PENAMPILAN PRODUKSI PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN JANTAN PERIODE PRA-SAPIH YANG DIBERI RANSUM STARTER DENGAN CARA BEBAS PILIH (CAFETARIA FEEDING)

dokumen-dokumen yang mirip
PENAMPILAN PRODUKSI PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN PERIODE LEPAS SAPIH YANG DIBERI RANSUM DENGAN SISTEM BEBAS PILIH SKRIPSI KHARIS ABDUR ROZZAQ

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

MATERI DA METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

SKRIPSI BUHARI MUSLIM

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah merupakan salah satu jenis sapi yang dapat mengubah pakan

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan 24 ekor Domba Garut jantan muda umur 8 bulan

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Materi

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Rataan Hasil Pengamatan Konsumsi, PBB, Efisiensi Pakan Sapi PO selama 48 Hari Pemeliharaan

PENGARUH BINDER MOLASES DALAM COMPLETE CALF STARTER BENTUK PELLET TERHADAP KONSENTRASI VOLATILE FATTY ACID DARAH DAN GLUKOSA DARAH PEDET PRASAPIH

RETENSI NITROGEN PADA KAMBING PERANAKAN ETTAWA BETINA LEPAS SAPIH YANG DIBERI PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI.

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Metode

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan yaitu Domba Garut betina umur 9-10 bulan sebanyak

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

NILAI TOTAL DIGESTIBLE NUTRIENTS PAKAN DENGAN LEVEL PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA BETINA LEPAS SAPIH SKRIPSI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2013 di

MATERI DAN METODE. Materi

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

KATA PENGANTAR. dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Transkripsi:

PENAMPILAN PRODUKSI PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN JANTAN PERIODE PRA-SAPIH YANG DIBERI RANSUM STARTER DENGAN CARA BEBAS PILIH (CAFETARIA FEEDING) SKRIPSI ROLIS PERDHANAYUDA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

RINGKASAN ROLIS PERDHANAYUDA. D24062861. 2010. Penampilan Produksi Pedet Peranakan Friesian Holstein Jantan Periode Pra-Sapih yang Diberi Ransum Starter dengan Cara Bebas Pilih (Cafetaria Feeding). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Kukuh Budi Satoto MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Didid Diapari MS Pemeliharaan pedet memerlukan perhatian dan ketelitian yang tinggi dibanding dengan pemeliharaan sapi dewasa. Hal ini disebabkan karena kondisi pedet yang masih lemah sehingga bisa menimbulkan angka kematian yang tinggi. Salah satu manajemen pemeliharaan pedet periode pra-sapih adalah pemberian pakan yang tepat, yaitu sesuai dengan kebutuhannya. Untuk mengetahui kebutuhan pedet periode pra-sapih, maka dapat digunakan teknik pemberian pakan dengan cara bebas pilih (cafetaria feeding). Dengan demikian dapat memberikan kebebasan kepada ternak sesuai dengan naluri dalam memilih makanannya sendiri sehingga diperoleh komposisi ransum yang tepat sesuai dengan kebutuhan ternak. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2009, di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja bagian Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mencari susunan ransum starter pedet berdasarkan konsumsi cafetaria, menentukan waktu sapih berdasarkan konsumsi starter (cafetaria) dan starter (mix), membandingkan penampilan produksi, dan efisiensi penggunaan pakannya. Penelitian ini menggunakan 6 ekor pedet jantan FH (Friesian Holstein) berumur ± 14 hari dengan rataan bobot badan 38,34 ± 2,34 kg. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan (PBB), waktu sapih, dan efisiensi pakan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Data hasil penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji T. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah P1: starter bebas pilih (cafetaria feeding) yang terdiri dari jagung, pollard, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa yang semuanya disediakan secara ad libitum. P2: starter mix (40% jagung + 30% pollard + 30% bungkil kedelai) yang diberikan secara ad libitum. Kedua perlakuan ditambahkan mineral mix (0,3% garam + 3% CaCO 3 + 0,2% premix). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pemberian pakan dengan cara bebas pilih (cafetaria feeding) menciptakan susunan ransum starter, yaitu jagung (15%), pollard (4%), bungkil kedelai (80%), dan bungkil kelapa (1%) dengan komposisi zat makanannya, yaitu BK 85,66%, PK 37,45%, SK 4,62%, dan TDN 82,17%. Pencapaian waktu lepas sapih yang lebih cepat ditunjukkan oleh perlakuan cafetaria, yaitu 31 hari sedangkan pada perlakuan mix mencapai 44 hari. Pertambahan bobot badan menghasilkan perbedaan yang nyata (p<0,05), yaitu lebih tinggi pada perlakuan cafetaria daripada perlakuan mix, hal tersebut selaras dengan jumlah konsumsi protein kasar namun tidak untuk zat makanan yang lainnya. Nilai

efisiensi penggunaan pakan pada penelitian ini menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05). Kata-kata kunci: Pedet pra-sapih, cafetaria feeding, performa, ransum, starter

ABSTRACT Performance of Pre-Weaning Holstein Friesian Male Calf Fed Starter Ration under Cafetaria Feeding Perdhanayuda R., K. B. Satoto, and D. Diapari This study was carried out to know the influences of cafetaria feeding to performance at the pre-ruminant compared to single feeding (mix). Six Holstein Friesian calves were divided into two treatment groups, mix ration and cafetaria feeding. Feed that used were corn, pollard, soybean meal, and coconut meal. The treatment given in this study are P1: starter cafetaria feeding consisting of corn, pollard, soybean meal and coconut meal which were given ad libitum. P2: starter mix (40% corn + 30% pollard + 30% soybean meal) which were given ad libitum. Mineral mix were added in both treatments (0.3% salt + 3% CaCO 3 + 0.2% Premix). Feed were given once in the morning. The data obtained were treated by Analysis of Variance, followed by T- Test method if there were a significant differences. The results showed that cafetaria feeding calves better performance than mix calves. Cafetaria feeding calves can be weaned earlier in 31day and having higher daily gains rather than mix calves (p<0,05). The composition of ration that obtained from cafetaria feeding are 15% corn, 4% pollard, 80% soybean meal, 1% coconut meal, which followed by the nutrient compotitions are 85.66% DM, 37.45% CP, 4.62% CF, and 82.17% TDN. Keywords: Pre-ruminant, cafetaria feeding, performance, starter, ration

PENAMPILAN PRODUKSI PEDET PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN JANTAN PERIODE PRA-SAPIH YANG DIBERI RANSUM STARTER DENGAN CARA BEBAS PILIH (CAFETARIA FEEDING) ROLIS PERDHANAYUDA D24062861 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Judul : Penampilan Produksi Pedet Peranakan Friesian Holstein Jantan Periode Pra-Sapih yang Diberi Ransum Starter dengan Cara Bebas Pilih (Cafetaria Feeding) Nama : Rolis Perdhanayuda NIM : D24062861 Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, (Ir. Kukuh Budi Satoto, MS) NIP: 19490118 197603 1 001 (Dr. Ir. Didid Diapari, MS) NIP: 19620617 199002 1 001 Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001 Tanggal Ujian: 2 Juni 2010 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1988 di Magetan, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Surodo dan Ibu Hj. Minut Sulistyowati. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Magetan 2 pada tahun 1994-2000, pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di MTs Assalaam, dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMU Assalaam. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tahun berikutnya diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di UKM Bulutangkis sebagai ketua periode 2007-2008, Ikatan Alumni Ma had Assalaam di Bogor sebagai ketua periode 2007-2008, dan BEM Fakultas Peternakan sebagai ketua departemen informasi dan komunikasi periode 2008-2009. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan seperti Open House 44 dan Seminar Pertanian Nasional. Penulis pernah mengikuti program magang di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Pengantar Ilmu Nutrisi dan Nutrisi Ternak Pedaging pada tahun 2009-2010.

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul Penampilan Produksi Pedet Peranakan Friesian Holstein Jantan Periode Pra-Sapih yang Diberi Ransum Starter dengan Cara Bebas Pilih (Cafetaria Feeding) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam industri pakan dan dunia peternakan. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh, amin. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Bogor, Mei 2010 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... Halaman KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Pedet Peranakan Friesian Holstein (PFH)... 3 Kebutukan Zat Makanan... 4 Kebutuhan Energi... 4 Kebutuhan Protein... 5 Kebutuhan Mineral... 5 Cara Pemberian Pakan Bebas Pilih... 6 Bahan Pakan... 7 Jagung... 7 Pollard... 7 Bungkil Kedelai... 7 Bungkil Kelapa... 8 Konsumsi Ransum Starter... 8 Waktu Sapih... 9 Pertambahan Bobot Badan... 10 Efisiensi Penggunaan Pakan... 10 MATERI DAN METODE... 11 Lokasi dan Waktu... 11 Materi... 11 Metode... 12 Rancangan Percobaan... 13 Peubah yang Diamati... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN... 15 i iii iv vi vii ix xi xii

Kondisi Umum Selama Penelitian... 15 Konsumsi Ransum Starter... 15 Konsumsi Zat Makanan... 19 Waktu Sapih... 21 Pertambahan Bobot Badan... 22 Efisiensi Penggunaan Pakan... 23 KESIMPULAN DAN SARAN... 25 Kesimpulan... 25 Saran... 25 UCAPAN TERIMAKASIH... 26 DAFTAR PUSTAKA... 27 LAMPIRAN... 30

Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Kandungan Zat Makanan (berdasarkan As fed)... 11 2. Rataan Konsumsi Ransum Starter dan Susu... 16 3. Perbedaan Komposisi Pakan dan Zat Makanan pada Kedua Perlakuan (berdasarkan As fed).... 4. Persentase Pola Konsumsi Bahan Pakan Penyusun Ransum Starter pada Perlakuan Cafetaria... 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Ransum Starter dan Susu... 19 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Sapih, Bobot Sapih, PBB, 22 Konsumsi Susu, dan Efisiensi Penggunaan Pakan... 7. Analisis Pendapatan Berdasarkan Biaya Pakan... 24 17 18

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perlakuan Cafetaria.. 12 2. Perlakuan Mix 12 3. Pola Konsumsi Mingguan Perlakuan Mix dan Cafetaria (As fed)... 19

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. ANOVA Konsumsi Segar... 31 2. ANOVA Konsumsi Bahan Kering (BK)... 31 3. ANOVA dan Uji T Konsumsi Protein Kasar (PK)... 31 4. ANOVA Konsumsi Total Digestible Nutrient (TDN)... 31 5. ANOVA Konsumsi Serat Kasar (SK)... 31 6. ANOVA Konsumsi Ca... 32 7. ANOVA Konsumsi P... 32 8. ANOVA dan Uji T Konsumsi Lama Sapih... 32 9. ANOVA dan Uji T Konsumsi Pertambahan Bobot Badan (PBB)... 32 10. ANOVA dan Uji T Konsumsi Susu Segar... 33 11. ANOVA Efisiensi Penggunaan Pakan... 33

PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam proses budidaya ternak sapi, periode yang paling sulit dan penuh risiko adalah periode pemeliharaan pedet dari setelah lahir hingga disapih, terutama risiko serangan penyakit dan tingkat kematian yang tinggi. Di daerah tropis rata rata persentase kematian pedet dibawah umur tiga bulan mencapai 20% bahkan bisa mencapai 50% (Wina et al., 1996). Hal tersebut yang menjadi penyebab banyak produser ternak sapi mengawali usahanya dari sapi yang telah disapih sebagai bakalannya. Fenomena ini pada gilirannya telah menyebabkan tidak dapat dibendungnya impor ternak sapi hidup dari luar negeri yang setiap tahun semakin meningkat. Dampak dari hal tersebut, pemeliharaan pedet menjadi sangat penting yang harus dilakukan dengan baik dan seksama. Manajemen pemeliharaan pedet merupakan salah satu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Dengan demikian diperlukan penanganan yang benar mulai dari sapi tersebut dilahirkan sampai disapih sebagai bakalan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memelihara pedet, salah satu diantaranya adalah manajemen pemberian pakan. Berbagai program untuk menyusun ransum telah banyak digunakan oleh para produsen, yaitu pabrik pakan. Namun hal ini belum menjamin keseimbangan antara harga ransum yang paling murah dengan biaya produksi yang ekonomis. Program yang digunakan hanya akan menghasilkan formula yang cocok bergantung pada orang yang memberikan input data sehingga seorang formulator harus memiliki latar belakang yang baik dalam landasan dan aplikasi ilmu nutrisi. Untuk mengetahui kesesuaian formulasi pakan di lapangan, maka dapat digunakan teknik pemberian pakan dengan cara bebas pilih (cafetaria feeding). Cara bebas pilih adalah memberikan kebebasan kepada ternak, dalam hal ini pedet periode pra-sapih untuk memilih makanannya sendiri sesuai dengan naluri. Keskin et al. (2004) menyatakan bahwa kebebasan dalam memilih makanan akan meningkatkan kegiatan kesejahteraan ternak sehingga kebutuhan zat makanan mereka dapat terpenuhi. Pemberian pakan dengan cafetaria feeding akan memberikan kesempatan kepada anak sapi untuk membuat makanannya sendiri sehingga mendukung perkembangan rumen dan memberikan kenyamanan (Nicol, 1997). Dengan

demikian, dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh komposisi ransum yang tepat atau sesuai dengan kebutuhan pedet dan memperoleh biaya pemeliharaan yang lebih ekonomis. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mencari susunan ransum starter pedet berdasarkan konsumsi cafetaria, menentukan waktu sapih berdasarkan konsumsi starter (cafetaria) dan starter (mix), membandingkan penampilan produksi, dan efisiensi penggunaan pakan.

TINJAUAN PUSTAKA Pedet Peranakan Friesian Holstein (PFH) Sapi peranakan friesian holstein (PFH) merupakan bangsa sapi hasil persilangan antara sapi peranakan onggole (sapi lokal) dengan sapi friesian holstein (sapi asal Belanda). Di indonesia sapi PFH penyebarannya terbatas di daerah tertentu. Hal ini dikarenakan produktivitas sapi perah sangat dipengaruhi temperatur lingkungan. Pada mulanya dalam usaha ternak sapi perah, pemeliharaan pedet diutamakan pada pengganti bibit induk (replacement) yang akan diperah sebagai sumber produksi susu. Pada kenyataannya, kelahiran pedet jantan dan betina berpeluang sama sehingga pedet jantan yang dahulu tidak pernah dilirik untuk dipelihara sekarang justru banyak dicari sebagai bakalan untuk digemukkan (Santosa, 2001). Pemeliharaan pedet yang baru lahir, pemberian pakan dan minum, perkandangan serta penanganan kesehatan perlu diperhatikan dengan baik, mengingat angka kematian pedet yang cukup tinggi pada empat bulan pertama setelah pedet lahir. Di daerah tropis rata rata persentase kematian pedet dibawah umur tiga bulan mencapai 20% bahkan bisa mencapai 50% (Wina et al., 1996). Ciri ciri sapi FH (Friesian Holstein) dan PFH (Peranakan Friesian Holstein) antara lain adalah memiliki warna putih dengan belang hitam, dapat juga hitam dengan belang putih. Ekor harus putih, warna hitam tidak diperkenankan, juga tidak diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian siku dan lutut, tetapi warna hitam pada kaki mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku diperbolehkan (Syarief dan Sumoprastowo, 1984). Blakely dan Blade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Anak sapi memiliki perut yang terbagi menjadi empat, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Kapasitas abomasum lebih besar pada saat anak sapi yang baru lahir dibandingkan rumen, retikulum, dan omasum, yaitu 60% vs 25%, 5%, 10% (Heinrichs dan Jones, 2003). Pemberian air susu maupun pakan dalam bentuk cair pada anak sapi, dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang disebut oesophageal groove (Roy, 1980). Saluran ini terbentuk secara refleks saat protein susu terlarut diberikan. Refleks oesophageal groove tersebut akan berkurang dengan bertambahnya umur

anak sapi. Rumen akan berfungsi baik setelah anak sapi berumur 2 bulan atau jika anak sapi telah makan makanan padat (Williamson dan Payne, 1993). Kebutukan Zat Makanan Kebutuhan zat makanan ternak ruminansia terdiri atas kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Kebutuhan hidup pokok diterjemahkan ke dalam bahasa yang pengertiannya sederhana dan mudah dimengerti yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh makanan lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan zat makanan tersebut akan diubah menjadi bentukbentuk produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi air susu atau produksi tenaga (Sutardi, 1981). Zat makanan yang diperlukan ternak dapat dipisahkan menjadi komponen utama antara lain energi, protein, mineral, dan vitamin. Kebutuhan bahan kering merupakan salah satu penentu ketersediaan zat makanan dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi. Perkiraan bahan pakan yang didasarkan bahan kering akan mengarah pada tercapainya tingkat efisiensi penggunaan pakan. Kebutuhan bahan kering dihitung berdasarkan bobot badan, tingkat produksi susu, bulan laktasi, dan lingkungan (NRC, 2001). Menurut Sutardi (1981), kebutuhan bahan kering sapi pra-sapih atau umur 0-4 bulan untuk bobot badan 30-64 kg adalah 0,48-1,8 kg. Namun kebutuhan ini akan meningkat seiring bertambahnya bobot badan sapi. Kebutuhan Energi Sutardi (1981) menyatakan bahwa energi merupakan hasil metabolisme zat makanan organik yang terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein. Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan zat makanan yang dominan dalam menyediakan bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses pencernaan. Orskov (1998) menyatakan bahwa ternak membutuhkan energi untuk pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol temperatur tubuh, dan untuk produksi. Kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh (NRC, 2001).

Kebutuhan Protein Protein adalah senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino. Protein merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus-menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis (NRC, 2001). Menurut Anggorodi (1994), protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, sulfur, dan fosfor. Kebutuhan protein sapi dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur fisiologis, kebuntingan, laktasi, dan kondisi tubuh (Esminger, 1990). Berdasarkan NRC (2001), pada saat pertumbuhan, seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan protein kasar sapi pra-sapih atau umur 0-4 bulan untuk bobot badan 30-64 kg adalah 0,12-0,21 kg. Kebutuhan Mineral Mineral diperlukan oleh hewan dalam jumlah yang cukup. Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas fermentasi mikroba tidak berlangsung secara optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktifitas ternak (McDowel, 1992). Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk pertumbuhan, reproduksi, dan untuk memelihara kesehatan. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antar mineral maka dapat berpengaruh terhadap penampilan ternak, ketidakseimbangan ini menurut Parakkasi (1999), dapat berkisar dari yang tidak terlihat gejalanya atau subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya atau akut. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan sapi perah yang tepat akan beberapa mineral esensial belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan hal tersebut, maka kebutuhan sapi perah akan mineral dibatasi pada Ca dan P. Selain itu perlu diperhatikan bahwa di samping Ca dan P, pemberian Na (natrium) dan Cl (chlor) yang biasa diberikan sebagai garam dapur hendaknya juga diteruskan. Kebutuhan Ca dan P untuk sapi pra-sapih atau umur 0-4 bulan untuk bobot badan 30-64 kg menurut Sutardi (1981) adalah sekitar 6,14-10,8 gram dan 4,09-7,22 gram.

Cara Pemberian Pakan Bebas Pilih (Cafetaria Feeding) Cafetaria feeding adalah cara pemberian pakan dengan memberi kesempatan anak sapi (pedet) untuk memilih makanannya sendiri sesuai dengan naluri. Dengan demikian diperoleh komposisi ransum yang tepat sesuai dengan kebutuhan pedet. Ternak ruminansia yang telah menginjak dewasa dapat membuat suatu ransum sendiri dari komposisi yang ditawarkan (Forbes, 1995; Forbes and Provenza, 2000; Yurtseven and Gorgulu, 2004, 2007; Gorgulu et al., 2003, 2008). Pemberian bahan pakan tunggal atau satu jenis kepada pedet tidak memberikan hasil yang baik serta tidak memenuhi kesejahteraan pedet dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini disebabkan perkembangan rumen pada pedet membutuhkan makanan yang bergizi dan cocok untuk pengembangan rumen. Menurut Parakkasi (1999), komposisi bahan makanan yang bervariasi harus mengandung seluruh zat yang diperlukan, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin-vitamin, dan mineral. Kecukupan zat-zat makanan di dalam ransum ternak harus diimbangi dengan jumlah konsumsi ransum yang cukup pula, karena hal tersebut akan mempengaruhi hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam pembuatan ransum perlu dipertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan. Hasil penelitian pada anak domba (Gorgulu et al., 1996; Sahin et al., 2003; Keskin et al., 2004) dan kambing (Bateman et al., 2004) yang telah disapih menunjukkan keberhasilan menyusun makanannya sendiri dari bahan-bahan pakan yang ditawarkan untuk menyesuaikan kebutuhan zat makanannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Keskin et al. (2004) bahwa kebebasan dalam memilih makanan akan meningkatkan kegiatan kesejahteraan ternak sehingga kebutuhan zat makanan mereka dapat terpenuhi. Hasil penelitian Boga (2009) menunjukkan bahwa pedet yang diberi perlakuan cafetaria akan membuat makanan yang mengandung protein tinggi dan rendah serat. Pemberian pakan dengan cara bebas pilih atau cafetaria akan memberikan kesempatan kepada anak sapi untuk membuat makanannya sendiri sehingga mendukung perkembangan rumen dan memberikan kenyamanan (Nicol, 1997).

Bahan Pakan Jagung Jagung adalah bahan makanan yang disukai dan sesuai untuk semua jenis ternak. Jagung kaya energi dan rendah dalam serat serta mineral. Pati merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam biji jagung yang terdiri atas amilosa dan amilopektin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Meskipun jagung sumber energi tercerna yang unggul tetapi jagung rendah protein dan proteinnya berkualitas rendah (defisien lisin). Protein jagung sekitar 8,5% (NRC, 1994). Menurut Goldsworthy dan Fischer (1992) komposisi kimia jagung bervariasi tergantung pada varietas, cara penanaman, iklim, dan tingkat kematangan. Komposisi kimia jagung berubah selama pertumbuhan. Kandungan zat-zat makanan dalam jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Pollard Pollard merupakan hasil samping penggilingan gandum yang mengandung kulit ari gandum dan halus serta mempunyai kandungan serat dan protein yang tinggi. Pollard tidak mempunyai anti nutrisi dan profil asam aminonya mirip dengan gandum. Pollard digunakan untuk meningkatkan kandungan serat pada makanan dan dapat juga digunakan untuk pakan ternak (Phang, 2001). Hasil samping penggilingan gandum merupakan sumber protein yang digunakan sebagai makanan ternak. Menurut Phang (2001) ada sekitar lima juta ton hasil penggilingan gandum yang diproduksi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Penggilingan gandum konvensional di Amerika Serikat menghasilkan 75% tepung dan 25% hasil samping. Protein pollard lebih tinggi daripada protein jagung dan mengandung lisin dua kali lebih banyak daripada protein endosperm (Phang, 2001). Bungkil Kedelai Bungkil kedelai adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya secara ekspeller (mekanis) atau secara solver (kimia) (SNI, 1996). Bungkil kedelai mempunyai protein yang relatif tinggi dan memiliki keseimbangan asam-asam amino yang baik. Proporsi zat makanan bungkil kedelai cukup seimbang dengan protein rata-rata 38%, karbohidrat 31%, air 8%, beberapa mineral, dan vitamin (Lotong, 1998). Swick (2001) menyatakan bahwa bungkil kedelai sesuai sebagai sumber protein dalam pakan karena kandungan lisin yang tinggi walaupun kandungan

methionin dan sistin terbatas. Menurut McDonald et al.(2002), bungkil kedelai secara umum dikenal sebagai salah satu sumber protein terbaik untuk hewan. Protein yang terdapat dalam bungkil kedelai mengandung semua asam amino esensial tetapi kurang akan sistin dan methionin. Methionin merupakan asam amino pembatas dalam ransum berenergi tinggi. Bungkil kedelai mengandung antinutrisi, yaitu antitripsin (trypsin inhibitor) yang mempunyai kemampuan menghambat tripsin. Pembatas tripsin ini menyebabkan ketersediaan beberapa asam amino esensial (lisin dan arginin) menjadi berkurang, namun antitripsin ini dapat dinonaktifkan dengan pemanasan (McDonald et al., 2002). Menurut Araba dan Dale (1990) selain penghambat tripsin, berkurangnya ketersediaan asam amino dan penurunan nilai zat makanan dalam bungkil kedelai disebabkan pula oleh proses pemanasan yang berlebih (over processing). Bungkil Kelapa Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering (SNI, 1996). Bungkil kelapa dapat digunakan untuk mensuplai sebagian protein yang diperlukan untuk ternak (Pond et al., 1995). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan zat makanan yang utama adalah protein kasar, yaitu sebanyak 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasar dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15% dan ini merupakan sifat dari bungkil atau ampas bahan makanan yang berasal dari tumbuhan. Konsumsi Ransum Starter Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang mengandung zat makanan didalamnya dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Ransum adalah total bahan makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam sedangkan ransum starter adalah istilah makanan yang diberikan pada ternak di periode awal. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi.

Konsumsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam ternak itu sendiri sedangkan faktor eksternal berasal dari pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, sedangkan palatabilitas pakan tergantung pada bau, rasa, tekstur dan temperatur pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1988). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh ; (1) berat atau besar badan, (2) jenis makanan (bahan makanan yang berdaya cerna tinggi), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi dari bahan makanan, (5) stress dan (6) sex atau jenis kelamin. Sapi yang sehat memerlukan sejumlah pakan yang cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi pakan maupun imbangan nutrisi yang dikandung. Menurut Jones and Heinrichs (2007) untuk membantu perkembangan rumen pedet, maka perlu disediakan biji-bijian yang berkualitas baik dan air yang cukup selain pemberian air susu sehingga pedet dapat disapih dengan cepat, yaitu sekitar 3-4 minggu. Waktu Sapih Sapih adalah penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain. Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu yang pertama dengan melihat umur dari anak sapi tersebut, kedua dengan cara melihat bobot badan yang telah dicapai oleh anak sapi, dan yang ketiga adalah dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari pakan starter (Parakkasi, 1999). Menurut Hardjosubroto (1994), bobot sapih diartikan sebagai bobot anak sapi saat mulai dipisahkan dari induknya. Triwulaningsih (1986) menyatakan bahwa bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan bobot lahir, artinya bobot lahir yang lebih tinggi akan menentukan bobot sapih yang tinggi pula, jadi dilakukan seleksi terhadap bobot sapih akan meningkatkan bobot lahir pada generasi berikutnya. Devendra (1978) menyatakan bahwa bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur penyapihan, umur induk, dan produksi susu induk. Konsumsi ransum starter oleh anak sapi di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ pencernaan yang berfungsi untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Starter yang dikonsumsi sejak lahir atau lepas kolostrum dapat

mempercepat periode penyapihan. Penyapihan pada anak sapi (pedet) dapat dilakukan saat konsumsi starter mencapai 0,5-0,7 kg/ekor/hari (Jones and Heinrichs, 2007; Imran, 2009). Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pakan ternak. Pertambahan bobot badan yang diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil zat-zat makanan yang dikonsumsi. Dari data pertambahan bobot badan akan dapat diketahui nilai suatu pakan bagi suatu ternak (Church dan Pond, 1988). Menurut McDonald et al (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Boga (2009) menyatakan bahwa anak sapi yang diberi perlakuan cafetaria memiliki pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan mix. Efisiensi Penggunaan Pakan Efisiensi penggunaan pakan adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nilai efisiensi penggunaan pakan didefinisikan sebagai jumlah produk (PBB, daging, karkas, dll.) yang diproduksi dari setiap unit bahan makanan yang dikonsumsi. Nilai efisiensi pakan yang semakin tinggi memberikan arti bahwa jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan pertambahan serat kasar dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi karena lemak dalam ransum tersebut akan dideposit dalam tubuh sehingga akan meningkatkan bobot badan.

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja bagian Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 46 hari dari bulan Agustus s/d September 2009. Alat Materi Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sekop, timbangan analitik, dan timbangan digital. Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang individu yang mempunyai luas 3 m 2 (2x1,5 m). Di setiap kandang individu dilengkapi dengan tempat minum dan tempat pakan. Untuk pedet perlakuan cafetaria disediakan 4 bak pakan sedangkan untuk perlakuan mix disediakan 1 bak pakan. Lantai pada setiap kandang diberi alas (bedding) berupa serbuk gergaji dengan ketinggian sekitar 5-10 cm dari dasar lantai, yang bertujuan untuk kenyamanan pedet. Atap kandang pada penelitian ini menggunakan asbes. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung, pollard, bungkil kedelai, bungkil kelapa, garam, CaCO 3, premix, dan susu segar. Kandungan zat makanan dari bahan pakan yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Kandungan Zat Makanan (berdasarkan As fed) Nutrien Susu Bungkil Bungkil Jagung Pollard Segar* Kedelai Kelapa BK 12,5 85,22 85,28 85,73 89,24 Abu 0,7 1,45 4,25 6,56 5,28 PK 3,4 9,58 15,67 44,04 16,84 SK - 1,54 7,16 4,98 13,1 LK 3,6 1,18 2,34 2,64 19,07 Beta-N 4,8 71,47 55,86 27,51 34,95 TDN* 129 80,8 67,9 83,2 78,7 Ca* 0,91 0,23 0,09 0,38 0,17 P* 0,74 0,41 1,39 0,72 0,62 Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2009) dan *) Sutardi (1981)

Ternak Percobaan Ternak yang digunakan adalah anak sapi peranakan friesian holstein (PFH) jantan sebanyak 6 ekor dengan bobot badan 38,34 ± 2,34 kg dan umur ± 14 hari yang berasal dari PT. Taurus Dairy Farm. Metode Perlakuan Penelitian Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : P1 : Starter cafetaria yang terdiri dari jagung, pollard, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa yang semuanya diberikan ad libitum P2 : Starter mix (40% jagung + 30% pollard + 30% bungkil kedelai) yang diberikan ad libitum Kedua perlakuan ditambahkan mineral mix (0,3% garam + 3% CaCO 3 + 0,2% premix). Kedua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Gambar 1. Perlakuan Cafetaria Gambar 2. Perlakuan Mix Prosedur Pemeliharaan Ternak Enam ekor pedet dibagi menjadi dua perlakuan dan masing masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 46 hari. Pengamatan dilakukan dari hari ke-1 s/d hari ke-46. Pemberian pakan starter (kedua perlakuan) secara ad libitum dilakukan 1 kali sehari, pada pagi hari pukul 06.00 07.00 WIB. Bahan pakan starter diberikan dengan sistem bebas pilih (cafetaria feeding) untuk perlakuan pertama dan mix atau komplit untuk perlakuan kedua. Pemberian susu 2 kali sebanyak 4 liter per hari, pada pagi hari 2 liter dan sore 2 liter. Pemberian dilakukan pada kedua perlakuan dan ketiga ulangan dengan jumlah serta waktu pemberian yang sama. Air minum disediakan ad libitum.

Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Y ij = μ + τ i + ε ij Keterangan : Y ij μ τ i ε ij = Nilai pengamatan untuk perlakuan ke-i dan ulangan ke-j = Rataan umum = Pengaruh perlakuan ke-i = Error (gallat) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Data hasil penelitian ini dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji t (Steel and Torrie, 1991). Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum starter dan zat makanan (PK, TDN, SK, Ca, dan P), waktu sapih, pertambahan bobot badan (PBB), dan efisiensi penggunaan pakan. Konsumsi Ransum Starter Ransum starter sebelum diberikan ke ternak ditimbang terlebih dahulu. Sisa ransum starter ditimbang pada keesokan harinya. Penimbangan ransum starter dan sisa dilakukan setiap hari untuk mengetahui rataan konsumsi setiap ternak. Ransum starter diberikan pada pagi hari pukul 06.00-07.00 WIB. Konsumsi ransum starter (g) = Pemberian (g) sisa (g) Konsumsi Zat Makanan Jumlah zat makanan yang dikonsumsi ternak seperti protein kasar (PK), total digestible nutrient (TDN), serat kasar (SK), Ca, dan P dihitung dari konsumsi pakan segar dikali dengan persentase kadar zat makanan. Konsumsi PK (g) = Konsumsi ransum segar (g) x persentase PK Konsumsi TDN (g) = Konsumsi ransum segar (g) x persentase TDN Konsumsi SK (g) = Konsumsi ransum segar (g) x persentase SK Konsumsi Ca (g) = Konsumsi ransum segar (g) x persentase Ca Konsumsi P (g) = Konsumsi ransum segar (g) x persentase P

Waktu Sapih Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu yang pertama dengan melihat dari umur anak sapi tersebut, kedua dengan cara melihat dari bobot badan yang telah dicapai oleh anak sapi, dan yang ketiga adalah dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari pakan starter (Parakkasi, 1999). Pada penelitian ini penyapihan dilakukan berdasarkan pencapaian jumlah konsumsi starter anak sapi (pedet), yaitu 750 gram/hari selama tiga hari berturut-turut pada kedua perlakuan. Dengan demikian dapat dibandingkan jumlah hari antara perlakuan cafetaria feeding dan mix. Lama sapih (hari) = Umur sapih (hari) - Umur awal perlakuan (hari) Pertambahan Bobot Badan Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dilakukan dengan penimbangan ternak pada awal dan akhir pemeliharaan. Penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan dengan menggunakan timbangan sapi. Pertambahan bobot badan selama penelitian ini dihitung berdasarkan bobot sapih (akhir pemeliharaan) dikurangi dengan bobot awal, sedangkan pertambahan bobot badan harian (g/e/hari) diperoleh dari pertambahan bobot badan selama penelitian dibagi dengan lamanya pemeliharaan. PBB (g/e/hari) = Bobot sapih bobot awal perlakuan (g/e) Lama Pemeliharaan (hari) Efisiensi Penggunaan Pakan Efisiensi penggunaan pakan dihitung dari pertambahan bobot badan selama penelitian dibagi dengan konsumsi pakan selama penelitian (g). EPP = PBB (g/e/hari) Konsumsi pakan (g/e/hari)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Selama Penelitian Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak adalah lingkungan. Anggorodi (1994) menyatakan bahwa iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan menyebabkan rendahnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang rendah pula. Lokasi penelitian berada di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja bagian Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Suhu udara pada pagi hari sekitar 22,4 o C dengan kelembaban 80% dan pada siang hari mencapai 32,7 o C dengan kelembaban 52%. Manajemen pemberian pakan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemberian ransum starter dengan cara yang berbeda, yaitu mix dan bebas pilih (cafetaria feeding). Ransum starter mix yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pengadukan (manual) yang dilakukan di Laboratorium Lapangan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja. Bahan pakan yang digunakan diantaranya adalah jagung, pollard, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan mineral mix. Komposisi mineral mix terdiri dari garam, CaCO 3, dan premix. Bahan pakan tersebut diperoleh dari PT Indofeed Bogor. Kendala yang dialami selama penelitian ini adalah pada saat pemberian susu kepada pedet. Pemberian susu kepada pedet membutuhkan teknik tersendiri, hal tersebut dikarenakan pemberian susu menggunakan ember dan tidak menggunakan dot susu. Teknik yang digunakan adalah dengan cara memasukkan salah satu jari ke dalam mulut pedet sebagai pengganti ambing. Hal ini dilakukan beberapa hari di awal perlakuan dan mulai ditinggalkan dengan bertambahnya umur pedet. Konsumsi Ransum Starter Ransum adalah total bahan makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam sedangkan ransum starter adalah istilah makanan yang diberikan pada ternak di periode awal. Konsumsi merupakan tolak ukur untuk menilai palatabilitas suatu ransum yang diberikan. Tingkat palatabilitas suatu ransum dapat dilihat dari

tingginya tingkat konsumsi ransum tersebut. Rataan konsumsi ransum starter (segar dan bahan kering) dan susu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Konsumsi Ransum Starter dan Susu Perlakuan Konsumsi Mix Cafetaria Starter Susu Total Starter Susu Total ---------------------------------------- (g/e/hari) --------------------------------- -------- Segar 230,00 4110 4340,00±29,59 451,00 4110 4561,00±140,24 BK 196,37 513,75 710,12±13,37 427,08 513,75 940,83±127,28 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan mix dan cafetaria tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum starter segar dan konsumsi bahan kering (BK) (p>0,05). Namun, pada selang kepercayaan 10% (p<0,1) perlakuan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi ransum starter segar dan konsumsi bahan kering. Konsumsi ransum starter segar harian pada perlakuan mix dan cafetaria adalah 230 g/e/hari dan 451 g/e/hari. Konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan. Selain dipengaruhi oleh cara pemberian pakan yang berbeda, menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh bobot badan, jenis makanan (bahan makanan yang berdaya cerna tinggi), kondisi ternak, kadar energi dari bahan makanan, dan jenis kelamin. Konsumsi BK merupakan salah satu penentu ketersediaan zat makanan dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi. Perkiraan bahan pakan yang didasarkan BK akan mengarah pada tercapainya tingkat efisiensi penggunaan pakan secara baik. Tillman et al. (1998) mengatakan bahwa konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang mengandung zat makanan didalamnya dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan keperluan produksi ternak tersebut. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan BK untuk pedet dengan bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/e/hari (1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/e/hari (1,4%-1,7% BB). Konsumsi bahan kering kedua perlakuan adalah

710,12 g/e/hari (1,47% BB) (mix) dan 940,83 g/e/hari (2,02% BB) (cafetaria) sehingga telah memenuhi kebutuhan pedet berdasarkan Sutardi (1981) dan NRC (2001). Cara pemberian pakan pada perlakuan cafetaria menghasilkan komposisi bahan pakan yang berbeda dengan perlakuan mix. Proporsi bungkil kedelai pada perlakuan cafetaria menunjukkan persentase yang lebih tinggi, yaitu 80% daripada perlakuan mix (28,98%), sedangkan proporsi jagung dan pollard pada perlakuan cafetaria menunjukkan persentase yang lebih rendah, yaitu 15% dan 4% daripada perlakuan mix (38,65% dan 28,98%). Perbedaan komposisi pakan tersebut berbanding lurus pada komposisi zat makanan yang terkandung didalamnya. Perbedaan komposisi pakan dan zat makanan pada kedua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan Komposisi Pakan dan Zat Makanan pada Kedua Perlakuan (berdasarkan As fed) Komposisi pakan Perlakuan Mix Cafetaria ---------------------------- (%) ---------------------------- Jagung 38,65 15 Pollard 28,98 4 Bungkil kedelai 28,98 80 Bungkil kelapa - 1 Mineral mix 3,39* ** Zat Makanan BK 85,38 85,66 Abu 5,62 5,68 PK 18,32 37,45 SK 6,45 4,62 LK 3,42 2,56 Beta-N 51,57 35,35 TDN 77,61 82,17 Ca 0,2 0,34 P 0,69 0,70 Keterangan: *) komposisi mineral mix terdiri dari 0,3% garam, 3% CaCO 3, dan 0,2% premix. **) Jagung, pollard, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa telah dicampur dengan mineral mix (3,5%) pada perlakuan cafetaria. Cara pemberian pakan bebas pilih memberikan respon terhadap ternak untuk memilih bahan pakan yang mengandung protein tinggi sehingga bungkil kedelai dikonsumsi lebih banyak daripada jagung, pollard, dan bungkil kelapa yang

mengandung protein lebih rendah. Selain kandungan protein yang rendah pada jagung, pollard, dan bungkil kelapa, bahan pakan tersebut mengandung Beta-N yang lebih tinggi daripada bungkil kedelai. Forbes (1995) menyatakan bahwa kandungan Beta-N yang tinggi pada bahan makanan dapat menurunkan tingkat konsumsi. Hal tersebut dapat menjadi penentu tingkat palatabilitas bahan pakan yang digunakan pada penelitian ini. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa bahan ransum yang mempunyai palatabilitas tinggi akan dikonsumsi lebih banyak. Pola konsumsi penggunaan bahan pakan pada perlakuan cafetaria dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pola Konsumsi Bahan Pakan (BK) Penyusun Ransum Starter pada Perlakuan Cafetaria Minggu Bahan Pakan Total ke- Bungkil Bungkil Jagung Pollard Konsumsi Kedelai Kelapa ------------------------------------ (g (%)) --------------------------------- I 10 (5,49) 5 (2,75) 161 (88,46) 6 (3,30) 182 (100) II 9 (4,04) 11 (4,93) 202 (90,58) 1 (0,45) 223 (100) III 8 (2,17) 16 (4,35) 344 (93,48) 0 (0,00) 368 (100) IV 103 (16,59) 22 (3,54) 495 (79,71) 1 (0,16) 621 (100) V 222 (29,92) 14 (1,89) 506 (68,19) 0 (0,00) 742 (100) Berdasarkan Tabel 4, konsumsi pada perlakuan cafetaria, yaitu jagung cenderung meningkat dari 5,49% pada minggu ke-1 menjadi 29,92 % pada minggu ke-5 dan bungkil kedelai meningkat sampai minggu ke-3 (93,48%), namun menurun pada minggu selanjutnya menjadi 68,19%. Pollard dan bungkil kelapa menurun bahkan tidak dimakan setelah minggu ke-5, walaupun pollard masih dikonsumsi sebanyak 1,89%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa bungkil kedelai lebih disukai pada minggu ke-1 daripada bahan pakan lainnya dan selanjutnya menurun setelah minggu ke-3. Seiring dengan penurunan konsumsi bungkil kedelai setelah minggu ke-3, terjadi peningkatan konsumsi pada bahan pakan jagung. Hal ini menurut Parakkasi (1999) disebabkan oleh mulai aktifnya enzim amylase dan maltase atau diduga mulai berkembangnya fungsi rumen (aktivitas mikroba rumen) sehingga diperlukan sumber karbohidrat selain dari bungkil kedelai. Berdasarkan hal tersebut maka Parakkasi (1999) menyarankan bahwa pemberian pati hanya 10 % untuk pedet di bawah umur tiga minggu dan selanjutnya dapat diberi sampai ± 25 %. Siemens (1996) menyarankan konsumsi starter setelah konstan 0,9-1,3 kg/hari dapat

ditambahkan jagung secara ad libitum agar mencapai BB 158 kg pada umur 16-18 minggu. Perubahan pola konsumsi pakan terlihat jelas pada Gambar 3. 1400 minggu kekonsumsi (g) 1200 1000 800 600 400 200 0 724 868 514 430 578 498 260 401 212 336 358 188 236 235 120 64 105 1 1 0 6 12 131 11 19 9 25 12 758 1 2 3 4 5 6 7 jagung pollard kedelai kelapa Mix Cafetaria 1161 Gambar 3. Pola Konsumsi Mingguan Perlakuan Mix dan Cafetaria (As fed) Konsumsi Zat Makanan Konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Rataan konsumsi zat makanan ransum starter dan susu tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Ransum Starter dan Susu Perlakuan Konsumsi Mix Cafetaria Starter Susu Total Starter Susu Total ---------------------------------------- (g/e/hari) --------------------------------- -------- PK 68,31 127,67 195,98 a ±6,42 176,17 127,67 303,84 b ±54,98 TDN 247,08 419,21 669,29±21,78 323,08 419,21 742,29±103,94 SK 24,05 0 24,01±2,26 21,15 0 21,15±6,87 Ca* 0,68 4,34 6,96±0,08 1,36 4,34 9.65±0,45 P** 2,36 3,53 5,98±0,28 2,75 3,53 6,30±1,03 Keterangan: Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05), *) tambahan Ca dari mineral mix, yaitu 1,82 (mix) dan 3,95 (cafetaria), dan **) tambahan P dari mineral mix, yaitu 0,01 (mix) dan 0,02 (cafetaria).

Perlakuan mix dan cafetaria berpengaruh nyata terhadap konsumsi protein kasar (PK) (p<0,05), namun tidak berbeda pada konsumsi total digestible nutrient (TDN), serat kasar (SK), calcium (Ca), dan phosphor (P). Kebutuhan PK untuk pedet menurut Sutardi (1981) dengan BB 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah 120-210 g/e/hari, sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan PK untuk pedet dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 141-217 g/e/hari. Hasil konsumsi PK pada perlakuan mix menunjukkan telah memenuhi kebutuhan menurut Sutardi (1981) dan NRC (2001), yaitu 195,98 g/e/hari, sedangkan pada perlakuan cafetaria menunjukkan hasil yang melebihi kebutuhan menurut keduanya, yaitu 303,84 g/e/hari. Hasil konsumsi PK yang melebihi kebutuhan pada perlakuan cafetaria disebabkan oleh konsumsi bahan pakan bungkil kedelai yang tinggi. Kandungan PK pada bungkil kedelai adalah 44,04% (Tabel 1). Bungkil kedelai pada perlakuan cafetaria memberikan sumbangan yang tinggi dalam komposisi ransum starter, yaitu 80% atau mendekati tiga kali lipat dari komposisi ransum starter pada perlakuan mix (28,98%) (Tabel 5). Konsumsi bungkil kedelai yang tinggi pada perlakuan cafetaria feeding kemungkinan digunakan untuk sumber protein dan sebagian untuk kompensasi kebutuhan energi akibat dari rendahnya konsumsi jagung dan pollard sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan NRC (2001) bahwa pada saat pertumbuhan, seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Konsumsi TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari zat-zat makanan organik yang dapat dicerna oleh ternak dan merupakan jumlah dari semua zat-zat makanan organik yang dapat dicerna: protein, lemak, serat kasar, dan Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (Anggorodi, 1994). Kandungan TDN bahan pakan berkisar antara 67,9% sampai 83,2% dan TDN susu sebesar 129% BK (Tabel 1). Kebutuhan TDN untuk anak sapi menurut NRC (2001) dengan BB 30-60 kg dan umur PBB 0,4-0,6 kg adalah 0,82-1,21 kg/e/hari. Konsumsi TDN pada penelitian ini (Tabel 5) adalah 669,29 g/e/hari (mix) dan 742,29 g/e/hari (cafetaria). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein ternak di daerah tropis berbeda dengan daerah subtropis. Selain itu, rendahnya konsumsi TDN diduga dipengaruhi oleh cara penyapihan pedet pada penelitian ini.

Ternak ruminansia mempunyai kemampuan untuk mencerna serat dengan bantuan mikroba, akan tetapi pada pedet fungsi rumen belum berkembang dengan sempurna sehingga kemampuan untuk mencerna serat masih cukup rendah. Hasil penelitian Boga (2009) menunjukkan bahwa pedet yang diberi perlakuan cafetaria akan membuat makanan yang mengandung protein tinggi dan rendah serat. Kapasitas rumen pada pedet periode pra-sapih hanya mencapai 25% dari keseluruhan kapasitas perut pedet (Heinrichs dan Jones, 2003). Pada penelitian ini, konsumsi SK yang tinggi menurunkan daya cerna makanan. Hal ini dibuktikan dengan pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih rendah pada pedet yang mendapat perlakuan mix dibandingkan pedet yang mendapat perlakuan cafetaria. Konsumsi SK pada perlakuan mix mencapai 24,01 g/e/hari dengan PBB 418,97 g/e/hari sedangkan konsumsi SK pada perlakuan cafetaria adalah 21,15 g/e/hari dengan PBB 553,76 g/e/hari. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan Ca dan P untuk pedet dengan BB 30-64 kg adalah 6,14-10,8 g/e/hari dan 4,09-7,22 g/e/hari. Kedua perlakuan menunjukkan hasil yang memenuhi kebutuhan Ca dan P, yaitu pada perlakuan mix ialah 6,96 g/e/hari dan 5,98 g/e/hari dan pada perlakuan cafetaria ialah 9,65 g/e/hari dan 6,30 g/e/hari. Selain itu, Parakkasi (1999) menambahkan bahwa kebutuhan Ca dan P untuk ternak ruminansia menjadi unsur yang penting diperhatikan pada hampir semua kondisi pemberian pakan. Thompson (1978) merekomendasikan kadar Ca dalam ransum untuk pertumbuhan pedet perah jantan sebesar 4,32 g/e/hari pada taraf awal dan 2,16 g/e/hari pada taraf akhir pemberian, sedangkan kadar P dalam ransum sebesar 3,33 g/e/hari pada taraf awal dan 1,62 g/e/hari pada taraf akhir pemberian. Waktu Sapih Penyapihan adalah penghentian pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain. Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu yang pertama dengan melihat umur dari pedet tersebut, kedua dengan cara melihat BB yang telah dicapai oleh pedet, dan yang ketiga adalah dengan melihat banyaknya konsumsi BK dari pakan starter (Parakkasi, 1999). Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat konsumsi starter mencapai 0,5-0,7 kg/ekor/hari (Jones dan Heinrichs, 2007; Imran, 2009).