BAB I PENDAHULUAN. SMAN X Kota Purwakarta merupakan satu-satunya Sekolah Menengah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman. Salah satu yang mendukung perkembangan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan. maksud memeroleh atau membantu memeroleh pendapatan atau gaji

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai rasa untuk memiliki dan bersedia untuk memberikan. kontribusi untuk membangun suatu sistem kerjasama yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi di Indonesia yang saat ini semakin pesat memunculkan

BAB I PENDAHULUAN. habisnya. Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 1990-an mulai terjadi perubahan besar-besaran dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. semakin kuat dan semakin ketat. Persaingan dalam dunia bisnis, ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perkembangan perusahaan provider telekomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Radio merupakan salah satu bentuk media massa elektronik yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Kebakaran dapat terjadi setiap saat, dimana saja dan kapan saja. Kebakaran terjadi

BAB I PENDAHULUAN. ini, berdampak pada kritisnya masyarakat Indonesia dalam menerima produk jasa.

BAB I PENDAHULUAN. baik bencana alam maupun bencana sosial (Perang, krisis ekonomi dan lain-lain).

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi pada saat ini,

DAFTAR ISI. JUDUL i. LEMBAR PENGESAHAN ii. ABSTRAK... iii. KATA PENGANTAR iv. DAFTAR ISI... v. 1.1 Latar Belakang Masalah. 1

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan minyak bumi yang dihasilkan oleh Indonesia. PT. X terus berusaha

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tidak hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan yang besar,

BAB I PENDAHULUAN. besar seperti Jakarta dan Bandung, perkembangan di bidang fashion, perfilman,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Perawat bagian rawat inap Rumah Sakit X menunjukkan derajat OCB

BAB I PENDAHULUAN. dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu

BAB I PENDAHULUAN. untuk menghasilkan keuntungan yang memadai bagi perusahaan dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dalam bidang transportasi juga semakin meningkat. Di era

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya akan berelasi dengan orang lain pun akan meningkat. Individu akan

TINJAUAN PUSTAKA Organizational Citizenship Behavior

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi sorotan bagi organisasi untuk tetap dapat

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kebutuhan yang cukup penting. Hal ini menjadikan industri jual beli

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan sebagai perusahaan terdiri atas sekumpulan orang-orang yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

LAMPIRAN 1 KISI-KISI ALAT UKUR OCB. No. Dimensi Indikator Item

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan setelah mengalami adanya gangguan/keluhan pada tubuhnya, bahkan

BAB I. Pendahuluan. terus menerus membutuhkan pasokan energi yang digunakan untuk dapat melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara job..., Putriani Pradipta Utami Setiawan, FISIP Universitas UI, 2010 Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan serta Kementrian

BAB I PENDAHULUAN. sejarah, tetapi juga estetis. Ketiga, bussines for fashion terus berkembang di kota ini

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK X DI BANDUNG. Akira Devi Jatmika ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. banyak hal, selain kualitas SDM, sistem dalam organisasi, prosedur

2 nasional dengan baik, maka diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan di bidang-bidang lain. Sumber daya manusia merupakan aset yang p

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset yang penting dalam sebuah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan

BAB I PENDAHULUAN. siap terhadap perubahan tersebut. Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. rapuh saat sumber daya yang dimilikinya tidak memiiki visi yang sama dalam

LAMPIRAN A VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR. 1. Validitas Alat Ukur OCB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Definisi Organizational Citizenship Behavior

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Universitas Kristen Maranatha

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas dengan bermunculannya sekolah-sekolah baru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Organisasi ataupun perusahaan tidak akan dapat bertahan tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian OCB dan DOCB

BAB I PENDAHULUAN. peran yang sangat penting disamping sumber-sumber daya lain yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan tenaga kerja yang ulet dan terampil sehingga dicapailah performa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dinamika kerja di lingkungan industri dan organisasi akhir-akhir ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali dipopulerkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori yang melandasi penelitian ini adalah Social Exchange Theory. Fung

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel Tergantung : Organizational Citizenship Behavior. B. Definisi Operasional

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS. diperlukan, maka individu dalam organisasi memerlukan perilaku untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting. Menurut Mangkunegara (2005:67) mengatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Suatu perusahaan memiliki tujuan untuk mencapai keunggulan, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. SDM merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. yang tidak berorientasi untuk mencari keuntungan semata. Bahkan reward hampir

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS PENELITIAN. melakukan balas budi terhadap organisasi dengan bersikap dan berprilaku lebih

BAB II LANDASAN TEORI. Cascio (2003) mengungkapkan OCB sebagai perilaku kebijaksanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda dunia mengharuskan perusahaan untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era globalisasi yang selalu ditandai dengan terjadinya perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan sumberdaya manusia yang berkualitas saat ini semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori pertukaran sosial menurut Staley dan Magner (2003) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk memusatkan perhatian pada pengembangan SDM. soft skill yang di dalamnya terdapat unsur behavior dan attitude.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia yang baik (SDM), berkualitas dan potensial merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) Schultz (Prihatsanti, 2010) menyatakan bahwa OCB melibatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pandangan karyawan ketika mereka telah diperlakukan dengan baik oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Definisi Perilaku Organisasi. meningkatkan keefektifan suatu organisasi.

BAB II TINJAUAN TEORI. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi yang berhasil mewujudkan perubahan memiliki ciri-ciri mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. itu sendiri, Sebagaimana diketahui sebuah organisasi atau perusahaan,

BAB I PENDAHULUAN. Panjang (RPJP) Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari peran karyawannya. Karyawan dalam suatu perusahaan bukan semata-mata

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh perusahaan.

I. PENDAHULUAN. Setiap organisasi tentunya membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. telekomunikasi hanya ada dua yaitu: PT. Telkom tbk dan PT Indosat tbk. PT Telkom

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (GBHN 1973).

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku individu yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori pertukaran sosial. Fung et

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah SMAN X Kota Purwakarta merupakan satu-satunya Sekolah Menengah Atas Di Kota Purwakarta yang mengalami perubahan standar menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sejak tahun 2009. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf internasional, sehingga lulusannya diharapkan memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan adanya perubahan program peningkatan standar sekolah, maka berubah pula tujuan dan cara mencapai tujuan dari program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, hal ini dapat terlihat dari visi misi yang dimiliki oleh SMAN X. Visi dari SMAN X adalah mewujudkan manusia unggul yang kreatif dan inovatif yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mampu bersaing dikancah Internasional. Misinya adalah mewujudkan standar tentang pendidikan plus, mewujudkan sekolah bertaraf internasional, memberikan pengayaan pendidikan secara profesional, mengembangkan kerjasama yang efektif dan efisien antara seluruh komponen sekolah dan masyarakat, menjalin kerjasama dan meningkatkan peran serta stake holder, mewujudkan budaya Purwakarta berkarakter. 1

2 Untuk mewujudkan visi misi sekolah, maka diperlukan peran serta dari seluruh komponen sekolah termasuk guru-guru. SMAN X memiliki tuntutan untuk para guru yaitu mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan, menciptakan lingkungan sekolah yang mencintai budaya tanah air, meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajar. Selain itu, meningkatkan pemanfaatan teknologi dan kegiatan mengajar, melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan melaksakanan pelayanan pendidikan secara profesional. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru-guru SMAN X Di Kota Purwakarta pada dasarnya sudah melakukan sebagian besar tugastugas utamanya dapat dilihat dari, guru yang telah melaksanakan tuntuan secara profesional dapat mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan, yaitu dengan adanya pembentukan budaya rapih dan bersih dilingkungan sekolah melalui proses modeling dari keteladanan kepala sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah didapatkan hasil sebagian besar guru (90%) dapat menjaga kebersihan lingkungan kerjanya termasuk ruang guru agar dapat bekerja dengan nyaman. Selain itu, juga dengan menciptakan lingkungan sekolah yang mencintai budaya tanah air, para guru wajib mengikuti upacara bendera dan wali kelas secara bergiliran bertugas sebagai pembina upacara. Sedangkan untuk memenuhi tuntutan meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajar, guru diharapkan menggunakan Bahasa Inggris dalam mengajar dan membuat soal, melakukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam rangka penyamaan persepsi tentang materi. Selain itu, diharapkan mengikuti workshop misalnya tentang penerapan Information and Communication

3 Technologies (ICT) dalam kegiatan belajar mengajar, mengikuti pelatihan Bahasa Inggris atau pelatihan mengenai cara mengajar yang baik. MGMP merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh guru SMAN X. Sedangkan untuk tuntutan penggunaan media teknologi dan juga sedikit penyertaan Bahasa Inggris dalam mengajar dan membuat soal, kepala sekolah mengatakan sebagian besar guru mampu mengoprasikan laptop, infocus dan memanfaatkan blog untuk mengumumkan dan memeriksa tugas siswa secara online, selain itu juga guru sedikit mampu menggunakan Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar. Guru dihadapkan pada harapan-harapan di luar job description nya seperti dalam rangka meningkatkan kemampuan guru, guru diharapkan dapat berpartisipasi pada pelatihan Bahasa Inggris dan juga sebagai tambahan pelatihan pembuatan blog yang bersifat tidak wajib. Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 orang guru SMAN X Di kota Purwakarta diperoleh hasil, sebanyak 7 orang guru (87,5%) tidak hadir dalam kegiatan pelatihan tersebut. Hal ini terkait dengan kondisi guru yang dihayati sudah lelah ketika pelaksanaan pelatihan dimulai pada sore hari, dan juga penghayatan guru mengenai materi Information and Communication Technologies (pembuatan blog) yang dirasakan terlalu sulit. Tuntutan lainnya adalah guru melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah ditentukan. Guru diharapkan dapat melaksakanan pelayanan pendidikan secara profesional, yaitu guru mampu membantu proses belajar siswa di sekolah, bekerja sesuai dengan keahliannya masing-masing, memberikan pelayanan bimbingan secara informal mengenai jurusan untuk kelas XI yang akan penjurusan dan untuk siswa kelas XII melanjutkan pendidikan

4 kejenjang Perguruan Tinggi. Banyaknya tuntutan-tuntutan tersebut membuat guru menjadi lebih sibuk, ini terlihat saat guru diharapkan dapat menambah teknik mengajar, guru lebih memilih menggunakan teknik mengajar pada umumnya seperti ceramah, diskusi, presentasi. Hal ini diperkuat dengan hasil survei kepada 60 siswa SMAN X Di Kota Purwakarta, yang terdiri dari siswa kelas X, XI dan XII didapatkan hasil sebanyak 45 siswa (75%) menyatakan guru kurang memiliki inovasi cara mengajar di kelas dan hanya menggunakan teknik ceramah, diskusi atau presentasi. Sedangkan sebanyak 15 siswa (25%) menyatakan guru memiliki inovasi mengajar, seperti menggunakan teknik belajar sambil bermain atau sebelum memulai pelajaran siswa diminta untuk bercerita di depan kelas mengenai pengalamannya yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Dampak lainnya yang dirasakaan adalah guru memiliki jadwal yang lebih padat, sehingga sulit untuk menyediakan waktu ekstra dalam rangka menjawab kebutuhan siswa di luar tatap muka di kelas. Sedangkan para guru menghadapi harapan berupa guru bisa lebih memperhatikan lingkungan kerjanya, bersedia menyediakan waktu ekstra untuk menjawab kebutuhan siswa di luar tatap muka kelas, inisiatif untuk memberikan pengayaan materi tambahan bahkan menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan dan membimbing siswa yang memiliki prestasi yang kurang baik di luar jam tatap muka di kelas. Berdasarkan hasil survei kepada 8 orang guru SMAN X Di Kota Purwakarta didapatkan hasil, sebanyak 7 orang guru (75%) jarang menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing siswa yang memliki prestasi akademik kurang baik di luar jam tatap muka di kelas sedangkan

5 sebanyak 2 orang guru (25%) sering menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing siswa yang memiliki prestasi akademik kurang baik di luar tatap muka di kelas. Hal ini diperkuat dengan hasil survei kepada 60 siswa SMAN X Di Kota Purwakarta, yang terdiri dari siswa kelas X, XI, dan XII, didapatkan hasil sebanyak 45 siswa (75%) menyatakan guru jarang menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing siswa yang memiliki prestasi kurang baik di luar jam tatap muka di kelas. Sebanyak 15 siswa (35%) menyatakan guru sering menyediakan waktu untuk melayani kebutuhan siswa di luar tatap muka di kelas. Selain berdampak pada siswa banyaknya tuntutan-tuntutan tersebut berdampak juga pada guru yang lain. Dengan jadwal yang padat guru cenderung hanya terfokus pada job description saja, dapat terlihat tidak akan ada guru yang menggantikan mengajar saat salah satu kelas tidak ada guru yang mengajar dan hanya diberikan tugas yang harus dikumpulkan hari itu juga. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan pada 8 orang guru SMAN X Di Kota Purwakarta diperoleh hasil yaitu, meskipun memiliki waktu luang sebanyak 8 orang guru (100%) kurang bersedia menggantikan guru lain mengajar mata pelajaran yang sama dengannya. Sebanyak 3 orang guru (37,5%) dikarenakan merasa sudah padat dengan jadwal mengajar masing-masing dan sebanyak 5 orang guru (62,5%) mengatakan karena dirasakan cukup lelah. Mengenai kehadiran guru di sekolah didapatkan data bahwa sebesar 98% guru hadir setiap hari untuk memenuhi jadwal mengajarnya dan juga guru hadir pada rapat-rapat penting sekolah, tetapi kepala sekolah mengatakan kurangnya

6 partisipasi dan minimnya kehadiran guru pada kegiatan sekolah di luar job description nya. Seperti guru tidak akan menghadiri Pentas Seni (PENSI) yang diadakan siswa apabila kepala sekolah tidak memintanya, hal yang sama juga terjadi pada saat pelatihan Bahasa Inggris dan pelatihan Information and Communication Technologies (ICT) yang bersifat tidak wajib. SMAN X adalah RSBI oleh karena itu, guru disediakan fasilitas mengajar atau bekerja yang cukup memadai seperti disediakannya laptop, infocus, blog sekolah dan ruangan guru yang nyaman. Berdasarkan hasil wawancara kepada 8 orang guru SMAN X Di Kota Purwakarta, diperoleh hasil 5 orang guru (62,5%) merasa ada satu hal yang dirasakan dapat menghambat pekerjaannya yaitu lokasi mengajar yang berbeda sehingga membuat guru merasa lelah karena harus berpindah-pindah lokasi mengajar. Oleh karena itu, guru lebih memilih berpindah tempat mengajar saat mendekati jam masuk kelas pelajaran berikutnya. Berdasarkan hasil survei awal, dapat dikatakan bahwa guru SMAN X Di Kota Purwakarta pada dasarnya sudah melakukan tugas-tugas yang tercantum dalam job description, namun guru SMAN X Di Kota Purwakarta kurang melayani siswa di luar jam tatap muka di kelas atau sekolah, kurang mau mengembangkan diri, kurang dapat mentoleransi situasi dan kondisi sekolah yang kurang ideal dan kurang menunjukan komitmen dan tanggung jawabnya terhadap kelangsungan hidup sekolah (extra-role). Extra-Role atau yang biasa disebut dengan Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku individu yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary), meskipun tidak langsung berkaitan dengan sistem reward formal,

7 dan pada aggregatnya dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari fungsi organisasi (Organ, 2006). OCB terdiri dari lima dimensi yaitu altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtesy, civic virtue (Podsakoff, MacKenzie, Moorman dan Fetter, 1990 dalam Organ, 2006). Dimensi altruism yaitu inisiatif guru untuk membantu rekan kerja dan siswa yang sedang membutuhkan bantuan, dimensi sportsmanship merupakan perilaku mentoleransi kondisi-kondisi sekolah yang kurang ideal tanpa mengeluh. Dimensi conscientiousness merupakan kemauan guru untuk bekerja melebihi dari standar yang ditetapkan sekolah, dimensi courtesy merupakan perilaku mencegah atau menghindari terjadinya suatu masalah kerja dengan guru lain. Dimensi yang terakhir yaitu civic virtue merupakan perilaku menunjukan minat dan komitmen sebagai rasa tanggung jawab atau kepedulian terhadap kelangsungan hidup sekolah. Oleh karena itu, Organizational Citizenship Behavior diperlukan oleh SMAN X Di Kota Purwakarta guna meningkatkan efektifitas sekolah agar dapat mempertahankan standar sekolah tetap Rintisan Sekolah Beraraf Internasional atau bahkan guna meningkatkan standar sekolah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini juga berkaitan dengan aturan pemerintah yaitu bila sekolah dalam jangka waktu lima tahun belum berubah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional maka akan dilakukan evaluasi mengenai kelayakan sekolah tersebut (http://www.pastibos.com/evaluasi-rsbi-kacaukan-sisdiknas.html). Bertitik tolak dari fenomena-fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta.

8 1.2 Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini, ingin mengetahui seperti apa gambaran mengenai tingkat Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta melalui dimensi-dimensinya. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta melalui dimensi-dimensi OCB yang dimunculkan yaitu, alturism, conscientiousness, courtesy, sportsmanship serta civic virtue kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan pada ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi terutama

9 mengenai Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi tambahan untuk peneliti lain yang akan mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai Organizational Citizenship Behavior. 1.4.2 Kegunaan Praktis a. Memberikan informasi tambahan kepada Kepala Sekolah SMAN X Di Kota Purwakarta mengenai Organizational Citizenship Behavior pada guru, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengupayakan hasil kerja yang optimal dan untuk meningkatkan efektifitas sekolah. b. Memberikan informasi tambahan pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta mengenai Organizational Citizenship Behavior sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengevaluasi diri guna meningkatkan kinerjanya dalam rangka meningkatkan efektifitas sekolah. 1.5 Kerangka Pemikiran SMAN X adalah salah satu sekolah yang selalu berusaha untuk meningkatkan standar pendidikan. Peningkatan standar pendidikan dapat dicapai dengan cara menetapkan dan menjalankan visi misi yang telah dibuat oleh SMAN

10 X. Untuk mencapai visi misi tersebut diperlukan peran serta seluruh anggota sekolah termasuk para guru. Peran serta guru adalah dengan melaksanakan semua tuntutan atau job description yang telah ditetapkan oleh sekolah. Tuntutannya adalah mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan, menciptakan lingkungan sekolah yang mencintai budaya tanah air, meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajar, meningkatkan pemanfaatan teknologi dan kegiatan mengajar, melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan melaksakanan pelayanan pendidikan secara profesional. Akan tetapi seorang guru yang hanya melaksanakan tuntutannya saja dirasa tidaklah cukup untuk mencapai target yang ingin dicapai yaitu mempertahankan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau bahkan berubah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Oleh karena itu, guru SMAN X diharapkan secara sukarela dapat melakukan tugas melebihi dari job description-nya, berinisiatif membantu rekan kerja dan juga siswa yang nampak membutuhkan bantuan (extra role), perilaku ini dikenal dengan istilah Organization Citizenship Behavior (OCB). Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku individu yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary), meskipun tidak langsung berkaitan dengan sistem reward formal, dan pada aggregatnya dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari fungsi organisasi (Organ, 2006). OCB terdiri dari lima dimensi yaitu altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtesy, civic virtue (Podsakoff, MacKenzie, Moorman dan Fetter, 1990 dalam Organ, 2006).

11 Dimensi alturism pada guru SMAN X merupakan perilaku inisiatif menolong yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary) yang ditunjukan kepada rekan kerja dan siswa yang nampak membutuhkan bantuan (Podsakoff, MacKenzie, Moorman, Feter, dalam Organ, 2006). Guru SMAN X memiliki alturism tinggi bila menunjukan inisiatif bersedia menggantikan tugas mengajar mata pelajaran yang sama dengan rekan kerja yang tidak masuk sekolah, bersedia membantu guru baru dalam masa orientasi kerja dan membantu proses belajar siswa di luar jam tatap muka di kelas atau sekolah. Sedangkan Guru SMAN X memiliki altruism rendah bila kurang memiliki kesediaan menggantikan guru yang tidak masuk sekolah karena alasan lelah atau malas, dan tidak meluangkan waktu membantu proses belajar siswa di luar tatap muka di kelas atau sekolah. Dimensi conscientiousness pada guru SMAN X merupakan perilaku yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary) dan melebihi standar minimum pekerjaannya sehingga dapat menguntungkan sekolah (Podsakoff, MacKenzie, Moorman, Feter, dalam Organ, 2006). Guru SMAN X memiliki conscientiousness tinggi bila menunjukan perilaku tidak cuti kerja kecuali untuk alasan yang benar-benar mendesak, tiba lebih awal di sekolah dari waktu yang ditentukan dan patuh pada peraturan sekolah walaupun tidak ada yang mengawasi. Sedangkan guru SMAN X memiliki conscientiousness rendah bila menunjukan perilaku tiba di sekolah bertepatan dengan jam masuk dan cuti kerja karena alasan pribadi yang tidak masuk akal atau tidak mendesak.

12 Dimensi sportsmanship pada guru SMAN X merupakan perilaku yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary) guna mentoleransi kondisikondisi yang kurang ideal tanpa mengeluhkan hal-hal kecil (Podsakoff, MacKenzie, Moorman, Feter, dalam Organ, 2006). Guru SMAN X memiliki sportsmanship tinggi bila menunjukkan perilaku seperti, tetap mengikuti pelatihan tanpa mengeluhkan waktu pelatihan dan menerima fasilitas asuransi kesehatan yang terbatas dari sekolah, menerima dengan lapang dada bila idenya tidak diterima oleh orang lain. Sedangkan guru SMAN X memiliki sportsmanship yang rendah bila menunjukan perilaku mengeluhkan lokasi sekolah yang berbeda, mengeluhkan fasilitas-fasilitas mengajar yang disediakan sekolah seperti ruangan kelas yang panas dan terbatasnya jumlah laptop dan infocus. Dimensi courtesy pada guru SMAN X merupakan perilaku yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary) guna mencegah atau menghindari terjadinya suatu permasalahan kerja dengan rekan kerja lain (Organ, podsakoff, MacKenzie, Moorman, Feter, 2006). Guru SMAN X memiliki courtesy tinggi bila menunjukan perilaku santun pada kepala sekolah, guru lain dan siswa, sehingga tercipta suasana kerja yang nyaman, bersedia berdiskusi mengenai mata pelajaran dan permasalahan siswa dengan rekan kerja, tidak menyalahgunakan hak-hak orang lain. Sedangkan guru SMAN X memiliki courtesy yang rendah bila menunjukan perilaku cenderung mengambil keputusan sendiri ketika bekerja dalam tim, jarang berdiskusi dengan guru lain untuk menyamakan persepsi mata pelajaran tertentu dan kurang membarikan perhatian pada pertemuan-pertemuan penting di sekolah.

13 Dimensi yang terakhir yaitu civic virtue pada guru SMAN X merupakan perilaku yang dilakukan atas kehendaknya sendiri (discretionary) guna menunjukan minat dan komitmen sebagai rasa tanggung jawab atau kepedulian terhadap kelangsungan hidup sekolah (Podsakoff, MacKenzie, Moorman, Feter, dalam Organ, 2006). Guru SMAN X memiliki civic virtue tinggi bila menunjukan perilaku bersedia menghadiri kegiatan tidak wajib yang diadakan sekolah, secara sukarela menjadi panitia acara yang diadakan siswa atau sekolah, mengikuti perubahan-perubahan dan perkembangan sekolah dan selalu mencari informasi baru guna mendukung kemajauan sekolah. Sedangkan guru SMAN X memiliki civic virtue yang rendah bila menunjukan perilaku bersedia menghadiri kegiatan tidak wajib bila hanya ada perintah dari kepala sekolah dan bersedia mengikuti pelatihan jika ada surat keputusan dari kepala sekolah. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya tingkat OCB dan juga tingkat dimensi-dimensi OCB, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari karakteristik individu, sedangkan faktor eksternal terdiri dari karakteristik tugas, karakteristik kelompok, karakteristik organisasi dan karakteristik pemimpin. Karakteristik individu yang terdiri dari personality dan morale merupakan faktor Internal yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya OCB (Organ, 2006). Personality dapat diuraikan dalam the big five framework of personality yang dikemukakan oleh McCrae and Costa 1987 (dalam Organ, 2006) yaitu agreeableness, conscientiousness, neuroticism (emotional stability) dan extraversion.

14 Agreeableness adalah kepribadian seseorang yang bersahabat, disenangi oleh orang, dan juga mudah menjalin relasi yang hangat dengan orang lain (McCrae and Costa dalam Organ, 2006). Apabila guru SMAN X memiliki karakter agreeableness guru akan bersedia dengan kehendaknya sendiri mengeluarkan bantuan untuk rekan kerja dan siswa (OCB). Seseorang yang bersahabat tidak akan segan untuk menawarkan bantuan pada orang yang membutuhkan (altrusim) selain itu, orang yang memiliki kepribadian yang hangat akan tetap menjaga hubungannya dengan orang lain dalam rangka mencegah timbulnya permasalahan (courtesy) dan juga lebih bisa mentoleransi situasi atau perilaku yang kurang disukainya (sportmanship). Conscientiousness adalah mengarah kepada sifat dapat diandalkan, terencana, disiplin diri, ketekunan dari individu (McCrae and Costa dalam Organ, 2006). Apabila seorang guru memiliki karakter disiplin, tekun cenderung akan menampilkan unjuk kerja lebih standar minimum yang telah ditentukan, seperti tiba disekolah sebelum waktu yang ditentukan, memiliki riwayat absensi yang baik (conscientiousness). Guru yang disiplin dan tekun akan mempresentasikan komitmennya sebagai rasa kepeduliannya terhadap sekolah dengan cara menaruh perhatian pada hal-hal yang bersifat tidak wajib namun dianggap penting (civic virtue). Emotional stability (neuroticism) adalah kestabilan emosi seseorang yang ditandai dengan ciri tidak mudah marah-marah, cemas, bebas dari perasaan negatif (McCrae and Costa dalam Organ, 2006). Pada saat seorang guru dapat mengendalikan emosinya, maka ia tidak hanya akan memusatkan perhatian pada

15 permasalahannya sendiri, tetapi juga akan memperhatikan dan berusaha membantu mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan orang lain (courtesy). Extraversion adalah individu mempunyai karakter bersemangat, mempunyai tendensi untuk mencari stimulasi, menikmati lingkungan (McCrae and Costa dalam Organ, 2006). Guru bersifat reponsif terhadap lingkungan kerjanya akan lebih mampu untuk menjalin relasi yang baik dengan rekan kerja maupun siswanya sehingga mereka juga mau untuk saling membantu dalam melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing (altruism) dan bersedia membantu untuk mencegah berkembangnya suatu masalah pekerjaan dengan orang lain (courtesy). Selain itu, ketika seorang guru yang memiliki kepribadian bersemangat dan menikmati lingkungan diharapkan dapat menghadapi situasi sekolah yang kurng ideal (sportsmanship). Guru yang bersemangat akan memberikan perhataian dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di sekolah seperti mengajukan diri sebagai panitia atau guru pembimbing (civic viture) dan orang yang menikmati lingkungan dan bersemangat dalam melakukan pekerjaannya ia akan bekerja melebihi standar minimum yang ditentukan (conscientiousness). Terakhir openness yaitu kepribadian orang mempunyai rasa ingin tahu, ingin merasakan berbagai pengalaman, menghargai seni dan sensitif terhadap keindahan, lebih kreatif dan lebih sadar akan perasaannya, mereka akan lebih suka berpegangan pada hal-hal yang tidak konvensional dan tidak risih terhadap perubahan (McCrae and Costa dalam Organ, 2006). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Organ, belum ditemukan relasi yang dapat dijelaskan secara tepat antara openess dengan OCB. Namun apabila dikaitkan dengan rasa ingin tahu

16 yang dimiliki guru yang akan membuat guru tanggap terhadap perubahan lingkungan kerja dapat dikaitkan degan civic virtue. Karakteristik individu yang kedua adalah morale. Morale merupakan aspek-aspek dari sikap kerja guru yang terbentuk dari leader consideration, fairness, satisfaction, affective commitment (Organ, 2006). Pada saat guru merasa kepala sekolah menilai secara objektif dan guru merasa dinilai dengan adil atas kinerja yang telah dilakukannya, maka akan memunculkan kepuasan kerja pada diri guru yang selanjutnya akan memunculkan keterkaitan emosional pada pekerjaannya seperti memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, rekan kerja dan siswanya. Guru yang memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan sekolah secara spontan atas kehendaknya sendiri akan membantu orang lain (altruism), termasuk mencegah berkembangnya suatu masalah pekerjaan dengan orang lain (coutesy), dengan mentoleransi situasi dan kondisi yang kurang ideal (sporstmanship). Seorang guru yang memiliki komitmen pada pekerjaanya, akan berusaha untuk melakukan pekerjan tersebut melebihi dari standar yang ditetapkan (conscientiousnes). Komitmen juga dapat ditampilakan dalam bentuk perhatian yang diberikan pada kegiatan sekolah yang tidak wajib namun dianggap penting oleh seorang guru (civic virtue). Faktor eksternal pertama yang mempengaruhi tingkat OCB guru SMAN X Di Kota Purwakarta yaitu karakteristik tugas, yang terdiri dari task autonomy, task significance, task feedback, task identity, task interdependence, task variety (routinization), goal interdependence dan intrinsically satisfying task. Task autonomy merupakan derajat keleluasaan dan kebebasan bertindak yang dimiliki

17 individu dalam melaksanakan tugas, untuk menjadwalkan tugas dan menentukan prosedur yang akan digunakannya (Hackman dan Lawer 1971, dalam Organ 2006). Hal ini, dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab guru pada tugas yang akan dikerjakannya. Karena ada rasa memiliki dan tanggung jawab tersebut, seorang guru akan melakukan apapun termasuk mengerjakan tugas melebihi dari standar minimum yang telah ditentukan (conscientiousnes) untuk memperoleh hasil yang optimal. Selain itu, guru dapat mentoleransi situasi dan kondisi yang kurang ideal mengenai pekerjaan yang telah ia jadwalkan dan tentukan sendiri prosedurnya (sportsmanship). Task Significance adalah derajat pengaruh dari suatu pekerjaan terhadap kehidupan atau terhadap pekerjaan orang lain di dalam suatu organisasi atau di luar organisasi (Griffin, 1982 dalam Organ, 2006). Task Identity adalah derajat kebutuhan yang menyangkut penyelesaian secara menyeluruh dan identifikasi terhadap suatu tugas mulai dari proses awal hingga hasil yang terprediksi sebelumnya (Griffin, 1982 dalam Organ, 2006). Task variety (routinization) adalah nilai dari suatu pekerjaan yang menyangkut variasi dan aktifitas kerja dan melibatkan beberapa kemampuan dari pekerja (Griffin, 1982 dalam Organ, 2006). Suatu tugas yang memiliki variasi, identifikasi dan signifikasi yang tinggi akan dipersepsi lebih bernilai dan berarti daripada tugas yang rutin, signifikasi serta identifikasi yang rendah (Griffin, 1982 dalam Organ, 2006). Task significance, identity, dan variety akan mempengruhi OCB dengan menumbuhkan persepsi bahwa pekerjaannya lebih berarti atau dapat menumbuhkan kepuasan terhadap pekerjaan mereka sehingga akan memicu munculnya OCB pada guru.

18 Goal Interdependence adalah derajat kepercayaan anggota kelompok bahwa mereka telah terlibat dalam tujuan kelompok dengan melakukan umpan balik dalam kelompok (Van de Vliert, & Oosterhof, 2003 dalam Organ, 2006). Kepuasan kerja adalah kemampuan dari suatu tugas untuk menciptakan kepuasan dan menggugah keterlibatan dari seseorang (Kerr dan Jernier, 1978 dalam Organ, 2006). Task interdependence keterkaitan sejauh mana seorang anggota tim memerlukan pertukaran informasi, peralatan, dan dukungan dari anggota tim lain untuk dapat melaksanakan pekerjaannya (vander Vegt, Van de Vliert & Oos erhof, 2003). Pada saat guru dilibatkan dalam suatu tugas dan tugas tersebut saling bergantung dengan pekerjaan orang lain, maka akan mendorong guru untuk menampilkan unjuk kerja yang optimal agar menghasilkan dampak yang positif bagi pekerjaan guru lain yaitu dengan cara berinisiatif membantu guru lain yang nampak membutuhkan bantuan (altruism), mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan guru lain (courtesy) yang sedang dihadapi sekolah. Kepercayaan tersebut membuat para guru berusaha untuk mencapai tujuan sekolah dengan cara berusaha bekerja melebihi standar minimum yang telah ditetapkan (conscientiousness), seperti berperan aktif dalam kegiatan kegiatan sekolah (civic virtue) dan mampu mentolerasi situasi sekolah yang kurang ideal (sportsmanship) dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Intrinsically satisfying task adalah tugas-tugas yang pada hakekatnya menimbulkan kepuasan yang didapat (Kerr and Jermier, 1978 dalam Organ, 2006). Saat guru merasa pekerjaannya dapat memunculkan kepuasan, membuat

19 guru mengetahui apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan untuk memunculkan kepuasan kerja oleh karena itu, ia merasa perlu memunculkan perilaku OCB, seperti guru akan menunjukan komitmenya terhadap kelangsungan hidup sekolah (civic virtue), mengerahkan energinya untuk bekerja melebihi standar minimum yang ditetapkan sekolah (conscientiousness) tanpa mengeluhkan hal-hal kecil, walaupun mengalami situasi dan kondisi yang kurang ideal selama proses pengerjaan tugas tersebut (sportmaship). Selain itu, juga guru akan berinisiatif untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan (altruism), mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan guru lain (courtesy). Kemunculan OCB dalam kelompok dipengaruhi juga oleh karakteristik kelompok sebagai berikut yaitu group cohesiveness, team member exchange, group potency dan perceived team support. Group cohesiveness adalah keterkaitan antara satu anggota dengan anggota lain dan keinginan untuk menjadi bagaian dari keluarga tersebut (George and Bettenhausen, 1990 dalam Organ, 2006). Team Member Exchange (TMX) adalah kualitas relasi yang dapat menambahkan rasa saling percaya diantara anggota kelompok, komitmen terhadap kelompok (Organ, 2006). Saat kelompok memiliki rasa keterkaitan antar anggota kelompok maka akan menumbuhkan kualitas relasi kerja sama yang lebih baik, meningkatkan kepercayaan pada rekan kerja, kelompok yang kohesif, tumbuhnya komitmen kelompok. Sehingga seseorang bersedia untuk melakukan usaha lebih untuk kepentingan kelompoknya dalam rangka meningkatkan keefektifan kelompok termasuk memunculkan OCB. Semakin dekat hubungan kerja sama antar anggota kelompok, maka seorang guru tidak akan segan untuk membantu

20 rekan kerjanya yang membutuhkan bantuan (altruism) dan mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan guru lain (courtesy). Orang yang memiliki kedekatan dengan anggota kelompoknya dapat menghadapi situasi yang kurang ideal tanpa mengeluhkan hal-hal kecil (sportmaship), hal ini dilakukan demi menjaga hubungan kerja sama yang baik dengan anggota kelompok lain. Tingkat OCB juga dapat dipengaruhi oleh Group potency yaitu kolektif belief dari suatu kelompok bahwa kelompok dapat menjadi efektif (Guzzo et all, 1993 dalam Organ, 2006). Selain itu juga dipengaruhi oleh perceived Team Support, yaitu tingkat keyakinan seseorang bahwa kelompoknya menghargai kontribusinya dan peduli terhadap kesejahteraannya (Bishop et all, 2000, dalam Organ 2006). Saat kelompok guru memperoleh dukungan dari anggota kelompok lain maka guru akan merasa kontribusinya terhadap sekolah dihargai dan juga akan menumbuhkan rasa saling percaya antar anggota kelompok. Seorang guru yang merasa kontribusinya dihargai maka, guru tersebut akan mengulangi perilaku yang membuat dirinya dihargai, seperti terlibat dalam kegiatan yang tidak wajib di sekolah (civic viture), membantu anggota kelompok yang sedang membutuhkan bantuan (altruism), mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan guru lain (courtesy). Berusaha bekerja melebihi standar minimum yang ditetapkan (conscientiousness), tanpa mengeluhkan hal-hal kecil walaupun dalam situasi dan kondisi yang kurang ideal (sportmaship) saat bekerja. Semakin sering seorang guru menerima bantuan (perilaku OCB), maka guru tersebut cenderung akan menampilkan perilaku serupa pada orang lain.

21 Faktor eksternal ketiga yang dapat memunculkan OCB yaitu karakteristik organisasi yaitu sebagai berikut organizational formalization and inflexibility, perceived organization support, distance between employee and others in organization dan organizational constraint. Organizational formalization and inflexibility. Formalisasi adalah suatu keadaan dimana organisasi secara jelas memberikan aturan-aturan yang spesifik dan prosedur-prosedur untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Sedangkan infleksibilitas didefinisikan sebagai keadaan organisasi secara teguh memegang aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan (Hall, 1991 dalam Organ, 2006). Sekolah adalah organisasi yang formal dan tidak fleksibel hal tersebut dapat memunculkan perilaku OCB karena formaslisasi dapat meningkatkan persepsi terhadap keadilan, keadilan dari prosedur kerja, memberikan aturan yang jelas dan juga memberikan gambaran yang jernih tentang ekspektasi sekolah. Infleksibilitas memeberikan indikasi bahwa setiap guru diharapkan untuk menjalankan aturan yang sama tanpa pengecualian apapun. Dengan demikian, akan meningkatkan kepuasan, komitmen dan kepercayaan guru terhadap sekolah. Seorang guru yang memiliki kepuasan kerja dan komitmen, dapat mentoleransi situasi dan kondisi sekolah yang kurang ideal (sportmaship). Selain itu, guru yang memiliki komitmen akan bersedia untuk bekerja lebih dari standar yang ditentukan sekolah (conscientiousness) termasuk mencegah terjadinya permasalahan kerja dengan guru lain (courtesy). Perceived organizational support (POS) adalah persepsi pegawai mengenai seberapa besar dukungan yang mungkin pegawai terima dari suatu

22 organisasi (Rhoades & Eisenberg, 2002, dalam Organ, 2006) akan mempengaruhi tingkat OCB yang dimunculkan para guru. Saat guru mendapatkan dukungan dari sekolah saat melakukan pekerjaannya maka, guru tidak akan segan untuk menampilkan unjuk kerja melebihi dari standar yang ditetapkan sekolah (conscientiousness), menujukan kepeduliannya terhadap kelangsungan hidup sekolah (civic virtue) dan saat menghadpi situasi yang kurang ideal guru cenderung mampu untuk mengatasinya (sportsmanship). Apabila guru menghadapi organizational constraints yaitu kondisi yang membuat pegawai sulit untuk memunculkan unjuk kerja yang baik (Jex et all 2003; Peters & O Connors, 1980, dalam Organ 2006) akan mempengaruhi tingkat OCB yang dimunculkan, karena menghambat motivasi guru untuk memunculkan OCB dan membuat guru cenderung lebih fokus terhadap in-role behavior. Jex (dalam Organ, 2006) mengatakan pengaruh hambatan tergantung pada affective commitment yang dimiliki guru bila affective commitment terhadap sekolah rendah maka akan menimbulkan reaksi psikologi yang negatif, tendensi untuk lebih memonitor in-role behavior dan menahan untuk tidak melakukan extra-role behavior, sebaliknya guru yang mempunyai affective commitment tinggi terhadap sekolah, disaat ada hambatan mereka akan menampilkan perilaku membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan dalam pekerjaannya (altruistm). Baik kesulitaan dalam hal, terbatasnya ketersediaan alat-alat yang mendukung proses pengerjaan tugas, kurangnya pengetahuan mengenai tugas yang akan dikerjakan atau bantuan berupa dukungan moral yang dapat

23 memotivasi guru lain untuk dapat menyelesaikan tugas yang sedang lakukannya, hal ini dilakukan guna tercapainya tujuan organisasi. Distance between employee and others in organization adalah jarak yang meliputi struktural, psikologis, dan fungsional antara pegawai dengan pegawai lain di dalam organisasi (Nappier & Ferris, 1993, dalam Organ, 2006). Adanya jarak diantara para guru menghasilkan dua sisi yang berbeda, yaitu sisi yang dapat meningkatkan dan sisi yang dapat menghambat munculnya OCB. Apabila seorang guru memiliki jarak struktural, psikologis dan fungsional yang dekat dengan kepala sekolah atau rekan kerja, ia akan mudah dan memiliki kesempatan untuk membantu kepala sekolah dan rekan kerja dalam melakukan pekerjaannya (alturism), walaupun saat menghadapi kondisi kerja yang kurang ideal (spormanship). Sebaliknya apabila memiliki jarak struktural, psikologis, fungsional yang jauh dan berbeda maka akan sulit bagi seorang guru untuk memunculkan OCB. Faktor eksternal yang terakhir, yaitu karakteristik pemimpin. Seorang pemimpin yang mengutamakan tugas akan berbeda dengan pemimpin yang berorientasi pada hubungannya dengan pegawainya. Pemimpin yang mengutamakan tugas akan lebih mementingkan teknis kerja, tugas, dan berorientasi terhadap hasil kerja (Stephen Robbins, dalam Perilaku Organisasi, 2006). Seorang pemimpin dapat mempengaruhi tinggi rendahnya OCB yang ditampilkan oleh bawahannya tergantung dari cara mengawasi dan dukungan yang diberikan pada bawahannya (Donasion et all, 2000 dalam Organ, 2006).

24 Apabila kepala sekolah memberikan dukungan dan pengawasan yang baik pada bawahannya, berarti kepala sekolah mampu menilai bagaimana perilaku kerja yang ditampilakan para guru, maka penilaian yang diberikan akan cenderung adil. Dengan adanya penilaian yang adil mendorong guru untuk memunculkan inisiatif membantu orang lain yang membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan tugasnya (altruism), mencegah terjadinya konflik dengan rekan kerja (courtesy). Guru yang mendapatkan pengawasan yang baik dan mendapatkan penilaian yang adil cenderung mampu mentoleransi situasi sekolah yang kurang ideal (sportsmanship).

25 Faktor Internal: Karakteristik Individu Tuntutan Guru Dimensi Organizational Guru SMAN X di Kota Purwakarta Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X di Kota Purwakarta. Citizenship Behavior: 1. Alturism 2. Conscientiousness 3. Sportsmanship 4. Courtesy Tinggi Rendah 5. Civic Virtue Faktor Eksternal: 1. Karakteristik tugas 2.Karakteristik kelompok 3.Karakteristik organisasi Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6 Asumsi Tingkat Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X Di Kota Purwakarta berbeda-beda (tinggi dan rendah). Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN X di Kota Purwakarta memiliki lima dimensi yaitu altruism, conscientiousness, courtesy, civic virtue dan sportsmanship. Guru SMAN X Di Kota Purwakarta perlu memiliki Organizational Citizenship Behavior guna meningkatkan efektifitas sekolah untuk mempertahankan mutu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan untuk meningkatkan mutu menjadi Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional. Faktor eksternal dan internal yang dimiliki guru SMAN X Di Kota Purwakarta akan mempengaruhi tingkat Organizational Citizenship Behavior dan tingkat dimensi Organizational Citizenship Behavior. Tingginya tingkat Organizational Citizenship Behavior yang dimiliki guru SMAN X Di Kota Purwakarta akan diikuti oleh tingginya tingkat dimensi-dimensi OCB, sebaliknya rendahnya tingkat Organizational Citizenship Behavior guru SMAN X Di Kota Purwakarta akan diikuti oleh rendahnya tingkat dimensi-dimensi OCB. 26