PENDAHULUAN. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI KELURAHAN TENGAH

KUBE (KELOMPOK USAHA BERSAMA)

KONSEP OPERASIONAL UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI INPRES DESA TERTINGGAL

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

RANCANGAN PROGRAM RENCANA AKSI PENGEMBANGAN KBU PKBM MITRA MANDIRI

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Telah banyak kebijakan pemberdayaan ekonomi keluarga miskin. yang diprogramkan pemerintah sebagai langkah efektif dalam upaya

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia. Oleh karena

BAB II PERENCANAAN KINERJA.

BAB I PENDAHULUAN. A. Gambaran Umum

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 5 TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA/KELURAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang muncul sebagai dampak dari krisis moneter dan

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang

BUPATI SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN,

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kehidupan yang layak. Kemiskinan

DocuCom PDF Trial. Nitro PDF Trial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 1

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 62 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

PENDAHULUAN. Menurut Peter Hagul dalam Daud Bahransyah (2011:10) penyebab kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk penanggulangan kemiskinan dengan

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

Kemiskinan di Indonesa

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 82 TAHUN 2008 TENTANG

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

L A P O R A N K I N E R J A

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kemiskinan menjadi salah satu alasan rendahnya Indeks Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada hakekatnya bertujuan membangun kemandirian,

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V GAMBARAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA

CAPAIAN KINERJA INDIKATOR INDIKATOR DAMPAK (IMPACT)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976 hingga 1996. Pada tahun 1976 proporsi penduduk miskin masih sekitar 40,1 persen dari jumlah penduduk, pada tahun 1996 proporsi penduduk miskin tinggal hanya 17,7 persen dari 185 juta penduduk Indonesia (BPS, 2002). Pada masa itu berbagai upaya dan kebijakan dilakukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Sejak terjadinya multi krisis ekonomi dan sosial yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang ini, terjadi peningkatan penduduk miskin secara fluktuatif. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin hanya tinggal 17,7 persen dari penduduk Indonesia, pada tahun 1998 meningkat menjadi 24,2 persen (BPS, 2002). Pada masa itu dampak krisis ekonomi sangat dirasakan terhadap kehidupan masyarakat, lapangan kerja sangat terbatas, pendapatan menurun, perekonomian nasional menjadi stagnan. Pada tahun 2000 terjadi perbaikan, jumlah penduduk miskin hanya sekitar 19,1 persen (13,7 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia dan kemudian menurun kembali menjadi 18,2 persen (15,6 juta jiwa) pada tahun 2002 (BPS, 2004). Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin (berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh BPS tahun 2005) yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rumah Tangga Miskin meningkat menjadi sebesar 15,5 juta rumah tangga miskin (Depsos, 2005). Setelah krisis seja k tahun 1997, pemerintah terus berupaya menaggulangi kemiskinan. Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK) yang dicanangkan pada 1977. Kemudian pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 21 tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan disingkat dengan GARDUTASKIN. Intinya adalah menginstruksikan kepada semua departemen / instansi dan kelompok masyarakat yang terkait dengan penanganan kemiskinan supaya secara bersama -sama dan berkoordinasi serta mengambil langkah-langkah

2 kongkrit di dalam menanggulangi kemiskinan (Menkokesra dan Taskin, 1998). Dengan instruksi ini, upaya -upaya penanggulangan kemiskinan ditata dan disusun kembali dalam suatu sistem yang lebih terpadu dan menyeluruh. Berbagai hambatan prosedur dan birokrasi yang selama ini dianggap dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dihilangkan. Dengan adanya pencanangan dan instruksi ini maka muncullah berbagai kelompok-kelompok pemberdayaan di masyarakat, seperti: Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA), Takesra dan Kukesra, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk IDT, Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), termasuk KUBE. Semenjak tahun 1983 sebenarnya Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sudah dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan penggulangan kemiskinan. Dengan keluarnya kebijakan MPMK dan Instruksi Presiden tersebut menjadikan KUBE semakin eksis sebagai suatu pendekatan dalam penanganan permasalahan kemiskinan. Dalam perjalanannya pendekatan KUBE akhirnya merupakan program Departemen Sosial dalam menterjemahkan program MPMK dan Instruksi Presiden tentang Gardu Taskin tersebut. Pola pemberdayaan KUBE yang diterapkan oleh Departemen Sosial selama ini sangat seragam, kurang menekankan pada unsur-unsur lokal setempat. Jumlah kelompok sebanyak 10 KK. Jumlah kelompok ini sangat terkait dengan pengadministrasian bantuan yang akan diberikan, di mana pada setiap pengusulan bantuan melalui anggaran APBN setiap tahunnya selalu didasarkan pada jumlah 10 KK jumlah anggota KUBE. Bantuan yang diberikan tidak dalam bentuk uang tetapi berupa paket usaha yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti peralatan bengkel, ternak sapi, peralatan-peralatan pertanian, dan lain-lain. Pemberian bantuan ini diawali dengan pembekalan pengembangan keterampilan usaha seadanya. Jenis paket usaha yang dikembangkan dianjurkan untuk memilih jenis usaha sesuai dengan ketersediaan sumber-sumber di daerah masing-masing, namun pelaksanaannya lebih mengacu pada kondisi pengadministrasian yang harus dipertanggung jawabkan. Setiap kelompok mendapat 1 paket bantuan usaha, untuk KUBE yang berprestasi dapat diberikan bantuan pengembangan usaha

3 tahap berikutnya. Bantuan yang sudah diterima harus digulirkan pada kelompok fakir miskin lainnya yang ada di sekitarnya. Ada 10 indikator keberhasilan yang digunakan selama ini (Depsos, 1994), yaitu: 1. Perkembangan usaha ekonomis produktif keluarga 2. Perkemba ngan usaha ekonomis produktif kelompok 3. Kondisi kesejahteraan sosial Keluarga Binaan Sosial (KBS) secara keseluruhan 4. Sumbangan Sosial Wajib (SSW) / Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) dan perkebangan gotong royong 5. Perkebangan koperasi kelompok 6. Pelaksanaan jaminan kesejahteraan sosial melalui embrio organisasi sosial 7. Perkembangan tabungan dan tabanas 8. Ikut sertanya KBS dalam program keluarga berencana, Posyandu dan wajib belajar 9. Ada tidaknya partisipasi dalam kegiatan Karang Taruna 10. Dampak proyek bantuan kesejahteraan sosial dalam masyarakat Tujuan pemberdayaan pendekatan KUBE adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial para kelompok miskin, yang meliputi: terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, meningkatnya pendapatan keluarga, meningkatnya pendidikan, dan meningkatnya derajat kesehatan. Selain itu, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan dinamika kehidupan kelompok sosial, seperti: pengembangan hubungan yang semakin harmonis, pengembangan kreativitas, munculnya semangat kebersamaan dan kesetiakawanan sosial, munculnya sikap kemandirian, munculnya kemauan, dan lain-lain, sehingga menjadi sumber daya manusia yang utuh dan mempunyai tanggung jawab sosial ekonomi terhadap diri, keluarga dan masyarakat serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui pendekatan KUBE ini diharapkan juga kelompok sasaran mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, sosial, ekonomi, sumber daya manusia dan sumber lingkungan serta sumber-sumber lainnya yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pengembangan potensi yang dimiliki, seperti: pemanfaatan lahan untuk pertanian, pemanfaatan air untuk pengembangan usaha ternak ikan, pemanfaatan tenaga yang mengganggur untuk menjadi tenaga kerja di KUBE yang dikelola, dan lain-lain. Diharapkan dengan pola seperti ini, mereka akan mudah mengintegrasikan sumber -sumber tersebut ke dalam kepentingankepentingan kelompok. Filosofi yang terbangun melalui pendekatan KUBE ini adalah dari, oleh dan untuk mereka. Kelompok mempunyai wewenang untuk

4 mengelola, mengembangkan, mengevaluasi dan menikmati hasil-hasilnya. Pemerintah hanya memfasilitasi agar KUBE dapat berhasil dengan baik. Dilihat dari komposisi ini, pendekatan KUBE merupakan pendekatan yang relevan di dalam pemberdayaan kelompok miskin tersebut. Namun kenyataannya di lapangan tidakla h selalu demikian, berbagai kendala dan hambatan dihadapi. Proses pembentukan, pengelolaan dan pengembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, bagaimana bantuan yang diberikan, bagaimana pendampingan yang dilakukan, dan lain-lain. Sebagian KUBE terbentuk atas insiatif anggota, sebagian karena gagasan atau bentuk aparat desa atau pihak lain yang berkepentingan. Dalam pengelolaannya juga demikian, ada KUBE yang memang murni dikelola oleh anggota dan sebagian ada pihak yang terlibat karena ada kepentingan, dan masalah-msalah lainnya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan KUBE tidak bisa hanya dilihat dari sisi sebelah mata, hanya menyalahkan pihak eksternal yang mungkin terlibat, yaitu karena adanya campur tangan pihak luar. Namun masalah-masalah yang bersifat internal juga perlu dikaji dan dianalisis, seperti sifat dan unsur -unsur yang ada dalam kelompok, seperti keanggotaan, struktur kelompok dan lain -lain. Dari hasil pemberdayaan yang dilakukan melalui pendekatan KUBE, diperoleh gambaran bahwa jumlah KUBE hingga 2002 sudah mencapai 35.378 KUBE (diolah dari laporan pelaksanaan KUBE, Depsos) yang tersebar di tingkat desa / kelurahan. Bila dilihat dari kuantitas jumlah ini cukup membanggakan, tetapi bila dilihat dari eksistensi keberlanjutan KUBE, sangat terbatas KUBE yang dapat bertahan atau dikategorikan berhasil. Guna memperoleh informasi yang valid seberapa jauh tingkat keberhasilan pelaksanaan KUBE, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial RI telah mengadakan penelitian evaluatif tentang Tingkat keberhasilan Prokesos-KUBE dalam Pengentasan Fakir Miskin sebanyak 2 kali pada KUBE yang berbeda, yaitu pada tahun 1997/1998 dan pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1997/1998 penelitian diarahkan pada 3 kelompok KUBE yaitu KUBE Fakir Miskin, KUBE Karang Taruna dan KUBE Keluarga Muda Mandiri. Dari penelitian diperoleh hasil: KUBE Fakir Miskin: 71,43 persen berhasil, 7,1 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 21,4 persen kurang berhasil. KUBE Keluarga

5 Muda Mandiri: 40 persen berhasil, 50 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 10 persen kurang berhasil; KUBE Karang Taruna: 48 persen berhasil, 32 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 20 persen kurang berhasil (Balatbangkesos, 1998). Penilaian yang dilakukan pada tiga faktor, yaitu: (a) pengembangan usaha ekonomi kelompok; (b) manfaat KUBE terhadap kesejahteraan sosial keluarga binaan, dan (c) perkembangan jaringan sosial kelompok binaan dengan fokus pada partisipasi KBS dalam berbagai kegiatan. Pada tahun 1998/1999 dilakukan penelitian terhadap 2 jenis program KUBE, yaitu KUBE Program Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (Paca) dan KUBE Program Peningkatan Peranan Wanita Bidang Kesejahteraan Sosial (P2WKS). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil: KUBE Paca: 50 persen berhasil, 25 persen cukup berhasil, dan 25 persen kurang behasil, sedangkan KUBE P2WKS: 45 persen berhasil, 30 persen cukup berhasil, 25 persen kurang berhasil. Kriteria yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan keberhasilan: (a) peningkatan kemampuan usaha bersama kelompok; (b) peningkatan pendapatan anggota; (c) pengembangan usaha kelompok; (d) peningkatan keperdulian dan kesetiakawanan sosial di antara anggota dan masyarakat lingkungannya (Balatbangsos, 1999). Data ini menunjukkan bahwa KUBE yang dilaksanakan selama ini diduga belum dapat dikategorikan berhasil. Melalui hasil penelitian di atas, dan mengingat bahwa selama ini sangat jarang dilakukan penelitian atau pengkajian untuk melihat sejauh mana peranan dan keberhasilan KUBE serta mengingat bahwa KUBE merupakan suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan terhadap sebagian besar kelompok masyarakat miskin, maka pemilihan topik penelitian ini menjadi sangat diperlukan. Selain itu, desentralisasi yang sudah mulai bergulir sekarang, menjadikan KUBE perlu dikaji sebagai sua tu pendekatan dalam proses pemberdayaan, sehingga benar-benar menjadi suatu pendekatan yang dapat menjadi satu alternatif penanganan atau model di dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Didasarkan alasan tersebut menjadi sangat penting untuk mendalami topik tersebut dalam disertasi ini dengan judul: Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok.

6 Masalah Penelitian Sejak diterapkannya KUBE sebagai suatu pendekatan pemberdayaan kepada kelompok masyarakat miskin, masih sangat terbatas penelitian maupun pengkajian atau evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana relevansi pendekatan KUBE sebagai suatu model pemberdayaan fakir miskin. Hasil penelitian yang diperoleh belum sepenuhnya dapat menggambarkan dan menjawab secara utuh idealisme KUBE sebaga i suatu pendekatan pemberdayaan. Dilihat dari jumlah keberadaan memang cukup berhasil, namun bila dilihat dari target pencapaian fungsional, mungkin masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk melihat hasil yang lebih objektif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Libang Kesos Departemen Sosial (1996-1999) menunjukkan bahwa KUBE belum dapat dikatakan berhasil, masih perlu pembenahan-pembenahan dalam berbagai hal. Kenyataan di lapangan menunjukkan belum dapat meyakinkan dan membuktikan bahwa KUBE sudah berhasil. Ada beberapa pendapat yang muncul dalam setiap forum diskusi, pertemuan-pertemuan yang diadakan dalam pembahasan KUBE, mengatakan: bahwa kekurangberhasilan KUBE disebabkan adanya intervensi dari luar KUBE yang terlalu berpengaruh, baik dalam proses pembentukan KUBE, pengelolaannya, pendampingannya, pemasaran hasilnya, pemilihan jenis usahanya, dan bantuan yang diberikan. Pada sisi lain, ada yang mengatakan bahwa ketidakberhasilan KUBE tidak terlepas dari masalah internal KUBE, seperti masalah keanggotaan kelompok, komitmen kelompok, tujuan kelompok, struktur organisasi kelompok, manajemen kelompok dan lain-lain. Memang terlihat adanya ketimpangan dalam pendekatan ini, di mana anggota masyarakat diupayakan untuk terhimpun dalam suatu wadah kelompok KUBE tetapi, kemampuan dan keterampilan anggota kelompok dalam hal manajerial kelompok masih terbatas, latar belakang pendidikan rendah, pengalaman dalam pengorganisasian kelompok terbatas, sekalipun mereka memiliki pengalaman individual yang lumayan. Tentu hal ini menjadi suatu problematik dalam kelompok tersebut.

7 Berkaitan dengan kondisi di atas, maka peneliti ingin melihat masalah ini menjadi suatu masalah yang menarik untuk diteliti. Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka masalah utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok. Pendekatan kelompok di sini menjadi hal yang penting dan menjadi fukus dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan permasalahan pokok yang dipaparkan di atas, maka lebih lanjut dijabarkan rincian masalah penelitian yang sekaligus dijadikan acuan atau arah di dalam pelaksanaan penelitian dimaksud. Adapun permasalahan penelitian dimaksud adalah: 1. Seberapa jauh tingkat kedinamisan dan keberhasilan KUBE? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan kehidupan KUBE? 3. Apa faktor-faktor dinamika kehidupan KUBE yang mempengaruhi keberhasilan KUBE 4. Apa komponen utama penentu keberhasilan KUBE 5. Bagaimana model pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok? Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan penelitian yang dipaparkan di atas, ada beberapa tujuan penelitian, yaitu: 1. Mengkaji tingkat kedinamisan dan keberhasilan KUBE. 2. Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan KUBE. 3. Mengindentif ikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUBE 4. Mengindentifikasi faktor-faktor utama penentu keberhasilan KUBE. 5. Merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok.

8 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal: 1. Dapat dijadikan masukan dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin yang menerapkan pendekatan kelompok, khususnya yang berkaitan dengan pola pemberdayaan, pengembangan kedinamisan KUBE, efektivitas pembinaan KUBE. 2. Dapat menjadi masukan yang berharga dalam penentu atau perumus kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok. 3. Dapat menjadi dasar perumusan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan penyuluhan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). 4. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan keilmuan, khususnya Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan peningkatkan kemampuan (sikap, pengetahuan, dan keterampilan) guna perwujudan profesionalisme penyuluhan pembangunan.