4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Cair Industri Perikanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

Bab V Hasil dan Pembahasan

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM)

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

kimia lain serta mikroorganisme patogen yang dapat

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

BAB 3 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

MAKALAH KIMIA ANALITIK

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air

BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN METODE MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA DWILINA APRIYANI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

Karakteristik Limbah Ternak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Dan Pembagian Limbah Secara Umum. kesehatan, kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian dan Pembahasan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

Sistem Aerasi Berlanjut (Extended Aeratian System) Proses ini biasanya dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem paket (package treatment)

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I. PENDAHULUAN. Industri gula merupakan salah satu industri pertanian yang menghasilkan air

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

Diversifikasi Sumber Energi Terbarukan melalui Penggunaan Air Buangan dalam Sel Elektrokimia Berbasis Mikroba

I. PENDAHULUAN. Udang putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

penanganan limbah, yaitu dengan menampung limbah laboratorium tersebut,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSES PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TAPIOKA. Budi Santoso Fakultas Teknik Industri Universitas Gunadarma

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMANFAATAN LIMBAH CAIR PERIKANAN SEBAGAI PENGHASIL LISTRIK MELALUI TEKNOLOGI MICROBIAL FUEL CELL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

;l-0ad 0\'7\ F =F/TlN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

Pertumbuhan Total Bakteri Anaerob

BAB V PEMBAHASAN. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah laboratorium dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

[Type text] BAB I PENDAHULUAN

PENGARUH RASIO WAKTU PENGISIAN : REAKSI PADA REAKTOR BATCH DALAM KONDISI AEROB

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lumpur Aktif (Activated Sludge)

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain

Transkripsi:

18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan Limbah cair industri pengolahan ikan dapat dikarakterisasi melalui parameter fisikokimia, organik, nitrogen dan kandungan fosfor (Tay et al. 2006). Kontaminan utama yang terdapat pada limbah cair perikanan merupakan campuran berbagai substrat, terutama bahan organik alami. Penelitian ini menggunakan limbah cair perikanan buatan sebagai pengganti limbah cair industri perikanan. Tujuan penggunaan limbah cair buatan adalah agar limbah yang digunakan lebih stabil. Menurut Ibrahim (2007) penggunaan limbah cair buatan bertujuan agar umpan yang akan dimasukkan ke dalam sistem sebagai influen memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Proses pembuatan limbah cair perikanan mengacu pada penelitian Ibrahim (2007), yaitu perbandingan antara daging ikan (kg) dengan air (L) adalah 1:5. Proses perebusan limbah padat dilakukan dalam pembuatan limbah cair buatan yang bertujuan untuk melarutkan kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah padat. Tujuan perebusan pada pembuatan limbah cair buatan yaitu mendapatkan kadar nitrogen yang tinggi dalam limbah cair yang dihasilkan (Irma 2008). Karakteristik limbah cair buatan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair perikanan* Total N mg/l 607,32 111 BOD mg/l 537 184 COD mg/l 1062,4 571 Amonia mg/l 3,89 1,7 * Sumber: Ibrahim (2007), limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006) meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah). Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.

19 Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan. Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil. Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009) menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/l. Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden. Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/l (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden. 4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat

20 mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari. Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD, COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi dengan limbah cair buatan yang akan digunakan. 4.2.1 Total nitrogen Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 5. Rata-rata Total N (mg/l) 650 550 450 350 250 150 607,32 ax 607,32 ax 573,58 ax 607,32 ax 607,32 ax 573,58 ax 0 3 6 Hari Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan. Total nitrogen mengalami penurunan yang sama selama di dalam sistem MFC satu bejana, baik limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dan limbah cair

21 dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/l pada hari ke-0 kemudian menjadi 573,58 mg/l pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang terdapat pada limbah cair tersebut. Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia. Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik, sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007). 4.2.2 Biological oxygen demand (BOD) Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C±1 C (BSN 2009). Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 6.

22 Rata-rata BOD (mg/l) 500 400 300 200 100 0 496 ax 450 ax 428 ax 475 ax 436 ax 407 ax 0 3 6 Hari Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan. Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik. Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan oksigen tersebut untuk proses adaptasi. Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD 5. Nilai BOD 5 hanya merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologik bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik (Jenie dan Rahayu 1993). Oksidasi

23 berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas. Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD 5 ) dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan. Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/l. Nilai BOD diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses penguraian bahan organik. 4.2.3 Chemical oxygen demand (COD) Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7. Rata-rata COD (mg/l) 1200 1000 800 600 400 200 0 992 ax 848 ay 816 ay 901 bx 805 by 781 by 0 3 6 Hari Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan. Nilai COD limbah cair mengalami penurunan selama di dalam sistem MFC satu bejana. Perlakuan pemberian lumpur aktif ke dalam sistem MFC satu bejana memberikan pengaruh berbeda terhadap penurunan nilai COD (P<0,05) dan terjadi penurunan nilai COD yang nyata antara hari ke-0 dengan hari ke-3 dan ke-6 dari kedua perlakuan. Nilai COD limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif

24 pada hari ke-0 yaitu 992 mg/l dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/l. Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu 901 mg/l pada hari ke-0 menjadi 781 mg/l pada hari ke-6. Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan senyawa karbon di dalam air limbah. Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin menurun. Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6 menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai kestabilan. Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu 150 mg/l (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai COD limbah cair selama di dalam sistem MFC masih tinggi. Nilai COD yang tinggi menunjukkan bahwa masih tingginya bahan organik dan

25 anorganik yang terdapat di dalam limbah cair. Nilai COD lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD 5 seperti selulosa, lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD (Jenie dan Rahayu 1993). 4.2.4 Nitrogen-amonia Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH 4 pada ph rendah. Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami. Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 8. Rata-rata amonia (mg/l) 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 4,18 ax 3,37 ax 1,55 ay 0,40 az 1,10 ay 0,14 az 0 3 6 Hari Gambar 8 Nitrogen-amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan. Amonia limbah cair perikanan mengalami penurunan selama 6 hari di dalam sistem MFC satu bejana. Kandungan amonia limbah cair dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan dari 3,37 mg/l pada hari ke-0 menjadi 0,14 mg/l pada hari ke-6. Kandungan amonia limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif mengalami penurunan dari 4,18 mg/l pada hari ke-0 menjadi 0,40 mg/l pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai nitrogen-amonia

26 (P>0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru, karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat. Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu 5 mg/l (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai. Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik. 4.2.5 MLSS dan MLVSS Mixed Liquor Suspended Solids atau MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya mikroorganisme. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Herlambang 2010). Hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem MFC yang diberi perlakuan pemberian lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

27 Rata-rata MLSS (mg/l) 3500 3000 2600 2867 2500 2000 1827 1500 1000 500 0 0 3 6 Hari Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana. Rata-rata MLVSS (mg/l) 2500 2000 1500 1000 500 0 1360 2000 0 3 6 Hari 2133 Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana. Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu 1827 mg/l kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada hari ke-0 1360 mg/l kemudian meningkat menjadi 2133 mg/l pada hari ke-6. Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam sistem MFC satu bejana. Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO 2, air dan sel baru. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi massa sel. Hal inilah yang

28 mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa. Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi sebagai berikut: COHNS + O 2 + bakteri + energi C 5 H 7 NO 2 COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C 5 H 7 NO 2 adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007). Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya 1040 mg/l dan 773 mg/l. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat, sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/l dan 428,50 mg/l (Herlambang 2010), lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai. Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan endapannya adalah 1000-3000 mg/l dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/l, sehingga sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin et al. (2008) menambahkan bahwa pada konsentrasi MLSS 2000 mg/l senyawa sederhana yang menjadi substrat bagi mikroorganisme dapat terdegradasi secara optimal. Penelitian Sudaryati et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai MLVSS antara 1740-2265 mg/l mengandung mikroorganisme serta jumlah mikroorganisme yang cukup baik untuk dijadikan bibit mikroorganisme atau agen oksidator dalam pengolahan limbah secara biologis.

29 4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan Listrik yang dihasilkan oleh sistem MFC satu bejana diukur setiap jam selama 5 hari dalam satuan mv. Limbah cair perikanan diinkubasi selama 25 jam sebelum dilakukan pengukuran listrik sesuai penelitian Kubota et al. (2010) untuk mengadaptasikan mikroorganisme yang ada di dalam limbah cair dan lumpur aktif dengan sistem MFC, sehingga proses degradasi bahan organik berjalan dengan baik. Hasil pengukuran listrik limbah cair perikanan dapat dilihat pada Gambar 11. Listrik limbah cair perikanan (mv) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Gambar 11 Nilai listrik limbah cair perikanan. Limbah limbah dan lumpur Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa lumpur aktif 3,8 mv, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif 16,8 mv. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat. Sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif memiliki nilai listrik yang lebih tinggi dibandingkan nilai listrik MFC tanpa lumpur dari awal

30 pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009) menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase. Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda. Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri. Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas dan ion H + dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik. Peningkatan nilai listrik terjadi setelah jam ke-40 sampai jam ke-120, namun nilai listrik MFC dengan panambahan lumpur aktif lebih rendah dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Hal ini diduga disebabkan karena mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif belum mendegradasi senyawa organik secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak terlalu signifikan sampai hari terakhir pengamatan. Nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tinggi juga menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik di dalam limbah cair masih tinggi. Penurunan nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tidak signifikan dengan penambahan lumpur aktif juga menunjukkan bahwa proses degradasi senyawa organik belum optimal. Hal ini mengakibatkan jumlah proton dan elektron bebas tidak banyak ditangkap oleh elektroda. Sitorus (2010) juga

31 menyatakan semakin aktif suatu kumpulan mikroba dalam melakukan suatu metabolisme, semakin banyak pula elektron bebas yang dihasilkan. Jumlah mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih banyak juga dapat mempengaruhi rendahnya nilai listrik yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan elektron yang berada di dalam MFC lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme sebagai energi untuk mendegradasi senyawa organik. Ibrahim (2007) menyatakan bahwa proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron. Pandey et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya nilai listrik mengindikasikan bahwa beberapa elektron pada bejana anoda digunakan untuk mereduksi penangkap elektron lain seperti sulfat dan nitrat, atau oksigen yang berdifusi dari bejana katoda dan oksigen terlarut yang terkandung di dalam substrat. Nilai listrik yang dihasilkan pada penelitian ini belum tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai listrik dari sistem MFC. Perbedaan jenis substrat yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Lovley (2006) menyatakan substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. Efisiensi dan nilai ekonomis perubahan limbah organik menjadi bioenergi bergantung pada karakteristik dan komponen dari material limbah. Pant et al. (2010) menambahkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi listrik adalah kondisi operasi sistem, luas area elektroda, tipe elektroda dan jenis mikroorganisme. Cheng et al. (2006) juga menyatakan faktor jarak antar elektroda dapat mempengaruhi kekuatan listrik yang dihasilkan. Rendahnya nilai listrik pada penelitian ini dapat disebabkan karena tidak adanya mediator untuk mempercepat pelepasan elektron dari pusat metabolisme ke anoda. Menurut Seop et al. (2006), sel bakteri merupakan elektrokimia yang tidak aktif karena pembawa elektron aktif ditutupi oleh dinding sel yang tidak konduktif. Hal ini mengakibatkan pelepasan elektron ke anoda menjadi tidak maksimal sehingga nilai listriknya kecil. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa proses transfer elektron langsung tidak efisien berdasarkan jumlah dan kecepatan

32 elektron yang ditransfer. Oleh karena itu pada beberapa sistem MFC yang dibuat ditambahkan media untuk mempercepat proses transfer elektron tersebut. Lovley (2006) menyatakan media yang dapat mempercepat transfer elektron, antara lain thionine, benzylviologen, 2,6-dichlorophenolindophenol, 2-hydroxy-1,4- naphthoquinone, berbagai jenis phenazines, phenothiazines, phenoxoazines, iron chelates dan neutral red. Beberapa mikroorganisme juga dapat menghasilkan mediatornya sendiri untuk mentransfer elektron ke sel luar, seperti Shewanella oneidensis MR-1, Geothrix ferementans dan Pseudomonas sp (Logan dan Regan 2006). Kondisi di dalam sistem MFC juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Pada penelitian ini kondisi anaerobik belum tercapai, sehingga energi yang dihasilkan belum terlalu besar untuk meningkatkan kekuatan listrik. Bejana anoda pada kedua perlakuan MFC tidak diberi aerasi, namun diberi pengaduk untuk menghomogenkan substrat. Hal ini bertujuan agar kondisi anerobik dapat tercapai. Du et al. (2007) menyatakan bahwa kekuatan listrik dapat dihasilkan dengan menjaga mikroorganisme di dalam bejana anoda terpisah dengan oksigen atau penerima elektron lain. Oleh karena itu bejana anoda harus dikondisikan dalam keadaan anaerobik. Degradasi senyawa organik/anorganik di dalam sistem MFC akan menghasilkan potensial redoks yang kemudian dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hilangnya potensial redoks ini juga mengakibatkan nilai listrik yang dihasilkan kecil. Potensial redoks yang dihasilkan berbeda-beda setiap reaksinya. Du et al. (2007) menampilkan hasil energi potensial dari berbagai reaksi redoks pada elektroda pada Tabel 5.

33 Tabel 5 Reaksi elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks Pasangan oksidasi/reduksi E (mv) H + /H 2-420 NAD + /NADH - 320 S /HS - - 270 SO4 2- /H 2 S - 220 Piruvat 2- /Laktat 2- - 185 2,6-AQDS/2,6-AHQDS - 184 FAD/FADH 2-180 Manaquinon oks/red - 75 Piosianin oks/red - 34 Metilen blue oks/red + 11 Fumarat 2- /Succinat 2- + 31 Thionin oks/red + 64 Sitokrom b(fe 3+ )/Sitokrom b(fe 2+ ) + 75 Fe(III) EDTA/Fe(II) EDTA + 96 Ubiquinon oks/red + 113 Sitokrom c(fe 3+ )/Sitokrom c(fe 2+ ) + 254 O 2 /H 2 O 2 + 275 Fe(III) sitrat/fe(ii) sitrat + 372 Fe(III) NTA/Fe(II) NTA + 385 NO 3- /NO 2- + 421 Fe(CN) 3-4- 6 /Fe(CN) 6 + 430 NO 2- /NH 4+ + 440 O 2 /H 2 O + 820 Sumber: Du et al. (2007) Proses degradasi senyawa organik melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Reaksi redoks menghasilkan energi potensial dalam satuan volt. Nilai energi potensial positif menunjukkan reaksi redoks spontan dan energi potensial negatif menunjukkan reaksi redoks tidak spontan. Reaksi NO 3- menjadi NO 2- merupakan reaksi spontan yang membutuhkan energi 421 mv dan reaksi O 2 menjadi H 2 O merupakan reaksi redoks tidak spontan yang membutuhkan energi 820 mv. Energi yang digunakan untuk reaksi tersebut mengakibatkan nilai listrik yang dihasilkan menjadi kecil. Cyio (2008) menyatakan bahwa jumlah elektron berbanding lurus dengan potensial redoks, sehingga penurunan jumlah elektron secara otomatis akan menurunkan nilai potensial redoks. Nilai listrik dari MFC satu bejana ini masih dapat meningkat karena senyawa organik yang terkandung di dalam limbah cair masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nitrogen, BOD dan COD yang masih diatas baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007. Selain itu,

34 peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak signifikan menunjukkan bahwa mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif diduga masih beradaptasi, sehingga aktivitas metabolismenya belum optimal. Listrik akan menurun hingga bernilai 0 V jika senyawa organik di dalam limbah cair sudah habis. Hal tersebut menunjukkan bahwa MFC merupakan sistem yang berkelanjutan dan terbarukan. Sistem ini akan terus berkelanjutan dan terbarukan selama terdapat limbah cair yang mengandung bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Suyanto et al. (201) menyatakan bahwa fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi dan dapat digunakan terus menerus jika ada suplai hidrogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Kelemahan MFC tanpa membran yang digunakan pada penelitian ini adalah masih adanya oksigen pada bejana anoda karena difusi dari bejana katoda. Hal tersebut akan mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Liu dan Logan (2004) menyatakan bahwa oksigen yang berdifusi ke bejana anoda juga mempengaruhi listrik yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya transfer oksigen ke anoda pada MFC tanpa PEM. Adanya oksigen pada bejana anoda akan mengakibatkan potensial pada substrat hilang karena reaksi oksidasi aerobik oleh bakteri pada bejana anoda. Sistem MFC tanpa PEM merupakan salah satu sistem yang potensial untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Hal ini dikarenakan harga PEM yang mahal dan sampai saat ini PEM terbuat dari bahan kimia dan diduga dapat mempengaruhi sistem MFC selanjutnya.