BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai profil otitis media di Kota Surakarta, yang diharapkan dapat dilakukan di skala yang lebih besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional. Penelitian ini melibatkan berbagai struktur terkait, administrasi pemerintahan, pusat kesehatan masyarakat dan juga para kader sebagai mitra masyarakat serta tokoh masyarakat. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk penanggulangan masalah kesehatan dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak, tidak hanya puhak medis tetapi juga struktural. Dalam penelitian ini OMSK pada penduduk Kota Surakarta ditemukan sebesar 2,5%, lebih rendah dibandingkan dengan penelitian serupa di Jakarta yang menemukan OMSK sebesar 3,4% (Pasra, 2012). Angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK tinggi bila berkisar antara 2-4% ( Acuin, 2004). Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan tidak membatasi sampel pada usia anak-anak saja dimana prevalensi OMSK ditemukan lebih tinggi. Menurut Parry dan Roland (2011) mengemukakan prevalensi terhadap berbagai kelompok umur belum diketahui secara pasti. Pada kenyataannya OMSK bisa terjadi pada usia anak maupun dewasa sehingga penelitian ini tidak membatasi kelompok usia agar 50
mendapatkan angka kejadian OMSK yang mewakili segala usia. Sampel yang didapat dengan usia berkisar antara 0-80 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empirik mengenai faktor-faktor risiko kejadian OMSK berdasarkan teori dan beberapa studi atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kong dan Coates (2009) mengemukakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi risiko perkembangan otitis media dapat berasal dari faktor pejamu atau faktor lingkungan. Penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Zhang et al. (2014) menunjukkan bahwa alergi, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), riwayat otitis media akut (OMA), paparan asap rokok dan rendahnya status sosial adalah faktor-faktor risiko yang penting untuk OMSK. Subjek penelitian adalah penduduk di Kota Surakarta yang secara genetik mewakili ras Melayu dan secara kultur mewakili suku Jawa. Ada 9 faktor risiko yang diteliti yaitu alergi, riwayat ISPA, riwayat OMA, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, status gizi, jarak rumah dengan fasilitas kesehatan, paparan asap rokok dan kepadatan tempat tinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 9 faktor tersebut, ada 3 faktor yang terbukti secara signifikan menjadi faktor risiko kejadian OMSK pada subyek yang diteliti yaitu alergi, riwayat OMA dan tingkat pendidikan. Penelitian ini membuktikan bahwa alergi berhubungan signifikan dengan kejadian OMSK. Seseorang yang memiliki alergi berisiko mengalami OMSK kira-kira 4 kali lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki alergi. Alergi atau atopi merupakan faktor risiko yang signifikan untuk OMSK. Alergen dalam 51
ruangan dan alergi pada saluran pernapasan seperti rinitis alergi berkontribusi pada timbulnya OMSK. Kondisi atopik, termasuk rinitis alergi pada pasien OMSK berkisar dari 24% sampai dengan 89%. Penelitian Zhang et al. (2014) menjelaskan alergi sebagai penyebab obstruksi tuba eustachius. Orang dengan kondisi alergi atau atopik lebih beresiko untuk menderita OMSK. Faktor kedua yang terbukti berhubungan signifikan dengan kejadian OMSK dalam penelitian ini adalah riwayat OMA. Seseorang yang memiliki riwayat OMA berisiko mengalami OMSK kira-kira 9 kali lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki riwayat OMA. Kong dan Coates (2009) menjelaskan bahwa kejadian OMA rekuren berhubungan dengan imunodefisiensi. Riwayat OMA sebagai faktor risiko OMSK juga telah dibuktikan sebelumnya dalam penelitian yang dilakukan Zhang et al. (2014). Dalam penelitian ini terdapat sebuah faktor demografi yang terbukti berhubungan dengan kejadian OMSK yaitu tingkat pendidikan. Seseorang yang memiliki pendidikan rendah berisiko mengalami OMSK hampir 5 kali lebih besar dibandingkan yang memiliki pendidikan tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat. Implikasinya tingkat pendidikan yang rendah lebih terkait dengan perilaku hidup sehat yang kurang sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya masalah kesehatan. Hubungan antara pendidikan dengan OMSK telah dibuktikan sebelumnya oleh Koch dan Laege (2009) dalam penelitian yang dilakukan di Greenland yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu yang semakin tinggi akan menurunkan risiko terjadinya OMSK. Dalam studi lain, Yousef (2014) 52
mengemukakan bahwa program pendidikan mempunyai peran yang efektif untuk pengelolaan OMSK. Semakin tinggi tingkat kepatuhan ibu terhadap program pendidikan, semakin tinggi pula tingkat respon yang diberikan. Follow up dan penjelasan tentang pentingnya program ini merupakan peran penting untuk berkomitmen. Dari ketiga faktor risiko yang signifikan berpengaruh terhadap timbulnya OMSK ini, riwayat OMA merupakan faktor risiko terkuat. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk membuat langkah preventif dan kuratif yang lebih nyata untuk mengendalikan kejadian OMA agar menekan kejadian OMSK. Riwayat ISPA, pendapatan keluarga, status gizi, jarak rumah dengan fasilitas kesehatan, paparan asap rokok dan kepadatan tempat tinggal dalam penelitian ini tidak terbukti berhubungan dengan kejadian OMSK. Secara metodologis hal ini menunjukkan bahwa pengaruh keenam faktor tersebut terhadap OMSK tertutupi oleh tiga faktor yang lain (yang dinyatakan berhubungan signifikan dengan OMSK) atau tidak ditemukan bukti pengaruh faktor tersebut sebagai penyebab terjadinya OMSK karena keberadaan faktor tersebut juga disertai keberadaan faktor yang lain. Secara empiris hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memang pada penduduk di Kota Surakarta kejadian OMSK secara jelas dapat diketahui karena adanya tiga faktor risiko saja yaitu alergi, riwayat OMA dan pendidikan yang rendah. Beberapa faktor tidak terbukti berhubungan dengan OMSK sangat mungkin disebabkan karena kejadiannya yang relatif kecil yaitu riwayat ISPA, gizi kurang, dan jarah rumah dengan fasilitas kesehatan yang jauh. 53
Penjelasannya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya adalah bahwa meskipun memang riwayat ISPA, gizi kurang, dan jarak rumah yang jauh dengan fasilitas kesehatan lebih banyak ditemukan pada penderita OMSK namun keberadaan faktor-faktor risiko tersebut hampir selalu bersama dengan adanya faktor-faktor yang lain sehingga tidak dapat dipastikan statusnya sebagai penyebab kejadian OMSK. Faktor tempat tinggal yang padat dan pendapatan keluarga yang rendah tidak terbukti berhubungan dengan kejadian OMSK sekalipun kejadiannya cukup besar. Kedua faktor ini secara teoritis berkaitan dengan kejadian OMSK namun sangat tergantung dari variabel lain yang menjelaskan atau memperkuat hubungan tersebut. Tempat tinggal yang padat meningkatkan risiko kejadian ISPA yang meningkatkan risiko terjadinya OMSK. Namun hal ini hanya akan terjadi apabila ada orang lain yang tinggal di rumah tersebut yang menderita ISPA. Pendapatan keluarga terkait dengan kejadian OMSK atau penyakit-penyakit lainnya namun tidak secara mutlak. Lebih tepatnya kejadian suatu penyakit dalam keluarga terkait dengan seberapa besar uang yang dikeluarkan untuk masalah kesehatan baik yang bersifat pencegahan atau pengobatan. Pendapatan keluarga yang rendah dihipotesiskan berhubungan dengan kejadian OMSK karena dengan pendapatan yang rendah maka besar kemungkinan suatu keluarga kurang memiliki kemampuan untuk membiayai tindakan pencegahan bagi anggota keluarganya. Kejadian paparan asap rokok cukup tinggi dalam penelitian ini namun tidak terbukti berhubungan dengan kejadian OMSK. Pengaruh paparan asap rokok secara teoritis maupun berdasarkan studi sebelumnya juga dapat dikatakan 54
langsung terhadap kejadian OMSK. Seseorang yang mendapat paparan asap rokok dalam penelitian ini meskipun memiliki risiko mengalami OMSK namun tidak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan yang tidak mendapat paparan asap rokok. Kejadian paparan asap rokok pada non penderita OMSK pun cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun mendapat paparan asap rokok belum tentu akan mengalami OMSK. Mengingat kebiasaan merokok dengan frekuensi keseringan yang relatif tinggi pada penduduk Surakarta (dalam berbagai kalangan, kategori umur, dan tempat) sangat mungkin bahkan pada para perokok pasif telah terjadi adaptasi secara fisik untuk menekan efek dari asap rokok. Model regresi logistik memiliki nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,228. Implikasinya adalah bahwa 9 parameter atau faktor risiko memiliki kontribusi pengaruh sebesar 22,8% terhadap kejadian OMSK. Adapun sisanya yaitu sebesar 77,2% merupakan pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Dugaan faktor risiko lain yang berpengaruh antara lain adalah faktor virulensi kuman, pemakaian antibiotik yang tidak adekuat, pembesaran adenoid dan kondisi yang mengganggu patensi tuba eustachius. Peneliti menyadari adanya keterbatasan yang sedikit banyak mempengaruhi hasil penelitian mengingat kecilnya aktual kejadian OMSK dan banyaknya faktor risiko yang diteliti. Hal ini terbukti menyebabkan banyaknya hipotesis yang tidak terbukti karena kemunculan faktor risiko yang sebagian besar bersamaan pada penderita OMSK yang jumlahnya hanya sedikit. 55
. 56