KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

Macam macam mikroba pada biogas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk buatan adalah bahan tertentu buatan manusia baik dari bahan alami

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

TINJAUAN PUSTAKA II.

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN A. HASIL 1. Laju pertumbuhan miselium Rata-rata Laju Perlakuan Pertumbuhan Miselium (Hari)

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani Tanaman Pakchoi dan Syarat Tumbuh. Pakchoy adalah jenis tanaman sayuran yang mirip dengan tanaman sawi.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk

BAB 6. BAHAN ORGANIK DAN ORGANISME TANAH

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput Raja (Pennisetum purpuroides) dapat dilihat. pada Gambar 1. Gambar 1. Morfologi Rumput Raja (Pennisetum purpuroides)

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen

BAB I PENDAHULUAN. terpakai dan mengandung bahan yang dapat menimbulkan gangguan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati.

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

PRODUKTIVITAS JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) PADA MEDIA CAMPURAN SERBUK GERGAJI, SERASAH DAUN PISANG DAN BEKATUL NASKAH PUBLIKASI

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

PEMBUATAN BOKHASI FESES SAPI Oleh : Masnun, S.Pt., M.Si. I. PENDAHULUAN. masyarakat memacu peekembangan berbagai industri, termasuk pertanian.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah (Allium ascalonium L.) merupakan tanaman

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan dipercepat dengan mencampur sampah organik dengan bahan-bahan lain untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba. Potensi manfaat pupuk kompos dan limbah organik lainnya meningkatkan penanganan pupuk, mengurangi bau, mengurangi biji gulma dan mikroorganisme patogen. Kompos apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, dan kapasitas menahan air. Pengomposan menyebabkan kompos dapat disimpan untuk waktu yang lama. Kualitas ini membuatnya cocok untuk digunakan pada pertanian atau untuk dijual (Graves et al., 2000) Proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur (Trautmann dan Krasny,1997). Menurut Isroi (2008) selama tahap-tahap awal proses pengomposan, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Suhu akan meningkat hingga di atas 40 o C-70 o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO 2, uap air dan panas. Setelah sebagian

11 besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. 2.2 Feses Ayam Petelur Limbah yang dihasilkan dari usaha peternakan ayam terutama berupa kotoran ayam dan bau yang kurang sedap serta air buangan. Air buangan berasal dari cucian tempat pakan dan minum ayam serta keperluan domestik lainnya. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya terserap ke dalam tanah serta tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar (Rachmawati, 2007). Pemeliharaan ayam petelur biasanya dilakukan dengan sistem baterai, yakni sejumlah tertentu ayam dipelihara dalam kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang-lubang sehingga kotoran akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang di atas tanah. Fontenot et al., (1983) melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor dan kdanungan bahan kering sebanyak 26%. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak tercerna. Kotoran ayam mengdanung protein, karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya. Protein pada kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen inorganik lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Foot et al., 1976). Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkdanung dalam kotoran tersebut, yang pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta

12 gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang menyebabkan bau (Svensson, 1990; Pauzenga, 1991). Kdanungan gas amonia yang tinggi dalam kotoran juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi sebagai asam amino, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam kotoran (Pauzenga, 1991). Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kdanungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida, (H 2 S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Charles dan Hariyono, 1991). 2.3 Serbuk Gergaji Albasia Kayu Albasia merupakan kayu serba guna, ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan penghijauan. Albasia dapat digunakan untuk berbagai produk kayu olahan dan kerajinan tangan (Nasution, 2008). Menurut Tjitrosoepomo (2000), klasifikasi dari kayu Albasia adalah sebagai berikut:

13 Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledon Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Albizia Spesies : Albizia falcataria Menurut Atmosuseno (1996) komponen kimia suatu kayu dapat menentukan kegunaan suatu jenis kayu. Pada umumnya komponen kimia jenis kayu terdiri dari beberapa unsur penyusunnya, yaitu unsur karbohidrat terdiri dari selulosa dan hemiselulosa dan unsur non-karbohidrat terdiri dari lignin. Kayu albasia memiliki kdanungan lignin yang rendah yaitu 25,7%. Menurut Trautmann dan Krasny (1997) serbuk gergaji albasia cocok dijadikan bahan baku atau bahan tambahan untuk pembuatan kompos karena kdanungan lignin yang rendah. Lignin merupakan senyawa yang dapat ditemukan di kayu. Salah satu zat penghambat aktifitas mikroba, karena lignin membentuk jaringan di sekitar serat-serat selulosa yang akan menyebabkan aktifitas mikroba menjadi terhambat. Serbuk gergaji albasia masih dapat dikomposkan tapi yang terbaik adalah untuk mencampur mereka dengan sumber-sumber lain yang mengdanung karbon tinggi. 2.4 Nisbah C/N Dari sekian banyak elemen yang dibutuhkan untuk dekomposisi mikroba karbon dan nitrogen adalah yang paling penting. Menurut Trautmann dan Krasny., (1997) karbon adalah merupakan sumber energi dan dasar untuk membentuk sekitar 50% sel mikroba. Nitrogen merupakan komponen penting dari protein,

14 asam amino, enzim dan DNA yang diperlukan untuk pertumbuhan sel dan regenerasi sel. Bakteri membutuhkan banyak nitrogen untuk pertumbuhan yang cepat rasio karbon dan nitrogen yang ideal untuk kompos umumnya sekitar 30:1 atau karbon 30 bagian untuk setiap bagian nitrogen. Dalam sel mikroba terdiri dari karbon dan nitrogen dengan rasio rendah yaitu 6:1, karbon tambahan diperlukan untuk menyediakan energi untuk metabolisme dan sintesis sel-sel baru. Nisbah C/N yang lebih rendah dari 30:1 memungkinkan pertumbuhan mikroba dan dekomposisi yang cepat, akan tetapi kelebihan nitrogen akan hilang sebagai gas amonia yang akan menyebabkan bau tidak sedap (Tchobanoglous dan Keith, 2002). Nisbah C/N yang lebih tinggi dari 30:1 tidak dapat menyediakan cukup nitrogen untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, hal ini menyebabkan tidak terjadi perubahan suhu pada kompos yang disebabkan oleh aktivitas mikroba. Kompos yang telah matang memiliki nisbah C/N yang lebih rendah dari 30 akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan masalah bau seperti yang disebutkan di atas karena bahan organik telah mengalami proses dekomposisi dan sudah dalam bentuk stabil. Nisbah C/N 30:1 dalam campuran bahan kompos memiliki tujuan yang berguna, namun rasio ini mungkin perlu disesuaikan sesuai dengan bioavailabilitas bahan yang bersangkutan. Ukuran partikel juga dapat mempengaruhi ketersediaan karbon (Trautmann dan Krasny., 1997) 2.5 Mikroorganisme Semua jenis pengomposan tergantung pada kerja bakteri dan kapang. Mikroba ini mencerna bahan organik dan mengubahnya menjadi bentuk kimia yang digunakan oleh mikroba lainnya, invertebrata, dan tanaman. Selama

15 pengomposan populasi dari berbagai jenis mikroorganisme naik dan turun berturut-turut. Mikroorganisme berkembang dengan kondisi lingkungan dan sumber makanan yang menguntungkan. Mikroorganisme akan mati atau meninggalkan lingkungan dan sunber makanan yang tidak sesuai, akan tetapi bisa saja kondisi tersebut mendukung mikroorganisme lain untuk tinggal dan beraktifitas dilingkungan tersebut (Trautmann dan Krasny., 1997) 2.5.1 Bakteri Bakteri bertanggung jawab untuk sebagian besar proses dekomposisi dan panas yang terjadi didalam kompos, bakteri merupakan kelompok yang paling beragam nutrisi dari beberapa organisme pada kompos. Bakteri menggunakan berbagai enzim untuk memecah kimia berbagai bahan organik. Bakteri adalah sel tunggal dan disusun sebagai batang berbentuk basil, kokus atau spiral (Trautmann dan Krasny., 1997) Menurut Atlas dan Bartha (1998) pada awal proses pengomposan (sampai 40 C) bakteri mesofilik mendominasi. Populasi bakteri mesofilik meningkat secara eksponensial selama tahap awal pengomposan disebabkan bakteri mesofilik mengambil keuntungan dari senyawa sederhana yang tersedia seperti gula dan pati. Panas yang dihasilkan pada tahap awal proses pengomposan merupakan aktivitas metabolisme bakteri mesofilik. Proses pengomposan berjalan dengan baik dan benar ditdanai dengan suhu yang naik pada tumpukan kompos. Suhu naik di atas 40 C bakteri mesofilik tidak lagi berkembang dan bakteri termofilik mengambil alih. Bakteri termofilik merupakan bakteri yang tahan terhadap panas karena mempunyai dinding endospora tebal yang sangat

16 tahan terhadap panas, dingin dan kekeringan. Bakteri akan beraktifitas ketika kondisi lingkungan sangat menguntungkan. (Atlas dan Bartha, 1998) Aktivitas bakteri termofilik menurun, suhu turun dan bakteri mesofilik mendominasi lagi, hal tersebut disebabkan senyawa yang dapat digunakan oleh bakteri termofilik telah habis. Jumlah dan jenis mikroba mesofilik yang beraktifitas pada kompos sampai menjadi matang tergantung pada apa spora dan organisme yang hadir dalam kompos dan lingkungan sekitarnya. Selama pematangan fase berlangsung keragaman komunitas bakteri secara bertahap meningkat, maka karbon yang tersedia dalam kompos menjadi habis dan populasi bakteri sekali lagi turun (Dwidjoseputro, 1989) 2.5.2 Kapang Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filamen (miselium). Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang (Pelczar dan Chan, 2005) Menurut Syamsuri (2004) kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30 0 C tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37 0 C atau lebih tinggi. Beberapa kapang bersifat psikrotrofik dan beberapa bersifat termofilik. Semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, dan akan lebih baik pada kondisi asam atau ph rendah.

17 Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat bila dibdaningkan dengan pertumbuhan khamir dan bakteri. Oleh karena itu jika kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, kapang biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditdanai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung dengan cepat. Kapang bertanggung jawab untuk dekomposisi polimer yang banyak terdapat pada tanaman yang kompleks dalam tanah dan kompos. Dalam kompos kapang merupakan mikroorganisme yang penting karena mempunyai kemampuan memecah puing-puing yang sulit terdekomposisi termasuk selulosa. Kapang dapat menyerang residu organik yang terlalu kering, terlalu asam dan terlalu rendah dalam nitrogen (Fardiaz, 1989). Kapang mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam makanan kemudian mereka menyerap produk pencernaan ekstraseluler. Kapang mendominasi pada suhu mesofilik ketika suhu tinggi (termofilik) sebagian besar kapang terbatas pada lapisan luar kompos. Kapang dilihat secara mikroskopis muncul sebagai koloni kabur berwarna abu-abu atau putih yang tampak di permukaan kompos. Beberapa kapang membentuk rantai sel yang disebut hifa yang terlihat seperti benang tenun melalui bahan organik. Kapang pada proses pengomposan terhubung ke jaringan luas hifa dan membantu dalam proses dekomposisi (Trautmann dan Krasny., 1997) 2.6 Suhu Menurut Miller (1991), suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengomposan. Pengontrolan suhu dalam timbunan kompos penting untuk

18 mengoptimumkan penguraian bahan organik dan mematikan mikroorganisme pathogen (Polprasert 1989). Suhu optimum untuk penguraian pengomposan dengan range 35 o C-60 o C (Bach et al., 1987). Jumlah mikroorganisme patogen yang ada akan berkurang dan tidak aktif apabila suhu melebihi 57 o C (Finstein dan Hogan 1993). Namun, jika suhu kompos berjalan di atas 60-65 C, populasi mikroba yang menguntungkan juga dibunuh. Menurut Polprasert (1989), suhu mesofilik (25-40 o C) dicapai pada permulaan pengomposan diikuti dengan suhu termofilik (40-65 o C). Kompos berdasarkan suhu tumpukan dibagi dalam 3 tahap (1) mesofilik (25-40 C) biasanya berlangsung selama beberapa hari (2) termofilik (lebih dari 40-65 C) berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung pada volume tumpukan dan komposisi bahan (3) mesofilik kembali ke tahap mesofilik untuk pematangan kompos. Pengukuran suhu periodik dapat digunakan untuk memetakan kemajuan pengomposan. Dinamika populasi yang berbeda dari mikroorganisme mendominasi selama berbagai tahapan suhu. Dekomposisi awal dilakukan oleh mikroorganisme mesofilik, mikroorganisme ini cepat memecah senyawa yang mudah terdegradasi dan panas yang mikroorganisme ini hasilkan menyebabkan suhu kompos meningkat pesat. Setelah suhu melebihi 40 C mikroorganisme mesofilik menjadi kurang kompetitif dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Selama tahap termofilik suhu tinggi mempercepat pemecahan protein, lemak dan karbohidrat kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa. Pasokan senyawa tersebut lamakelamaan menjadi habis, suhu kompos secara bertahap menurun dan mikroorganisme mesofilik sekali lagi mengambil alih untuk tahap akhir atau

19 pematangan bahan organik yang tersisa. Meskipun suhu kompos mendekati suhu ruangan reaksi kimia masih terus terjadi yang membuat bahan organik sisa lebih stabil dan cocok untuk digunakan (Trautmann dan Krasny, 1997)