Masukan Jaringan Masyarakat Sipil terhadap Draft 1 Strategi Nasional REDD + Jakarta, 25 Oktober 2010 Menyikapi draft pertama Strategi Nasional dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+) yang saat ini sedang disusun dan dikonsultasikan oleh Bappens, kami dari jaringan masyarakat sipil yang terlibat memantau perkembangan REDD menyampaikan beberapa masukan penting yang menurut kami merupakan persoalan utama kehutanan dan sesuai dengan kondisi empirik hutan Indonesia selama ini. Input ini kami sampaikan untuk beberapa bagian dalam dokumen ini, yakni: pendahuluan, visi dan tujuan, dasar hukum, pengertian, penyebab utama deforestasi dan persoalan tenure dan mekanisme komplain. Pendahuluan Bagian pendahuluan memaparkan komitmen indonesia terhadap perubahan iklim dan beberapa dasar hukum internasional yang menjadi rujukan mengapa Indonesia perlu menurunkan emisi 26%. Menurut kami, seharusnya bagian ini juga memaparkan konteks nasional, termasuk hukum nasional yang sudah cukup maju menjawab persoalan lingkungan nasional termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Beberapa kemajuan tersebut, antara lain Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka partisipasi publik dalam penyusunan tata ruang. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup juga memberikan ruang partisipasi dalam penyusunan rencana lingkungan hidup termasuk memastikan bahwa setiap aktivitas pembangunan patuh terhadap rencana lingkungan. Selain itu, konteks kerusakan hutan skala nasional juga harus menjadi alasan utama mengapa Indonesia perlu berkomitmen untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Laju kerusakan hutan Indonesia sudah sangat serius sehingga harus segera diatasi. 1 Di sisi lain, persoalan yang menyertai deforestasi dan degradasi hutan seperti pengabaian terhadap hak hidup masyarakat, persoalan kerusakan biodiversity maupun persoalan debit air yang makin berkurang tidak dibeberkan oleh dokumen ini sebagai persoalan yang harus diatasi oleh strategi REDD. Sebagai sebuah strategi, bagian pendahuluan harusnya menjadi latar belakang persoalan yang akan diatasi atau dijawab oleh strategi REDD plus Nasional. Tanpa memaparkan konteks yang komprehensif, strategi ini hanya akan menjadi program tentatif yang ditujukan semata-mata untuk merespons isu internasional dan bukan refleksi atas persoalan nasional. Usulan: perlu memasukan konteks nasional sebagai latar belakang mengapa Stranas diperlukan. Konteks nasional adalah konteks legislasi yang mendukung maupun potensial menghambat upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Dan juga penjelasan berbasis fakta atas isu-isu sosial seperti akses terhadap hutan dan benefit serta isu-isu ekologis seperti laju kerusakan hutan dan bencana ekologis Visi dan tujuan 1 Lihat FAO, 2010 1
Tujuan dokumen ini perlu juga secara spesifik menjawab kekacauan industri kehutanan. Tujuan harus menjadi jalan keluar yang ditawarkan agar persoalan industri kehutanan yang carut marut bisa diatasi. Selain itu, hutan di Indonesia merupakan sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat adat dan lokal, sehingga tujuan harus memastikan tata kelolah kehutanan akan mengakui hak masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Usulan (1): perlu mencantumkan tujuan yang spesifik mengenai upaya reformasi orientasi industri kehutanan. Usulan (2): Mencantumkan tujuan untuk mengakui hak-hak masyarakat atas kawasan hutan agar kesejahteraan mereka terjamin Dasar Hukum Selain UU yang sudah dikutip dalam draft ini, perlu juga mencantumkan UU Hak Asasi Manusia (HAM), UU Keterbukaan Informasi Publik dan Ratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD). Ketiga Undang-undang ini memberi karakter kuat bagi Stranas bahwa REDD tidak hanya bicara hutan secara fisik tapi juga hutan dalam arti ekonomi dan sosial. Dalam perundingan REDD di UNFCCC pun, pembahasan REDD tidak hanya melulu hutan tapi juga mencakup isu sosial seperti social safeguard yang mengacu pada instrumen hak asasi manusia, termasuk UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). Usulan : perlu memasukan UU Ratifikasi CBD, UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Hak Asasi Manusia, UU tentang konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan UNDRIP yang telah disetujui oleh pemerintah Indonesia. Pengertian Menengok defini hutan dalam dokumen ini nampaknya belum menepis kekuatiran akan memasukan perkebunan sebagai hutan. Definisi hutan yang mengacu pada UU No 41/1999 sangat longgar. Usulan : perlu ada definisi hutan yang lebih ketat dengan memperhatikan konteks sosialekologis hutan di Indonesia Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Persoalan Tenure Dokumen ini menyebut empat sebab deforestasi, yakni: (1) perencanaan tata ruang yang lemah, (2) tenurial, (3) unit manajemen hutan tidak efektif, (4) dasar dan penegakan hukum lemah. Empat sebab ini memang sangat signifikan dan karena itu pemetaan ini perlu diapresiasi. Namun perlu digarisbawahi isu krusial di balik pemaparan tentang relasi antara penyebab deforestasi dengan persoalan tenure. Pertanyaan utamanya adalah apakah ada relasi langsung antara tidak jelasnya tenure dengan deforestasi dan degradasi hutan? Pada prinsipnya, penguasaan masyarakat secara de fakto tidak bisa sewenang-wenang dikategorikan sebagai penyebab deforestasi karena jika argumen ini diamini maka semua penguasaan yang tidak berbasis hukum negara dianggap sebagai kontributor deforestasi. Jika diperiksa akar masalahnya, ketidakjelasan tenure jelas berangkat dari kebijakan negara yang diskriminatif yang berakar dari tradisi hukum kolonial dimana sesuatu dianggap sah hanya jika diakui hukum formal (Wignjosoebroto, 2002, Rahardjo, 2009). Sementara banyak komunitas di 2
sekitar hutan, tidak pernah berkenalan dengan formalitas undang-undang penguasaan hutan tetapi secara faktual mampu membuktikan diri mereka bisa mengelolah hutan secara lestari. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Ashwini Chhatre dan Arun Agrawal, dengan menggunakan data asli dari 80 hutan yang dikuasai bersama oleh masyarakat di 10 negara yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Latin, bahwa penguasaan hutan yang lebih luas dan otonomi dalam pengambilan keputusan yang lebih besar pada level lokal berkaitan erat dengan penyimpanan karbon yang cukup tinggi dan keuntungan bagi penghidupan masyarakat setempat. Lebih lanjut, kedua peneliti berargumen bahwa komunitas lokal membatasi konsumsi mereka terhadap produk hutan ketika mereka memililiki penguasaan hutan bersama, sehingga meningkatkan cadangan karbon. 2 Di Kalimantan, banyak komunitas memberikan kontribusi positif untuk mendukung kawasan konservasi karena sistem nilai yang mereka miliki juga mendukung kawasan tersebut (Eghenter, C., Sellato, B., Devung,G. Simon., eds, 2003). Masyarakat sungai utik di Kabupaten Kapus Hulu, misalnya, telah dikenal luas mampu mengelolah hutan mereka secara lestari meskipun di tempat yang sama sebuah ijin HPH telah diberikan. Bahkan Sungai Utik menjadi komunitas pertama yang mendapat penghargaan Sertifikat Ekolabel dari Menteri Kehutanan karena kemampuan mereka melakukan pengelolaan hutan secara lestari. 3 Usulan: Menengok pelajaran dari sejumlah kasus pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilakukan masyarakat adat/lokal, maka perlu ada klarifikasi yang jelas mengenai relasi antara deforestasi dan konflik tenure, terutama mengenai seberapa jauh penguasaan masyarakat mengakibatkan hancur leburnya ekosistem hutan. Dan seberapa jauh kontribusi penguasaan secara historis, tidak berbasis hukum formal, memberi sumbangsih bagi pengelolaan hutan secara lestari. Dan seberapa jauh penguasaan hutan secara formal berbasis hukum negara memberi sumbangsih bagi kehancuran sekaligus kelestarian hutan. Strategi Nasional REDD+ Dalam dokumen Stranas sejumlah strategi dikembangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan untuk memecahkan masalah deforestasi dan degradasi hutan. Nampaknya, aspek tenure yang dipaparkan dalam masalah deforestasi dan degradasi hutan, belum terkoneksikan dengan baik dengan pilihan strategi yang terpapar. Strategi hakikatnya harusnya menjawab masalah yang ada. Dalam reformasi pembangunan sektor penggunaan lahan dibeberkan mengenai langkah untuk reformasi di tingkat land use. Namun tidak ada strategi mengenai bagaimana memecahkan persoalan perbedaan klaim antara masyarakat dengan hukum lokalnya dan pemerintah/pengusaha dengan hukum negara. Dalam hal ini, terjadi missing link antara masalah dengan strategi. Usulan: perlu mencantumkan strategi yang spesifik mengenai bagaimana merespons konflik tenure Secara empiris-historis, inisiatif untuk mengatasi perubahan iklim melalui pengembangan skema REDD+, seharusnya tidak dilihat sebagai inisiatif yang baru, tetapi harus dilihat sebagai mekanisme kontrol terhadap kerusakan atau daya rusak dari kebijakan pembangunan secara 2 Elinor Ostrom, ed, 22 Juli 2009, lihat di www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0905308106 3 Bulletin Down to Earth No. 70, Agustus 2006, Intip Hutan, Edisi I-06/Januari-Februari 2006, Antara 6 Agustus 2008, Majalah Kehutanan Indonesia Edisi VIII Tahun 2008 3
menyeluruh. Jelas fakta menunjukan bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh pola-pola pembangunan yang over-konsumtif dan over-eksploitasi atas sumber daya alam tambang, hutan, tanah, dll yang melepaskan seperti dipaparkan dalam report IPCC (2007): The primary source of the increased atmospheric concentration of carbon dioxide since the pre-industrial period results from fossil fuel use, with land-use change providing another signifi cant but smaller contribution 4 Tanpa melihat pembangunan secara holistik, akan ada potensi kebocoran yang menggagalkan REDD+. Selain itu, pola pembangunan di masa lalu yang diteruskan hingga saat ini telah menimbulkan konflik yang menyingkirkan banyak kaum miskin dan marginal, termasuk perempuan dan anak-anak. Karena itu, menelisik perubahan iklim hanya dari satu sektor kehutanan saja, tanpa penguraian bangunan solusi yang baik dengan sektor non kehutanan, akan potensial menimbulkan kebocoran karbon. Dokumen Stranas masih belum menyentuh dan memberikan jawaban yang baik terhadap faktor-faktor kausalitas mendasar perubahan iklim. Dengan melihat konsentrasi MRV pada karbon, ada kecenderungan kuat dokumen ini dominan bermuara pada metodologi penghitungan karbon secara netto yang justru potensial memberikan insentif bagi komoditi-komoditi bisnis penghasil emisi. Apalagi definisi hutan yang digunakan cenderung terbuka terhadap praktek manipulatif yang kerap digunakan oleh bisnis kehutanan. Strategi yang dikembangkan terhadap berbagai sektor juga cenderung kompromistis terhadap perusakan hutan. Misalnya, dalam konteks pertambangan dan perkebunan, tidak ada strategi untuk menetapkan kuota ataupun moratorium tetapi secara halus tetap mendorong ekspansi tambang melalui minimalisasi open pit mining dan menghindari tambang di kawasan hutan yang masih baik. Usulan: perlu mencantumkan strategi quota dan moratorium pertambangan, kehutanan dan perkebunan agar memberi tempat bagi keberlanjutan hutan. Mekanisme Komplain Mekanisme komplain dan penyelesaiannya sama sekali belum ada dalam dokumen ini. Mekanisme komplain merupakan instrumen untuk menyelesaikan keluhan atau pengaduan yang berkaitan dengan masalah dalam pemenuhan safeguard dan standar-standar terkait. Jika MRV merupakan instrumen untuk melihat apakah sebuah proses telah berjalan mengikuti standar yang telah ditetapkan atau belum, mekanisme komplain atau pengajuan keberatan merupakan bentuk kelembagaan untuk menampung keluhan atas proses yang tidak sesuai standar atau melanggar hak, merugikan pihak lain maupun melanggar aturan yang lain. Usulan: perlu mencantumkan mekanisme komplain sebagai upaya kelembagaan untuk menjawab dan menyelesaikan komplain atau keberatan pihak lain atau pihak yang terkena dampak proyek atau kebijakan REDD+ 4 IPCC, 2007: Summary for Policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. 4
Kami yang memberikan Usulan: Perkumpulan HuMa, Jakarta Lembaga Bela Banua Talino, Pontianak, Kalimantan Barat Community Alliance for Pulp and Paper Advocacy, Jambi Down To Earth, Bogor Bank Information Center, Jakarta Konsorsium pendukung Sitem Hutan Kerakyatan, Bogor Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, Sulawesi Tengah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 5