BAB I PENDAHULUAN. memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 : PENDAHULUAN. udara, dan paling banyak terjadi pada negara berkembang. (1) Udara merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan mesin, mulai dari mesin yang sangat sederhana sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kerjanya. Resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam saluran nafas mulai dari kavum nares sampai alveoli terjadi kontak

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

HENDRATA ERRY ANDISARI

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor

BAB I PENDAHULUAN. populasi dalam negara yang berbeda. Asma bronkial menyebabkan kehilangan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan terhadap keselamatan dan kesehatan para pekerja di tempat

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sudah mulai menjadi

DEPT PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI- RS PERSAHABATAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

BAB 1 PENDAHULUAN. A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. lagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas yang berarti semua produkproduk

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Silika adalah senyawa kimia silikon dioksida (SiO2) yang merupakan salah

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya bagi kesehatan pekerja (Damanik, 2015). cacat permanen. Jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 464,2 TWh pada tahun 2024 dengan rata-rata pertumbuhan 8,7% per

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh

Hubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai daerah penghasilan furniture dari bahan baku kayu. Loebis dan

BAB I PENDAHULUAN. Risiko merupakan sesuatu yang sering melekat dalam aktivitas. Kegiatan

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor lingkungan kerja merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN. ATP (Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO 2 ) sebagai zat sisa hasil

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. batuk, mengi dan sesak nafas (Somatri, 2009). Sampai saat ini asma masih

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan

GAMBARAN HITUNG JENIS LEKOSIT PADA RADIOGRAFER DI PERUSAHAAN X SURABAYA TAHUN 2012 Laily Hidayati Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. The United Nation Environment Programme memperkirakan 1.1 juta orang per

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi perokok dewasa per hari. Menurut data Global Adult Tobacco Survey

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2012 SKRIPSI

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Era perdagangan bebas dan globalisasi telah meluas di seluruh kawasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

I. PENDAHULUAN. tidak banyak melakukan aktivitas fisik dan menata pola makan agar menjadi

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumokoniosis merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh debu yang masuk ke dalam saluran pernafasan

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan sedang berusaha memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik industri dengan tujuan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dilain pihak dengan berdiri dan beroperasinya pabrik tersebut akan memberikan dampak pada pekerja dan masyarakat. Gangguan kesehatan pada manusia akibat lingkungan kerja dapat berupa suatu impairment dan disability. Impairment adalah adanya suatu kehilangan normalitas secara fisiologis, psikologis maupun struktur anatomi atau fungsional, bersifat sementara atau menetap dengan derajat kelainan yang beragam, yang secara objektif dapat diukur. Sedangkan disability adalah penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari seperti manusia lainnya (Balmes, 2005). Bahan yang berbahaya di tempat kerja menyebabkan jutaan kematian dini, ratusan juta orang sakit dan cacat pertahunnya di seluruh dunia. Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan, tahun 2002 terjadi kematian akibat kerja ini sebanyak 699.000, kerugian ekonomi sebesar 4-5% dari Gross Domestic Product. Penyakit akibat kerja ini bertanggung jawab terhadap hilangnya sekitar 30 juta Disability Adjusted Life Years (DALYs) di seluruh dunia, sebanyak 27% atau sekitar 8 juta terjadi di Asia Tenggara (IB Rai, 2010). Berbagai kebijakan telah dikeluarkan di seluruh dunia untuk mengatasi masalah ini. WHO dan Organisasi Buruh Sedunia (ILO) adalah badan dunia yang sangat perhatian, tahun 1987 telah membentuk ILO/WHO expert committee on occupational health, tahun 1992 melaksanakan 1

International Symposium on Work-Related Diseases di Liz, Australia, dan terakhir tanggal 6-9 Juli 2010 melaksanakan Join WHO-ILO tripartite meeting on occupational health of health workers di Geneva. Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut kesehatan kerja antara lain Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1758/MENKES/SK/XII/2003 tentang standar pelayanan kesehatan kerja dasar, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 038/MENKES/SK/I/2007 tentang pedoman yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan kerja pada Puskesmas di kawasan industri dan tempat usaha (IB Rai, 2010). Asma merupakan salah satu penyebab mortaliti, morbiditi dan disabiliti yang dapat dicegah (preventable) dalam dunia industrialisasi. Terdapat banyak faktor risiko asma, salah satunya adalah akibat paparan kerja yang menyebabkan asma kerja (Burden, 2005). Asma kerja (occupational asthma/oa) saat ini merupakan penyakit paru kerja yang paling sering terjadi di negara industri (Redlich et al.,2002; Mapp et al.,2005). Di Amerika Serikat diperkirakan hampir 15% kasus asma yang didiagnosis pada orang dewasa diakibatkan oleh paparan bahan yang ada di tempat kerja (Mapp et al., 2005; Looney et al., 2004). Debu kayu (wood dust) merupakan salah satu dari sekitar 250 bahan pemicu asma (asthmagen) di tempat kerja yang telah banyak dikenal, dimana asma dapat timbul pada pekerja yang terpapar debu kayu wetern red cedari (WRC), pinus, iroko, abachi, California redwood, oak (Quercus robur), mahogany, maple, dan bermacam jenis kayu lainnya (Schlunssen et al., 2004). 2

Debu kayu termasuk dalam kelompok low-molecular-weight agent (LMW) yakni kelompok bahan penyebab asma dengan berat molekul kurang dari 5000 Dalton (Da). Selain asma, debu kayu dapat menimbulkan berbagai problem respirasi termasuk bronkitis kimiawi, hypersensitivity pneumonitis dan perburukan fungsi paru (Schlunssen et al., 2004; Sastre et al., 2003). Patogenesis asma kerja akibat paparan debu kayu demikian halnya dengan bahan LMW lainnya sampai saat ini masih belum dipahami sepenuhnya. Penelitian terhadap bahan bronchoalveolar lavage (BAL) dan analisa sputum induksi pada pekerja dengan asma kerja menunjukkan beberapa hasil yang kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan eosinofil pada data awal (baseline) selanjutnya terjadi peningkatan jumlah eosinofil lebih lanjut setelah terpapar oleh beragam bahan di tempat kerja maupun dalam laboratorium (Sastre et al., 2003). Penelitian Lemière (1999) pada pasien asma kerja akibat bahan LMW dan beberapa bahan lain mendapatkan peningkatan jumlah eosinofil pada sputum dan darah pasien saat bekerja dibandingkan saat tidak bekerja. Di Franco (1998) mendapatkan jumlah netrofil yang lebih banyak dibanding eosinofil pada sputum pasien asma kerja akibat bahan LMW dibanding pasien asma kerja akibat bahan HMW ataupun pasien non-oa. Penelitian oleh Anees (2002) mendapatkan bahwa asma kerja akibat bahan LMW dapat dibedakan menjadi 2 varian yakni varian eosinofilik dan varian non-eosinofilik, dengan varian non-eosinofilik yang lebih dominan walaupun pada kedua kelompok disertai sputum netrofilia. Penelitian pada pasien sehat yang mendapat paparan debu kayu pinus, mendapatkan adanya pengerahan eosinofil dan limfosit dari darah ke paru. Keadaan tersebut disertai berkurangnya jumlah eosinofil dan limfosit dalam serum yang mengindikasikan 3

pergeseran sel tersebut dari darah ke cairan BAL. Peranan limfosit T pada asma memerlukan limfosit T teraktivasi terutama limfosit Th2 CD4 dengan peningkatan produksi sitokin Th2 utamanya IL-4, IL-5, dan IL-13 (Gripenback, 2005). Paparan bermacam debu kayu dapat mengakibatkan penurunan faal paru volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ), kapasitas vital paksa (KVP) maupun rasio VEP 1 /KVP. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian pada pekerja penggergajian kayu (sawmill) oleh Yeung (WRC, 1994), Hessel (pinus & spruce, 1995), Noertjojo (WRC, 1996), dan Douwes (pinus, 2006). Perusahaan X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak pengolahan dan perakitan kayu di Propinsi Bali. Perusahaan tersebut memiliki karyawan sejumlah 150 orang. Data dari dokter perusahaan memperlihatkan bahwa rata-rata sekitar lima orang karyawan setiap bulannya berobat dengan keluhan sesak napas. Data Puskesmas Denpasar III yang melayani masyarakat di sekitar perusahaan tersebut pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sekitar 5% warga berobat dengan diagnosis asma. Masih terbatasnya studi yang mempelajari patogenesis pajanan debu kayu pada orang sehat, khususnya dalam hubungan dengan kadar CD4 dan eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu, dan belum adanya penelitian yang secara khusus dilakukan pada kayu merbau dan bangkirai sebagai jenis kayu yang dipakai pada perusahaan X ini, adalah faktor utama yang mendorong kami untuk melakukan penelitian ini. Dari data penelitian tersebut muncul suatu pertanyaan, apakah terdapat korelasi antara pajanan debu kayu dengan jumlah CD4 dan eosinofil serum. 4

1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Adakah korelasi antara pajanan debu kayu dengan jumlah CD4 serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung? 1.2.2 Adakah korelasi antara pajanan debu kayu dengan jumlah eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung? 1.2.3. Adakah korelasi antara jumlah CD4 dengan jumlah eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum : Mengetahui korelasi antara pajanan debu kayu dengan jumlah CD4 dan eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung. 1.3.2. Tujuan khusus : 1.3.2.1. Menganalisis hubungan dosis kumulatif pajanan debu kayu dan jumlah CD4 serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung. 1.3.2.2. Menganalisis hubungan dosis kumulatif pajanan debu kayu dan jumlah eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu perusahaan X di Badung. 1.3.2.3. Menganalisis hubungan jumlah CD4 dan eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu di Badung. 1.4. Manfaat Penelitian 5

1.4.1. Manfaat Akademik Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan hasilnya dapat dipakai sebagai data dasar dan juga dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita mengenai pengaruh pajanan debu terhadap jumlah CD4 dan eosinofil serum pada pekerja industri pengolahan kayu. 1.4.2. Manfaat Praktis : 1.4.2.1 Memberi informasi dan menambah pengetahuan serta masukan tentang efek pajanan debu terhadap jumlah CD4 dan eosinofil serum kepada pengusaha dan pekerja perusahaan X, Badung Bali. 1.4.2.2 Memberi manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut pada industri pengolahan kayu di tempat lain. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan kesehatan kerja bagi pekerja pada industri pengolahan kayu. 6