II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN. Kota Bogor, Ruang Terbuka Hijau, Pertumbuhan Penduduk, Kebutuhan Oksigen.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

III. BAHAN DAN METODE

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pertumbuhan dan Pertambahan Perkembangan Penduduk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars.

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

II. TINJAUAN PUSTAKA

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MERAUKE

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. didirikan sebagai tempat kedudukan resmi pusat pemerintahan setempat. Pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

Green Urban Vertical Container House 73

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

SCAFFOLDING 1 (2) (2012) SCAFFOLDING. IDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK KOTA REMBANG

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB II TINJAUAN TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA CIMAHI TAHUN

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

III PENYUSUNAN MASTERPLAN RTH PERKOTAAN MASTERPLAN RTH

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BINJAI. 2.1 Penggunaan Lahan Di Kota Binjai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Rencana Tata Ruang Wilayah. pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Hal tersebut telah digariskan dalam

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN (Jurnal) Oleh KIKI HIDAYAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Kota

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

Batu menuju KOTA IDEAL

ASPEK KEPENDUDUKAN II. Tujuan Pembelajaran

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sekretariat : BAPPEDA KOTA BOGOR, Lantai 3 Jl. Kapten Muslihat No Bogor

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

INVENTARISASI SERAPAN KARBON OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MALANG, JAWA TIMUR

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 16 TAHUN 2013 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN

Arahan Optimalisasi RTH Publik Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dengan pendekatan spasial. Metode penelitian kuantitatif dapat

ASPEK KEPENDUDUKAN I. Tujuan Pembelajaran

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BUPATI WONOSOBO, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk baik peningkatan maupun penurunannya. Menurut Rusli (1995), secara umum ada 3 variabel demografi yang sering dikaji dalam studi ilmu kependudukan yaitu kelahiran, kematian dan migrasi atau gerak penduduk. Mengenai kelahiran, dikenal istilah fertilitas yaitu rata-rata wanita dapat menghasilkan anak. Kelahiran dan kematian dinamakan faktor alami, sedangkan perpindahan penduduk dinamakan faktor non alami. Terdapat dua bentuk migrasi yaitu migrasi yang dapat menambah jumlah penduduk disebut migrasi masuk (imigrasi), dan migrasi yang dapat mengurangi penduduk disebut migrasi keluar (emigrasi). Kelahiran bersifat menambah jumlah penduduk. Ada beberapa faktor yang menghambat kelahiran (anti natalitas) dan yang mendukung kelahiran (pro natalitas). Faktor-faktor penunjang kelahiran (pro natalitas) antara lain: (1) Kawin pada usia muda, karena ada anggapan bila terlambat kawin keluarga akan malu; (2) Anak dianggap sebagai sumber tenaga keluarga untuk membantu orang tua; (3) Anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki; (4) Anak menjadi kebanggaan bagi orang tua; (5) Anggapan bahwa penerus keturunan adalah anak laki-laki, sehingga bila belum ada anak laki-laki, orang akan ingin mempunyai anak lagi (edukasi.net, 2009). Faktor pro natalitas mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk menjadi besar. Faktor-faktor penghambat kelahiran (anti natalitas), antara lain: (1) Adanya program keluarga berencana yang mengupayakan pembatasan jumlah anak; (2) Adanya ketentuan batas usia menikah, untuk wanita minimal berusia 16 tahun dan bagi laki-laki minimal berusia 19 tahun; (3) Anggapan anak menjadi beban keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; (4) Adanya pembatasan tunjangan anak untuk pegawai negeri yaitu tunjangan anak diberikan hanya sampai anak ke 2; dan (5) Penundaaan kawin sampai selesai pendidikan akan memperoleh pekerjaan (e-dukasi.net, 2009). 16

Untuk menentukan jumlah kelahiran dalam satu wilayah digunakan angka kelahiran (fertilitas). Angka kelahiran yaitu angka yang menunjukkan rata-rata jumlah bayi yang lahir setiap 1000 penduduk dalam waktu satu tahun. Faktorfaktor penunjang tingginya angka natalitas dalam suatu negara antara lain: (1) Kepercayaan dan Agama, faktor kepercayaan mempengaruhi orang dalam penerimaan KB. Ada agama atau kepercayaan tertentu yang tidak membolehkan penganutnya mengikuti KB. Dengan sedikitnya peserta KB berarti kelahiran lebih banyak. (2) Tingkat pendidikan, semakin tinggi orang sekolah berarti terjadi penundaan pernikahan yang berarti pula penundaan kelahiran. Selain itu pendidikan mengakibatkan orang merencanakan jumlah anak secara rasional. (3) Kondisi perekonomian, penduduk yang perekonomiannya baik tidak memikirkan perencanaan jumlah anak karena merasa mampu mencukupi kebutuhannya. Jika suatu negara berlaku seperti itu maka penduduknya menjadi banyak (e-dukasi.net, 2009). Selain itu menurut Rusli (1995) faktor-faktor yang juga menunjang tingginya angka natalitas dalam suatu negara: (1) Kebijakan Pemerintah, kebijakan pemerintah mempengaruhi apakah ada pembatasan kelahiran atau penambahan jumlah kelahiran. Selain itu kondisi pemerintah yang tidak stabil misalnya kondisi perang akan mengurangi angka kelahiran. (2) Adat istiadat di masyarakat, kebiasaan dan cara pandang masyarakat mempengaruhi jumlah penduduk. Misalnya nilai anak, ada yang menginginkan anak sebanyak-banyaknya, ada yang menilai anak laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan atau sebaliknya, sehingga mengejar untuk mendapatkan anak laki-laki atau sebaliknya. (3) Kematian dan kesehatan, kematian dan kesehatan berkaitan dengan jumlah kelahiran bayi. Kesehatan yang baik memungkinkan bayi lebih banyak yang hidup dan kematian bayi yang rendah akan menambah pula jumlah kelahiran. 17

(4) Struktur Penduduk, penduduk yang sebagian besar terdiri dari usia subur, jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan yang mayoritas usia non produktif. Kematian bersifat mengurangi jumlah penduduk dan untuk menghitung besarnya angka kematian caranya hampir sama dengan perhitungan angka kelahiran. Banyaknya kematian sangat dipengaruhi oleh faktor pendukung kematian dan faktor penghambat kematian (e-dukasi.net, 2009). Faktor pendukung kematian (pro mortalitas) mengakibatkan jumlah kematian semakin besar. Yang termasuk faktor ini adalah: (1) Sarana kesehatan yang kurang memadai, (2) Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, (3) Terjadinya berbagai bencana alam, (4) Terjadinya peperangan, (5) Terjadinya kecelakaan lalu lintas dan industri, dan (6) Tindakan bunuh diri dan pembunuhan (e-dukasi.net, 2009). Faktor penghambat kematian (anti mortalitas) mengakibatkan tingkat kematian rendah. Yang termasuk faktor ini adalah: (1) Lingkungan hidup sehat, (2) Fasilitas kesehatan tersedia dengan lengkap, (3) Ajaran agama melarang bunuh diri dan membunuh orang lain, (4) Tingkat kesehatan masyarakat tinggi, dan (5) Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk (e-dukasi.net, 2009). Kepadatan penduduk aritmatik yaitu jumlah rata-rata penduduk yang menempati wilayah seluas satu kilometer persegi (1 km 2 ), dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal. Terus meningkatnya tingkat kepadatan penduduk berbanding terbalik dengan jumlah ketersediaan lahan. Masalah ketersediaan lahan menjadi salah satu kendala dibangunnya RTH baru. Padahal dengan jumlah penduduk yang tinggi pada suatu wilayah, maka diperlukan penambahan luas RTH yang memadai bagi masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktanya, masyarakat banyak beraktifitas menggunakan bahan bakar dalam transportasinya, dan menghasilkan karbondioksida yang menjadi penyebab adanya pemanasan global yang terjadi sekarang ini (Prayoga, 2009). 18

Pemenuhan lahan untuk pemukiman dapat dilakukan dengan pembangunan vertikal sehingga mengurangi penggunaan lahan. Menurut Prayoga (2004), relokasi pemukiman liar dan refungsionalisasi kawasan bantaran kali, bantaran rel kereta api, di bawah tegangan tinggi, dan di bawah jalan layang akan menyediakan RTH yang lumayan besar. Hal-hal yang menjadi penyebab gagalnya perencana dalam merencanakan suatu RTH adalah: (1) Pertambahan penduduk yang cepat sekali, (2) Perencanaannya yang tidak matang dan selalu ketinggalan, (3) Persepsi perancang dan pelaksana belum sama dan belum berkembang, (4) Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan, (5) Kebutuhan yang sangat mendesak, dan (6) Para perencana yang belum berwawasan lingkungan, dengan pandangan yang tidak jauh ke depan (edukasi.net, 2009). Nilai Pertumbuhan Penduduk Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus : Nilai Pertumbuhan populasi di awal periode Model Pertumbuhan dan Peluruhan Penduduk Menurut Panuju dan Rustiadi (2008), model pertumbuhan secara umum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Discrete time model dan (2) Continous time model. Secara lebih rinci persamaan dari kedua model tersebut dijabarkan pada uraian dan persamaan berikut: 1. Discrete Time Model Model pertumbuhan model discrete time ini berdasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan terjadi secara agregat dengan persentase laju pertumbuhan yang relatif konstan. Contoh penggunaan model ini adalah seperti perhitungan suku bunga di bank dan bunga asuransi. Persamaan umum model ini adalah sebagai berikut : Pt = Po + r Po = (1+r) Po Pt = Po (1+r) t 19

Pertumbuhan penduduk kecil kemungkinan mendekati model ini, karena perkembangan penduduk mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi yang menyebabkan pada suatu titik akan mempunyai laju pertumbuhan yang cenderung berubah. Dengan persamaan berikut, pendugaan nilai parameter Pt bersifat matematis, sehingga tidak bisa diduga peluang maupun tingkat kepercayaan hasil pendugaan. 2. Continous Time Model Model Linear Model ini merupakan model pendugaan pertumbuhan dengan persamaan umum Pt = Po + αt dan didasarkan pada asumsi bahwa perubahan laju pertumbuhan relatif konstan. Berbeda dengan model (1) pada model (2) nilai Pt dan t diketahui. Parameter yang diduga adalah α. Nilai Po dapat disimulasikan bernilai 0, bernilai konstanta tertentu, ataupun sesuai pendugaan model. Pada dasarnya penentuan Po harus didasarkan pada konsep tertentu. Pendugaan parameter dalam model ini bersifat statistik, sehingga akan diperoleh nilai peluang dan tingkat kepercayaan, disamping juga parameter koefisien determinasi. Pada Gambar 1 terdapat dua model pertumbuhan (a) dan peluruhan (b). Disebut model pertumbuhan jika koefisien α bernilai positif, dan disebut peluruhan jika α bernilai negatif. Pt (a) Pt (b) t t Gambar 1. Pola Hubungan Dua Peubah Dengan Koefisien Regresi (a) Positif dan (b) Negatif Eksponensial Model ini merupakan model pertumbuhan dengan persamaan umum sebagai berikut: Pt = Po exp (αt). Model tersebut didasarkan pada 20

asumsi bahwa % laju berubah-ubah. Dalam kasus model eksponensial, semakin lama kecenderungan % laju akan semakin tinggi. Kondisi seperti ini akan ditemukan pada wilayah yang masih terus berkembang. Jika diasumsikan sebagai suatu tahapan perkembangan wilayah, maka wilayah dengan trend perkembangan seperti ini merupakan wilayah yang belum matang. Seperti juga pada model (2), pada model (3) nilai pengamatan adalah Pt dan t. Nilai Po boleh disimulasikan 0, sama dengan nilai tertentu (nilai data P pertama) atau diduga dari model tergantung dari konsep yang digunakan. Pendugaan ini juga bersifat statistik, sehingga juga akan diperoleh nilai peluang dan tingkat kepercayaan disamping nilai parameter koefisien determinasi. Secara grafis pola hubungan Y yang merupakan fungsi dari X dengan pemodelan pola eksponensial. Kurva Gompretz/Saturation Model ini merupakan model pertumbuhan yang didasarkan pada asumsi bahwa perubahan laju dan presentasi pertumbuhan senantiasa berubah. Model ini pada dasarnya merupakan turunan dari model logistik. Persamaan umum dari model kurva Gompertz jenuh (saturation model) ini adalah sebagai berikut : exp 1 exp Pada dasarnya model peluruhan ini mempunyai prinsip yang sama dengan pertumbuhan sebagaimana dijelaskan diatas. Asumsi-asumsinya relative sama dengan asumsi model eksponensial. Perbedaannya terletak pada nilai gradiennya. Jika nilai gradient positif disebut sebagai model pertumbuhan (growth) dan sebaliknya jika gradient negative maka disebut sebagai model peluruhan (decay). 2.2 Definisi Ruang Terbuka Hijau RTH didefinisikan sebagai ruang terbuka yang manfaatnya lebih bersifat pengisian hijauan tanaman, baik yang bersifat alamiah atau budidaya tanaman dan 21

sebagainya (Inmendagri No. 14 tahun 1988). Selain itu menurut Purnomohadi dalam Budiman (2010) bahwa (1) RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri terutama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Ruang terbuka hijau publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Sabuk hijau (greenbelt), adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. Menurut Nurisjah dan Pramukanto dalam Budiman (2010) RTH merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Dalam Master Plan RTH Kota Bogor (2007), definisi lain mengatakan bahwa secara umum ruang terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka 22

(open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosialbudaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. 2.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, RTH memiliki fungsi utama dan tambahan sebagai berikut: Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis: (1) Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota) (2) Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar (3) Sebagai peneduh (4) Produsen oksigen (5) Penyedia habitat satwa (6) Penyerap air hujan, polutan media udara, air dan tanah, serta (7) Penahan angin. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu (1) Fungsi sosial dan budaya yang menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota dan tempat rekreasi serta wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam; (2) Fungsi ekonomi yang terdiri dari sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain; dan (3) Fungsi estetika yaitu berfungsi meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan. Menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk faktor keindahan arsitektural serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati. 23

2.4 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan Penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau dapat menggunakan pendekatan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kebutuhaan fungsi tertentu. Salah satu fungsi tertentu dari RTH adalah kebutuhan oksigen Kota. a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut (1) ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; (2) proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; (3) apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 menentukan cara perhitungan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku yaitu 2,53 m 2 /orang. c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini dijelaskan dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 adalah fungsi perlindungan atau 24

pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. d. Perhitungan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigennya Luas kebutuhan RTH dapat dihitung berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen dengan menggunakan metode Gerarkis (1974) dalam Wisesa (1988) yang kemudian dikembangkan oleh Wijayanti (2003) yaitu sebagai berikut : dimana, L : ai : bi : ci : di : Ui : Vi : Yi : Zi : K : Luas RTH (ha) Kebutuhan oksigen per orang (kg/jam) Kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor (kg/jam) Kebutuhan oksigen per industry (kg/jam) Kebutuhan oksigen per ternak(kg/jam) Jumlah Penduduk Jumlah kendaraan bermotor berbagai jenis Jumlah industri dari berbagai skala Jumlah ternak dari berbagai jenis Konstanta (rataan oksigen yang dihasilkan Hutan Kota kg/jam/ha 2.5 Peran Geographic Information System (GIS) dalam Analisis RTH GIS dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristikk yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Prahasta (2004) SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dasar dalam menangani data bereferensi geografis, kemampuan dasar tersebut adalah: (1) Data masukan (data spasial dan data atribut), (2) Data luaran (peta tematik), (3) Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), dan (4) Analisis data. 25

Perangkat lunak SIG yang biasa digunakan antara lain ArcView, ArcGis, MapInfo, ERDAS. Pada penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah ArcView versi 3.3 karena kemampuannya menganalisis lebih baik dari versi sebelumnya dan memiliki banyak ekstensi untuk mempermudah dalam analisis data yang dibutuhkan. Lebih lanjut, Prahasta (2004) menyatakan bahwa ArcView merupakan salah satu perangkat lunak desktop Sistem Informasi Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Environmental System Research Institut, Inc). Dengan ArcView, pengguna dapat memiliki kemampuankemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab pertanyaanpertanyaan (baik data spasial maupun data non-spasial), menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Kemampuan perangkat SIG ArcView yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut : (1) Pertukaran data, membaca dan menuliskan data dari dan ke dalam format perangkat lunak SIG lainnya (2) Menampilkan Informasi (basis data) spasial maupun atribut (3) Membuat peta tematik. Dalam menentukan penggunaan lahan yang akan dijadikan arahan RTH menurut Prahasta (2004) dapat digunakan Query, dengan fungsi untuk menandai sel theme grid sesuai dengan kriteria yang diinginkan, satuan data yang ditandai adalah sel atau piksel pada theme grid. Menandai data dengan query dapat dilakukan pada view ataupun pada tabel. Menandai data dengan query pada view dapat dilakukan dengan menu Theme Query. Peta arahan RTH menggunakan peta administrasi kota bogor, peta hierarki jalan kota bogor serta peta hasil penentuan arahan, metode yang digunakan untuk mengasilkan peta tersebut menggnakan metode overlay clip one. Menurut Prahasta (2004). Fasilitas ini biasanya digunakan untuk memperoleh informasi pada daerah dengan luasan yang lebih kecil dari peta yang mencangkup daerah yang luas. 26