BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Analisa Ruang Metode Moyers

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN PREDIKSI LEEWAY SPACE DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS MOYERS DAN TANAKA-JOHNSTON PADA MURID SEKOLAH DASAR SUKU BATAK DI KOTA MEDAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ortodontik (Shaw, 1981). Tujuan perawatan ortodontik menurut Graber (2012)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

PREDIKSI LEEWAY SPACE DENGAN MENGGUNAKAN TABEL MOYERS PADA MURID SEKOLAH DASAR RAS DEUTRO-MELAYU DI KOTA MEDAN

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PREDIKSI LEEWAY SPACE DENGAN MENGGUNAKAN TABEL MOYERS PADA PASIEN YANG DIRAWAT DI KLINIK ORTODONSIA FKG USU

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. jaringan lunak. Gigi digerakkan dalam berbagai pola, dan berbagai cara perawatan

VALIDITAS INDEKS MOYERS DI SDN 28 TUMAMPUA PANGKAJENE SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi. Salah satu syarat mendapat gelar. Sarjana Kedokteran Gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Mokhtar, 2002). Susunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

II. ORTODONSI INTERSEPTIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai perawatan selesai (Rahardjo, 2009). Hasil perawatan ortodontik

BAB 3 METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi dalam melakukan diagnosa dan perencanaan perawatan gigi anak. (4,6,7) Tahap

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodonti merupakan perawatan yang bertujuan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

Oleh NURADILLAH.BURHAN. Politehnik kesehatan kemenkes makassar jurusan keperawatan gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi.

ALUR PENELITIAN. (Required space )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ORTODONTI III. H.Nazruddin Drg. C.Ort. Ph.D.

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

PEMILIHAN DAN PENYUSUNAN ANASIR GIGITIRUAN PADA GIGITIRUAN SEBAGIAN LEPASAN (GTSL)

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Makanan yang pertama kali dikonsumsi bayi adalah Air Susu Ibu (ASI).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hal yang harus dipertimbangkan dalam perawatan ortodonsi salah satunya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB I. dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk. untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Penyakit gigi dan mulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

A. Anatomi dan morfologi Gigi Permanen 1. Gigi Incisivus Tetap Pertama Atas

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mengevaluasi keberhasilan perawatan yang telah dilakukan. 1,2,3 Kemudian dapat

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhkembangan Dentofasial Laki-laki dan Perempuan Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak terjadi mulai dari pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, intelektual, maupun emosional (Hidayat, 2008). Pertumbuhkembangan dentofasial pada umumnya mengikuti pola laju pertumbuhan dari bagian tubuh lainnya (Foster, 1999). Adanya perbedaan ukuran fisik antar jenis kelamin karena pertumbuhan dan perkembangan pada perempuan dimulai lebih awal dan berhenti lebih cepat dibandingkan laki-laki (Chusida et al., 2004). Terdapat percepatan pertumbuhan awal sesudah lahir, kemudian menurun lagi dan terdapat growth spurt lagi pada usia sekitar 6-7 tahun. Percepatan pertumbuhan ini berlangsung kurang lebih 3-4 bulan dan perempuan lebih dahulu mengalami dari pada laki-laki. Percepatan pertumbuhan akan terjadi lagi pada usia ± 12 tahun pada perempuan ±14 tahun pada laki-laki yang disebut prepubertal growth spurt (Rahardjo, 2009). Laju pertumbuhan fasial, yang mencapai puncaknya sewaktu lahir akan menurun dengan tajam dan mencapai minimal pra pubertas, perempuan mengalami dua tahun lebih cepat dibandingkan pada laki-laki. Pertumbuhan fasial normalnya dikaitkan dengan erupsi gigi-geligi sulung antara usia 1-3 tahun serta

gigi-geligi permanen antara usia 6-14 tahun. Baik gigi yang erupsi maupun prosesus alveolarisnya yang sedang berkembang, keduanya ikut menambah ukuran total rahang. Bertambahnya ukuran lengkung geligi terutama berkaitan dengan erupsi gigi (Foster, 1999). Arah pertumbuhan rahang bawah ke bawah dan ke depan. Pertambahan panjang rahang bawah disebabkan aposisi di sisi posterior ramus dan terjadi resorpsi di sisi anterior ramus. Pertambahan tinggi korpus rahang bawah sebagian besar disebabkan adanya pertumbuhan tulang alveolaris (Rahardjo, 2009). Bentuk dan ukuran rahang bawah pada laki-laki lebih besar dibandingkan pada perempuan (Ongkana dan Sudwan, 2010). Rahang atas tumbuh ke segala dimensi terutama karena adanya aposisi sutura tulang pada sekitar rahang atas, remodeling permukaan tulang dan pergeseran secara pasif karena perubahan pada basis kranial. Panjang rahang atas dalam jurusan vertikal bertambah karena pertumbuhan tulang alveolar. Lengkung palatum bertambah dalam dengan adanya pertumbuhan tulang alveolaris dan resorpsi tulang pada dasar hidung. Pertumbuhan rahang atas dan rahang bawah pada perempuan berhenti pada usia sekitar 15 tahun, sedangkan pada laki-laki pertumbuhan rahang atas dan rahang bawah berhenti pada usia sekitar 17 tahun. Sehingga dapat disimpulkan pertumbuhkembangan pada laki-laki lebih lama dan laki-laki lebih banyak tumbuh dibandingkan dengan perempuan (Rahardjo, 2009; Rahardjo, 2008). Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi ukuran gigi. Laki-laki memiliki ukuran mesio-distal gigi relatif lebih lebar dibandingkan pada perempuan (Edward et al., 2007). Kromosom Y pada laki-laki mempengaruhi pertumbuhan

enamel dan dentin yang kemudian mempengaruhi ukuran mahkota gigi. sedangkan perempuan hanya dipengaruhi kromosom X. Kromosom X hanya mempengaruhi pertumbuhan enamel. Sehingga ukuran mesio-distal gigi pada perempuan lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan, seperti infeksi periradikuler pada geligi sulung dan infeksi zat-zat kimia dibandingkan faktor herediter (Tome et al., 2011). Efek dari kromosom X dan Y pada perkembangan gigi menyebabkan rata-rata laki-laki memiliki ukuran gigi yang lebih besar dibandingkan pada perempuan (Townsend et al., 2011). 2.2 Periode Geligi Pergantian Periode geligi pergantian merupakan peralihan (transitional dentition) atau pergantian dari masa geligi sulung ke masa geligi permanen. Kadang-kadang disebut masa geligi campuran (mixed dentition) oleh karena di dalam rongga mulut terdapat campuran geligi sulung dan geligi permanen. Periode geligi pergantian terjadi pada usia 6-12 tahun (Rahardjo, 2009; Proffit dan Fields, 2007). Pada periode geligi pergantian, oklusi bersifat sementara dan tidak statis sehingga memungkinkan untuk terjadi maloklusi. Upaya untuk mencegah maloklusi lebih efektif dilakukan pada periode geligi pergantian karena adanya pertumbuhan aktif yang cepat sehingga masih ada kesempatan untuk melakukan penyelarasan oklusi dan menghilangkan faktor penyebab (Kuswandari et al., 2006). Periode geligi pergantian terdiri atas tiga fase, yaitu fase transisi pertama (usia 6-8 tahun), fase inter transisi (usia 9-10 tahun) dan fase transisi kedua (usia 10-12 tahun).

2.2.1 Fase Transisi Pertama Fase transisi pertama terjadi pada usia 6-8 tahun. Fase ini ditandai dengan erupsi gigi-gigi molar pertama permanen pada usia 6 tahun yang kemudian dikuti dengan erupsi gigi insisivus sentral (Basavaraj, 2011; Tilakraj, 2003). Gigi-gigi insisivus permanen yang erupsi memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan gigi insisivus sulung. Gigi insisivus permanen mendapatkan tempat dari adanya developmental space atau primate space dan pertambahan lengkung geligi inter kaninus pada rahang atas dan rahang bawah. Selain itu gigi insisivus permanen erupsi lebih ke labial dan inklinasi ke arah labial dibandingkan gigi insisivus sulung yang tegak. Hal ini dapat menambah ukuran lengkung geligi sebesar 2-3 mm sehingga dapat mengakomodasi gigi insisivus permanen yang ukurannya lebih besar (Rao, 2008). Relasi molar pertama permanen mengikuti relasi distal molar kedua sulung rahang atas dan rahang bawah. Apabila permukaan distal molar kedua sulung rahang atas dan rahang bawah berkontak pada satu dataran vertikal (flush terminal plane), maka akan diperoleh relasi molar pertama permanen edge to edge. Gigi molar pertama permanen rahang bawah bergerak ke mesial 2-3 mm sehingga terjadi relasi molar kelas I. Transformasi relasi edge to edge menjadi relasi molar kelas I terjadi melalui dua cara, yaitu early mesial shift dan late mesial shift (Basavaraj, 2011, Rahardjo, 2009). 1. Early mesial shift Early mesial shift terjadi ketika gigi-gigi molar sulung menempati primate space. Hal ini mengakibatkan gigi molar pertama permanen bergerak ke

mesial. Perubahan ini terjadi pada awal periode geligi pergantian sehingga disebut early mesial shift. Gambar 2.1 Early mesial shift: Gigi molar bergerak ke mesial menempati primate space pada awal periode geligi pergantian (Basavaraj, 2011). 2. Late mesial shift Tidak adanya primate space pada periode geligi sulung menyebabkan gigi molar pertama permanen tidak dapat mencapai relasi molar kelas I pada awal periode geligi pergantian. Relasi molar kelas I dapat terjadi ketika gigi molar kedua sulung tanggal dengan memanfaatkan leeway space. Perubahan ini terjadi pada akhir geligi pergantian sehingga disebut late mesial shift. Gambar 2.2 Late mesial shift: Gigi molar bergerak ke mesial menempati leeway space pada akhir periode geligi pergantian (Basavaraj, 2011).

Apabila terdapat relasi distal terminal step plane pada molar kedua sulung dan hanya didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada rahang bawah dan pergeseran geligi ke mesial maka akan terdapat relasi molar kelas II. Namun, apabila terdapat pertumbuhan rahang bawah ke depan akan didapatkan relasi molar pertama permanen berupa edge to edge. Apabila terdapat relasi mesial terminal step plane pada molar kedua sulung dan hanya didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada rahang bawah dan pergeseran geligi ke mesial maka akan terdapat relasi molar kelas I. Namun, apabila terdapat pertumbuhan rahang bawah ke depan akan didapatkan relasi molar kelas III (Rahardjo, 2009; Proffit et Fields, 2007). Gambar 2.3 Perubahan relasi molar pertama permanen (Rahardjo, 2009).

2.2.2 Fase Inter Transisi Fase ini berlangsung pada usia 9-10 tahun. Pada fase ini, baik pada rahang atas dan rahang bawah telah dijumpai geligi sulung dan geligi permanen, yaitu adanya gigi insisivus permanen dan molar pertama permanen beserta gigi kaninus dan molar sulung. Pada fase ini tidak ada gigi yang erupsi, relatif stabil dan hanya sedikit sekali perubahan yang terjadi (Basavaraj, 2011; Rao, 2008; Tilakraj, 2003). 2.2.3 Fase Transisi Kedua Fase transisi kedua terjadi pada usia 10-12 tahun, ditandai dengan pergantian gigi kaninus dan molar sulung oleh gigi kaninus dan premolar permanen. Gigi kaninus rahang bawah erupsi pada usia sekitar 10 tahun, sedangkan gigi kaninus rahang atas erupsi setelah salah satu atau semua gigi premolar telah erupsi pada usia sekitar 10-13 tahun (Basavaraj, 2011; Tilakraj, 2003). Perkembangan gigi kaninus sebelum erupsi menyebabkan perpindahan akar insisivus lateral ke mesial yang secara tidak langsung menyebabkan akar insisivus sentral bergerak ke mesial melalui transmisi kekuatan. Hal ini menyebabkan perpindahan mahkota insisivus sentral ke distal dan menghasilkan diastema di antara insisivus sentral. Diastema ini oleh Broadbent disebut ugly duckling stage yang secara estetik tidak baik. Diastema ini dapat terkoreksi dengan sendirinya ketika gigi kaninus permanen telah erupsi (Rao, 2008). Pada usia sekitar 12 tahun, gigi kaninus dan premolar rahang atas dan rahang bawah telah erupsi. Ukuran gigi premolar lebih kecil daripada molar

sulung yang digantikan. Selisih lebar kaninus, molar pertama dan molar kedua sulung dengan kaninus, premolar pertama dan premolar kedua oleh Nance disebut leeway space (Rahardjo, 2009; Proffit dan Fields, 2007). Tabel 2.1 Masa Erupsi Geligi Permanen di Surabaya (Rahardjo 2009) Gigi Permanen Rahang Atas Rahang Bawah Insisivus sentral 7-8 6-7 Insisivus lateral 8-9 7-8 Kaninus 11-12 9-11 Premolar pertama 10-11 10-12 Premolar kedua 10-12 11-12 Molar pertama 6-7 6 Molar kedua 12-13 11-13 Masa erupsi dalam tahun 2.3 Leeway space Ukuran gigi premolar lebih kecil dibandingkan dengan ukuran gigi molar sulung. Rata-rata ukuran mesio-distal gigi molar kedua sulung rahang bawah lebih lebar 2 mm dibandingkan gigi premolar kedua, sedangkan pada rahang atas gigi molar kedua sulung lebih lebar 1,5 mm. Lebar mesio-distal gigi molar pertama sulung tidak jauh berbeda dibandingkan dengan gigi premolar pertama, tetapi juga masih memberikan space sebesar 0,5 mm pada rahang bawah (Proffit dan Fields, 2007). Selisih terbesar didapatkan dari lebar mesio-distal gigi molar kedua sulung dnegan gigi premolar kedua, yang disebut E-space. Akumulasi lebar mesio-distal gigi kaninus dan molar pertama sulung sebesar (13,64 mm) tidak jauh berbeda dibandingkan akumulasi lebar mesio-distal gigi kaninus permanen dan premolar pertama (13,85 mm) (Gianelly, 1995).

Kelebihan ruang pada segmen lateral lengkung gigi-geligi akibat akumulasi lebar mesio-distal gigi kaninus dan molar sulung lebih besar bila dibandingkan dengan lebar mesio-distal gigi kaninus dan premolar disebut leeway space (Shaw, 1993). Besar leeway space pada rahang atas 0,9 mm tiap kuadran dan pada rahang bawah sebesar 1,7 mm. Leeway space pada rahang bawah lebih besar karena ukuran mesio-distal gigi molar pertama dan molar kedua sulung rahang bawah lebih lebar (Basavaraj, 2011; Singh, 2007; Tilakraj, 2003). Menurut beberapa penelitian disimpulkan bahwa leeway space pada rahang bawah lebih besar karena berperan dalam perubahan relasi molar pertama permanen yang sebelumnya kelas II Angle atau edge to edge menjadi relasi kelas I Angle (Proffit dan Fields, 2007). Besar leeway space berbeda antara individu satu dengan individu yang lain. Hal ini disebabkan adanya variasi ras, perbedaan jenis kelamin dan variasi ukuran gigi (Edward et al., 2007; Shaw, 1993). Tabel 2.2 Besar Leeway space pada Kelompok Etnik dan Jenis Kelamin yang Berbeda (Shaw, 1993). Kelompok Penelitian Rahang atas Rahang bawah Negara Etnik oleh Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Moorress dan USA Kaukasoid 1,2 1,5 2,2 2,6 Chada (1962) Inggris Kaukasoid Clinch (1963) 0,8 0,7 1,9 2,1 Swedia Kaukasoid Seipel (1946) 1,0 1,3 2,2 2,5 Hanihara Jepang Jepang 1,0 0,9 2,9 2,9 (1976) Brown et al Australia Aborigin 1,4 1,3 2,8 3,3 (1980) Ukuran dalam milimeter (mm) Ketika gigi molar kedua sulung tanggal, maka gigi molar pertama bergerak menuju mesial dan menempati leeway space. Hal ini menyebabkan

panjang lengkung geligi menjadi berkurang. Perawatan ortodonti pada fase ini dibutuhkan bila didapati adanya kecenderungan menjadi maloklusi (Shaw, 1993; Proffit dan Fields, 2007). Pada periode geligi pergantian, gigi berdesakan anterior rahang bawah dapat terjadi. Hal ini disebabkan oleh pemendekan lengkung geligi (Rerhrhave et al., 2011). Manajemen leeway space merupakan aspek penting dalam perawatan ortodonti interseptif untuk mengatasi masalah gigi berdesakan anterior (Matrishva dan Hantodkar, 2011; Brennan dan Gianelly, 2000). Lingual arch merupakan space maintainer yang sering digunakan untuk menjaga agar leeway space tetap ada (Matrishva dan Hantodkar 2011; Rerhrhave et al., 2011; Brenman dan Gianelly, 2000). Kasus-kasus yang dapat dilakukan manajemen leeway space untuk mengatasi gigi berdesakan anterior adalah mempunyai relasi molar kelas I, secara klinis menunjukkan gigi berdesakan ringan sampai sedang serta pada kasus dengan gigi sulung tanggal prematur (Matrishva dan Hantodkar 2011). Gambar 2.4 Leeway space, 3: kaninus permanen, 4: premolar pertama, 5: premolar kedua, 6: molar pertama permanen, C: kaninus sulung, D: molar pertama sulung dan E: molar kedua sulung (Basavaraj, 2011).

2.4 Metode Prediksi Kaninus Permanen, Premolar Pertama dan Premolar Kedua yang Belum Erupsi Salah satu pertimbangan penting selama periode geligi pergantian adalah diskrepansi antara tempat yang tersedia (available space) dan tempat yang dibutuhkan (required space) untuk gigi kaninus, premolar pertama dan premolar kedua yang belum erupsi. Analisis ruang pada periode geligi pergantian merupakan aspek penting dalam diagnosis dini dan rencana perawatan ortodonti (Kuswandari et al., 2006; Ling dan Wong, 2006). Prediksi lebar mesio-distal gigi kaninus dan premolar yang belum erupsi sangat penting untuk memilih metode kontrol space yang tepat, dengan metode pencabutan serial, space maintaining atau space regaining (Tome et al., 2011). Terdapat tiga metode untuk prediksi ukuran geligi permanen yang belum erupsi dalam analisis geligi pergantian, yaitu pengukuran gigi yang belum erupsi dengan foto rontgen, pengukuran non radiografik dengan menggunakan persamaan rumus regresi linear dan tabel prediksi serta mengkombinasikan kedua metode tersebut (Proffit dan Fields, 2007). 1. Metode Radiografik Teknik pengukuran dengan radiografi dapat digunakan pada rahang atas dan bawah. Keakuratan hasil pengukuran tergantung dari kualitas foto radiografi dan posisi film. Pengukuran prediksi ukuran gigi-gigi yang belum erupsi dengan radiografi membutuhkan foto rontgen yang tidak terdistorsi, yang bisa didapat dari foto periapikal dibandingkan menggunakan foto panoramik. Foto periapikal terkadang juga dapat menimbulkan distorsi terutama pada gigi kaninus yang dapat mengurangi keakuratan pengukuran. Untuk mengurangi ketidakakuratan maka

dilakukan pengukuran secara langsung pada model studi dan pengukuran secara radiografi, dan digunakan rumus: (Proffit dan Fields, 2007) = Keterangan: x = lebar gigi permanen yang belum erupsi sebenarnya x y y = lebar gigi permanen yang belum erupsi yang diukur secara radiografik = lebar gigi sulung yang sama pada model studi = lebar gigi sulung yang diukur secara radiografik 2. Metode Non-radiografik Pada metode non-radiografik, untuk memprediksi gigi kaninus dan premolar yang belum erupsi adalah dengan persamaan rumus regresi linear. Ada korelasi yang cukup baik antara ukuran insisivus rahang bawah yang telah erupsi dengan ukuran kaninus, premolar pertama dan premolar kedua yang belum erupsi. Suatu rumus biasanya akurat dan sesuai untuk ras tertentu. Metode non radiografik yang banyak digunakan adalah metode Moyers dan Tanaka-Johnston. Kedua metode ini menggunakan sampel ras Kaukasoid. Sitepu dan Kuswandari- Nishino membuat rumus persamaan regresi linear yang menggunakan sampel ras Deutro-Melayu (Rahardjo, 2008; Kuswandari et al., 2006). 3. Metode Kombinasi Metode ini mengkombinasikan metode radiografik dengan tabel prediksi. Masalah utama pengukuran secara radiografik terletak pada pengukuran kaninus,

sehingga dilakukan kombinasi antara pengukuran gigi insisivus permanen pada model studi dan pengukuran kedua premolar yang belum erupsi pada foto rontgen untuk memprediksi ukuran kaninus yang belum erupsi. Metode ini dibuat oleh Hixon-Oldfather yang kemudian direvisi oleh Staley-Karber. Metode ini hanya bisa untuk prediksi ukuran pada rahang bawah (Proffit dan Fields, 2007). 2.5 Metode Kuswandari-Nishino Kuswandari dan Nishino (2002) dalam penelitiannya menguji akurasi tabel probabilitas Moyers dan metode Tanaka-Johnston dalam memprediksi ukuran kaninus dan premolar pada anak suku Jawa, Indonesia. Penelitian ini menggunakan model studi 103 anak laki-laki dan 108 anak perempuan dengan rentang usia 11-14 tahun. Tiap sampel memiliki oklusi yang normal dan semua gigi permanen sudah erupsi, kecuali molar ketiga. Hasil penjumlahan lebar mesiodistal empat gigi permanen rahang bawah digunakan untuk memprediksi ukuran kaninus dan premolar yang belum erupsi berdasarkan tabel probabilitas Moyers persentil 75% dan metode Tanaka-Johnston. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tabel probabilitas Moyers dan metode Tanaka-Johnston tidak sesuai untuk memprediksi lebar mesio-distal kaninus dan premolar yang belum erupsi. Dari beberapa uji yang dilakukan metode Tanaka-Johnston hanya salah memprediksi lebar mesio-distal kaninus dan premolar rahang atas pada perempuan. Estimasi standard error antara 0,70 dan 0,78 (Kuswandari dan Nishino, 2002). Kuswandari-Nishino kemudian menemukan rumus untuk memprediksi lebar mesio-distal kaninus, premolar pertama dan premolar kedua pada satu sisi

(Y) berdasarkan jumlah lebar mesio-distal insisivus lateral permanen rahang bawah dan molar pertama permanen rahang atas (X). Persamaan Y=0.50X+6.16+0,49 dan Y=0.51X+4.96+0,49 masing-masing untuk segmen rahang atas dan rahang bawah anak laki-iaki; Y=0.47X+6.65+0,46 dan Y=0.47X+5.81+0,46 masing-masing untuk segmen rahang atas dan rahang bawah anak perempuan. Penelitian Kuswandari-Nishino ini menggunakan model studi dari 143 laki-laki dan 140 perempuan dengan oklusi normal dan rentang usia 11,1-14,9 tahun yang sampelnya diambil pada populasi anak-anak di Yogyakarta selama tahun 2000-2001. Pengukuran lebar mesio-distal gigi insisivus lateral rahang bawah permanen dan molar pertama permanen rahang atas dengan menggunakan kaliper akurasi sampai 0,05 mm. Pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu yang berbeda. Jumlah lebar mesio-distal insisivus lateral rahang bawah dan molar pertama rahang atas memiliki nilai koefisien korelasi dan koefisien determinan yang lebih tinggi serta estimasi standar error yang lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah mesio-distal insisivus rahang bawah bila digunakan ke dalam persamaan regresi linear untuk prediksi gigi kaninus dan premolar yang belum erupsi (Kuswandari et al., 2006; Kuswandari, 2008).