Segera jemput dia di bandara! Dan bawa kemari! Awas, jika dia melarikan diri! Siap, Pak! ~1~ Bandara Soekarno Hatta, 11.30 am. Pesawat dari Singapura baru saja mendarat. Kau tahu siapa yang kita tunggu? Namanya Juan Alexander, entahlah hanya foto ini yang kita punya. Kita hanya perlu mengawasi setiap penumpang yang turun dan berusaha mengenalinya. Kukira itu mudah. Sam memperhatikan foto yang diberikan kepala polisi padanya. Lelaki 25 tahun, rambutnya hitam lurus, agak panjang menutup hingga kerah bajunya. Punya kumis tipis dan matanya agak sipit. Kulitnya tidak terlalu putih, tapi juga tidak terlalu cokelat. Tampak elegan dengan setelan jas yang ia kenakan. Sam menghela napas sambil memandangi foto itu. Entah kapan foto itu diambil, yang pasti ia tak pernah melihat orang itu sebelumnya. Perempuan Perancis cantik-cantik, ya? ucap Adam saat satu perempuan dengan warna kulit agak berbeda dengan gadis-gadis Perancis umumnya tersenyum pada mereka. Kukira dia blasteran, sahut Sam. Senyumnya manis apa mungkin dia blasteran Perancis-Cina? Kupikir dia masih berdarah Indonesia, atau mungkin Vietnam. Dan mungkin juga Filipina.
Lima belas menit kemudian, Kamu yakin pesawat ini yang bos maksud? bisik Adam. Ini sudah lima menit sejak tidak ada lagi yang lewat, sambungnya. Sam tak yakin, mungkin saja ada sesuatu yang terlewat olehnya. Tentang kebanyakan lelaki yang lewat, rata-rata orang berperawakan tinggi, atau orang tua yang ke Indonesia untuk menemui cucunya. Tidak ada yang seperti di foto. Pak, ini benar penerbangan dari Perancis, kan? tanya Sam pada petugas yang berada tidak jauh dari mereka. Iya. Apa penumpangnya sudah turun semua? Iya, totalnya ada 181 penumpang dan semua sudah turun. Apa mungkin dia batal ikut penerbangan ini? tanya Adam tanpa sedikit pun kekhawatiran di benaknya. Dia pasti suka banget main-main, Pak Kepala sudah memperingatkan kita. Kita akan kerepotan untuk mencarinya. Main-main? Sam tiba-tiba saja terpikir tentang sesuatu. Astaga! Perempuan itu! Perempuan yang mana? Yang matanya agak sipit dan kulitnya tidak terlalu putih. Yang senyum sama kita tadi! Kenapa? kamu jatuh cinta sama dia? Aku nggak nyangka kamu bisa memperhatikan dia sedetail itu. Cinta pandangan pertama, ya? 2
Bukan itu maksudku. Sam memperhatikan sekelilingnya. Cepat cari dia! teriaknya sambil berlari menuju gerbang bandara. Kenapa kita harus nyari dia? Memang dia ada hubungannya dengan orang yang kita cari? tanya Adam terengah-engah. Kamu sendiri kan yang bilang orang itu suka main-main. Aku yakin dialah orangnya! Maksudmu? Dia itu Juan! Apa? Nggak mungkin! Juan itu laki-laki... Sam dan Adam bertatapan. Akhhh! jerit Adam kemudian. Apa mungkin dia menyamar? Itulah maksudku! Kalau begitu cepat cari dia. Kita bisa kena masalah kalau tidak menemukannya! <<<>>> Baru saja keluar dari bandara, decitan rem mobil terdengar keras dan begitu dekat. Seperti hendak menabraknya, tapi tidak. Taxi itu berhenti di depan Juan. Anda mau kemana? Biar saya antar, tawar supir taxi itu. Juan diam saja. Tidak juga mengiyakan. Supir taxi keluar dari mobil, mengangkat tas Juan, lalu memasukkannya ke bagasi. Pada akhirnya Juan harus ikut dengannya. Ada yang mengganggu benaknya, entah apakah persaingan kerja di ibukota begitu berat hingga 3
segalanya harus terburu-buru. Tidakkah orang itu sempat membuat Juan terkejut tapi belum minta maaf padanya. Soal jika saja ia benar-benar celaka. Biar begitu Juan tidak berpikir akan menghajar orang setengah baya itu ataupun melaporkannya ke polisi. Juan melepas rambut palsunya. Rambut yang panjang menutupi punggung membuatnya merasa gerah dan gatal. Tiba-tiba terpikir tentang dua orang yang menunggunya di bandara. Bagaimana kabar mereka setelah kehilangan satu buruan lagi? Pasti Kepala Polisi akan sangat marah, Juan tersenyum. Anda percaya kalau saya ini salah satu Miss Tiffany yang baru saja pulang dari Bangkok, katanya dengan suara berat khas laki-laki. Tanggapan yang keluar dari mulutnya karena sadar sedari tadi supir itu memperhatikannya. Polesan Paris memang luar biasa, Juan merasa cantik dengan itu. Juan membebaskan rambutnya dan mulai menghapus sebagian make up-nya. Sang supir diam, sambil sesekali memperhatikan Juan dari kaca spion. Itu tidak membuat Juan risih, biasanya dialah yang melakukan hal itu. Mengintai orang adalah pekerjaannya, dan perasaan yang membuatnya tertawa saat ia tahu dia juga diintai. Perasaan yang bisa dianggapnya remeh hanya karena yang mengintainya seorang supir taxi, bukanlah siapa-siapa. Dibanding mata-mata mafia atau seorang pembunuh bayaran. Dan, taxi itu tiba-tiba saja berhenti. Keributan berlangsung di depan mereka. Juan tidak berhenti menghapus make up-nya, memperhatikan wajahnya dari kaca seukuran 9 4
x 5 sentimeter. Padahal ada wanita yang berteriak begitu keras ketika melihat seorang laki-laki dihajar beberapa orang. Mungkin pacarnya. Bukan urusanku! lirih Juan dalam hati ketika tahu laki-laki itu masih bisa bertahan. Tapi, ketika satu cahaya terbersit cepat memantul ke matanya, Juan segera mendorong pintu taxi dan melayangkan satu pukulan. Cahaya itu dipantulkan oleh sebilah belati yang dikeluarkan oleh satu dari pengeroyok tersebut. Juan menghajar mereka kemudian. Jumlah mereka kira-kira 5 orang. Itu akan mudah ditangani jika saja tidak ada yang tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalanya. Siapa kalian? tanya Juan sambil mengangkat dua tangannya. Orang itu menodong Juan dari belakang. Juan berusaha melirik ke belakang, sekadar ingin tahu siapa yang merencanakan acara penyambutan yang begitu luar biasa. Padahal ia baru saja tiba di Jakarta. Siapa yang benar-benar merindukan dirinya hingga ingin membunuhnya? Dan kejadian wanita histeris karena melihat laki-lakinya dipukuli, itu hanyalah skenario dan sia-sia jika ingin jadi pahlawan di bagian cerita itu. Tidak ingin terlalu lama bermain-main, Juan berbalik, menarik tangan yang menodongnya dengan pistol. Memutarnya dan mematahkan tangan itu. Kecepatan tangan Juan rupanya lebih besar dibanding kecepatan tangan penjahat itu menekan pelatuk. Pelurunya sempat nyasar ke sisi kaki Juan. Juan menghajar orang-orang itu hingga pingsan. Sampai- 5
sampai tidak ada yang mampu bersuara saat ditanya siapa yang telah menyuruh kalian?. Dengan pistol yang ada di tangannya, Juan kembali ke taxi dan menarik sang supir ke luar. Sejak awal aku sudah curiga padamu, kata Juan seraya menodongkan pistol ke laki-laki tua itu. Maafkan saya, Tuan,! Saya hanya disuruh, saya diancam! katanya mengiba. Siapa yang menyuruhmu? Saya disuruh olehnya, Tuan! katanya sambil menunjuk salah seorang yang terkapar karena pukulan Juan. Pemuda yang tangannya patah. Juan memperhatikan tubuh yang terkapar, bersimbah darah. Seharusnya dia masih sangat muda, sekitar 18 tahunan. Tolong saya Tuan. Anak dan istri saya disandera oleh mereka, saya tidak tahu harus mencari kemana. Tolong saya, Tuan! ucap supir taxi itu lagi. Apa kau yakin? Tolonglah percaya pada saya! Lelaki tua dengan tinggi hanya sebahu Juan saja. Sejak awal Juan melihat pandangan ragu-ragu dari wajah lelaki tua itu. Seperti sangat ketakutan, tapi terus mencari kesempatan untuk melihat ke belakang. Dia gelisah dan tidak banyak bicara. Sekalinya bersuara, suaranya bergetar sekedar mengatakan, baik, Tuan! Juan kemudian menghampiri anak muda yang sudah berani menodongkan pistol padanya. 6
Katakan siapa yang menyuruhmu? tanya Juan. Pemuda itu tidak menjawab. Hanya memandangi Juan dengan matanya yang merah. Apa ada yang menyuruhmu atau kau ingin membunuhku atas keinginanmu sendiri? ulang Juan. Pemuda itu tetap tidak menjawab. Dia tersenyum sinis dan kemudian tertawa. Katakan! Dimana kau menyembunyikan istri dan anak-anak supir taxi itu? Juan menarik kerah baju pemuda itu. Pemuda itu masih tertawa. Juan mulai jengkel, apa kau ingin aku mematahkan tanganmu yang satunya? tawarnya. Tidak, jangan lakukan itu! Aku akan mengatakannya padamu. Keluarganya baik-baik saja sekarang! suara itu terdengar berat. Dimana? Mereka ada di rumah kami! Juan mendapatkan tanda pengenal orang itu. Pria 35 tahun yang juga dihajar oleh Juan. Percayalah! Aku pamannya anak itu dan aku tinggal bersamanya, katanya meyakinkan. Angin yang berhembus lembut, menyapu barisan ilalang yang menguning. Hari itu sangat terik, panas yang mengeringkan tetesan darah di tubuh mereka. Ingin sekali dia mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi, sedikit pun tak terlintas dibenaknya tentang anak 18 tahun itu. Ia pikir mereka tak pernah 7
bertemu sebelumnya. Lalu, apa masalahnya? Kenapa dia repot-repot mau membunuhku? Apa kau takut? tanya pemuda itu ketika Juan beranjak kembali ke taxi. Sesuatu yang sempat membuat langkahnya tertahan dan kembali menoleh ke belakang. Sekilas Juan tahu anak muda itu sangat membencinya. Namun, jika harus mengingat ke belakang tentang apa yang telah ia lakukan, ia sendiri merasa ngeri. Aku bukan pembunuh, tapi aku harus membunuh, lalu semua orang tetap akan menyebutku seorang pembunuh, pikirnya. Itulah harga mati yang harus dibayar, berupa image sebagai seorang pembunuh. Ada apa? seseorang turun dari mobil yang baru saja berhenti. Dia segera menghampiri Juan. Seorangnya lagi menyusul kemudian. Kau kau Juan, kan? Kami disuruh menjemputmu! Tapi, apa yang terjadi? tanya Adam heran. Urus mereka semua! perintah Juan pada dua polisi itu. Sebenarnya apa yang terjadi? heran Adam sambil memperhatikan taxi biru itu melintas begitu saja. <<<>>> 8