5 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
5 KONDISI AKTUAL PENDARATAN DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

PETA LOKASI PENELITIAN 105

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

6 KEMAMPUAN PELELANGAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

BAB 3 METODE PENELITIAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI PELELANGAN IKAN PADA PELABUHAN PERIKANAN PANTAI

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Hasil Tangkapan di Pelabuhan Perikanan Pendaratan dan Pelelangan Hasil Tangkapan 1) Pendaratan Hasil Tangkapan

6 KEBUTUHAN FASILITAS TERKAIT PENANGANAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

6 EFISIENSI PENDARATAN DAN PENDITRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 METODOLOGI PENELITIAN

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG

5 KONDISI AKTUAL FASILITAS DAN PELAYANAN KEPELABUHANAN TERKAIT PENANGANAN HASIL TANGKAPAN

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN. 1. Sejarah Berdirinya TPI Lempasing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

5 PELELANGAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

6 KEMAMPUAN PELELANGAN PENGELOLA TPI PPN PALABUHANRATU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAMPAK PELELANGAN TERHADAP STABILISASI HARGA IKAN PADA TINGKAT PRODUSEN DI PANTAI UTARA JAWA

6 EFISIENSI DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 8 TAHUN 2012

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya

5. SANITASI DAN HIGIENITAS DERMAGA DAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI PPP LAMPULO

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

KAJIAN PENGELOLAAN AKTIVITAS PELELANGAN IKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU SUKABUMI JAWA BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

6 AKTIVITAS PENDARATAN DAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN DI PANGKALAN-PANGKALAN PENDARATAN IKAN KABUPATEN CIAMIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PETA LOKASI PENELITIAN 105

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB I PENDAHULUAN. dirubah yakni dari ikan yang dijual sendiri-sendiri menjadi ikan dijual secara lelang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 8 TAHUN 2009 SERI C.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PENDEKATAN VALUE FOR MONEY UNTUK PENILAIAN KINERJA TEMPAT PELELANGAN IKAN MUARA ANGKE

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTANN TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

BAB IV ANALISIS DATA. dan juru masak, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan. secara langsung maupun tidak langsung.

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURANDAERAH KABUPATENBATANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAANTEMPAT PELELANGANIKAN DENGAN RAHMATTUHANYANGMAHA ESA BUPATI BATANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Selatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2009 NOMOR 12

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB II JASA USAHA PELAYANAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) Pasal 2

PEMERINTAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG

LAPORAN TAHUNAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI)

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

EFISIENSI WAKTU PENGISIAN PERBEKALAN TERHADAP WAKTU TAMBAT KAPAL PERIKANAN SONDONG DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) DUMAI PROVINSI RIAU

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009 di PPN Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RETRIBUSI PASAR GROSIR DAN ATAU PERTOKOAN YANG DIPERUNTUKAN BAGI PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN

BAB I. PENDAHULUAN. Pelabuhan perikanan merupakan pelabuhan yang secara khusus menampung

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

6. TINGKATAN MUTU HASIL TANGKAPAN DOMINAN DIPASARKAN DAN POTENSI KERUGIAN PENGGUNA PPP LAMPULO

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEII DARUSSALAM NOMOR 19 TAHUN 2002

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BATANG. Tahun 2009 Nomor 4 Seri CA Nomor 13 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BATANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2011 NOMOR : 12 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUESIONER

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Transkripsi:

119 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Pelelangan Ikan Aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu pada Tahun 1993-2003 dikelola oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. Pelelangan berjalan dengan baik sesuai dengan praktek lelang yang seharusnya. Aktivitas penjualan ikan dilakukan di depan khalayak umum, penawar dengan harga tertinggi dinyatakan sebagai pemenang lelang. Nelayan merasakan fungsi adanya TPI dan proses lelang yang dijalankan. Nelayan dan bakul merasa puas atas pelayanan pemasaran yang diberikan karena saling mengetahui harga jual yang berlaku di pasaran sehingga memperoleh manfaat dengan adanya pelelangan tersebut. Tahun 2004 hingga sekarang, pengelolaan mekanisme pelelangan beralih kepada KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Sampai saat ini pelelangan ikan belum terlaksana kembali, meskipun retribusi pelelangan ikan tetap diberlakukan. Mekanisme pemasaran yang terjadi adalah setelah ikan didaratkan di dermaga, ikan langsung ditangani oleh bakul untuk dilakukan proses penimbangan di lapak masing-masing. Bakul membayar uang retribusi kepada TPI setelah proses penimbangan selesai. Hal tersebut membuat nelayan kurang bersemangat dan berinisiatif untuk memasarkan ikan melalui TPI karena telah ditangani oleh bakul. Jumlah produksi maupun raman (nilai produksi) ikan hasil tangkapan yang tercatat di TPI (fish by retribusi) ketika dikelola oleh KUD mengalami perkembangan fluktuatif. Raman ikan diperoleh dari nilai transaksi ikan yang berhasil tercatat melalui TPI dan tanpa melalui TPI. Raman ikan yang tercatat tanpa melalui TPI (fish by landing) merupakan ikan tujuan ekspor seperti hasil tangkapan tuna dan layur. Tabel dan grafik dibawah menyajikan perkembangan produksi beserta raman TPI PPN Palabuhanratu sejak Tahun 2000 hingga 2008. Tabel 7 Jumlah produksi ikan dan nilai raman TPI Palabuhanratu, 2000-2008 Tahun Jenis dan Jumlah Ikan (kg)

120 Ckl Tn Cct Jgl Tkl Lyr Tbg Lain- Lain prod (kg) raman (Rp1000) 2000 284.211 41.740 58.475 27.011 128.802 1.240 0 30.321 571.800 1.409.690 2001 210.849 59.853 43.011 20.886 46.700 1.463 0 45.265 428.027 901.200 2002 439.344 107.474 61.848 35.989 238.372 11.065 0 184.063 1.078.155 2.305.902 2003 286.050 381.404 56.575 129.084 22.234 16.226 0 118.464 1.010.037 2.296.462 2004 331.105 353.386 20.166 25.884 31.882 28.745 0 30.072 821.240 2.233.378 2005 310.414 1.025.318 49.025 52.956 38.825 35.093 0 70.654 1.582.285 4.972.514 2006 178.860 288.745 117.381 26.284 46.897 0 22.426 19.493 700.086 2.497.876 2007 74.953 395.535 20.083 0 26.275 4.209 3.234 8.640 532.929 3.158.513 2008 84.003 507.405 6.797 0 9.746 8.532 35.701 43.759 695.943 5.386.046 2.199.789 3.160.860 433.361 318.094 589.733 106.573 61.361 550.731 7.420.502 25.161.581 Rataan 244.421 351.207 48.151 35.344 65.526 11.841 6.818 61.192 824.500 2.795.731 Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, 2009 Keterangan: Ckl: Cakalang, Tn: Tuna, Cct: Cucut, Jgl: Jangilus Tkl: Tongkol, Lyr: Layur, Tbg: Tembang Hubungan antara produksi hasil tangkapan sejak Tahun 2000 hingga 2008 tidak selalu berkorelasi positif terhadap raman yang dihasilkan (Tabel 7). Faktorfaktor yang berpengaruh dikarenakan harga jual hasil tangkapan nelayan yang termasuk kategori ikan ekonomis rendah. Musim penangkapan ikan juga berpengaruh terhadap jenis dan produksi hasil tangkapan nelayan sehingga nilai produksi tidak terlalu tinggi. Gambar 8 Perkembangan produksi TPI PPNP, 2000-2008

121 Gambar 9 Perkembangan raman TPI PPNP, 2000-2008 Produksi terendah terjadi pada Tahun 2001 sebesar 428,02 ton dengan raman sebesar Rp901.200.000,00 dan produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2005 yaitu 1.582,2 ton dengan raman sebesar Rp4.308.640.752,00. Raman (nilai produksi) tertinggi terjadi pada Tahun 2008 sebesar Rp5.386.045.679,00 dan raman terendah pada Tahun 2001 hanya sebesar Rp901.200.000,00. Tahun 2001 adalah tahun dengan produksi hasil tangkapan terendah yaitu hanya 428,02 ton, hal ini berdampak pula terhadap raman yang pada saat itu merupakan raman paling rendah karena hanya menghasilkan raman sebesar Rp901.200.000,00. Nilai raman terendah tersebut antara lain disebabkan pada Tahun 2001 produksi jenis hasil tangkapan ikan ekonomis tinggi yaitu tuna hanya sebesar 59,853 ton, sedangkan sebagian besar merupakan jenis ikan ekonomis rendah. Produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2005 yaitu sebesar 1.582,2 ton, namun pada saat itu tidak menghasilkan raman terbesar. Tahun 2005 menghasilkan raman sebesar Rp4.308.640.752,00 hal ini tidak sebanding dengan raman pada Tahun 2008 yang mencapai angka raman tertinggi yaitu Rp5.386.045.679,00 namun saat itu produksinya hanya sebesar 695,94 ton. Hubungan yang tidak berbanding lurus tersebut dapat dikarenakan antara lain harga per kilogram menurut jenis ikan yang berlaku pada tahun tersebut berubahubah sehingga berpengaruh terhadap nilai produksi hasil tangkapan.

122 Sebagian besar nelayan belum memanfaatkan sarana yang sudah ada, yaitu TPI untuk memasarkan ikan hasil tangkapannya. Nelayan lebih banyak yang terikat oleh pemilik modal atau terikat oleh pedagang pengumpul. Beberapa faktor yang memungkinkan rendahnya keikutsertaan nelayan dalam menjual ikannya di TPI diantaranya yaitu pendaratan ikan yang umumnya dilakukan pada malam hari, sedangkan pelelangan dilakukan pada siang hari. Rendahnya jumlah produksi hasil tangkapan ikan dan pemilik kapal yang merangkap sebagai bakul atau tengkulak menyebabkan hal tersebut turut berpengaruh terhadap penurunan nilai produksi di TPI. Kenyataannya tidak semua nelayan merasakan fungsi dari TPI. Sebagian nelayan merasa bahwa TPI tidak menguntungkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya wajib pajak atau retribusi yang dikenakan pada nelayan tanpa diimbangi fasilitas yang disediakan bagi nelayan seperti air bersih dan pengelolaan pemasaran yang optimal, sementara itu hasil tangkapan nelayan relatif sedikit dan apabila dikenakan biaya retribusi maka keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Kerugian lainnya adalah pada saat hasil tangkapan para nelayan dalam kondisi baik, nelayan tidak dapat menentukan harga sendiri. Perkembangan jumlah produksi dan nilai raman hasil tangkapan di TPI yang dikelola oleh KUD Mina per tahun tertera dalam Gambar 10-27. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa trend perkembangan jumlah produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 22,03%, sedangkan perkembangan jumlah produksi terendah terjadi Tahun 2005 yaitu minus 15,60%. Trend perkembangan jumlah nilai raman tertinggi pada Tahun 2002 dengan peningkatan sebesar 47,32% dan terendah pada Tahun 2005 dengan perkembangan minus 47,23%. Hal tersebut berbanding lurus karena semakin banyak jumlah produksi di TPI maka nilai raman yang dihasilkan juga semakin tinggi. Kemungkinan hal tersebut tidak selamanya berbanding lurus apabila jumlah hasil tangkapan ekonomis penting lebih sedikit dibandingkan ikan bukan ekonomis penting maka nilai raman tidak terlalu besar.

123 Gambar 10 Perkembangan produksi, 2000 Gambar 11 Perkembangan produksi, 2001 Gambar 12 Perkembangan produksi, 2002 Gambar 13 Perkembangan produksi, 2003 Gambar 14 Perkembangan produksi, 2004 Gambar 15 Perkembangan produksi, 2005 Gambar 16 Perkembangan produksi, 2006 Gambar 17 Perkembangan produksi, 2007 Gambar 18 Perkembangan produksi, 2008

124 Gambar 19 Perkembangan raman, 2000 Gambar 20 Perkembangan raman, 2001 Gambar 21 Perkembangan raman, 2002 Gambar 22 Perkembangan raman, 2003 Gambar 23 Perkembangan raman, 2004 Gambar 24 Perkembangan raman, 2005 Gambar 25 Perkembangan raman, 2006 Gambar 26 Perkembangan raman, 2007 Gambar 27 Perkembangan raman, 2008 5.2 Faktor Penyebab tidak Berjalannya Lelang Ikan

125 Pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan optimal, untuk mengetahui penyebab tidak berjalannya aktivitas pelelangan ikan dapat ditinjau berdasarkan beberapa aspek yaitu: 5.2.1 Aspek sosial Pengamatan dan hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa tidak berjalannya aktivitas lelang di TPI PPN Palabuhanratu termasuk isu permasalahan nasional yang cukup komplek. Permasalahan pelelangan bukan hanya kepentingan kelompok melainkan kepentingan banyak pihak yang harus didukung oleh semua unsur dan peran serta masyarakat sebagai pelaku pelelangan. Daerah pesisir dengan setiap karakteristik wilayah topografi yang berbeda memiliki ciri dan karakteristik sosial budaya masyarakat perikanan yang berbeda pula sehingga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat perikanan setempat atas persepsinya mengenai pelelangan dan pentingnya pelelangan ikan. Hampir semua pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan selalu memiliki fasilitas tempat pelelangan ikan (TPI). Hal ini dapat diartikan bahwa nelayan harus menjual hasil tangkapannya melalui sistem lelang. Peristiwa semacam ini dapat di jumpai pada TPI di PPP Juwana-Pati, PPN Pekalongan, PPP Muara Angke dan PPP Blanakan-Subang. Lain halnya dengan yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu. Lelang yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu bukan lelang hasil tangkapan nelayan melainkan lelang dari bakul. Artinya bahwa sistem lelang hasil tangkapan nelayan yang disampaikan melalui lisan secara terbuka di depan umum kerap tidak dijumpai, hal ini dikarenakan ikan hasil tangkapan nelayan langsung masuk dan ditangani oleh para bakul sebagai pemilik modal. Nelayan hanya mengurusi dan menangani proses penangkapan ikan selama di laut hingga ikan didaratkan di dermaga, untuk selanjutnya ikan akan ditangani oleh para bakul (Gambar 28-30). Satu hal yang cukup menentukan sikap keengganan nelayan terhadap pelaksanaan pelelangan ikan di TPI yaitu adanya keyakinan dan pengetahuan nelayan tentang fungsi dan tugas serta tata cara pelaksanaan pelelangan yang cukup formal sehingga membuat jarak yang cukup jauh antara pengelola TPI dengan nelayan. Hal tersebut kurang mendapatkan perhatian dari para pembina

126 pelelangan sehingga pemasaran hasil tangkapan hanya cenderung menguntungkan pihak bakul dan merugikan nelayan itu sendiri. Gambar 28 Proses penimbangan ikan cakalang oleh bakul Gambar 29 Mekanisme pemasaran ikan tanpa pelelangan di TPI Gambar 30 Proses penimbangan ikan layur oleh bakul

127 Nelayan di Palabuhanratu umumnya mengetahui tentang keberadaan gedung TPI yang terletak di pusat kota Kelurahan Palabuhanratu. Pengetahuan masyarakat setempat mengenai sistem dan mekanisme pelelangan ikan yang seharusnya berlaku di kelembagaan TPI masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari kekurangtahuan masyarakat tentang struktur organisasi TPI serta keuntungan penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan, bahkan tidak sedikit yang cenderung kurang paham mengenai fungsi dasar adanya tempat pelelangan ikan. Sebagian besar para nelayan cenderung berasumsi bahwa pengelola TPI hanya sebagai wadah bagi pemerintah untuk menarik retribusi. Nelayan kurang memahami akan hak dan kewajiban sebagai pelaku pelelangan. Hal tersebut dijadikan sebagai alasan mengapa beberapa nelayan tidak langsung menjual ikannya melalui TPI melainkan kepada para bakul. Berlakunya lelang tidak murni (nelayan menjual ikan melalui bakul), menjadikan nelayan tidak merasa terbebani dengan pembayaran retribusi karena sepenuhnya ditanggung pihak bakul/tengkulak sebagai pembeli. Sebaliknya, jika dilakukan lelang murni maka nelayan harus membayar retribusi dari nilai transaksi penjualan ikan melalui TPI. Wawancara pribadi dengan Ernani, L (5 November 2009, Dosen Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) mengatakan bahwa kenyataannya, tidak terdapat definisi dari istilah lelang murni dan tidak murni; yang ada hanyalah satu definisi pelelangan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa di beberapa daerah, banyak nelayan yang sama sekali belum pernah melihat bahkan mengetahui adanya aktivitas pelelangan ikan, seperti yang terjadi di PPI Manggar - Kota Balikpapan - Kalimantan Timur, PPI Pontap - Kota Palopo - Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan masih kurangnya pemahaman nelayan terhadap pelelangan itu sendiri. Setiap orang yang akan membeli dan menjual ikan di TPI harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat bagi pembeli adalah setiap orang yang benar-benar berminat untuk membeli ikan di TPI. Pembeli yang dinyatakan sebagai penawar tertinggi (pemenang) harus membayar secara tunai harga ikan yang dibeli (dilelang) kemudian membayar retribusi kepada TPI sebesar 3% dari nilai yang dibelinya. Pembayaran yang dilakukan secara tidak tunai hanya diijinkan bila dijamin oleh manajer TPI. Syarat bagi penjual adalah nelayan dengan hasil

128 tangkapan diatas kebutuhan lauk-pauk wajib menjual hasil tangkapannya melalui TPI kemudian membayar retribusi kepada TPI sebesar 2% dari hasil penjualannya. Besaran retribusi ini tidak selalu sama untuk setiap pelabuhan perikanan di Indonesia. Kendala lain yang terjadi di PPN Palabuhanratu saat ini yaitu tidak lagi dilakukan pelelangan dalam pemasaran hasil tangkapannya adalah karena seringkali para bakul sebagai peserta lelang menunggak pembayaran atas harga nilai transaksi ditambah dengan pungutan retribusi sebesar 3%. Bakul seringkali melakukan transaksi yang melebihi batas kemampuan uang jaminan, padahal tindakan tersebut tidak diperkenankan tanpa diketahui oleh manajer TPI. Sanksinya, pihak pengelola TPI berhak untuk melakukan teguran bahkan melarang peserta lelang tersebut untuk mengikuti lelang selanjutnya. Penunggakan dari para bakul peserta lelang tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan proses lelang. Akibat adanya tunggakan, pengelola TPI terpaksa mengucurkan dana talangan sebagai pembayaran atas harga nilai transaksi kepada nelayan karena pembayaran tersebut harus diserahkan langsung setelah proses lelang selesai. Dana hasil retribusi tersebut dapat digunakan sebagai pembayaran biaya pembangunan dan penyediaan sarana TPI, biaya operasional TPI serta biaya lelang. Tunggakan tersebut masih bisa diatasi apabila hanya terjadi pada satu bakul, namun jika dilakukan berulangkali sehingga menjadi kebiasaan yang terjadi dikalangan para bakul maka dapat berdampak buruk terhadap KUD Mina karena akan mengalami permasalahan modal yang terus berkurang. Manajemen kelembagaan KUD Mina Mandiri Sinar yang lemah semakin membuat masyarakat nelayan kurang tertarik untuk menyalurkan dan menjual hasil tangkapannya melalui proses pelelangan. Permasalahan lain disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat perikanan akan arti pentingnya pelelangan. Masyarakat perikanan masih berfikir bahwa dengan mengikuti sistem penjualan secara lelang maka akan terjadi banyak pungutan sebagai pembayaran retribusi lelang. Harga ikan hasil penjualan melalui lelang yang akan dibayarkan kepada nelayan akan dipotong sebesar 2% dari nilai transaksi dan akan digunakan sebagai dana-dana nelayan seperti tabungan nelayan, asuransi nelayan, dana paceklik, dan dana sosial (penanggulangan

129 darurat kecelakaan di laut). Potongan retribusi nelayan sebesar 2% masih menimbulkan pro dan kontra masyarakat perikanan. Nelayan yang memiliki hasil tangkapan ekonomis rendah dan jumlah produksi yang relatif rendah menganggap bahwa apabila menjual ikan melalui lelang maka akan mengalami kerugian karena harus mengalami potongan, apalagi jika harga jual ikan kurang menguntungkan sehingga nelayan cenderung memilih menjual ikan langsung kepada para bakul/tengkulak walaupun berada pada bargaining position yang lemah. Penyebab lain adalah multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang dalam sistem pelelangan. Mayoritas beberapa orang yang berprofesi sebagai pengusaha pemilik kapal juga merangkap sebagai bakul. Kebiasaan lain dalam masyarakat perikanan Palabuhanratu yang sulit diubah adalah sistem langgan yang sudah mendarah daging. Sistem langgan terjadi ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut, keadaan ini memaksa nelayan untuk meminjam uang kepada para bakul/juragan. Bentuk timbal baliknya, nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada bakul juragan tersebut. 5.2.2 Aspek fasilitas Secara umum fasilitas yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan diantaranya yaitu: (a) Fasilitas penunjang pelelangan ikan Timbangan Timbangan berfungsi untuk menimbang ikan hasil tangkapan setelah didaratkan melalui dermaga lantai TPI. Timbangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 1 (satu) unit timbangan digital. Kondisi fisik timbangan digital (Gambar 31) mengalami beberapa kerusakan karena sudah cukup lama tidak digunakan sehingga keakuratannya berkurang. Timbangan ini seharusnya bisa digunakan oleh nelayan yang hendak melakukan lelang ikan.

130 Gambar 31 Timbangan gantung digital Trays Trays (basket) berfungsi sebagai wadah ikan hasil tangkapan yang didaratkan. Trays (Gambar 32) biasanya terbuat dari bahan fiber yang bersifat kuat dan tahan lama. Trays di PPN Palabuhanratu berkapasitas 30 kg dan 45 kg, disewakan kepada nelayan yang hendak mengangkut ikan hasil tangkapan dan dikenai biaya sewa dan perawatan Rp500,00/trays. Penyewaan trays adalah pemasukan tambahan selain dari retribusi lelang ikan yang dipungut dari nelayan dan bakul. Trays yang ada TPI berjumlah 600 unit dengan rincian 100 unit disediakan oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu dan 500 unit disediakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Secara umum kondisi fisik trays ini adalah baik. Gambar 32 Trays Troli

131 Troli (Gambar 33) merupakan alat bantu yang berfungsi untuk mempermudah proses pengangkutan ikan dari dermaga menuju lantai TPI ketika ikan hasil tangkapan telah didaratkan dan hendak diangkut ke TPI. Troli yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 10 unit dan merupakan sumbangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Sampai saat ini troli ini masih berfungsi dan kondisinya masih baik. Gambar 33 Troli Kursi Juru Lelang Kursi juru lelang ini berfungsi sebagai tempat duduk juru lelang ketika pelelangan ikan dilaksanakan. Kursi ini terbuat dari bahan kayu dan memiliki dudukan yang tinggi, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan juru lelang dalam melihat dan memutuskan peserta yang memenangkan lelang ikan. Kondisi fisik dari kursi juru lelang ini adalah kurang baik. Megaphone Megaphone (Gambar 34) berfungsi sebagai pengeras suara ketika dipergunakan oleh juru lelang saat melakukan kegiatan pelelangan ikan. Hal ini dilakukan agar informasi yang disampaikan oleh juru lelang dapat terdengar oleh para peserta lelang sehingga transparansi jumlah dan harga ikan diketahui oleh nelayan dan bakul. Megaphone yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 2 (dua) unit, dengan rincian 1 (satu) unit megaphone

132 merk sun way ER 660 dan 1 (satu) unit megaphone merk TOA MR 2015. Semua megaphone berasal dari sumbangan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Megaphone ini hingga sekarang kondisinya masih baik dan dapat digunakan. Gambar 34 Megaphone (b) Fasilitas bangunan TPI Sistem pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan lancar. Hal ini dapat dilihat melalui fasilitas bangunan TPI PPN Palabuhanratu yang seharusnya berfungsi sebagai wahana penjualan ikan untuk mencari pembeli potensial sebanyak mungkin belum terwujud saat ini. TPI PPN Palabuhanratu memiliki konstruksi bangunan yang cukup memadai untuk berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan, namun saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi pasar dimana para pedagang lapak ikan bebas berjualan di dalam bangunan TPI tersebut (Gambar 35-36). Hasil pengamatan selama di lapangan menunjukkan bahwa tata letak dermaga bongkar kurang sesuai dengan fungsinya sebagai areal untuk proses pendaratan dan pembongkaran ikan (Gambar 37-38). Areal dermaga bongkar juga digunakan sebagai tempat kapal nelayan bersandar dan menambatkan kapalnya untuk beristirahat. Akibatnya, tentu sangat mengganggu proses pendaratan dan pembongkaran ikan apabila pelelangan ikan hendak diaktifkan kembali.

133 Fasilitas bangunan TPI yang berpengaruh terhadap belum aktifnya kembali pelelangan ikan adalah kondisi lantai TPI yang masih belum memenuhi standar kebersihan lantai TPI. Fasilitas kran air bersih yang seharusnya dapat digunakan untuk membersihkan sampah dan sisa-sisa kotoran di lantai TPI tidak berfungsi dengan baik bahkan kondisinya rusak. Petugas kebersihan hanya menggunakan air kolam pelabuhan yang tercemar untuk membersihkan dan menyemprot lantai TPI. Kondisi fisik bangunan TPI saat ini berbeda dengan sebelumnya karena sudah mengalami renovasi di beberapa bagian gedung TPI. Kondisi lantai TPI yang dulunya hanya menggunakan bahan cor-coran semen (Gambar 39) sekarang telah berkeramik dan lantainya telah ditinggikan sekitar ± 60 cm serta dibuat 6 (enam) bagian petak besar (Gambar 40). Ketersediaan fasilitas penunjang pelelangan ikan (timbangan, trays, troli, kursi juru lelang, megaphone) sebenarnya sangat menunjang terhadap berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan meskipun ada beberapa dari fasilitas tersebut yang kondisi fisiknya kurang baik namun secara teknis hal tersebut dapat diperbaiki. Kondisi fasilitas bangunan dan lantai TPI serta dermaga cukup berpengaruh terhadap tidak berjalannya aktivitas lelang ikan. Gambar 35 Proses tawar-menawar antar pedagang tanpa pelelangan

134 Gambar 36 Penyalahgunaan TPI sebagai tempat kegiatan pedagang lain Gambar 37 Proses pendaratan & pembongkaran ikan Gambar 38 Areal bongkar dan tambat labuh kapal

135 Gambar 39 Kondisi lantai TPI sebelum renovasi Gambar 40 Kondisi lantai TPI setelah renovasi 5.2.3 Aspek hasil tangkapan Jenis hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu merupakan jenis ikan komoditas ekspor dan non ekspor (Gambar 41-44). Pengelola PPN Palabuhanratu mengelompokkan berdasarkan ikan yang didaratkan dan tercatat di TPI (fish by retribusi) dan ikan yang didaratkan dan tercatat di pelabuhan perikanan (fish by landing). Fish by retribusi artinya ikan tersebut telah tercatat di TPI serta dikenai retribusi untuk proses pemasaran ikan, sedangkan fish by landing adalah ikan secara keseluruhan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dan telah tercatat oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu. Fish by landing identik dengan jenis ikan komoditas ekspor seperti tuna, layur, dan swanggi. Ikan ekspor tersebut tidak masuk ke TPI melainkan langsung

136 masuk ke perusahaan pengekspor walaupun tetap dikenakan tarif retribusi. Mengingat aktivitas pelelangan ikan belum berjalan dengan baik, ditengarai retribusi yang didapat dari hasil tangkapan tuna kurang sesuai dengan nilai yang seharusnya. Pengelola pelelangan Rp8.800,00/kg untuk jenis hasil tangkapan tuna. pada saat itu menetapkan tarif retribusi Hal tersebut bertentangan dengan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa: BAB II PELELANGAN IKAN Pasal 3 (1) Hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di TPI. (2) Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Pasal 3 di atas tidak membedakan untuk ikan-ikan tujuan ekspor, semuanya diberlakukan sama yaitu harus melalui pelelangan ikan. Wawancara pribadi dengan Sam, A. R (16 Mei 2009, Dosen luar biasa Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) mengatakan bahwa, ada beberapa alasan tertentu yang menyebabkan suatu ikan hasil tangkapan tidak dilelang yaitu jumlah produksi ikan hasil tangkapan terlalu kecil yaitu 50 kg, ikan komoditas ekspor, ikan hasil tangkapan dari kapal pelatihan/penelitian, nelayan yang tidak patuh aturan, serta konsumen yang melakukan kecurangan kongkalikong. Gambar 41 Ikan tembang hasil tangkapan bagan

137 Gambar 42 Ikan lisong dan kakap merah Gambar 43 Ikan tuna reject tidak layak ekspor Gambar 44 Ikan layur reject tidak layak ekspor 5.2.4 Aspek peraturan Kelembagaan TPI merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di sektor pemasaran hasil tangkapan nelayan. TPI Palabuhanratu dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 15 Tahun 1984 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jabar Nomor 31 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan, berada di dalam wilayah operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, untuk membantu masyarakat

138 menjual ikan dengan cara dilelang. Surat keputusan tersebut menyatakan bahwa semua ikan hasil tangkapan nelayan harus dijual melalui cara lelang di TPI. TPI merupakan salah satu fasilitas yang ada pelabuhan perikanan untuk memasarkan ikan melalui aktivitas pelelangan. TPI sebagai salah satu tempat pelelangan ikan saat ini masih mengutamakan pengumpulan dana dan retribusi. Kelembagaan TPI pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi para nelayan yang seringkali berada pada posisi yang lemah dalam menghadapi pedagang atau tengkulak yang jumlahnya lebih sedikit. Pelelangan ikan adalah upaya pemerintah daerah yang bertujuan untuk membentuk persaingan harga yang layak serta melindungi nelayan dari permainan harga pasar yang kurang menguntungkan. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah daerah adalah dengan membentuk kelembagaan KUD yang berwenang menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan. Hal ini sesuai dengan Perda Provinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: BAB III IZIN PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN Pasal 5 (1) Penyelenggaraan Pelelangan Ikan harus memiliki izin dari Gubernur. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat. (3) Jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota. Berdasarkan penjelasan di atas, lembaga yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan pelelangan ikan adalah KUD Mina. Aktivitas pelelangan ikan merupakan suatu mekanisme pasar melalui pembentukan harga bersaing secara transparan dan dilakukan di hadapan khalayak umum. Pelaksanaan pelelangan ikan memiliki seperangkat aturan atau kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah. Provinsi Jawa Barat, saat ini masih memberlakukan Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Peraturan tersebut mendukung sepenuhnya pelaksanaan lelang. Aspek kebijakan bukan merupakan

139 faktor penghambat tidak berfungsinya aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu. Aturan atau kebijakan tersebut belum sepenuhnya terlaksana karena belum ada kerjasama serta kurangnya dukungan dari semua unsur dan peran masyarakat dalam penegakan aturan pelelangan, sebagai contoh adalah aktivitas pendaratan dan pembongkaran ikan oleh nelayan yang dilakukan di sembarang tempat untuk melakukan transaksi langsung dengan bakul/tengkulak tanpa melalui laporan terlebih dahulu ke TPI sehingga menyulitkan petugas TPI dalam mendata produksi hasil tangkapan nelayan. Contoh lainnya adalah kurangnya bantuan tenaga petugas keamanan dalam mengawasi aktivitas penjualan ikan di TPI serta sikap petugas yang masih lemah dalam menentukan sanksi tegas bagi yang melanggar aturan tersebut walaupun telah ada ketentuan pidana bagi yang melanggarnya. Contoh tersebut menandakan bahwa budaya kelembagaan tengkulak dalam masyarakat nelayan Palabuhanratu memang masih melekat kuat. Kendala lain yang masih meragukan adalah dalam beberapa ketentuan peraturan tersebut belum terdapat kejelasan yang lebih spesifik mengenai aturanaturan bagi ikan yang tidak dan yang diperkenankan untuk dilelang. Hal ini tentu saja membuka peluang untuk tidak berjalannnya sistem lelang sehingga fungsi KUD Mina sebagai penyelenggara lelang kurang berfungsi dengan baik. 5.3 Dampak Mekanisme Pemasaran tanpa Lelang Pelelangan ikan merupakan salah satu pola pemasaran krusial bagi terbentuknya keseimbangan harga bersaing yang stabil, meningkat dan transparan. Awal tujuan sesungguhnya dilaksanakan sistem pelelangan ikan di daerah produksi adalah sebagai upaya mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan sebagai produsen pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan pihak pembeli; yaitu pedagang pengumpul. Sistem lelang ikan diharapkan mampu mencegah penjualan ikan hasil tangkapan nelayan kepada para tengkulak yang justru merugikan nelayan. Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar nelayan cenderung apatis terhadap kelembagaan KUD yang menjalankan sistem lelang, terutama bagi nelayan buruh yang langsung turun ke laut. Nelayan menyadari bahwa dengan

140 adanya lelang, harga ikan cenderung meningkat, terkontrol dan diketahui oleh kedua belah pihak yaitu nelayan dan bakul. Harga dasar ikan yang akan dilelang di TPI PPN Palabuhanratu tidak lepas dari kontrol petugas penyelenggara lelang terhadap tingkat harga yang berlaku di pasaran pada saat itu. Nelayan cenderung lebih memilih kelembagaan tengkulak sebagai sarana pemasaran hasil tangkapan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hal ini dimungkinkan karena pengetahuan masyarakat perikanan tentang pelelangan masih rendah. Kondisi Fasilitas permodalan dan jaminan pembelian hasil tangkapan adalah salah satu faktor pemicu yang menjadi norma atau nilai penting dalam kelembagaan bakul/tengkulak. Hal tersebut dianggap menguntungkan bagi nelayan karena mendapat kepastian dan jaminan penjualan hasil tangkapan dibandingkan bila dijual melalui sistem lelang, di sisi lain nelayan juga merasakan adanya kerugian karena harga menjadi lebih murah dan ikan hasil tangkapan tidak diperbolehkan dijual ke tempat lain. Mekanisme pemasaran saat ini semakin membuka peluang bagi para bakul/tengkulak untuk menguasai pembentukan harga di kalangan masyarakat nelayan tanpa ada kontrol dari pembina maupun pengawas pelelangan. Dampak karena tidak berfungsinya aktivitas pelelangan ikan, menyebabkan bakul/tengkulak untuk menekan harga ikan yang dibeli dari nelayan dengan harga yang tidak layak. Nelayan hanya berperan sebagai penerima harga (price taker) karena posisi tawar yang lemah, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan pendapatan nelayan. Sistem yang berlaku dalam kelembagaan tengkulak adalah kesepakatan antara nelayan dan tengkulak tersebut. Tengkulak akan memberikan modal kepada nelayan untuk melaut dan hasil tangkapannya harus dijual kepada tengkulak. Harga ikan yang dibeli oleh tengkulak dari nelayan akan lebih rendah, selisihnya dapat mencapai Rp2.000,00/kg bahkan lebih dari harga jual ikan standar bila melalui lelang. Tabel 8 dan 9 di bawah hanya sebagai informasi untuk menunjukkan adanya selang harga yang cukup besar apabila ikan dijual oleh nelayan langsung melalui bakul/tengkulak dibandingkan apabila ikan dijual melalui mekanisme lelang, sehingga dari data tersebut dapat diperkirakan dampak kerugian yang terjadi bukan hanya bagi nelayan dan pedagang melainkan juga PAD Kabupaten yang terus mengalami penurunan

141 dengan adanya mekanisme pemasaran tanpa lelang. Selisih harga jual ditentukan terhadap spesies ikan yang sama dalam periode waktu yang sama yaitu periode bulan Mei 2009 di PPN Palabuhanratu. Tabel 8 Harga jenis ikan per kg di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 No Jenis ikan Harga per kg (Rp) Tingkat nelayan Tingkat bakul Tingkat pengecer 1 Cakalang 8.000,00 9.000,00 10.000,00 2 Tuna 15.000,00 25.000,00 30.000,00 3 Cucut 20.000,00 30.000,00 35.000,00 4 Tongkol 8.000,00 10.000,00 12.000,00 5 Layur 13.000,00 20.000,00 25.000,00 6 Tembang 7.000,00 8.000,00 9.000,00 Sumber: Data primer, Mei 2009 Tabel 9 Penghitungan raman untuk beberapa jenis ikan dengan lelang dan tanpa lelang di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 Jenis ikan Produksi (kg) Harga per kg (Rp) Asumsi melalui lelang* Tanpa lelang* Asumsi melalui lelang* Raman * (Rp) Tanpa lelang Kehilangan penerimaan nelayan* Ckl 8.277 9.000,00 7.000,00 74.493.000,00 56.118.950,00 18.374.050,00 Tn 38.762 11.000,00 9.000,00 426.382.000,00 340.454.400,00 85.927.600,00 Tkl 431 9.000,00 7.000,00 3.879.000,00 3.015.000,00 864.000,00 Total 47.470 29.000,00 23.000,00 504.754.000,00 399.588.350,00 105.165.650,00 Rataan 15.823.33 9.666,67 7.666,67 168.251.333,33 133.196.116,67 35.055.216,67 Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, Mei 2009 (*diolah kembali) Keterangan: Ckl: Cakalang, Tn: Tuna, Tkl: Tongkol (Rp) Tabel 9 menunjukkan penghitungan raman beberapa komoditas ikan tertentu untuk mengetahui selisih raman (nilai produksi) sehingga nelayan kehilangan sebagian penerimaannya. Adanya informasi data yang terbatas saat di lapangan, maka peneliti hanya menghitung tiga jenis komoditas ikan tertentu sebagai contoh, tidak secara keseluruhan. Kondisi saat ini ketika pemasaran tidak lagi dilakukan lelang maka harga ikan yang terjual menjadi lebih rendah dibandingkan bila ikan tersebut diasumsikan dipasarkan melalui lelang. Asumsinya adalah bahwa pada saat ikan dipasarkan melalui lelang, maka harga

142 ikan akan meningkat sehingga berpengaruh terhadap raman yang juga mengalami peningkatan. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana pemasaran ikan tidak lagi dilelang, maka harga jual ikan lebih rendah dan raman yang dihasilkan juga rendah. Berdasarkan wawancara terhadap nelayan harga ikan pada saat dilelang diasumsikan mengalami peningkatan sebesar Rp2000,00 per kg dibandingkan harga ikan ketika tidak dilelang, sehingga contoh kasus pada Tabel 9 adalah seharusnya jika terjadi pelelangan maka harga ikan cakalang, tuna dan tongkol per kg yang dijual nelayan berturut-turut adalah Rp9.000,00; Rp11.000,00; dan Rp9.000,00 dan potensi penerimaan raman dari masing-masing ikan tersebut juga akan meningkat, namun karena lelang belum berfungsi kembali maka harga jual ikan cakalang, tuna dan tongkol per kg menjadi lebih rendah yaitu Rp7.000,00; Rp9.000,00 dan Rp7.000,00 sehingga raman yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan bila melalui lelang. Selisih harga tersebut mengakibatkan nelayan kehilangan sebagian penerimaannya. Total kehilangan sebagian penerimaan nelayan untuk tiga komoditas ikan diatas adalah Rp105.165.650,00 dan rata-rata untuk masing-masing komoditas ikan nelayan kehilangan sebagian penerimaannya sebesar Rp35.055.216,67. Penjelasan diatas hanya terkait dengan komoditas ikan yang telah disebutkan dalam Tabel 9, tidak secara keseluruhan. Perlu adanya penghitungan untuk setiap komoditas ikan sehingga dapat mengetahui potensi penerimaan nelayan yang hilang akan menjadi lebih besar. 5.4 Potensi penerimaan PAD Penentuan besarnya selisih potensi pemasukan terhadap PAD dilakukan melalui beberapa tahapan analisis, sebagaimana dijabarkan dibawah ini: 5.4.1 Analisis perbandingan produksi dan nilai produksi hasil tangkapan ikan melalui pelelangan dan tanpa pelelangan Aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu tidak berfungsi secara optimal, diduga jumlah produksi dan nilai produksi di TPI sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan TPI yang menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan seperti yang terjadi di TPI Muara Angke. Hasil wawancara kepada nelayan dan pedagang menyatakan bahwa hampir sebagian hasil tangkapan nelayan PPN Palabuhanratu dipasarkan juga ke wilayah Jakarta yaitu

143 ke daerah Muara Baru dan Muara Angke. Mira (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, antara pasar Muara Baru, Muara Angke dan pasar Palabuhanratu terintegrasi sempurna, artinya bahwa perubahan harga yang terjadi di Muara Baru dan Muara Angke bisa mempengaruhi perubahan harga di pasar Palabuhanratu dan begitu pula sebaliknya. TPI Muara Angke adalah salah satu pelelangan ikan dengan jumlah penjual terbanyak di Jakarta. Masing-masing penjual memiliki jam operasi yang beragam mulai dari jam 10.00-23.00 wib atau sebaliknya. Kawasan TPI Muara Angke tidak pernah sepi dari aktivitas pelelangan, meskipun penawaran dari beberapa daerah kadang terhambat lantaran cuaca yang kurang bersahabat. Pelelangan di TPI Muara Angke dikunjungi oleh pembeli dari beberapa tempat di Jawa Barat seperti Bekasi, Tangerang, Bogor dan Bandung. Ikan yang dilelang di TPI Muara Angke adalah ikan hasil tangkapan yang langsung didaratkan oleh kapal. Ikan-ikan kiriman dari daerah lain seperti Indramayu, Pekalongan, Tegal, Palabuhanratu, Tuban, Cilacap, Lampung, dan Labuan masuk ke pasar grosir Muara Angke. Pelaksanaan sistem lelang yang terjadi di Muara Angke, terkadang ikan yang dilelang tidak ada pembelinya atau nelayan tidak mau menjual hasil tangkapannya di TPI. Setiap hasil tangkapan yang didaratkan di TPI harus dilelang, jika hasil tangkapannya tidak ingin dilelang, maka nelayan tersebut harus membeli hasil tangkapannya sendiri dan dikenakan retribusi 5%. TPI Muara Angke mengenal cara tersebut dengan istilah opow (istilah lokal). TPI Palabuhanratu sejak Tahun 2004 dikelola oleh KUD Mina, aktivitas pelelangan ikan tidak berjalan mulus sehingga hanya sedikit nelayan yang dapat merasakan manfaat adanya retribusi pelelangan. Hal tersebut sesuai dengan wawancara kepada beberapa orang nelayan dan pengelola KUD bahwa tidak ada pembagian tabungan nelayan ataupun asuransi kecelakaan di laut, yang ada hanyalah pembagian berupa sembako yang dilakukan setahun sekali menjelang lebaran Idul Fitri. Dana-dana nelayan lebih diarahkan pada penggunaan perayaan untuk penyambutan hajatan seperti hari nelayan dan hajatan lain yang sifatnya dapat dinikmati bersama. Upaya yang telah dilakukan oleh pengelola TPI untuk menggiatkan kembali aktivitas pelelangan ikan adalah berupa penyuluhan dan pendekatan persuasif kepada para nelayan dan pedagang agar bersedia untuk

144 kembali melaksanakan pelelangan ikan. Penyuluhan tersebut hanya dilakukan ketika ada acara tertentu yang bekerjasama dengan suatu instansi, tidak dilakukan secara rutin. Pengelola TPI juga melakukan studi banding ke beberapa pelabuhan perikanan yang melaksanakan aktivitas pelelangan untuk meninjau dan mencontoh pelaksanaan pelelangannya. Peneliti mengasumsikan bahwa produksi dan raman yang dihasilkan oleh TPI ketika menyelenggarakan pelelangan lebih besar dibandingkan bila TPI tidak menyelenggarakan pelelangan seperti yang terjadi di PPN Palabuhanratu sehingga retribusi yang diterima juga akan meningkat (Tabel 10). Hubungan antara hasil tangkapan dengan retribusi berdasarkan tabel di atas adalah semakin banyak hasil tangkapan yang diperoleh maka akan banyak pula retribusi yang dibayarkan, demikian pula jika harga ikan yang dilelang tinggi maka retribusi yang dibayarkan juga meningkat. Kenaikan atau penurunan hasil penjualan nelayan akan sangat mempengaruhi nilai retribusi (Yustiarani, 2008). Tabel 10 memperlihatkan penghitungan retribusi beberapa komoditas ikan tertentu untuk mengetahui selisih retribusi ketika ikan dipasarkan dengan lelang dan tanpa lelang. Peneliti hanya menghitung tiga jenis komoditas ikan tertentu sebagai contoh, dikarenakan informasi data yang terbatas saat dilapangan. Kondisi saat ini ketika pemasaran tidak lagi dilakukan lelang maka harga ikan yang terjual menjadi lebih rendah dibandingkan bila ikan tersebut diasumsikan dipasarkan melalui lelang. Asumsinya adalah bahwa pada saat ikan dipasarkan melalui lelang, maka harga ikan cenderung meningkat sehingga berpengaruh terhadap raman dan retribusi yang diterima juga mengalami peningkatan. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana pemasaran ikan tidak lagi dilelang, harga jual ikan lebih rendah sehingga raman dan retribusi yang diterima juga rendah. Contoh kasus pada Tabel 10 adalah seharusnya jika terjadi pelelangan maka raman ikan cakalang, tuna dan tongkol yang dijual nelayan berturut-turut adalah Rp74.493.000,00; Rp426.382.000,00; dan Rp3.879.000,00 sehingga akan meningkatkan retribusi yang diterima oleh pengelola pelelangan, namun karena lelang belum berfungsi kembali maka raman ikan cakalang, tuna dan tongkol menjadi lebih rendah yaitu Rp56.118.950,00; Rp340.454.400,00 dan Rp3.015.000,00 sehingga retribusi yang diterima pengelola pelelangan cenderung

145 lebih rendah dibandingkan bila melalui lelang. Selisih retribusi tersebut mengakibatkan pemda kehilangan sebagian penerimaannya. Total selisih retribusi untuk tiga komoditas ikan dibawah adalah Rp5.258.282,50 dan selisih retribusi rata-rata yang tidak diterima untuk masing-masing komoditas ikan sebesar Rp1.752.760,83. Penjelasan pada Tabel 10 hanya terkait dengan komoditas ikan yang telah disebutkan dalam Tabel 9, tidak secara keseluruhan. Perlu adanya penghitungan untuk setiap komoditas ikan sehingga dapat mengetahui selisih retribusi yang tidak diterima akan menjadi lebih besar. Semakin tinggi selisih retibusi maka semakin besar kerugian TPI akibat tidak adanya lelang ikan karena pemasukan dari retribusi pelelangan ikan kecil.

79 Tabel 10 Selisih retribusi melalui pelelangan dan tanpa pelelangan di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 Jenis ikan Produksi (kg) Harga per kg (Rp) Raman (Rp) Retribusi (Rp) Asumsi Asumsi Tanpa Asumsi melalui melalui Tanpa lelang melalui Tanpa lelang* lelang* lelang* lelang* lelang* Selisih retribusi* (Rp) Cakalang 8.277 9.000,00 7.000,00 74.493.000,00 56.118.950,00 3.724.650,00 2.805.947,50 918.702,50 Tuna 38.762 11.000,00 9.000,00 426.382.000,00 340.454.400,00 21.319.100,00 17.022.720,00 4.296.380,00 Tongkol 431 9.000,00 7.000,00 3.879.000,00 3.015.000,00 193.950.00 150.750,00 43.200,00 Total 47.470 29.000,00 23.000,00 504.754.000,00 399.588.350,00 25.237.700,00 19.979.417,50 5.258.282,50 Rata-rata 15.823.33 9.666,67 7.666,67 168.251.333,33 133.196.116,67 8.412.566,67 6.659.805,83 1.752.760,83 Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)

80 5.4.2 Analisis nilai riil retribusi (N RR ) yang diterima Pemda Aktivitas pelelangan ikan diatur dalam Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 menyebutkan bahwa semua hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di TPI karena harus cepat terjual dengan harga yang layak sehubungan dengan sifat dari komoditi tersebut yang cepat busuk. Perda tersebut tidak menyebutkan pengecualian. Hal ini berarti bahwa untuk ikan komoditas ekspor juga seharusnya dilakukan pelelangan ikan di TPI. Hanya saja untuk ikan komoditas ekspor ini terdapat beberapa ketentuan yaitu ikan jenis tertentu yang akan diekspor diprioritaskan pelelangannya dan penanganannya dalam rangka menjaga kualitas ikan. Nilai riil retribusi (N RR ) yang diterima oleh Pemda berasal dari raman (nilai produksi) dari TPI yang pembagiannya sebesar 2,4% diperuntukkan bagi pemerintah daerah dan 2,6% untuk TPI yang penggunaannya telah diatur dalam Perda Jabar No 5 Tahun 2005. Nilai riil retribusi yang diterima oleh pemerintah daerah dapat dilihat berdasarkan penghitungan jumlah produksi dan nilai produksi dari TPI (Tabel 11). Berikut adalah nilai riil retribusi (N RR ) dari yang diterima TPI. Tabel 11 Nilai riil retribusi (N RR ) 5% yang diterima pengelola pelelangan, 2000-2008 Tahun Jumlah Jumlah N RR * Produksi Raman (5% x nilai raman) (kg) (Rp) (Rp) 2000 571.800 1.409.690.000,00 70.484.500,00 2001 428.027 901.200.000,00 45.060.000,00 2002 1.078.155 2.305.901.667,00 115.295.083,00 2003 1.010.037 2.296.462.000,00 114.823.100,00 2004 821.240 2.233,378,471,00 111.668.924,00 2005 1.582.285 4.972.514.202,00 248.625.710,00 2006 700.086 2.497.876.483,00 124.893.824,00 2007 532.929 3.158.512.593,00 157.925.630,00 2008 695.943 5.386.045.679,00 269.302.284,00 Rata-rata 824.500 2.795.731.233,00 139.786.562,00 Sumber : TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali) Dana retribusi yang diterima oleh pengelola TPI PPN Palabuhanratu akan disetor sebagai PAD Kabupaten kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)

81 yang sekarang beralih nama menjadi DPPKAD (Dinas Pengelolaan Pendapatan Kekayaan dan Aset Daerah) setelah diketahui oleh ketua KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Dana yang disetor merupakan hak pemerintah daerah sebesar 2,4%. Besaran nilai 2,4% tersebut kemudian dibagi kedalam pos-pos yang telah ditentukan besaran persennya (lihat sub bab 2.3.2). Nilai riil retribusi (N RR ) pelelangan ikan yang disetor untuk PAD Kabupaten (Tabel 12) adalah sebagai berikut : Tabel 12 Nilai riil retribusi (N RR ) 2,4% bagi PAD Kabupaten, 2000-2008 Tahun Raman Penerimaan pemda (PAD) (1.6%)* Pembagian PAD* Kabupaten/ Kota* Provinsi * BO TPI (0.80%)* (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 2000 ** 1.409.690.000 22.555.040 11.277.520 11.277.520 11.277.520 2001 ** 901.200.000 14.419.200 7.209.600 7.209.600 7.209.600 2002 ** 2.305.901.667 36.894.427 18.447.213 18.447.213 18.447.213 2003 ** 2.296.462.000 36.743.392 18.371.696 18.371.696 18.371.696 2004 ** 2.233.378.471 35.734.056 17.867.028 17.867.028 17.867.028 2005 ** 4.972.514.202 79.560.227 39.780.114 39.780.114 39.780.114 2006 *** 2.497.876.483 39.966.024 24.978.765 14.987.259 19.983.012 2007 *** 3.158.512.593 50.536.201 31.585.126 18.951.076 25.268.101 2008 *** 5.386.045.679 86.176.731 53.860.457 32.316.274 43.088.365 Rata-rata 2.795.731.233 44.731.700 24.819.724 19.911.975 22.365.850 Sumber : TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali) Keterangan: ** : menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 ***: menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan pembagian PAD bagi Pemerintah Kabupaten ataupun Pemerintah Provinsi dikarenakan penggunaan Perda yang berbeda pula. Tahun 2000 hingga 2005 menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 tentang Retribusi Pasar Grosir dan Pertokoan sedangkan tahun 2006 hingga sekarang menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Perbedaan dari kedua Perda tersebut terletak pada pengelompokkan jenis retribusi pelelangan ikan. Perda Provinsi Jabar No 9 Tahun 2000 menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan termasuk jenis retribusi pasar gosir dan retribusi jasa usaha, namun dalam Perda Provinsi Jabar No 5 Tahun 2005 terjadi perubahan yang menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan hanya sebagai retribusi jasa usaha sehingga

82 pembagian PAD untuk Pemerintah Daerah juga berbeda. Alasan lain penggunaan kedua Perda tersebut adalah mengenai perbedaan pembagian besarnya pemasukan bagi PAD antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perda No 9 Tahun 2000 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 0,8% dan Pemerintah Provinsi sebesar 0,8%, namun Perda No 5 Tahun 2005 menetapkan besaran pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 1% sedangkan untuk Pemerintah Provinsi sebesar 0,6%. Biaya operasional TPI yang ditetapkan pada Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 5 Tahun 2005 adalah sama yaitu sebesar 0,8%. 5.4.3 Analisis nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima Pemda Nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima oleh pemerintah daerah dihitung berdasarkan data jumlah produksi dan nilai produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu sejak tahun 2000 hingga 2008. Nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima diperoleh dari nilai produksi dikalikan 5% sebagai tarif retribusi (Tabel 13). Nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima oleh PAD tertera dalam Tabel 14: Tabel 13 Nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) 5% diterima pengelola pelelangan, 2000-2008 Tahun Jumlah Jumlah N RS * Produksi Raman (5% x nilai raman) (kg) (Rp) (Rp) 2000 2.505.091 3.854.151.900 192.707.595,00 2001 1.766.963 4.793.207.839 239.660.392,00 2002 2.890.127 9.885.365.315 494.268.266,00 2003 4.105.260 15.273.292.568 763.664.628,00 2004 3.367.517 15.670.740.946 783.537.047,00 2005 6.600.530 32.153.934.823 1.607.696.741,00 2006 5.461.561 32.550.912.620 1.627.545.631,00 2007 6.056.256 38.695.760.654 1.934.788.033,00 2008 4.580.683 42.562.536.675 2.128.126.834,00 Rata-rata 4.148.221 21.715.544.816 1.085.777.241,00 Sumber : PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali) Tabel 14 Nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) 2,4% bagi PAD Kabupaten, 2000-2008 Tahun Raman Penerimaan pemda (PAD) (1.6%)* Pembagian PAD* Kabupaten/ Kota* Provinsi* BO TPI (0.80%)* (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

83 2000 ** 3.854.151.900 61.666.430 30.833.215 30.833.215 30.833.215 2001 ** 4.793.207.839 76.691.325 38.345.663 38.345.663 38.345.663 2002 ** 9.885.365.315 158.165.845 79.082.923 79.082.923 79.082.923 2003 ** 15.273.292.568 244.372.681 122.186.341 122.186.341 122.186.341 2004 ** 15.670.740.946 250.731.855 125.365.928 125.365.928 125.365.928 2005 ** 32.153.934.823 514.462.957 257.231.479 257.231.479 257.231.479 2006 *** 32.550.912.620 520.814.602 325.509.126 195.305.476 260.407.301 2007 *** 38.695.760.654 619.132.170 386.957.607 232.174.564 309.566.085 2008 *** 42.562.536.675 681.000.587 425.625.367 255.375.220 340.500.293 Rata-rata 21.715.544.816 347.448.717 199.015.294 148.433.423 173.724.359 Sumber : PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali) Keterangan: ** : menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 ***: menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 Telah disebutkan dalam tahapan 5.4.2 di atas bahwa terdapat perbedaan penggunaan Perda Provinsi dalam penentuan besaran pembagian PAD bagi Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi. Sejak Tahun 2000 hingga 2005 menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 tentang Retribusi Pasar Grosir dan Pertokoan. Tahun 2006 hingga sekarang menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Perbedaan kedua Perda tersebut terletak pada pengelompokkan jenis retribusi pelelangan ikan. Perda Provinsi Jabar No 9 Tahun 2000 menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan termasuk jenis retribusi pasar gosir dan retribusi jasa usaha, namun dalam Perda Provinsi Jabar No 5 Tahun 2005 terjadi perubahan yang menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan hanya sebagai retribusi jasa usaha sehingga pembagian PAD untuk Pemerintah Daerah juga berbeda. Alasan lain penggunaan kedua Perda tersebut adalah mengenai perbedaan pembagian besarnya pemasukan bagi PAD antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perda No 9 Tahun 2000 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 0,8% dan Pemerintah Provinsi sebesar 0,8%, namun Perda No 5 Tahun 2005 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 1% sedangkan untuk Pemerintah Provinsi sebesar 0,6%. Biaya operasional TPI yang ditetapkan pada Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 5 Tahun 2005 adalah sama yaitu sebesar 0,8%. 5.4.4 Potensi penerimaan PAD perikanan dari retribusi pelelangan ikan

84 Nilai riil retribusi (N RR ) yang diterima penyelenggara pelelangan berbeda jauh dengan nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima. Nilai riil retribusi lebih kecil daripada nilai retribusi yang seharusnya diterima. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai riil retribusi (N RR ) yang disetor kepada pemerintah daerah relatif lebih kecil dari nilai retribusi yang seharusnya (N RS ) diterima (Tabel 15). Nilai rata-rata pertahun retribusi yang seharusnya diterima pemerintah daerah sebesar Rp1.085.777.241,00 lebih besar dari nilai riil retribusi yang diterima oleh Pemda yaitu hanya sebesar Rp139.786.562,00 (N RS >N RR ). Hal tersebut mengindikasikan terjadi selisih potensi penerimaan dengan belum aktifnya kembali pelelangan ikan. Selisih potensi penerimaan yang dialami pemerintah daerah per tahunnya mencapai kisaran rata-rata sebesar Rp945.990.679,00. Tabel 15 Selisih potensi penerimaan PAD Sukabumi, 2000-2008 Tahun Pelabuhan * (NRS) Retribusi 5% * (Rp) TPI * (NRR) Selisih potensi penerimaan (Rp) 2000 192.707.595,00 70.484.500,00 122.223.095,00 2001 239.660.391,95 45.060.000,00 194.600.391,95 2002 494.268.265,75 115.295.083,35 378.973.182,40 2003 763.664.628,40 114.823.100,00 648.841.528,40 2004 783.537.047,30 111.668.923,55 671.868.123,75 2005 1.607.696.741,15 248.625.710,10 1.359.071.031,05 2006 1.627.545.631,00 124.893.824,15 1.502.651.806,85 2007 1.934.788.032,70 157.925.629,65 1.776,.862.403,05 2008 2.128.126.833,75 269.302.283,95 1.858.824.549,80 Rataan 1.085.777.240,78 139.786.561,64 945.990.679,14