BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu rempah-rempah penting. Oleh karena itu, jahe menjadi komoditas yang mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai usaha tanaman industri. Rimpangnya memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biskuit, dan kembang gula. Jahe juga digunakan dalam industri obat, minyak wangi, dan jamu tradisional. Jahe yang masih muda dapat dimakan sebagai lalapan dan diolah menjadi asinan dan acar. Di samping itu, karena dapat memberi efek rasa panas dalam perut, maka jahe juga digunakan sebagai bahan minuman seperti bandrek dan sekoteng. Jahe tergolong tanaman herbal yang mempunyai ciri fisik tegak, dapat mencapai ketinggian 40-100 cm, dan dapat berumur tahunan. Batangnya berupa batang semu yang tersusun dari helaian daun yang pipih memanjang dengan ujung lancip. Bunganya terdiri dari tandan bunga yang berbentuk kerucut dengan kelopak berwarna putih kekuningan. Akarnya sering disebut dengan rimpang jahe yang berbau harum dan berasa pedas. Rimpangnya bercabang tak teratur, berserat kasar, dan menjalar mendatar dengan bagian dalam berwarna kuning pucat (Santoso, Hieronymus Budi, 1989). Jumlah produksi jahe per tahun yang relatif meningkat ( terlampir pada Lampiran 1) memberikan potensi untuk mengembangkan tanaman tersebut 1
menjadi produk pangan olahan sehingga dapat memberikan nilai tambah. Salah satu produk pangan olahan yang berbahan baku jahe yaitu sirup jahe. Saat ini produk sirup jahe yang diproduksi tidak beredar secara luas di pasaran. Banyak masyarakat yang lebih mengenal keberadaan jahe instan (serbuk jahe) dibandingkan sirup jahe. Sirup merupakan cairan kental yang memiliki kadar gula terlarut tinggi, namun hampir tidak memiliki kecenderungan untuk mengendapkan kristal. Viskositas (kekentalan) sirup disebabkan oleh banyaknya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil (OH) pada molekul gula terlarut dengan molekul air yang melarutkannya. Secara teknik maupun dalam dunia ilmiah, istilah sirup juga sering digunakan untuk menyebut cairan kental, umumnya residu yang mengandung zat terlarut selain gula. Untuk meningkatkan kadar gula terlarut, biasanya sirup dipanaskan. Larutan sirup menjadi super jenuh. Sirup juga sering digunakan pada dunia obat-obatan, kuliner, serta minuman (DIPTI, 2001). Sirup jahe adalah salah satu olahan jahe yang terbuat dari sari jahe yang kemudian dimasak dengan gula dan air hingga mendidih dan mengental. Tujuan dari pemanasan hingga terjadi pengentalan yaitu sebagai salah satu cara pengawetan pangan. Adapun kelebihan dari sirup yaitu dengan pemanasan yang tidak berlebihan, maka nutrisi yang terkandung dalam bahan baku tidak semuanya hilang. Berbeda dengan serbuk instan, dengan menggunakan spray dryer hanya didapatkan kandungan nutrisi tertentu. Dalam hal ini, hanya oleoresin yang bisa didapatkan dari serbuk instan jahe. Sedangkan dalam sirup jahe masih terkandung kalori, karbohidrat, gula, protein, dan vitamin C (DIPTI, 2001). 2
Saat ini produk sirup jahe yang telah ada terbuat dari bahan baku jahe emprit (Zingiber officinale var. amarum). Akan tetapi, kebutuhan akan bahan baku ini sulit terpenuhi. Hal ini dikarenakan petani jahe enggan untuk membudidaya jenis jahe emprit. Selain perawatannya yang sulit, jahe emprit ini juga baru bisa dipanen setelah mencapai tingkat ketuaan maksimal (umur tanaman 10-12 bulan). Rasa dari jahe emprit ini pun cenderung sedikit pahit karena masa panen yang lama dari jenis ini. Selain itu, produksi jahe emprit yang ada saat ini difokuskan untuk kebutuhan industri, khususnya industri jamu, dan ekspor, sehingga masyarakat hanya mendapatkan jahe jenis lain, yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var. officinale). Sulitnya pasokan bahan baku juga dikeluhkan oleh para produsen sirup jahe yang tertuang dalam observasi, wawancara, dan diperkuat oleh kuesioner kepada para produsen sirup jahe. Dalam kuesioner produsen ( terlampir pada Lampiran 2), produsen menyatakan jahe emprit merupakan jenis jahe yang paling sesuai untuk dijadikan bahan baku dalam pengolahan sirup jahe. Penggunaan jahe gajah akan mengurangi rasa pedas sirup jahe, sedangkan penggunaan jahe merah membuat sirup jahe tidak dapat bertahan lama karena menjadikan sirup jahe cepat asam. Akan tetapi, ketersediaan bahan baku yaitu jahe emprit yang tidak konsinten membuat produsen harus memesan terlebih dahulu kepada para penjual di pasar dan petani jahe. Bahkan terdapat produsen yang membudidaya sendiri jenis jahe emprit untuk menjaga konsistensi ketersediaan bahan baku jenis jahe emprit. Ketersediaan bahan baku yang tidak 3
tetap ini menjadikan produsen sirup jahe mengurangi jumlah produksi yang mengakibatkan terbatasnya pasokan produk sirup jahe di pasaran. Jahe gajah (Zingiber officinale var. officinale) adalah salah satu dari varietas jahe yang ada, mempunyai rimpang yang besar dan serat yang sedikit dan halus. Adapun keuntungan dari budidaya jahe gajah sendiri menurut Santoso, Hieronymus Budi (1994) adalah produksi per hektar lebih tinggi dibandingkan produksi jenis jahe lainnya dan resiko kegagalan dapat ditekan serendah mungkin. Hal ini dikarenakan jahe gajah dapat dimanfaatkan pada saat masih muda (umur tanaman 3-5 bulan) maupun setelah tua (umur tanaman 10-12 bulan) (Suprapti, M. Lies, 2003). Umur tanaman ini akan mempengaruhi besarnya kandungan minyak atsiri. Artinya, semakin tua umur jahe tersebut, semakin tinggi kandungan minyak atsirinya. Selain itu, umur panen juga akan mempengaruhi besarnya kandungan minyak atsiri karena selama dan sesudah pembungaan, kandungan minyak atsiri akan berkurang. Menurut Santoso, Hieronymus Budi (1989), kandungan oleoresin dan minyak atsiri pada jahe gajah tidak sebanyak pada jahe emprit, yaitu sebesar 0,82-1,68 % untuk jahe gajah dan 1,5-3,3 % untuk jahe emprit dihitung dari berat keringnya. Oleoresin adalah senyawa yang diperoleh dari hasil ekstrasi rempah atau tanaman lain dengan menggunakan senyawa hidrokarbon pelarut lemak/minyak, metanol dan etanool. Oleoresin mengandung senyawasenyawa yang menjadi penciri aroma dan rasa dari bahan yang diekstraksi (DIPTI, 2001). Hal ini menyebabkan sirup jahe berbahan dasar jahe gajah memiliki aroma yang kurang tajam dan rasa yang kurang pedas. 4
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai ( value) dari substitusi bahan baku pada sirup jahe sehingga produk tersebut dapat sesuai dengan keinginan/selera konsumen. Tidak hanya dari sisi konsumen, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu produsen dalam keterbatasan bahan baku yang digunakan. Kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan produsen diharapkan dapat terpenuhi dengan adanya substitusi bahan baku. Penelitian substitusi bahan baku pada sirup jahe dilakukan dengan menggunakan metode Value Analysis (Analisis Nilai). B. PERUMUSAN MASALAH Bagaimana tanggapan konsumen terhadap substitusi jahe emprit (Zingiber officinale var. amarum) dengan jahe gajah (Zingiber officinale var. officinale) sebagai bahan baku sirup menggunakan Value Analysis? 5
C. BATASAN MASALAH Agar penelitian dapat terarah, maka perlu dilakukan pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut : 1. Bahan baku yang digunakan adalah jahe gajah yang diambil dari pasar di Kota Yogyakarta. 2. Parameter kualitas yang ingin dicapai yaitu rasa, aroma, umur simpan, kemasan, warna, kekentalan, dan harga. 3. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu Januari 2014 sampai dengan Mei 2014. 4. Responden yang dipilih adalah konsumen yang pernah mengkonsumsi sirup jahe. 5. Biaya yang dihitung hanya biaya bahan baku dan bahan tambahan dalam proses pembuatan sirup jahe. 6. Analisis nilai ditinjau dari sisi konsumen. D. TUJUAN PENELITIAN 1. Menentukan atribut mutu dan keinginan konsumen terhadap produk sirup jahe. 2. Membandingkan performansi produk sirup jahe berbahan baku jahe emprit dengan produk sirup jahe berbahan baku jahe gajah. 3. Menentukan konsep produk terbaik. 6
E. MANFAAT PENELITIAN 1. Dapat mengetahui keinginan konsumen terhadap produk. 2. Dapat memberikan saran kepada produsen mengenai kebutuhan produk untuk lebih mengembangkannya. 7