ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

dokumen-dokumen yang mirip
YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

ROADMAP INDUSTRI GULA

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

ROADMAP INDUSTRI GULA

KEMENTERIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

STABILISASI HARGA GULA MENUJU SWASEMBADA GULA NASIONAL

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

USAHA MIKRO GULA MERAH TEBU DI DESA MANGUNREJO KECAMATAN NGADILUWIH DAN DESA CENDONO KECAMATAN KANDAT KABUPATEN KEDIRI

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

KEBIJAKAN PERDAGANGAN GULA INDONESIA DAN KESEJAHTERAAN PETANI TEBU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

Boks.2 PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERAS DI PROVINSI JAMBI

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

DAMPAK PENINGKATAN TARIF IMPOR GULA TERHADAP PENDAPATAN PETANI TEBU

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

cepa), namun dalam statistic internasional (FAOSTAT) hanya dikenal istilah Onion

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

SISTEM AGRIBISNIS BIBIT TEBU ASAL KULTUR JARINGAN BPTP SULAWESI SELATAN

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93/MPP/Kep/3/2001

KEBERADAAN BULOG DI MASA KRISIS

PENDAHULUAN. penduduk suatu Negara (Todaro, 1990).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

Transkripsi:

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah jenis gula yang hanya untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, restoran, dan hotel, dan sebagai bahan penolong oleh perajin makanan dan minuman skala rumah tangga (home industry). Sementara GKR adalah jenis gula yang hanya digunakan oleh industri makanan, makanan dan farmasi skala besar, dan dilarang masuk ke pasar gula GKP. Karena isu tingginya harga di Indonesia berkenaan dengan jenis gula GKP, maka kajian ini terfokus ke jenis gula ini. 2. Harga domestik gula GKP direpresentasikan oleh harga gula GKP di tingkat konsumen di pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga GKP di pasar domestik meningkat cepat, yaitu dari Rp 5.539/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 13.212 pada tahun 2012 (sampai dengan Juli). Ini berarti harga domestik naik lebih dari 100% atau rata-rata hampir 20%/tahun, suatu kenaikan harga yang sangat cepat (Tabel 1). 1.2. Harga Internasional 3. Agar dapat dilakukan komparasi harga secara valid antara harga domestik dan harga internasional, maka harga internasional gula GKP direpresentasikan oleh harga paritas impornya pada titik jual yang sama dengan harga GKP tingkat konsumen di pasar domestik yaitu pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. Harga paritas impor dihitung dengan menggunakan rumus : HPAR = HCIF(IND)*NT + TBM + BPA, dimana HPAR = Harga paritas impor, HCIF(IND) = Harga impor (CIF) di pelabuhan laut Indonesia, NT = Nilai tukar US terhadap rupiah, TBM = Tarif bea masuk, dan BPA = Biaya administrasi pelabuhan dan angkutan gula impor dari pelabuhan hingga pasar tradisional di beberapa ibukota provinsi. 4. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, harga paritas impor gula GKP terus meningkat, yaitu dari Rp 4.772/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 9.157 pada tahun 2012 (sampai dengan Juli). Ini berarti harga internasional gula GKP meningkat hampir 92% atau rata-rata lebih dari 18%/tahun (Tabel 1). 1

5. Meningkatnya harga paritas impor yang merepresentasikan harga internasional tersebut disebabkan terutama oleh meningkatnya harga impor dalam US$, dimana lonjakan harga terjadi pada tahun 2011 (Tabel 1). Nilai tukar US$ terhadap rupiah berfluktuasi dan tidak menunjukkan penguatan yang signifikan sehingga tidak berdampak meningkatkan harga impor dalam rupiah. Tarif bea masuk (TBM) malahan terus menurun cukup cepat selama 2008-2011 tetapi kemudian meningkat signifikan pada tahun 2012 kembali pada posisi tahun 2008. Walaupun berflukuasi, TBM berdampak meningkatkan harga paritas impor. Biaya administrasi di pelabuhan impor Indonesia dan biaya angkut dari pelabuhan ke pasar tradisional di ibukota provinsi yang terus meningkat juga berdampak meningkatkan harga paritas impor gula. 1.3. Perbandingan Harga Domestik dan Harga Internasional 6. Perbedaan antara harga domestik dan harga internasional yang direpresentasikan oleh harga paritas impor selama kurun waktu 2008-2012 berfluktuasi yaitu sekitar Rp 1.216 sampai dengan Rp 3.066/kg atau rata-rata Rp 2.459/kg (Tabel 1). Perbedaan harga tersebut merupakan 16,8% sampai dengan 43,3% atau rata-rata 31,7% dari harga paritas impor, yang dapat dikatakan tidak wajar (terlalu besar). II. ASPEK-ASPEK STRATEGIS DINAMIKA HARGA 2.1. Produksi 7. Produksi gula GKP selama 2008-2010 terus menurun, yaitu dari 2.668 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 2.215 ribu ton pada tahun 2010, dan sedikit meningkat menjadi 2.228 ribu ton pada tahun 2011 (Tabel 2). DGI memperkirakan (hasil taksasi) produksi gula pada tahun 2012 akan mencapai 2,6 juta ton. 8. Lambatnya pertumbuhan produksi gula nasional disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (a) Lambatnya perkembangan areal tebu sebagai akibat dari konversi lahan ke penggunaan non-pertanian (jalan, industri, pemukiman, perkantoran, pertokoan) dan persaingan dengan tanaman lain, utamanya padi untuk lahan sawah; (b) Lambatnya pertumbuhan produktivitas tebu karena kurang aksesnya petani terhadap sumber bibit tebu klon unggul baru (mahal dan sulit diperoleh), dominasi areal tebu di lahan kering yang kurang subur, dan dominasi tanaman tebu ratoon lebih dari 5 kali; dan (c) Lambatnya perkembangan rendemen gula karena kondisi pabrik gula milik BUMN yang merupakan mayoritas pabrik gula di Indonesia (rendemen sekitar 6-7%), sementara 2

pembangunan pabrik gula baru BUMN masih tersendat, baik dari segi anggaran maupun menyediaan lahannya. 2.2. Konsumsi 9. Jenis gula yang dikonsumsi terdiri dari GKP dan GKR. Selama 2008-2012, konsumsi gula GKP cenderung menurun karena menurunnya konsumsi per kapita, sementara konsumsi gula GKR terus meningkat karena berkembangnya industri makanan, minuman dan farmasi. Namun total konsumsi gula GKP dan GKR terus meningkat yaitu dari 4.218 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 4.557 ribu ton pada tahun 2012 atau meningkat sekitar 8% selama 5 tahun atau rata-rata hampir 2%/tahun. Laju pertumbuhan konsumsi gula nasional sebenarnya dapat dikatakan wajar. 2.3. Kesenjangan antara Produksi dan Konsumsi 10. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula GKP, sebenarnya produksi gula GKP sudah cukup, bahkan ada surplus, sehingga tidak perlu dilakukan impor (Tabel 2). Namun untuk mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi gula (GKP dan GKR), produksi masih kurang. Selama 2008-2012, jumlah kekurangan (defisit) cenderung membesar, yaitu dari 1.550 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.957 ribu ton pada tahun 2012, yang masing-masing merupakan 36,7% dan 42,9% dari produksi masing-masing tahun tersebut. Ini menunjukkan kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar. 11. Untuk menutup defisit tersebut dilakukan impor. Selama 2008-2010 volume impor gula (berbagai jenis gula tebu) terus meningkat, yaitu dari 984 ribu ton pada tahun 2008 menjadi 1.383 ribu ton pada tahun 2010, yang berarti meningkat 40,5% atau rata-rata atau sekitar 20,1%/tahun. Pada tahun 2010, volume impor merupakan 84% dari defisit produksi. Dengan asumsi bahwa persentase volume impor terhadap defisit produksi pada tahun 2010 tersebut berlaku pada pada tahun 2011 dan 2012 karena pabrik gula baru yang akan dibangun belum berproduksi, maka diperkirakan bahwa volume impor pada tahun 2011 adalah sebesar 1.400 ribu ton, dan pada tahun 2012 naik menjadi 1.600 ribu ton. Volume impor tersebut dapat dikatakan sangat besar. 2.4. Harga Patokan Petani dan Harga Lelang 12. Terbentuknya harga domestik, yang direpresentasikan oleh harga eceran di tingkat konsumen di pasar tradisional di kota provinsi, tidak terlepas dari Harga Patokan Petani (HPP) dan Harga Lelang gula GKP. HPP adalah harga ketentuan pemerintah, yang merupakan harga penyangga untuk gula petani yang akan dilelang, dengan 3

tujuan agar petani tebu menerima harga yang layak sehingga akan tetap tertarik untuk menanam tebu dengan produktivitas tinggi. Sementara Harga Lelang adalah harga yang terbentuk pada saat lelang gula, yang dilaksanakan oleh pabrik gula BUMN sekali per satu minggu atau per dua minggu tergantung pada jumlah produksi gula, dengan peserta lelang adalah pedagang besar. 13. HPP gula GKP selama 2008-2012 terus meningkat, yaitu dari Rp 5.000/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 8.100 pada tahun 2012, yang berarti meningkat 62%, atau rata-rata hampir 13%/tahun (Tabel 3). Besaran HPP tersebut sangat ditentukan oleh BPP (Biaya Pokok Produksi) per kg gula petani, disamping ada tuntutan petani melalui APTRI agar HPP gula petani tinggi. Setiap tahun BPP ditetapkan oleh sebuah tim survey independen multi-institusi dan multi-disiplin (dikoordinasikan oleh DGI) dengan metode FGD kelompok tani tebu di berbagai lokasi dengan stratifikasi lahan (sawah, tegalan), pertanaman tebu (ratoon, tanaman baru), dan rendemen gula (tinggi, sedang, rendah). Dalam penghitungan BPP, nilai tetes tebu milik petani menjadi faktor koreksi terhadap BPP. Selama 2009-2012, BPP selalu meningkat tiap tahun, yaitu dari Rp 5.103/kg pada tahun 2009 menjadi Rp 7.902 pada tahun 2012, yang berarti naik hampir 55% atau rata-rata 15,8%/tahun (Tabel 3). Rasio HPP terhadap BPP hanya berkisar 1,016-1,048 atau rata-rata 1,034. Rasio ini menunjukkan bahwa rata-rata laba petani minimal adalah 3,4% dari BPP jika harga lelang tepat sebesar HPP, di luar nilai tetes yang menjadi bagian petani. 14. Harga lelang selama 2008-2012 cenderung meningkat, yaitu dari Rp 5.255/kg pada tahun 2008 menjadi Rp 10.982 pada tahun 2012, yang berarti naik 109% atau ratarata 21,0%/tahun (Tabel 3). Harga lelang ini merupakan 5,1-35,6% atau rata-rata 21,4% di atas HPP. Perbedaan yang jauh antara HPP dan harga lelang tersebut disebabkan oleh keinginan pedagang besar peserta lelang yang hanya berjumlah 3 orang (disebut samurai ) untuk memperoleh jumlah lelang yang besar agar stok gula di gudangnya cukup dalam kondisi produksi gula yang selalu terbatas setiap tahunnya. Harga eceran berada 9,3-30,5% atau rata-rata 21,4% di atas harga lelang. 2.5. Pemasaran dan Distribusi 15. Lelang gula yang hanya diikuti oleh 3 pedagang besar mengindikasikan terciptanya bentuk pasar gula oligopsoni yang tidak efisien bagi konsumen gula. Dengan kekuatan oligopsoninya mereka membentuk semacam kartel yang mengendalikan pasokan gula GKP di pasar dan meningkatkan harga konsumen. Mereka juga mampu membuat prediksi harga gula di dalam negeri berdasarkan perkembangan harga gula dunia 4

dalam US$, nilai tukar US$ terhadap rupiah, tarif bea masuk dan biaya-biaya adminisitrasi pelabuhan. Gula yang sudah dilelang kemudian didistribusikan ke distributor di kota-kota besar (disebut D2), yang lokasi gudangnya biasanya berada di dekat pasar-pasar tradisional besar di berbagai kota provinsi dan kabupaten. Dari pedagang D2, gula dijual ke daerah-daerah lain dan kepada pedagang distributor kecil (D3) di kota kecamatan. Pedagang tingkat D3 kemudian menjual gula kepada pengecer. 16. Kekurangan pasokan gula GKR yang dibutuhkan industri makanan dan minuman seringkali menyebabkan industri makanan dan minuman terpaksa menggunakan gula GKP. Hal ini berkontribusi meningkatkan harga gula GKP. III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 17. Harga domestik gula GKP cenderung meningkat dan berada jauh di atas harga internasional yang direpresentasikan oleh harga paritas impor. Selama 2008-2012, perbedaan harga tersebut mencapai rata-rata 31,7%, suatu perbedaan yang tidak wajar (terlalu tinggi). 18. Faktor utama yang diduga menjadi penyebab perbedaan harga yang sangat tinggi tersebut adalah kesenjangan antara produksi dan konsumsi yang sangat besar dan cenderung meningkat. Faktor kedua adalah HPP gula petani yang tinggi dan terus meningkat karena biaya pokok produksi (BPP) gula petani tinggi dan terus meningkat, serta tuntutan petani agar HPP tinggi. Faktor ketiga adalah tarif bea masuk (TBM) yang cukup tinggi, walaupun harga domestik sudah tinggi. Faktor keempat adalah terbatasnya pasokan gula GKR yang menyebabkan industri makanan dan minuman menggunakan gula GKP. Tingginya harga lelang dan harga konsumen merupakan ekses dari kesenjangan antara konsumsi dan produksi yang sangat besar, sementara pasar dikuasai hanya oleh 3 pedagang besar (struktur pasar oligopsoni). 19. Strategi utama untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut adalah peningkatan produksi gula hingga mencapai minimal 5 juta ton untuk memenuhi total kebutuhan konsumsi gula melalui perluasan areal tebu, peningkatan produktivitas dan perbaikan rendemen gula dengan pendirian pabrik gula baru. Rencana pemerintah untuk perluasan areal tebu dan pembangunan pabrik gula baru sebaiknya segera dilaksanakan, yang disarankan dilakukan di daerah-daerah di luar pulau Jawa yang belum ada pabrik gulanya (Madura, Sumatera, Sulawesi). Matriks permasalahan pokok, solusi dan instansi penanggungjawabnya diperlihatkan pada Tabel 4. 5

Tabel 1. Perkembangan Harga Gula GKP di Pasar Domestik dan Internasional, 2008-2012 Uraian Satuan 2008 2009 2010 2011 2012*) 1. Harga Domestik Rp/kg 6,539 8,691 8,440 10,624 13,123 2. Harga Internasional: a.harga Impor (CIF Ind) US$/kg 0.379 0.502 0.690 0.840 0.841 b.nilai Tukar Rp/US$ 9,772 10,356 9,078 8,773 9,255 c.harga Impor (a*b) Rp/kg 3,704 5,199 6,264 7,369 7,783 d.tarif bea masuk Rp/kg 790 750 490 400 790 e.biaya pelabuhan & angkut Rp/kg 278 390 470 553 584 f.harga paritas impor (c-d-e) Rp/kg 4,772 6,339 7,224 8,322 9,157 3. Selisih harga (1-2f) Rp/kg 1,767 2,352 1,216 2,302 3,066 % 27.02 27.07 14.41 21.67 33.48 *) Sampai dengan Juli 2012 Tahun Tabel 2. Produksi, Konsumsi dan Impor Gula Indonesia, 2008-2012 Produksi GKP (000 t) Konsumsi (000 t) Neraca Impor GKP Total (000 t) GKP GKR Total (000 t) 000 t % b) 2008 2,668 2,175 2,043 4,218 493-1,550-36.7 984 2009 2,517 2,096 2,150 4,246 421-1,729-40.7 1,374 2010 2,215 2,079 2,258 4,336 136-1,642-37.9 1,383 2011 2,228 2,071 2,373 4,443 158-1,710-38.5 1,400 2012a) 2,600 2,063 2,494 4,557 538-1,957-42.9 1,600 Keterangan: a) Produksi tahun 2012 adalah taksasi DGI; konsumsi GKP dan GKR adalah hasil estimasi DGI; dan impor tahun 2011 dan 2012 adalah estimasi tim (84% dari defisit produksi). b) Impor tahun 2011 dan 2012 adalah estimasi (sekitar 84% dari total defisit gula) Tahun Tabel 3. Pekembangan BPP, HPP dan Harga Lelang Gula, 2008-2012 Harga (Rp/kg) Rasio Harga BPP HPP HL HPP/BPP HL/HPP HE/HL 2008 *) 5,000 5,255 *) 1.051 1.244 2009 5,103 5,350 7,056 1.048 1.319 1.232 2010 6,246 6,530 7,723 1.045 1.183 1.093 2011 6,891 7,000 8,142 1.016 1.163 1.305 2012 7,902 8,100 10,982 1.025 1.356 1.195 Keterangan: BPP = Biaya Pokok Produksi gula petani; HPP = Harga Patokan Petani; dan HL = Harga lelang gula; *) Tidak dipeperoleh data BPP tahun 2008 6

Tabel 4. Matriks Kebijakan Pencegahan Harga Gula Domestik Tinggi No. Masalah Solusi Instansi 1 Produksi gula rendah: Meningkatkan produksi gula minimal mencapai 5 juta ton: a. Luas areal tebu terbatas: a. Perluasan areal tebu: Di Jawa terjadi persaingan dengan padi dalam panggunaan lahan sawah Konversi lahan ke nonpertanian Perluasan areal tebu rakyat di luar Pulau Jawa (Madura, Sumatera, Sulawesi). Prioritas sektor non-pertanian menggunakan lahan kering tidak subur dan pembangunan gedung bertingkat untuk permukiman, perkantoran, pertokoan. Ditjen Perkebunan (Kementan). BPN (Kemdagri), Gubernur & Bupati Ditjen Agraria, BPN, Gubernur, Bupati (Kemdagri). b. Produktivitas tebu rendah: b. Meningkatkan produktivitas tebu: Klon unggul tebu mahal Inovasi terus-menerus untuk dan lambat sampai menghasilkan klon tebu unggul petani Penyebaran klon unggul tebu ke petani oleh pabrik gula mitra. Mayoritas areal tebu di lahan kering Mayoritas areal tebu keprasan > 5 kali Petani diberikan kredit KKPE yang jumlahnya memadai. Penyuburan lahan kering dengan program bantuan pembuatan irigasi pompa. Pelaksanaan program bongkar ratoon dipercepat dan keprasan dibatasi maksimal 3 kali. c. Rendemen gula rendah: c. Membaiki rendemen gula: Semua pabriik gula BUMN terlalu tua Likuidasi pabrik gula yang menghasilkan rendemen gula sangat rendah (< 6%) dan menggantikan dengan pabrik dengan bahan baku tebu dari lahan yang sudah ada. Segera membangun pabrik gula baru disertai dengan pembukaan kebun tebu baru dengan prioritas di luar Pulau Jawa (Madura, Sumatera, Sulawesi). P3GI, Badan Litbang Pertanian (Kementan) Ditjen Perkebunan, pabrik gula mitra petani. Perbankan BUMN (BRI, BNI, Mandiri, BPD), Kemenkeu. Ditjen Perkebunan. Ditjen Perkebunan. Kemen BUMN, Kemenperin, Kemenkeu, Banggar DPR RI. KemenBUMN, Kemenperin, Ditjen Perkebunan, Ditjen Agraria, BPN, Gubernur, Bupati (Kemdagri). Banggar DPR RI. 2 Sistem pemasaran tidak efisien: Pasar lelang gula dikuasai 3 pedagang besar, bentuk pasar oligopsoni. Mengefisienkan sistem pemasaran: Jumlah peserta lelang dengan modal kuat diperbanyak, termasuk Bulog Ditjen Perdagangan Dalam Negeri (Kemendag), Bulog. 7

Lanjutan Tabel 4. No. Masalah Solusi Instansi 3 Distribusi gula kurang lancar: Memperbaiki distribusi: Pasokan gula kristal rafinasi (GKR) kurang, sehingga industri makanan dan minuman menggunakan gula Kristal putih (GKP) Pemenuhan pasokan GKR melalui impor gula mentah (raw sugar) dalam jumlah yang memadai. Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Kemendag). 4 BPP, HPP dan TBM tinggi: Mencegah BPP, HPP dan TBM naik: a. Biaya Pokok Produksi (BPP) gula petani tinggi dan naik terus, menyebabkan Harga Patokan Petani (HPP) tinggi dan naik terus: Harga sarana produksi (bibit, pupuk), upah garap, biaya tebang-angkut tinggi dan naik terus. Produktivitas tebu dan rendemen gula rendah. Tuntutan petani melalui APTRI agar HPP tinggi. Subsidi harga bibit tebu klon unggul baru, dan melanjutkan subsidi harga pupuk. Perbaikan teknik budidaya tebu (klon unggul baru, pemeliharaan, dll). Pembangunan pabrik gula baru. Tuntutan HPP petani jangan terlalu tinggi. Ditjen Anggaran (Kemenkeu) Ditjen Perkebunan (Kementan) Kemen BUMN, Kemenperin, Kemenkeu. Banggar DPR RI. APTRI b. Tarif bea masuk (TBM) tinggi, walaupun harga domestik sudah sangat tinggi. Tari bea masuk (TBM) impor dicabut, diganti dengan kebijakan non-tarif (kuota, pengaturan waktu impor, dll) Ditjen Perdagangan Luar Negeri (Kemendag). 8