III METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III. Metodologi Penelitian

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menunjukan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Sebagai

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF : KONTRUKTIVIS DAN PARADIGMA KRITIS. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menjawab persoalan-persoalan dalam penelitian tersebut. Paradigma merupakan

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan dengan mengamati teks online

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Peneliti menguraikan paradigma sebagai berikut:

Apa itu Penelitian Kualitatif???

BAB III METODOLOGI PENELTIAN. terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang

BAB III METODE PENELITIAN. tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa SPBU di atas adalah SPBU yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif atas dasar

Interaksionisme Simbolik dalam Penelitian Kualitatif

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian studi deskriptif yaitu memaparkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

Ringkasan Paper : Sociological Paradigms and Organizational Analysis

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

Sociological Paradigms and Organizational Analysis

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1980an. Pemikirannya dinamai post-positivisme. Paham ini menentang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Klaten terutama di tempattempat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menurut Nazir (1986) dalam Husain (2013: 159) pendekatan kualitatif

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

III. METODE PENELITIAN

$ [8] [176] Lusiana Darmawan Suryamita Harindrari

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. organisasi dalam badan sosial tersebut. cukup untuk diolah, maka peneliti akan memperpanjang waktu.

BAB III METODE PENELITIAN. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif, yaitu suatu jenis penelitian yang

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. konsep, atau proposisi yang secara logis dipakai peneliti 1. Paradigma (paradigm)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. normatif, menunjukan kepada praktisinya apa yang harus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang bertujuan. Setiap pernyataan padadasarnya adalah tindakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. merupakan suatu cara untuk mencari kebenaran secara ilmiah berdasarkan pada data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. Secara paradigmatik dikenal ada 3 (tiga) macam paradigma penelitian:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Peranan metode sangat penting dalam suatu penelitian. Berkaitan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. digunakan dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik. 1

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian tersebut maka digunakan metodologi penelitian sebagai berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

BAB III METODE PENELITIAN. Begitu pula pada penelitian ilmu sosial. Menurut Servaes dalam bukunya Metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB III METODE PENELITIAN. Timur. Peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan Kota Nganjuk

A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. situasi kondisi yang tengah berlangsung sekarang ini, tujuannya mencoba

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Ringkasan Artikel Social Paradigm and Organizational Analysis Chapter 1-3

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. pengamatan fenomena sosial yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya untuk

PRADIGMA PENELITIAN SOSIAL. Bahan Kuliah 1. Universitas Andalas

BAB III METODE PENELITIAN. Boyolali Provinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi atau tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sugiyono (2012), metode penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan pada akhirnya informasi yang disampaikan oleh media, harus dipahami dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III RUMUSAN PENELITIAN. mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui dengan metode sistematis dan terarah.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA

Transkripsi:

3.1. Paradigma Metodologi III METODOLOGI PENELITIAN Catton dan Dunlap (1978) menemukan dua tradisi utama dalam sosiologi kontemporer dalam melihat realitas sosial, yaitu realisme dan konstruktivisme. Tradisi yang bernaung di bawah tradisi realisme adalah: pertama, tradisi Durkheim sebagai pelopor aliran realisme, beliau berargumentasi bahwa fakta sosial hanya dapat diterangkan jika dihubungkan dengan fakta sosial lainya. Ini menunjukkan bahwa penjelasan sosiologi tentang penyebab selalu yang bersifat sosial, sebagai lawan kasus dalam psikologis, biologi dan penjelasan fisik. Realitas sosial di sini dilihat sebagai suatu fakta nyata yang berada di luar diri manusia, sehingga hal yang bersifat bukan situasi fisik (non fakta) bukanlah kajian sosiologi. Tradisi kedua adalah warisan Weber yang dielaborasi oleh Mead, Cooley dan Thomas. Menurut mereka, semua manusia dan kelompoknya bereaksi terhadap makna yang mereka hubungkan dengan berbagai kondisi-kondisi lingkungan, dan bertindak menurut persepsi mereka terhadap lingkungan mereka. Oleh karena itu penting memahami tatacara orang menggambarkan situasi mereka dalam menjelaskan tindakannya, persepsi dan definisi mereka, yang dipengaruhi oleh para aktor di sekitarnya dan bukan oleh karakteristik situasi fisik. Penekanan ini oleh para aktor disiratkan bahwa sifat fisik menjadi relevan hanya seperti dirasa dan digambarkan. Berlawanan dengan realisme, perspektif konstruktivisme menekankan bahwa ada cara berbeda dalam konstruksi tentang dunia sosial. Dunia sosial tidaklah secara objektif diperoleh tetapi dibuat secara simbolis melalui kultur. Apa yang dilihat sebagai suatu objek tidak lain kecuali suatu yang secara sosial digambarkan. Sebab kondisi riil secara objektif tidak pernah dengan sendirinya menghasilkan kesadaran dari suatu fenomena sosial. Fokus sosiologi harus sebagai proses sosial yang membuat situasi atau suatu peristiwa tampak sebagai masalah sosial. Permasalahan sosial tidak materialize dengan sendirinya tetapi harus dibangun oleh individu atau organisasi yang menggambarkan sebagai suatu situasi yang mendesak untuk berbuat sesuatu. Pendekatan Collins ( 1981) dalam agenda sosiologi ilmu pengetahuan, di mana semua statemen teori harus diteliti seolah-olah tidak punya acuan terhadap dunia fisik.

69 Constructivism (konstruktivisme) menekankan bahwa apa yang kita pahami tentang realitas tidak hanya tumbuh dari kenyataan sendiri, karena pengetahuan kita -baik yang berhubungan dengan alam atau dunia sosial- tidak berasal dari suatu pengenalan netral dan sederhana tentang kenyataan, akan tetapi lebih merupakan konstruksi yang dibangun dan erat kaitannya dengan kekuasaan. Pengaruh dimensi filosofis terhadap ilmu sosial, oleh Burrell (1985) dibagi pada dua dimensi pendekatan, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Dua dimensi ini diperdebatkan dalam empat level dimensi filosofis (ontologi, epistemologi, hakikat manusia dan metodologi) yang terlihat pada gambar 4 berikut : Pendekatan Subjektif Pendekatan Objektif Nominalisme Ontologi Realisme Anti-Positivisme Epistimologi Positivisme Voluntarisme Human Nature Determinisme Ideographic Burrel, 1985:3 Nomotetic Gambar 4: Skema Hakikat Asumsi Ilmu Sosial Burrell Pada dimensi pendekatan subjektif, secara ontologi melahirkan pendekatan subjektif nominalisme yang memandang dunia sosial dalam pengamatan individu. Dunia riil tidak lebih hanya sekedar nama, konsep dan simbol yang digunakan untuk melihat Metodolog iiiii realitas struktur. Sedangkan pendekatan objektif, realisme memandang bahwa realitas dapat dilihat dari luar diri individu berupa realitas empirik. Secara epistemologi, melahirkan pendekatan subjektif anti positivisme, yang menyatakan bahwa realitas sosial hanya dapat dipahami dari pandangan individu yang langsung terhadap objek yang dikaji. Oleh karena itu, seorang peneliti harus larut dalam kehidupan yang diteliti. Sementara pendekatan objektif positivistik merupakan pendekatan yang berkembang dalam ilmu alam dengan pendekatan empirik berupa riset eksperimen dan dengan instrumen khusus dan membatasi jarak antara peneliti dan yang diteliti. Dalam memandang hakikat manusia, akan melahirkan pendekatan subjektif voluntarisme dan objektif determinisme. Subjektif voluntarisme memandang individu memiliki kebebasan bertindak dan mampu membentuk lingkungannya,

70 dengan subjektif determinan justru menganggap bahwa individu itu dalam aktifitasnya dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan. Secara metodologis, pada sisi pendekatan subjektif melahirkan ideografik yang mengarah pada pendekatan yang menekankan pada aspek historis, pada sisi lain ada pendekatan objektif nomotetik dengan pendekatan ilmu alam yang cenderung menggunakan teknik uji hipotesis (Burrell, 1985). Guba (1995), berangkat dari tiga landasan filosofis (ontologi, epistimologi dan metodologi) memetakan empat paradigma ilmu pengetahuan yaitu: positivisme atau naturalisme, post-positivisme, teori kritik dan konstruktivisme (Guba, dalam Denzin, 1995). Pertama, paradigma positivisme, yang berakar dari paham ontologi realisme yang melihat realitas itu ada (exist) dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural law). Positivisme muncul dalam sosiologi pada abad ke-19 yang dimotori oleh Auguste Comte dalam karyanya: The Course of Positive Philosophy (1830-1842). Kemudian dimodifikasi oleh Jhon Stuart Mill dari Inggris (1843) dalam tulisannya A System of Logic. Kemudian Emile Durkheim di Prancis menguraikan satu versi positivisme dalam karyanya Rules of the Sociological Methods (1895) yang kemudian menjadi rujukan para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Kedua, paradigma post-positivisme. Paradigma ini merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif. Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu : 1). Observasi sebagai unsur utama metode penelitian, 2). Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu, 3). Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001). Ketiga, paradigma konstruktivisme. Paradigma ini hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakan pengamatan dan objektivisme sebagai cara

71 untuk menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paham ini menolak positivisme dan post-positivism, dan menyatakan harus diganti dengan konstruktivisme. Secara ontologis paradigma ini beraliran relativis, dan menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk berbagai macam konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya sehingga tidak bisa digeneralisir. Oleh karena itu tidak ada realitas yang bisa diungkapkan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Hubungan epistomologisnya berupa transactional dan subjectivist antara pengamatan dan objeknya, hubungan peneliti dan tineliti menurut paham ini merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya (Salim, 2001). Dengan setting natural, metode ini lebih sering menggunakan metode kualitatif dibanding dengan metode kuantitatif. Teori muncul berdasarkan data yang ada, dan pengumpulan data dilakukan dengan proses hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial (Denzin dan YS Lincoln, 1995, dan Salim, 2001). Keempat, teori kritik (evaluatif). Aliran ini memang belum bisa dikatakan sebagai paradigma sepenuhnya, akan tetapi lebih dekat untuk dikatakan ideologically oriented inquiry: suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi idelogis terhadap paham tertentu. Paham ontologisnya adalah historis realism, paham ini sama dengan post-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia karena merupakan realitas sejarah harus dipahami secara mendalam. Makanya secara metodologis memilih dialogic and dialectical, paham ini menganjurkan teknik dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki (Salim, 2001). Secara epistemologis: transactional dan objektivist, hubungan antara pengamat dan realitas sosial yang diteliti tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu aliran ini menekankan aspek subjektivitas dalam menemukan sebuah ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut subjek (peneliti) ikut campur dalam menentukan kebenaran. 3.2. Pilihan Paradigma Penelitian ini secara paradigmatik memposisikan diri pada paradigma konstruktivisme. Pilihan atas paradigma konstruktivis di latar belakangi oleh pertimbangan ontologi dan epistimologi yang dianut paradigma ini. Secara ontologi, paradigma konstruktivis adalah bersifat relativis, artinya realitas yang

72 dipahami bersifat plural (multiple realitas). Realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti (intangible). Konstruksi mental didasarkan atas pengalaman yang bersifat sosial-budaya, lokal dan spesifik, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat objektif-universal. Ilmuwan akan selalu memahami realitas dari ontologi yang relatif (perspektif, paradigma, kerangka teori) tertentu, sehingga ilmuwan tidak melihat realitas secara utuh atau tidak secara lengkap (Lubis, 2004). Secara epistemologi, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subjektif. Di mana antara peneliti dengan subjek penelitian (tineliti) saling terkait dan interaktif. Dari segi metodologi, paradigma konstruktivis, muncul dengan metodologi hermeneutik dan dialektis (partisipatif), yang menggunakan metode interpretatif (interpretatif hermeneutik) (Lubis, 2004). Penggunaan paradigma konstruktivis, dianggap dapat memotret realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan komunitas tineliti, karena realitas yang dimaksud tidak hanya realitas objektif (realitas yang berada di luar diri orang yang diteliti), tetapi juga realitas subjektif (realitas yang berada di dalam diri tineliti) yang menyangkut kehendak dan kesadarannya. Antara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Hardiman (2003) menjelaskan bahwa realitas yang kita temukan dalam bentuk objektif, berupa data-data, kemudian kita terus mencari penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti akan menembus gejala dan menemukan realitas subjektif. Namun untuk sampai ke sana peneliti harus; pertama, berjumpa dengan pribadi orang tersebut, bertanya dan mendapatkan jawaban; kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen) 8 realitas itu. Jika kedua langkah tersebut dilakukan, barulah dinamakan mempersoalkan realitas atau mempersoalkan kewajaran. Dalam upaya melakukan penyelaman terhadap realitas batin yang paling dalam di samping menelusuri realitas lahiriah seluas-luasnya, akan ditemukan: a. Struktur-struktur umum yang paling luas dan niscaya akan berdiri di luar orang yang bersangkutan (tineliti) dan berkaitan dengan dirinya. Di sana akan ditemukan sejarahnya, susunan kelasnya, tuntutan kebudayaannya, dan sebagainya. b. Jejaring hubungan antar aktor pada aras struktur hingga pada aras individu mengharuskan penelitian ini menyelami dua dunia secara bersamaan, yaitu 8 Bagi Weber, verstehen (interpretative understanding) adalah sebuah upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial (social behavior), jadi tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat semata dari sebuah realitas sosial (Turner, 1998;352), yang dalam terminologinya Geertz sebagai seorang Weberian disebut dengan thick description (lukisan mendalam) (Geertz, 1992; 3-39).

73 dunia objektif empirik dan dunia subjektif sekaligus, sehingga paradigma konstruktivis menjadi dianggap paling tepat untuk membongkar realitas yang terdalam. c. Menemukan struktur-struktur subjektif paling dalam yang berkaitan dengan kesadaran tineliti. Peneliti mungkin akan memperoleh persepsi-persepsi cara berfikir, sikap-sikap, disposisi, cita-cita dan seterusnya. Secara luas tidak hanya tineliti yang dapat dipahami tetapi masyarakatnya juga dapat dipahami. 3.3. Metode Penelitian Konsekuensi dari pilihan paradigma yang digunakan membuat penelitian ini menggunakan sejumlah metode yang berada dalam satu ranah, yaitu: a. Metode sejarah sosiologis (social history); dimaksudkan untuk melihat antara lain; 1) perkembangan kelembagaan zakat dari waktu ke waktu yang mengalami perubahan. 2) menelusuri jejak eksistensi lembaga zakat tradisional (berbasis kiyai, masjid dan pondok pesantren). 3) perkembangan kepedulian dan kesadaran masyarakat zakat terhadap kelembagaan zakat. Untuk melihat kelembagaan zakat sebagai satu fenomena keagamaan yang terkait dengan fenomena sosial, khususnya masyarakat miskin (mustahik) sebagai satu kelembagaan sosial-ekonomi berbasis agama yang melekat dalam struktur sosial masyarakat Muslim. b. Metode interpretative hermeneutik. Ini dimaksudkan dalam rangka menafsirkan fakta, teks-teks 9 yang ada. Fenomena -fenomena yang terjadi di balik realitas-realitas dimaknai dengan asumsi bahwa kelembagaan zakat adalah suatu realitas yang sangat sarat dengan nilai-nilai, baik keyakinan atas ajaran agama maupun nilai sosial-kultural, sehingga untuk memahami realitas di sini dibutuhkan usaha menafsirkan berbagai gejala yang muncul dan menyatu dalam realitas. Metode ini dipakai untuk menangkap berbagai penafsiran dan pemaknaan para aktor atas kelembagaan zakat, kewajiban berzakat, kemiskinan, dan pemberdayaan serta berbagai pemaknaan yang melekat secara kultural terkait dengan lembaga tatakelola zakat. 9 Pada metode interpretative hermeneutik, yang dimaksud dengan teks dan inter teks adalah bukan teks dalam artian buku atau sumber-sumber tertulis saja tetapi juga upaya untuk membaca (menafsir) suatu peristiwa atau realitas yang ada, apakah itu realitas batin berupa hasil pemikiran, gagasan, dan konteks-konteks tertentu atau realitas yang tampak (lihat Lubis, 2003).

74 3.4. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dua jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer akan dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu: teknik observasi berperan-serta (participantobservation), dan wawancara (interview). Sementara data sekunder akan dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Penggunaan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Wawancara mendalam (indepth interview), dilakukan untuk menjaring informasi terkait dengan pemaknaan dan penafsiran tentang zakat dan tatakelolanya. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali persoalan tentang bekerjanya sistem pengetahuan, pemanfaatan pengetahuan dan arena bermainnya pengetahuan dalam dinamika kekuasaan dalam praktek tatakelola zakat (Debus dan Novelli, 1996). b. Dokumentasi digunakan dalam pengumpulan data sekunder, berupa dokumen-dokumen tentang perjalanan sejarah lembaga zakat yang dapat diperoleh dari instansi terkait baik pemerintah maupun non pemerintah. 3.5. Sumber Data Data yang digunakan dan dianalisis dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber data, yaitu: a. Aktor yang berperan langsung atau tidak langsung dalam lembaga zakat. Di Propinsi Jambi, aktor yang dimaksud adalah : orang yang terlibat dalam pengurus lembaga pengelolaan zakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sumber data yang dimaksud adalah: elit pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Sementara untuk di Sumatera Barat, karena fokus penelitian pada LAZ Semen Padang, maka sumber datanya adalah pengurus yayasan lembaga zakat (LAZ) PT. Semen Padang, yang terdiri dari elit perusahaan, karyawan perusahaan dan karyawan LAZ. b. Muzakki dan Mustahik. Sumber data jenis ini adalah orang menjadi nasabah lembaga zakat yang dipilih dengan menggunakan tehnik snowball sampling. Cara ini dilakukan dengan lebih dahulu mencari sumber data kunci dari muzakki dan mustahik melalui wawacara atau dokumen lembaga pengelola zakat, yang kemudian dikembangankan di lapangan dengan teknik snowball sampling. Pencarian data dilakukan secara terus-menerus hingga mencapai titik jenuh, artinya informasi yang diperoleh sudah

75 mengalami pengulangan-pengulangan dan perolehan data relatif mengalami kesamaan dengan informasi-informasi sebelumnya. 3.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataanpernyataan umum tentang hubungan antar berbagai data untuk membangun teori substantif dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). Hal ini sejalan dengan Patton (1990), dan Marvasti (2004), yang menjelaskan, bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisirnya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Selanjutnya, dalam upaya meyakini data dan hasil penelitian untuk mencapai sebuah kebenaran yang dapat dipercaya, sekalipun derajat kebenaran dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditetapkan secara pasti (masalah validitas internal), namun peneliti berusaha semampunya berusaha meraih tingkat kebenaran dengan menguji keabsahan data melalui cara-cara : 1) melakukan triangulasi metoda; 2). triangulasi sumber; 3) triangulasi teori. (Moleong, 1995 dan Lincoln dan Guba, 1985 dalam Sitorus, 1999). 3.7. Daerah Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di dua propinsi, yaitu Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Barat. Di Propinsi Jambi lokasi yang dipilih adalah Kota Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Lokasi ini menjadi pilihan dengan pertimbangan bahwa di tempat inilah ditemukan lembaga tatakelola zakat yang ingin diteliti (Badan Amil Zakat Propinsi dan Lembaga Amil Zakat Komunitas) yaitu lembaga tatakelola zakat berbasis negara dan lembaga zakat berbasis komunitas (masjid dan langgar). Sumatera Barat terpilih dengan alasan di sana ditemukan model lembaga zakat berbasis industri yang telah lama berjalan, yaitu Lembaga Zakat (LAZ) Swasta berbasis perusahaan Industri Pertambangan. 3.8. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ), aktor yang terlibat di dalamnya, dengan subjek penelitian individu. Asumsi yang diyakini adalah bahwa lembaga bergerak diwakili oleh para aktornya baik secara kelompok maupun individu, dengan mengikuti terminologi Weber (methodological

76 individualism) (Weber, 1964; Ritzer, 1992 dan ; Nugroho, 2001). Individu dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini dengan pertimbangan, yaitu: Pertama, sebagai konsekuensi atas pilihan paradigma yang telah diletakkan dalam penelitian ini, yang melihat realitas sosial atau gejala sosial itu ada pada individu atau internalized dalam individu, sehingga satuan analisisnya adalah tingkah laku individu dan kolektivitas hanya sebagai hasil teratur dari perbuatanperbuatan individu (Veerger, 1993). Kedua, realitas sosial yang dikonstruksikan oleh individu yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan saling berbagi makna, dan keberadaan realitas sosial tersebut tidak dapat dipisahkan dari individu. Individuindividu merupakan realitas kongkrit dan objektif. Masyarakat hanya merupakan nama yang merujuk pada asosiasi di antara mereka. Jadi tindakan individu merupakan sumber informasi utama dalam rangka memahami fenomena sosial (Nugroho, 2001). Ketiga, para aktor yang ditemukan di lapangan merupakan individu-individu yang berada dalam suatu jaringan sosial personal tertentu, yang memiliki pilihan-pilihan, dan landasan etik tertentu. 3.9. Pengalaman Lapang. Menggunakan satu paradigma metodologi dalam meneliti, ternyata tidak selamanya akan menghasilkan analisis yang tajam dan komperehansif terhadap satu persoalan. Meneliti konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dengan menggunakan teori pengetahuan dan kekuasaan ala Foucault yang dipadu dengan teori konstruksi sosial ala Bergerian misalnya, tidak sepenuhnya bisa hanya dengan menggunakan satu paradigma definisi sosial ala Weberian, namun sebaiknya dibantu dengan paradigma fakta sosial ala Durkhemian. Hal ini dikarenakan dalam upaya menemukan konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat hanya dapat dengan berfikir dialektis antara fenomena objektif dan subjektif. Mengamati proses terbangunnya pengetahuan dan bekerjanya kekuasaan dalam membangun pengetahuan baru bisa ditemukan jika mengamati proses objektivasi, internalisasi serta eksternalisasi, yang prosesnya melintasi dunia objektif dan subjektif dalam satu proses yang bersinergis. Misalnya mengamati pemahaman tentang zakat tidak bisa hanya mengamati bagaimana zakat dimaknai, namun harus melintasi proses bagaimana pemaknaan itu terbangun, dipengaruhi oleh logika apa dan siapa serta bagaimana kemudian zakat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

77 Peneliti sebagai salah seorang warga di salah satu wilayah di mana penelitian ini dilakukan, menemukan persoalan dalam pemburuan data. Sebagai penelitian yang dikenal oleh tineliti, mengalami kesulitan mendapatkan data, dan mengarahkan wawancara secara terfokus. Hal ini dikarenakan ada kesan ketertutupan tineliti untuk memberikan informasi yang bersifat mendalam, terkait dengan data-data yang berhubungan dengan kepentingan dan data-data mekanisme penyaluran dana zakat serta identitas penerima santunan zakat. Terkesan ada kecurigaan kalau data yang dicari akan dimanfaatkan untuk kepentingan yang merugikan tineliti. Mengatasi kesulitan tersebut, peneliti akhirnya harus menggunakan trik-trik dengan membawa informan keluar dari kantor agar bisa bicara lepas dan sekaligus menciptakan suasana konflik antara tineliti, sehingga mereka bisa bercerita secara terbuka tentang bangunan kepentingan dalam lembaga tatakelola zakat khususnya di Bazda. Artinya bahwa peneliti yang berasal dari daerah di mana penelitian dilakukan tidak selamanya bisa efisien, bahkan bisa malah mengalami kesulitan untuk mendapatkan data. Oleh karena itu, disarankan sebaiknya menghindari meneliti di wilayah asal, jika topik penelitian terkait dengan data yang bersifat subjektif dan terkait dengan persoalan yang dilindungi oleh tineliti. Jika sulit dihindari maka sebaiknya menggunakan tenaga pembantu dari peneliti yang berasal dari wilayah luar daerah penelitian.