Pembandingan PSAK No. 102 Dengan Fatwa MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAGIAN III AKAD JUAL BELI

PSAK No Juni 2007 PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN AKUNTANSI MURABAHAH IKATAN AKUNTAN INDONESIA

PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. 102 AKUNTANSI MURABAHAH

ANALISIS PSAK 102 (REVISI 2013) TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA PRODUK KEPEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR (KKB) BRISYARIAH IB

AKUNTANSI MURABAHAH. Materi: 6. Afifudin, SE., M.SA., Ak.

ANALISIS PENERAPAN PSAK 102 ATAS MURABAHAH PADA PT. BANK BRI SYARIAH, TBK.

AKUNTANSI MURABAHAH. Materi: 5-6. Afifudin, SE., M.SA., Ak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian yang dilakukan Wardi dan Putri (2011) tentang Analisis

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Penerapan Pembiayaan Murabahah Pada PT. Bank Muamalat Indonesia,

Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli yang bersifat amanah.

ANALISIS PEMBIAYAAN MURABAHAH, MUDHARABAH, DAN MUSYARAKAH PADA BANK KALTIM SYARIAH DI SAMARINDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Antonio (2001) ada beberapa syarat khusus yang mengatur. 1) Penjual memberitahukan modal kepada nasabah

MURA>BAH}AH DAN FATWA DSN-MUI

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang

FATWA DSN MUI. Fatwa DSN 01/DSN-MUI/IV/2000: Giro. 1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari'ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga.

MURABAHAH ANUITAS DAN PENERAPANNYA MENURUT STANDAR AKUNTANSI SYARIAH

BAB IV. Seperti di perbankan syari ah Internasional, transaksi mura>bah}ah merupakan

BAB II REGULASI PERBANKAN SYARI AH DAN CARA PENYELESAIANNYA. kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka

Created by Simpo PDF Creator Pro (unregistered version) BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

Rizky Andrianto. Evony Silvino Violita. Program Studi Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Abstrak

ED PSAK 102. akuntansi murabahah. exposure draft

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Simpulan. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada PT. BPR Syariah Karya Mugi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS AKUNTANSI PEMBIAYAAN MUSYARAKAH WAL IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK DI BMI CABANG PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ASURANSI JIWA PADA PEMBIAYAAN MURA>BAH}AH DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG LARANGAN SIDOARJO

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. keuangan bukanlah sebuah pabrik atau produsen yang menghasilkan uang

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI TERHADAP PEMBIAYAAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ib PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA SYARIAH CABANG SURABAYA

BAB III LUMAJANG. berbeda beda untuk jangka waktu cicilan yang berbeda. Penerapan keuntungan transaksi pembiayaan mura>bah{ah ditetapkan

BAB IV ANALISIS PENETAPAN MARGIN PADA PEMBIAYAAN MURA>BAH{AH DI BSM LUMAJANG DALAM TINJAUAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MUI

Prinsip Sistem Keuangan Syariah

AL MURABAHAH DOSEN PENGAMPU H. GITA DANUPRANATA OLEH MELINDA DWIJAYANTI ( ) DHYKA RACHMAENI ( )

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1

BAB II LANDASAN TEORI. BPRS atau yang dulu dikenal sebagai Bank Perkreditan Rakyat

KARAKTERISTIK TRANSAKSI PERBANKAN SYARIAH DIRINGKAS DARI PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO.59

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki kebutuhankebutuhan. yang harus dipenuhi. Seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung

PERBANKAN SYARIAH TRANSAKSI SALAM AFRIZON. Modul ke: Fakultas FEB. Program Studi Akuntansi.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. A. Mekanisme Pembiayaan Konsumtif di KOPSIM NU Batang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Penerapan Akuntansi Akad Murabahah pada KJKS BMT Al Fath

BAB VI PENUTUP. (Akuntansi Murabahah) dan fikih muamalah. Dalam rangka meningkatkan dan

Pengertian. Dasar Hukum. QS. Al-Baqarah [2] : 275 Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak dan neraca pembayaran yang biasanya ditangani oleh kementrian keuangan.

PRODUK PEMBIAYAAN BERBASIS JUAL BELI

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Produk-poduk Gadai Syariah berdasarkan PSAK 102, 105, dan 107. berdasarkan PSAK 105 : Akuntansi Mudharabah.

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

BAB I PENDAHULUAN. modal, reksa dana, dana pensiun dan lain-lain). Pengertian bank menurut UU No.

PROGRAM S1 JURUSAN AKUNTANSI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. ANALISIS PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL PADA PEMBIAYAAN MUDHARABAH DI KJKS CEMERLANG WELERI

AKAD MURABAHAH DAN APLIKASINYA

BAB IV ANALISIS. Ny.Indah yang beralamat di JL. Beruang Raya No. 102 Kecamatan. Gayamsari Semarang Timur ingin membeli sepeda motor Supra X 125 yang

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi syariah yang berlandaskan nilai Al-Qur an dan Al-Hadis. ditugaskan oleh Allah SWT untuk mengelola bumi secara amanah.

BAB I PENDAHULUAN. sekundernya, contohnya keinginan memiliki mobil, motor, HP dan lain-lain, hal pokok yang melekat pada setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan. Oleh karena itu peranan

BAB IV. IMPLEMENTASI FATWA DSN-MUI No.23/DSN-MUI/III/2002 PADA POTONGAN PELUNASAN DALAM MURABAHAH DI BNI SYRIAH CABANG PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Kendala yang sering dipermasalahkan dan merupakan kendala utama adalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang menjalankan kegiatan perekonomian. Salah satu faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia saat ini sudah

EVALUASI KESESUAIAN PSAK 102 (AKUNTANSI MURABAHAH) DENGAN MERUJUK KEPADA AL-QURAN, HADIST DAN IJMA ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang.

BAB II PEMBIAYAAN MURABAHAH

AKUNTANSI LEMBAGA KEUANGAN ISLAM

BAB IV. A. Analisis Aplikasi Akad Mura>bah}ah di BMT Mandiri Sejahtera Jl. Raya Sekapuk Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

BAB V PEMBAHASAN. kegiatan operasional yang berlangsung di kantor Koperasi Simpan Pinjam

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH PADA PEMBIAYAAN EMAS DI BNI SYARIAH CABANG PEKALONGAN (STUDY KASUS)

ANALISIS PENERAPAN PSAK 102 DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2000 PADA PT

BAB I PENDAHULUAN. prinsip syariah sebagai dasar hukumnya berupa fatwa yang dikeluarkan oleh

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG MUDHARABAH, BAGI HASIL, DAN DEPOSITO BERJANGKA

BAB I PENDAHULUAN. Bank Syariah ini salah satunya dicirikan dengan sistem bagi hasil (non bunga)

BAB IV ANALISA HASIL PEMBAHASAN. saya akan membahas perlakuan akuntansi pendapatan atas pembiayaan murabahah

BAB IV. pembiayaan-pembiayaan pada nasabah. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan

A. Mekanisme Pembiayaan KPR Muamalat ib dengan Menggunakan Akad Murabahah 1. Skema Pembiayaan KPR Muamalat ib dengan Menggunakan Akad Murabahah

Created by Simpo PDF Creator Pro (unregistered version) BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

AKUNTANSI SALAM psak 103

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENYELESAIAN DENDA PENUNDAAN PEMBAYARAN KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK. KANTOR CABANG SURABAYA

Analisis Penerapan PSAK 102 di BMT itqan dalam Kaitannya dengan Pembiayaan Murabahah

BAB I PENDAHULUAN. penghubung antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana.

(Studi Kasus Pada Pegadaian Syariah Cabang Gunung Sari Balikpapan) Masita

BAB I PENDAHULUAN. sekunder, maupun tersier dalam kehidupan sehari-hari. Adakalanya masyarakat tidak

SESI : 07 ACHMAD ZAKY

GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis, dari kata

ANALISIS PENERAPAN AKUNTANSI SYARIAH BERDASARKAN PSAK 102 PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI BMT SE-KABUPATEN PATI

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk adanya sebuah lembaga keuangan. Salah satu lembaga

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. ( Data Jumlah Pembiayaan kantor cabang Gunungpati II tahun )

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah diuraikan pada bab. sebelumnya maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut :

KODIFIKASI PRODUK PERBANKAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keadilan dan keterbukaan, yaitu Perbankan Syariah. operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil.

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA

secara tunai (murabahah naqdan), melainkan jenis yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (2008:2) sistem akuntansi pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang erat

BAB V PEMBAHASAN. A. Skema Pembiayaan Kongsi Pemilikan Rumah di Bank Muamalat. Indonesia Kantor Cabang Pembantu Ponorogo

Transkripsi:

EKBISI, Vol. VII, No. 2, Juni 2013, hal. 150 163. ISSN:1907-9109 Pembandingan PSAK No. 102 Dengan Fatwa MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 1 Aninda Adhaninggar, Fakultas Ekonomi UII Syamsul Hadi, Fakultas Ekonomi UII, E-mail: Syamsulhadi@fe.uii.ac.id ABSTRAK This research objectives is to know whether the PSAK No. 102 followed the Fatwa DSN-MUI NO.04/DSN-MUI/IV/2000 about Murabahah transaction. This research uses qualitative approach and compares PSAK No. 102 to Fatwa DSN-MUI. This research concluded that most part of PSAK No. 102 already agree to Fatwa DSN-MUI. Some parts of PSAK No. 102 or Fatwa DSN-MUI were not clearly explained and have a big chance to lead more than one interpretation. Some statements in PSAK have no relationship at all to Fatwa DSN-MUI. Both PSAK and Fatwa DSN-MUI should be revised to have a better interpretation. Key word : Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000, PSAK No. 102, Murabahah PENDAHULUAN Di antara berbagai produk pembiayaan perbankan syariah, produk murabahah memiliki peringkat tertinggi. Capaian pembiayaan perbankan syariah secara nasional antara Januari 2010 sampai dengan Agustus 2010 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Nilai PembiayaanBank Syariah Akad Nilai(Miliar Rupiah) (%) Mudharabah 57,684 13.56 Musyarakah 94,592 22.23 Murabahah 238,022 55.93 Istishna 3,197 0.75 Ijarah 13,033 3.06 Qardh 19,019 4.47 Total 425,547 100.00 Sumber: Bank Indonesia(2010) 1 Penulis mengucapkan terima kasih kepada peserta Seminar Nasional Kontribusi Dunia Pendidikan Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi dalam Penguatan Perekonomian Bangsa tanggal 28 Juni 2011 yang telah memberikan masukan guna perbaikan paper ini. 150 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa produk pembiayaan perbankan syariah dengan akad murabahah adalah terpopuler atau tertinggi. Dengan tingginya popularitas akad murabahah, maka pelaporan produk ini dalam Laporan Keuangan Bank Syariah menjadi penting dan perlu diberi perhatian. Kesalahan dalam pencatatan dan pelaporan akan sangat mengganggu kebijakan yang diambil berdasarkan informasi Laporan Keuangan. Hal inilah penyebab perlunya dilakukan penelitian dan pengkajian lebih jauh mengenai PSAK no. 102 dan Fatwa DSN-MUINO.04/DSN-MUI/IV/2000. Murabahah adalah jual beli barang pada harga pokok perolehan barang dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak penjual dengan pihak pembeli barang (Rifqi Muhammad, 2008). Dengan menggunakan akad ini, penjual (pemilik barang) wajib memberitahukan harga pokok barang yang dijual tersebut kepada pembeli. Negosiasi antara penjual dan pembeli bukan untuk menentukan harga jual, tetapi untuk menentukan besarnya marjin atau keuntungan. Dengan karakteristik seperti ini, maka diperlukan standar khusus untuk pelaporan di Laporan Keuangan Bank Syari ah, mengingat Bank bukan lagi bertindak sebagai mediator keuangan saja, tetapi aktif berdagang. Konsep Bank ikut aktif berdagang inilah yang tidak dimiliki atau bahkan tidak diperbolehkan pada Bank non Syari ah (konvensional). Untuk ini IAI telah mengeluarkan PSAK no. 102 tentang Murabahah. PSAK no. 102 ini, secara konseptual, merupakan adopsi atau gabungan dari standar akuntansi itu sendiri yaitu PSAK umum (banyak kalangan menyebut dengan istilah PSAK konvensional), pernyataan AAOIFI dan dengan melihat standar dari sisi agama yaitu Fatwa DSN-MUI. Namun, dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang standar dari sisi agama yaitu Fatwa DSN-MUI. Hal ini dilakukan untuk melihat atau mengkaji kesesuaian antara PSAK no. 102 dengan FATWA MUI. Oleh karena itu, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Apakah PSAK no.102 tentang Murabahah sudah sesuai dengan FATWA DSN-MUI tentang murabahah? STANDAR AKUNTANSI Dalam akad murabahah terdapat teori dan praktek dalam penggunaannya. Pada praktik maupun teori akuntansi syariah murabahah perlu adanya standar-standar yang digunakan. Standar-standar itulah yang akan membantu dalam pembentukan standar akuntansi untuk akad murabahah. Standar yang digunakan tidak hanya standar dari sisi akuntansi saja tetapi standar dari sisi agama juga perlu digunakan karena standar akuntansi murabahah merupakan standar akuntansi yang berbasis syariah yang menganut sesuai dengan syariah Islam. Dalam membentuk standar akuntansi murabahah ini perlu memperhatikan sesuai dengan Al-Qur an dan hadis. Walaupun Al-Qur an dan hadis tersebut tidak secara langsung membahas mengenai Murabahah tetapi dalam Al-Qur an dan hadis tersebut membahas tentang perdagangan atau perniagaan yang mendasari transaksi dengan menggunakan akad tersebut. Standar-standar yang digunakan untuk membentuk standar akuntansi syariah terutama standar akuntansi murabahah tidak hanya berasal dari standar yang diterapkan di Indonesia saja tetapi juga berasal dari standar Internasional. Standar internasional yang dipakai adalah standar yang dikeluarkan oleh AOIFI. Standar ini telah secara luas digunakan oleh LKS (Lembaga Keuangan Syari ah) di berbagai Negara. Di bawah ini merupakan bagan-bagan yang menggambarkan standar-standar secara umum yang digunakan sebagai landasan dalam pembuatan atau pembentukan standar akuntansi syariah atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 102 yaitu sebagai berikut : Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 151

Fatwa DSN-MUI AAOIFI PSAK No. 102 PSAK KONVENSIO NAL Gambar Pembentukan Standar Akuntansi Syariah Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa PSAK no. 102 dapat dibentuk dari tiga standar yang berbeda-beda. Dari sisi akuntansi standar yang digunakan adalah: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) PSAK dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan harapan agar dapat menjadikan pedoman dalam melakukan transaksi akuntansi baik dalam praktek maupun teori. IAI memiliki Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) yang merupakan satu komponen inti dalam IAI yang memiliki komponen dalam penyusunan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Untuk hal-hal yang tidak diatur standar akuntansi international, DSAK mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di Indonesia, terutama standar akuntansi keuangan untuk transaksi syariah. Landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Hal ini diperlukan karena transaksi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan transaksi usaha umumnya sehingga ada beberapa prinsip akuntansi umum yang tidak dapat diterapkan dan diperlukan suatu penambahan prinsip akuntansi yang dapat dijadikan landasan konseptual. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI). AAOIFI menjadi organisasi nirlaba international yang memiliki komponen untuk menyusun standar-standar akuntansi keuangan dan auditing untuk Bank dan Lembaga Keuangan Syariah di dunia. Fatwa DSN-MUI. Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas untuk membentuk fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam sesuai dengan syariah Islam yang menjadi tolok ukur bagi praktek ekonomi syariah dan non-syariah dalam mencapai keselarasan. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syariah. DSN mempunyai langkah-langkah tersendiri dalam menetapkan fatwa-fatwa berkaitan dengan kondisi sekarang ini. Salah satu 152 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Pengertian Murabahah. Murabahah adalah jual beli barang pada harga pokok perolehan barang dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak penjual dengan pihak pembeli barang (Rifqi Muhammad, 2008). Perbedaan yang tampak pada jual beli murabahah dengan jual beli yang lain adalah penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang dan kemudian dilakukan negosiasi keuntungan (bukan negosiasi harga jual) yang akhirnya disepakati kedua belah pihak. Pada prinsipnya, kerelaan kedua belah pihak merupakan unsur yang penting dalam proses murabahah. Pada akad murabahah terdapat beberapa landasan syariah yaitu dalam Al-Qur an dan hadis meskipun tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan murabahah namun ada beberapa acuan di dalamnya yang berkaitan dengan penjualan, keuntungan, kerugian, dan perdagangan. Transaksi Murabahah dalam pembiayaan Bank Syariah adalah transaksi jual beli antara Nasabah dengan pihak Bank. Barang yang akan dijual oleh Bank dapat berupa barang yang sudah dimiliki oleh Bank ataupun belum (pesanan). Jika pesanan, barang yang dijual oleh Bank berdasarkan spesifikasi dari Nasabah, dan jika barang tidak pesanan, Bank membuat dan menjual barang tersebut sesuai dengan spesifikasi Bank sendiri. Sedangkan harga jual kepada Nasabah yaitu harga pokok perolehan barang ditambah keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam akad ini, Bank harus mencatat dan mempraktikannya sesuai dengan landasan yang digunakan. Ketentuan Umum Fatwa DSN MUI Fatwa no. 3, 4, 5, 6, dan 7 yang berada dalam alinea ketentuan kepada Nasabah berisi sebagai berikut : 3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada Nasabah dan Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli Bank dibolehkan meminta Nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal. 5. Jika Nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka. 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada Nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka : a. Jika Nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. Jika Nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi, Nasabah wajib melunasi kekurangannya. Alinea-alinea yang terdapat dalam PSAK 102 adalah sebagai berikut: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 153

07. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika asset murabahah yang telah dibeli oleh penjual mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tangguhan penjual dan akan mengurangi akad. 14. Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembeli sebelum akad disepakati. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika akad murabahah disepakati. Jika akad murabahah batal, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian riil yang ditanggung oleh penjual. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli. 19. Pengukuran asset murabahah setelah perolehan adalah sebagai berikut : a. Jika murabahah pesanan mengikat, maka : (i) dinilai sebesar biaya perolehan (ii) jika terjadi penurunan nilai asset karena usang, rusak,atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke Nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi asset b. Jika murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka : (i) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; dan (ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian. Dalam fatwa no. 3 ketentuan umum, dinyatakan bahwa Bank dapat membiayai seluruh atau sebagian. Dengan adanya fatwa ini, maka Bank boleh meminta uang muka kepada Nasabah seperti yang telah dijelaskan dalam fatwa no. 4. Uang muka tersebut juga berfungsi sebagai bukti komitmen Nasabah untuk membeli barang murabahah. Selain sebagai bentuk komitmen, uang muka juga berfungsi sebagai pengurang kewajiban Nasabah kepada Bank, sehingga angsuran atau pembayaran yang harus dilakukan oleh Nasabah akan berkurang. Di dalam PSAK no. 102 juga dijelaskan seperti itu. Jika dilihat dari pernyataan di atas, antara PSAK no. 102 dengan Fatwa sudah sesuai berarti PSAK sudah mengadopsi fatwa MUI tentang murabahah. Perwakilan Dalam Membeli Barang Murabahah. Fatwa MUI: 4. Bank membeli barang yang diperlukan Nasabah atas nama Bank sendiri. 9. Jika Bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip milik Bank. 18. Pada saat perolehan asset murabahah diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan. Dalam fatwa ini, barang murabahah yang diperjual belikan harus merupakan milik sah Bank. Dengan demikian, maka Bank harus melakukan transaksi pembelian kepada supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang diinginkan Nasabah. Secara formal barang tersebut harus dicatat sebagai barang milik Bank, meskipun persediaan barang tersebut hanya sementara, sampai barang tersebut pindah menjadi milik Nasabah. Berikut ini merupakan jurnal yang digunakan pada saat pengakuan perolehan barang murabahah oleh Bank baik secara tunai maupun kredit : 154 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

Jurnal pada saat perolehan barang murabahah dari supplier Persedian murabahah Hutang / kas (sebesar harga perolehan) (sebesar harga perolehan) Bank membuat jurnal tersebut karena pertama-tama Bank harus terlebih dahulu mengakui barang murabahah tersebut sebagai persediaan milik Bank walaupun sifatnya sementara. Bila Bank memperoleh barang tersebut pada akhir periode pada akhir periode tetapi Nasabah baru mengambil barang tersebut dari Bank awal periode tahun sesudahnya maka pihak Bank tetap harus mengakui barang tersebut sebagai persediaan dan melaporkannya di dalam Laporan Keuangan. Pada Fatwa MUI no. 9, Bank bisa mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang tersebut kepada supplier. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Nasabah dapat memilih barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Maksud dari mewakilkan di sini adalah untuk mempercepat proses pemilihan barang yang diperlukan oleh Nasabah, dan bukan menyerahkan proses pembelian kepada Nasabah. Pembayaran atas barang tersebut tetap harus dilakukan oleh Bank, bukan oleh Nasabah. Bila untuk mempermudah transaksi Bank menyerahkan uang sebesar harga beli barang kepada Nasabah untuk diserahkan kepada supplier, maka Nasabah harus bertindak untuk dan atas nama Bank bukan atas nama Nasabah. Untuk melaksanakan hal ini Bank harus memberi surat kuasa khusus. Jika hal ini terjadi, maka Bank harus mencatat pengeluaran uang yang diserahkan kepada nasabah sebagai Uang Muka yang harus dipertanggung-jawabkan penggunaannya oleh Nasabah. Pengakuan adanya pembiayaan murabahah pada saat ini akan menyebabkan rusaknya akad murabahah, karena mengakui adanya penjualan sebelum ada barang. Bila digunakan klausul perwakilan ini, maka jurnal yang harus dibuat oleh Bank adalah sebagai berikut: Saat pengeluaran uang ke Nasabah. Uang Muka Nasabah Kas Rp. x,- Rp. x,- Saat Nasabah melaporkan pembelian yang dilengkapi dengan semua persuratan yang diperlukan, maka jurnal yang harus dibuat adalah: Persediaan Murabahah Uang Muka Nasabah Rp. x,- Rp. x,- Setelah jurnal pertanggungjawaban ini dibuat, barulah Bank bisa mencatat penjualan murabahah kepada Nasabah. Persoalan akan muncul bila dalam praktek LKS (Bank) tidak jujur dan menganggap pengeluaran kas untuk pembayaran Uang muka sudah diperlakukan sebagai transaksinya selesai. Bila ini dilakukan, maka Bank tidak memiliki akun Persediaan dan praktek ini akan membuat posisi Bank Syari ah mirip dengan Bank konvensional. Terlebih bila Bank mencatat harga pokok barang murabahah sebagai pokok pinjaman kepada Nasabah, akan berakibat pada tidak adanya beda antara praktik Bank Syariah dan Bank Non-Syariah. Praktek ini sangat mungkin dilakukan, karena PSAK tidak mengatur tentang perwakilan. Untuk itu, perlu adanya peninjauan kembali terhadap PSAK agar bisa mengakomodasi permasalahan perwakilan ini. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 155

Dengan adanya PSAK yang mengatur tebtang pencatatan akad wakalah (wakil) ini, maka diharapkan tidak ada lagi praktek bank Non-Syariah di Bank Syariah. Pembayaran Tunai Dan Tangguh. Fatwa MUI : 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu yang telah disepakati. 08. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli, tetapi pembayaran dilakukan secara angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. 09. Akad murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati, maka hanya ada satu harga yang digunakan. 22. Pada saat akad murabahah piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan asset murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang. 23. Keuntungan murabahah diakui : a. Pada saat terjadinya penyerahan barang, jika dilakukan secara tunai atau secara tangguh yang tidak melebihi satu tahun. b. Selama periode akad sesuai dengan tingkat risiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan, dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik risiko dan upaya transaksi murabahahnya : (i) Keuntungan diakui saat penyerahan asset murabahah. Metode ini terapan untuk murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya relatif kecil. (ii) Keuntungan diakui proposional dengan besaran kas yang berhasil ditagih piutang murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih piutang tersebut relatif besar juga. (iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini terapan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktik, metode ini jarang dipakai, karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya. Pengakuan keuntungan, dalam paragraph b (ii). dilakukan secara proposional atas jumlah piutang yang berhasil ditagih dengan mengalikan prosentase keuntungan terhadap jumlah piutang yang berhasil ditagih. Prosentase keuntungan dihitung dengan perbandingan antara margin dan biaya perolehan asset murabahah. Dalam fatwa no. 7 dijelaskan bahwa pembayaran dilakukan secara tangguh namun dalam PSAK no. 08 pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran secara tunai dimungkinkan bila barang yang diinginkan Nasbah adalah barang khusus yang mungkin harganya akan sangat mahal bila dibeli sendiri. Bila barangnya adalah barang biasa, maka pembayaran tunai jadi tidak menarik bagi Nasabah karena harus memberi keuntungan kepada Bank. Bila dilihat dari prakteknya dalam akad murabahah ini, Nasabah lebih banyak memilih pembayaran secara tangguh, dibandingkan pembayaran secara tunai. 156 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

Berikut ini jurnal untuk transaksi dengan pembayaran secara tunai dan secara tangguh : Jika Nasabah melakukan pembayaran pembayaran secara tunai Kas Pendapatan margin murabahah Persediaan murabahah Jika Nasabah memilih pembayaran tangguh maka pada saat Nasabah membeli barang kepada Bank, jurnal yang dicatat oleh Bank sebagai berikut : Piutang Murabahah Margin murabahah tangguhan Persediaan murabahah Jurnal pada saat Nasabah membayar angsuran kepada Bank Kas Margin murabahah tangguhan Piutang murabahah Pendapatan margin murabahah Jurnal di atas tersebut harus dibuat oleh pihak Bank jika Nasabah melakukan pembayaran secara tunai atau tangguh dan Bank juga mencatat saat Nasabah membayar angsuran. Dalam kasus Nasabah membayar secara tangguh, maka Pendapatan margin murabahah akan diakui secara berkala sesuai dengan proporsi angsuran Nasabah. PSAK no. 09 memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad namun dalam Fatwa MUI tidak dijelaskan seperti pernyataan tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa PSAK tidak sepenuhnya sesuai dengan Fatwa DSN-MUI. Agar keduanya sesuai, maka bisa dilakukan dua alternatif, yaitu PSAK diubah atau Fatwa DSN-MUI yang diubah. Perbedaan harga dengan perbedaan cara pembayaran ini terkesan menghalalkan tambahan harga yang disebabkan oleh perbedaan waktu pembayaran. Praktek ini mirip dengan bunga, sesuatu yang jelas diklasifikasikan sebagai riba. Walau praktek ini mirip dengan riba, tetapi para ulama belum satu kata untuk melarang atau membolehkan (Dimyauddin Djuwaini, 2010). Walau demikian, agar aman dari kemungkinan adanya riba maka sebaiknya PSAK tidak menyebut adanya perbedaan harga karena perbedaan waktu pelunasan. Demikian pula pihak Bank juga sebaiknya tidak memberi alternatif waktu pembayaran yang berdampak pada perbedaan harga barang. Jika dilihat dari pernyataan di atas, antara PSAK no. 102 kurang sesuai dengan Fatwa terutama untuk perbedaan harga yang disebabkan karena perbedaan waktu pembayaran. Penggunaan kata 'harga' di PSAK juga kurang pas, sebab dalam murabahah komponen yang dinegosiasikan adalah margin, bukan harga. PSAK ini perlu direvisi dengan menggunakan istilah yang lebih tepat. Jaminan dalam Murabahah. Fatwa MUI : 1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 157

13. Penjual dapat meminta pembeli menyediakan agunan atas piutang murabahah antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual dan atau asset lainnya. Dalam Fatwa MUI tidak menjelaskan bentuk barang yang bisa digunakan untuk agunan tetapi dalam PSAK no. 13 dijelaskan jaminan yang digunakan yaitu dalam bentuk barang yang telah dibeli dari penjual dan atau asset lainnya. Berarti barang yang dibeli tersebut dapat juga digunakan sebagai jaminan dalam akad murabahah. Perbedaan utama dari dua hal di atas adalah Fatwa MUI lebih menekankan pada jaminan agar Nasabah serius dengan pesanannya sekaligus jaminan pembayaran. Sedangkan PSAK lebih menekankan pada jaminan atas pembayaran. PSAK sama sekali tidak menjelaskan penerimaan jaminan atas keseriusan pesanan. Kedua hal ini sama-sama diperlukan agar tidak merugikan pihak lain. Oleh karena itu, disarankan adanya perubahan PSAK yang bisa mengakomodasi penerimaan jaminan keseriusan pembelian oleh Nasabah. Uang muka dalam Murabahah. Fatwa MUI: 4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. 14. Penjual dapat meminta uang muka kepada pembeli sebagai bukti komitmen pembeli sebelum akad disepakati. Uang muka menjadi bagian pelunasan piutang murabahah jika akad murabahah disepakati. Jika akad murabahah batal, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian riil yang ditanggung oleh penjual. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian maka penjual dapat meminta tambahan dari pembeli. 30. Pengakuan dan pengukuran uang muka adalah sebagai berikut : a. Uang muka diakui sebagai uang muka pembelian sebesar biaya perolehan murabahah tunai. b. Jika barang jadi dibeli oleh pembeli, maka uang muka diakui sebagai pembayaran piutang (merupakan bagian pokok). c. jika barang batal dibeli oleh pembeli, makauang muka dikembalikan kepada pembeli setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Jika dilihat dari pernyataan di atas, antara PSAK no. 102 dengan Fatwa sudah sesuai berarti PSAK tersebut sudah benar-benar mengadopsi dari fatwa tentang murabahah tersebut. 158 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

Diskon dalam murabahah. Fatwa MUI 1. Harga dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sewa dengan nilai benda yang menjadi objek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah. 2. Harga dalam jual beli murabahah adalah jual beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan. 3. Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon karena itu diskon adalah hak Nasabah. 4. Jika pembelian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian. 10. Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual mendapatkan diskon sebelum akad murabahah, maka diskon itu merupakan hak pembeli. 11. Diskon yang terkait dengan pembelian barang, antara lain : a. Diskon dalam bentuk apapun dari pemasok atas pembelian barang. b. Diskon biaya asuransi dari perusahaan asuransi dalam rangka pembelian barang. c. Komisi dalam bentuk apapun yang diterima terkait dengan pembelian barang. 12. Diskon atas pembelian barang yang diterima setelah akad murabahah disepakati diperlukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad tersebut. Jika tidak diatur dalam akad, maka diskon tersebut menjadi hak penjual. 20. Diskon pembelian aset murabahah diakui sebagai : a. Pengurangan biaya perolehan asset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah. b. Kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad yang disepakati menjadi hak pembeli. c. Tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad murabahah dan sesuai akad menjadi milik hak penjual. d. Pendapatan operasi lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad. 21. Kewajiban penjual kepada pembeli atas pengembalian diskon pembelian akan tereliminasi pada saat : a. Dilakukan pembayaran kepada pembeli sebesar jumlah potongan setelah dikurangi dengan biaya pengembalian. b. Dipindahkan sebagai dana kebijakan jika pembeli sudah tidak dapat dijangkau oleh penjual. Dari pernyataan di atas, FATWA no. 4 tidak menjelaskan jika diskon setelah akad murabahah. Karena tidak diatur dalam akad maka diskon tersebut menjadi hak penjual tetapi di dalam PSAK no.102 menjelaskan tentang hal tersebut. Diskon tersebut dapat diberikan kepada pembeli dari supplier dalam dua kemungkinan yaitu sebagai berikut : 1. Diskon diberikan sebelum akad dan diskon tersebut merupakan hak Nasabah. 2. Diskon diberikan setelah akad dan penentuan pembagian diskon yang diberikan setelah akad yaitu jika tidak diatur dalam akad maka diskon ini merupakan hak penjual/bank tetapi jika diskon ini diatur dalam akad maka kemungkinan dapat menjadi hak penjual/bank atau hak Nasabah atau dapat juga menjadi hak penjual/bank dan Nasabah. Semua itu tergantung pada perjanjian yang diatur dalam akad. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 159

Namun bila kembali ke konsep murabahah adalah jual beli dengan memberitahukan harga perolehan secara jujur, maka kapanpun juga diskon diberikan oleh supplier akan menjadi hak nasabah. Hak Bank hanyalah sebesar margin yang telah disepakati. Apabila diskon didapat setelah akad dan dalam perjanjian diskon tersebut diatur dalam akad maka perlu dilihat apakah diskon tersebut dapat mempengaruhi hak pembeli dan harga jual barang murabahah tersebut. Oleh karena itu perlu dilihat penghitungan keuntungan yang digunakan dalam akad tersebut apakah dalam bentuk prosentase atau dalam bentuk rupiah. Jika perhitungan keuntungan tersebut dalam bentuk rupiah maka tidak ada masalah dalam pembagian diskon tersebut tetapi jika dalam bentuk prosentase maka perlu adanya perhitungan yang berbeda, misal : Harga perolehan Rp 100.000,- dan keuntungan disepakati 20%, maka nilai jualnya Rp 120.000,-. Tetapi setelah akad, Bank mendapatkan diskon Rp 10.000 dari supplier dan diskon tersebut sudah diatur dalam akad. - jika diskon tersebut menjadi hak penjual 100% maka tidak ada masalah - jika diskon tersebut menjadi hak Nasabah 100%, maka cara menghitungnya : Biaya perolehan : Rp 100.000 Rp 10.000 = Rp 90.000 Keuntungan : Rp 90.000 x 20% = Rp 18.000 Nilai jual : Rp 90.000 + Rp 18.000 = Rp 108.000 Selisih nilai jual sebelum didiskon dengan nilai jual setelah didiskon adalah Rp 120.000 Rp 108.000 = Rp 12.000 Berarti diskon yang didapat oleh Nasabah yaitu Rp 12.000. Diskon Rp 12.000 tersebut berasal dari supplier Rp 10.000 dan mendapatkan tambahan Rp 2.000 yang berasal dari penurunan nilai marjin. - jika diskon dibagi dua sama besar untuk Nasabah dan pembeli, maka: Biaya perolehan : Rp 100.000 (Rp 10.000 x 50%) = Rp 95.000 Keuntungan : Rp 95.000 x 20% = Rp 19.000 Nilai jual : Rp 95.000 + Rp 19.000 = Rp 114.000 Selisih nilai jual sebelum dan setelah didiskon = Rp 120.000 Rp 114.000 = Rp 6.000 Diskon Rp 6.000 tersebut berasal dari supplier Rp 5.000 karena dibagi dua dengan penjual dan mendapatkan tambahan Rp 1.000 dari penurunan nilai marjin. Cara penghitung seperti ini tidak ada dalam fatwa maupun PSAK no. 102. Sebaiknya diberi tambahan dalam menghitung diskon dalam seperti ini. Namun jika dilihat dari pernyataan dalam PSAK no. 102 mengenai diskon ini sudah sesuai dengan fatwa DSN. Walaupun demikian, baik FATWA MUI maupun PSAK semuanya keluar dari konsep murabahah murni. Sesuai dengan pengertian Murabahah, maka seharusnya diskon dalam bentuk apapun juga dan kapanpun juga adalah milik Nasabah, karena diskon mengurangi harga perolehan. Murabahah menuntut transparansi harga perolehan dan negosiasi yang terjadi adalah atas besaran marjin, bukan harga jual. Sanksi Murabahah Fatwa MUI 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada Nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran sengaja. 2. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 160 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta zir, yaitu bertujuan agar Nasabah lebih disiplin dalam melaksankan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 6. Dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial. 15. Jika pembeli tidak dapat menyelesaikan piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, maka penjual dapat mengenakan denda kepada pembeli kecuali jika dapat dibuktikan bahwa pembeli tidak atau belum mampu melunasi disebabkan oleh force majeur. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta zir yaitu membuat pembeli lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana berasal dari denda diperuntukan sebagai dana kebajikan. 29. Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan kewajibannya sesuai dengan akad dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan Dalam pernyataan Fatwa DSN dan PSAK no. 102 dijelaskan bahwa denda akan diberikan untuk Nasabah yang menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. Denda tersebut harus diperjanjikan dalam akad karena jika tidak diperjanjikan dalam akad maka akan mengandung gharar. Dilihat dari pernyataan di atas, antara PSAK no. 102 dengan Fatwa sudah sesuai. Potongan Pelunasan Murabahah Fatwa MUI 1. Jika Nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad. 2. Besar potongan sebagaimana dimaksudkan di atas diserahkan pada kebijakan dan dipertimbangkan LKS 16. Penjual boleh memberikan potongan pada saat pelunasan piutang murabahah jika pembeli : a. Melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu. b. Melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati. 26. Potongan pelunasan piutang murabahah yang memberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah. 27. Pemberian potongan pelunasan piutang murabahah dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu metode berikut : a. Diberikan pada saat pelunasan yaitu penjual mengurangi piutang murabahah dan keuntungan murabahah. b. Diberikan setelah pelunasan, yaitu penjual menerima pelunasan piutang dari pembeli dan kemudian membayarkan potongan pelunasannya kepada pembeli. PSAK no. 16, 26, dan 27 hanya menjelaskan bahwa potongan boleh atau dapat diberikan kepada Nasabah untuk pembayaran tepat waktu atau pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati; namun syarat tidak diperjanjikan dalam akad seperti yang Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 161

dimaksudkan dalam fatwa MUI tidak dimuat. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam praktek atau implemetasi murabahah di dunia nyata. MUI sama sekali tidak menghendaki adanya 'iming-iming' atau penawaran akan adanya potongan bila memenuhi persyaratan tertentu. Oleh karena itu, dilihat dari pernyataan di atas, bahwa PSAK no. 102 dalam masalah potongan pelunasan untuk murabahah kurang sesuai dengan Fatwa DSN maka perlu adanya perbaikan untuk PSAK no. 102 dalam masalah potongan pelunasan. Potongan Tagihan Fatwa MUI 1. LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada Nasabah dalam transaksi murabahah, yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan Nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. 2. Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan LKS. 3. Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad. 17. Penjual boleh memberikan potongan dari total piutang murabahah yang belum dilunasi jika pembeli: a. Melakukan pembayaran cicilan tepat waktu. b. Mengalami penurunan kemampuan pembayaran. 28. Potongan angsuran murabahah diakui sebagai berikut : a. Jika disebabkan oleh pembeli yang membayar secara tepat waktu, maka diakui sebagai pengurang keuntungan murabahah. b. Jika disebabkan oleh penurunan kemampuan pembayaran pembeli, maka diakui sebagai beban. Dalam pernyaatan PSAK no. 17 dan 28 tidak dijelaskan bahwa potongan boleh atau dapat diberikan kepada Nasabah untuk pembayaran cicilan tepat waktu atau mengalami penurunan kemampuan pembayaran namun dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad padahal di dalam fatwa DSN dijelaskan. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam praktek atau implemetasi murabahah di dunia nyata. Oleh karena itu, dilihat dari pernyataan di atas, bahwa PSAK no. 102 dalam masalah potongan untuk piutang murabahah yang belum dilunasi kurang sesuai dengan Fatwa DSN maka perlu adanya perbaikan untuk PSAK no. 102 tersebut dalam masalah potongan untuk piutang murabahah yang belum dilunasi. SIMPULAN Dari hasil analisis isi dari PSAK no. 102 sebagian besar sudah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI. Terdapat beberapa pernyataan dalam PSAK no. 102 yang kurang sesuai dengan Fatwa DSN-MUI yaitu tentang masalah Jaminan, Potongan pelunasan untuk murabahah dan Potongan untuk piutang murabahah akibat penurunan kemampuan pembayaran. Beberapa pernyataan baik dari fatwa maupun PSAK no. 102 yang kurang lengkap dan penjelasannya terlalu luas, misalnya seperti penentuan diskon setelah akad dan diatur dalam perjanjian namun penghitungan keuntungannya dalam bentuk prosentase. 162 Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013

DAFTAR PUSTAKA Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. IAI. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 102 Murabahah. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia. Majelis Ulama Indonesia. 2005. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Jakarta: MUI- DSN Muhammad, Rifqi. 2008. Akuntansi Keuangan Syariah konsep dan implementasi PSAK Syariah. Yogyakarta: P3EI Press. Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. Nurfajri Budi Nugroho. 2005. Studi PSAK PerBankan Syariah : Telaah atas Kesuaiannya dengan Prinsip dan Nilai Syariah, Skripsi Program S1 Akuntansi UII. M. Nur Hidayat. 2009. Penerapan Sistem Akuntansi Keungan Syariah dalam Pembiayaan Murabahah berdasarkan PSAK no.102 Pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Tegal, Skripsi Program S1 Ilmu Agama Islam UII. http://bi.go.id/web/id/statistik/statistik+perbank an/statistik+perbank an +syariah/sps_ 0810 http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi syariah/akad_akad dalam Bank Syariah.pdf http://ratihsukma.blogspot.com/2010/02/pengadopsian-ifrs-ke-indonesia.html http://www.scribd.com/doc/35201984/perbank AN-SYARIAH http:/sharianomics.wordpress.com/2010/12/12/sejarah-psak-entitas-syariah Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. VII, No. 2, Juni 2013 163