, para pemimpin, dan rencana-rencana.
5. Kerelaan mendengar komunikasi dari bawahan Personel di setiap tingkat dalam organisasi harus mendengarkan saransaran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan personel si setiap tingkat bawahan dalam organisasi, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan di arah. 6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi Personel si semua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah demikian pula menunjukkan perhatian besar pada anggota organisasi lainnya. Iklim komunikasi tertentu memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi. Guzley (1992) untuk bersikap jujur dalam bekerja, untuk meraih kesempatan dalam organisasi secara bersemangat, untuk mendukung para rekan dan anggota organisasi lainnya, untuk melakukan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif bagi penyempurnaan organisasi dan operasinya, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim yang negatif dapat benar-benar merusak keputusan yang dibuat anggota organisasi mengenai bagaimana mereka akan bekerja dan berpartisipasi untuk organisasi (Mulyana, 2005: 155).
E. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Iklim Komunikasi Organisasi Seorang pemimpin mempunyai kewajiban untuk memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain namun gaya kepemimpinan yang diterapkan seringkali mempengaruhi iklim komunikasi pada organisasi tersebut. Kebanyakan orang berpendapat bahwa mereka mampu menyelesaikan masalah secara kreatif dalam organisasinya, tetapi kebanyakan orang harus dikendalikan dengan ketat dan tidak mampu menyelesaikan masalah dalam organisasi. Dengan berbagai macam tipe orang, pemimpin harus bertindak tegas dalam memimpin organisasinya. Namun kenyataannya masih ada juga pemimpin yang gagal menerapkan kepemimpinan dalam organisasinya. Pemimpin yang tidak pernah mau mendengarkan pendapat atau saran dan kritik dari bawahannya tidak memberi dukungan kepada karyawannya sehingga sering menimbulkan iklim komunikasi yang tidak sehat dalam organisasi tersebut. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap iklim komunikasi suatu organisasi.