BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. yang efektif dalam menangani sejumlah masalah berkaitan dengan stabilitas dan. pertumbuhan ekonomi di dalam suatu negara demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Halim Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Juli (2010:1) yang menyatakan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bawono, 2008:1). Namun seiring dengan diterapkannya otonomi daerah mengakibatkan ketidakstabilan kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota utamanya dalam hal keuangannya karena kinerja keuangan menjadi tolak ukur kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota (Bawono, 2008:1). Hal ini memang menjadi konsekuensi logis daerah otonom yakni pemerintah daerah harus lebih mandiri dari segala hal 1

2 termasuk dari segi keuangan. Landasan yuridis yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah telah diperbaharui sebanyak 2 kali. Pada awal diberlakukannya landasan yuridis yang mengatur adalah berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal. Dan kini seiring dengan semakin berkembangnya otonomi daerah, UU tersebut telah diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintah Derah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan yang begitu luas bagi daerah. Hal ini di satu sisi merupakan berkat, namun disisi lain sekaligus merupakan beban yang pada saatnya nanti akan menuntut kesiapan daerah untuk dapat melaksanakannya. Dengan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka beberapa aspek harus dipersiapkan, antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana, serta organisasi dan manajemennya (Priyo Hari Adi, 2006:1). Kemampuan daerah dalam mengolah sumber daya yang dimiliki dapat dijadikan sebagai sumber kekayaan bagi daerah. Pengelolaan daerah dapat menciptakan lapangan kerja baru dan dapat merangsang perkembangan kegiatan ekonomi, dan dapat menambah pendapatan bagi daerah. Daerah otonom dapat memiliki pendapatan yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangganya secara efektif dan efisien dengan memberikan pelayanan dan pembangunan. Tujuan pemberian otonomi daerah tidak lain adalah untuk lebih

3 meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah (Maimunah, 2006). Visi otonomi dari sudut pandang ekonomi mempunyai tujuan akhir untuk membawa masyarakat ketingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya, pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja terhadap kebijakan otonominya. Hal ini tidak hanya terlihat dalam konteks kerangka hubungan politis dan wewenang daerah, namun juga terlihat dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah (Priyo Hari Adi, 2006:1). Pada akhirnya pemerintah akan melakukan transfer dana. Transfer dana ini berupa dana perimbangan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah, pemerintah pusat mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Selain dari dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Otonomi daerah harus disadari sebagai suatu transformasi paradigma

4 dalam penyelenggaran pembangunan dan pemerintahan di daerah, dimana Pemerintah Daerah memiliki otonomi yang lebih luas untuk mengelola sumbersumber ekonomi daerah secara mandiri dan bertanggung jawab yang hasilnya diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Transformasi paradigma dalam hal ini terletak pada aspek akuntabilitas Pemerintah Daerah dalam rangka mengelalola sumber-sumber ekonomi yang semula bersifat akuntabilitas vertikal (kepada Pemerintah) menjadi akuntabilitas horizontal (kepada masyarakat di daerah) (Mardiasmo, 2005:3). Tujuan otonomi adalah lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. (Priyo Hari Adi, 2006:1). Pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diartikan sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PP No.24 Tahun 2005). Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 dalam, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Laporan Realisasi APBD dapat kita lihat gambaran dari belanja daerah dari masing-masing Kabupaten dan Kota yang diteliti. Pada tabel 1.1 berikut ini disajikan data pertumbuhan belanja daerah Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat.

5 Tabel 1.1 Data Pertumbuhan Belanja Daerah di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat (dalam ribu rupiah) Belanja Daerah % No. Nama Kab/Kota (Rp) 2012 2013 Pertumbuhan 1 Kabupaten Bogor 3.674.001.336 4.914.826.646 33,77% 2 Kabupaten Sukabumi 1.999.104.665 1.983.747.611-0,76% 3 Kabupaten Cianjur 1.973.180.986 2.181.991.019 10,58% 4 Kabupaten Bandung 2.850.023.254 2.803.353.394-1,63% 5 Kabupaten Garut 2.131.967.233 2.737.448.438 28,4% 6 Kabupaten Tasikmalaya 1.829.410.194 1.589.896.585-13,09% 7 Kabupaten Ciamis 1.839.000.682 1.738.361.477-5,47% 8 Kabupaten Kuningan 1.434.011.695 1.624.481.863 13,28% 9 Kabupaten Cirebon 2.033.136.939 2.289.934.719 12,63% 10 Kabupaten Majalengka 1.525.924.588 1.766.186.512 15,74% 11 Kabupaten Sumedang 1.467.551.208 1.643.664.109 12% 12 Kabupaten Indramayu 1.843.450.693 2.090.849.042 13,42% 13 Kabupaten Subang 1.481.609.293 1.547.392.028 4,43% 14 Kabupaten Purwakarta 1.138.170.000 1.408.664.932 23,76% 15 Kabupaten Karawang 2.416.221.776 2.778.186.807 14,98% 16 Kabupaten Bekasi 2.639.023.961 3.083.568.048 16,84% 17 Kab. Bandung Barat 1.501.192.558 1.436.967.507-4,27% 18 Kota Bogor 1.355.492.925 1.542.058.104 13,76% 19 Kota Sukabumi 674.879.856 842.203.912 24,79% 20 Kota Bandung 3.490.035.513 4.555.422.014 30,52% 21 Kota Cirebon 813.671.540 938.786.343 17,37% 22 Kota Bekasi 2.499.559.814 3.026.035.751 21,06% 23 Kota Depok 1.371.444.185 1.817.100.741 32,49% 24 Kota Cimahi 833.552.564 1.027.590.600 23,37% 25 Kota Tasikmalaya 1.035.009.274 1.094.070.203 5,7% 26 Kota Banjar 513.257.046 570.635.296 11,17% TOTAL 46.363.883.778 53.033.423.701 14,38% Sumber: Data BPS Provinsi Jawa Barat Pada tabel 1.1 di atas dapat dilihat bagaimana gambaran pertumbuhan belanja daerah dari masing-masing Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat. Nilai rata-rata pertumbuhan belanja daerah untuk Kabupaten dan Kota di Jawa Barat menunjukkan angka 12%. Untuk nilai tertinggi pertumbuhan belanja daerah

6 dicapai atau dilakukan oleh Kabupaten Bogor yang mencapai nilai 33,77 %. sedangkan nilai belanja daerah terendah yaitu -13,09% dilakukan oleh Kabupaten Tasikmalaya. Nilai pertumbuhan yang tidak merata menunjukkan bahwa kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerahnya pun tidak merata, sebagian daerah menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan sebagian lagi menunjukkan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah. Perbedaan yang signifikan dari pertumbuhan belanja daerah untuk Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Barat menunjukkan telah terjadi kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah yang pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan kesejahteraan antar daerah. Di sisi lain, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam kebijakan otonomi daerah disambut baik, karena terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Salah satu harapan dari kebijakan tersebut adalah daerah diberi kesempatan untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan sumberdaya, kebijakan demikian akan memberatkan. Daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya dalam hal sumber keuangan atau dana yang melimpah akan mengalami kesulitan dalam membiayai belanja daerahnya (Askam Tuasikal, 2008). Hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena setiap masyarakat

7 memiliki hak yang sama untuk hidup sejahtera. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap pemerintah daerah untuk mengoptimalkan penerimaannya dari sektor pendapatan asli daerah disamping dari bantuan pemerintah pusat berupa dana alokasi umum dan dana alokasi khusus agar mampu membiayai pengeluaran daerahnya untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar-pemerintahan dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah dengan adanya transfer dana ini bagi Pemda merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri (Halim, 2008). Yustikasari (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dana alokasi umum dengan belanja. Jumlah belanja daerah dipengaruhi oleh dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat. Dengan menemukan bahwa besarnya belanja modal sangat ditentukan oleh faktor dana alokasi umum (Adi, 2006). Akan tetapi dengan melihat fenomena umum yang terjadi, sepertinya alokasi belanja daerah belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengelolaan belanja daerah belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata. Halim dan Abdullah (2007:18) menyatakan bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di

8 masyarakat. Padahal menurut UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa: Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. Tabel 1.2 Data Realisasi Dana Alokasi Umum dan Belanja Daerah di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat (dalam milyar rupiah) No. Nama Kab/Kota Dana Alokasi Umum (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun Belanja Daerah (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun 1 Kabupaten Bogor 1.672 1.887 Naik 3.674 4.914 Naik 2 Kabupaten Sukabumi 1.193 1.331 Naik 1.999 1.983 Turun 3 Kabupaten Cianjur 1.168 1.305 Naik 1.973 2.181 Naik 4 Kabupaten Bandung 1.518 1.730 Naik 2.850 2.803 Turun 5 Kabupaten Garut 1.385 1.563 Naik 2.131 2.737 Naik 6 Kabupaten Tasikmalaya 1.083 1.225 Naik 1.829 1.589 Turun 7 Kabupaten Ciamis 1.165 1.303 Naik 1.839 1.738 Turun 8 Kabupaten Kuningan 892 998 Naik 1.434 1.624 Naik 9 Kabupaten Cirebon 1.135 1.280 Naik 2.033 2.289 Naik 10 Kabupaten Majalengka 1.029 995 Turun 1.525 1.766 Naik 11 Kabupaten Sumedang 923 1.036 Naik 1.467 1.643 Naik 12 Kabupaten Indramayu 1.017 1.134 Naik 1.843 2.090 Naik 13 Kabupaten Subang 917 1.032 Naik 1.481 1.547 Naik 14 Kabupaten Purwakarta 635 772 Naik 1.138 1.408 Naik 15 Kabupaten Karawang 1.004 1.134 Naik 2.416 2.778 Naik 16 Kabupaten Bekasi 962 1.083 Naik 2.639 3.083 Naik 17 Kab. Bandung Barat 804 909 Naik 1.501 1.436 Turun 18 Kota Bogor 603 686 Naik 1.355 1.542 Naik 19 Kota Sukabumi 401 449 Naik 674 842 Naik 20 Kota Bandung 1.323 1.485 Naik 3.490 4.555 Naik 21 Kota Cirebon 551 536 Turun 813 938 Naik 22 Kota Bekasi 935 1.051 Naik 2.499 3.026 Naik 23 Kota Depok 674 774 Naik 1.371 1.817 Naik 24 Kota Cimahi 440 489 Naik 833 1.027 Naik 25 Kota Tasikmalaya 582 657 Naik 1.035 1.094 Naik 26 Kota Banjar 281 317 Naik 513 570 Naik TOTAL 24.304 27.124 46.363 53.033 Sumber: Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

9 Berdasarkan Tabel 1.2 Realisasi Dana Alokasi Umum dan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dan 2013 di atas terdapat beberapa fenomena diantaranya terjadi peningkatan dana alokasi umum namun tidak di ikuti oleh belanja daerah yang mana mengalami penurunan hal ini terjadi di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung Barat. Sedangkan, terdapat juga fenomena penurunan dana alokasi umum tetapi belanja daerah malah mengalami peningkatan yang cukup besar hal ini dapat dilihat pada Kabupaten Majalengka dan Kota Cirebon. Hal ini dapat dilihat bahwa terdapat permasalahan pada pemerintah daerah yang mana adanya penurunan dana alokasi umum tetapi malah mengalami peningkatan belanja daerah yang cukup besar. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dana alokasi umum sebagaimana mestinya yaitu pemeratan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Tabel 1.3 Data Realisasi Dana Alokasi Khusus dan Belanja Daerah di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat (dalam milyar rupiah) No. Nama Kab/Kota Dana Alokasi Khusus (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun Belanja Daerah (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun 1 Kabupaten Bogor 158 216 Naik 3.674 4.914 Naik 2 Kabupaten Sukabumi 128 164 Naik 1.999 1.983 Turun 3 Kabupaten Cianjur 148 97 Turun 1.973 2.181 Naik 4 Kabupaten Bandung 167 159 Turun 2.850 2.803 Turun 5 Kabupaten Garut 142 179 Naik 2.131 2.737 Naik 6 Kabupaten Tasikmalaya 106 98 Turun 1.829 1.589 Turun 7 Kabupaten Ciamis 89 95 Naik 1.839 1.738 Turun

10 8 Kabupaten Kuningan 68 62 Turun 1.434 1.624 Naik 9 Kabupaten Cirebon 86 97 Naik 2.033 2.289 Naik 10 Kabupaten Majalengka 129 72 Turun 1.525 1.766 Naik 11 Kabupaten Sumedang 77 81 Naik 1.467 1.643 Naik 12 Kabupaten Indramayu 97 74 Turun 1.843 2.090 Naik 13 Kabupaten Subang 57 59 Turun 1.481 1.547 Naik 14 Kabupaten Purwakarta 44 56 Naik 1.138 1.408 Naik 15 Kabupaten Karawang 76 105 Naik 2.416 2.778 Naik 16 Kabupaten Bekasi 43 0 Turun 2.639 3.083 Naik 17 Kab. Bandung Barat 72 64 Turun 1.501 1.436 Turun 18 Kota Bogor 15 26 Naik 1.355 1.542 Naik 19 Kota Sukabumi 18 28 Naik 674 842 Naik 20 Kota Bandung 37 67 Naik 3.490 4.555 Naik 21 Kota Cirebon 20 28 Naik 813 938 Naik 22 Kota Bekasi 24 36 Naik 2.499 3.026 Naik 23 Kota Depok 52 0 Turun 1.371 1.817 Naik 24 Kota Cimahi 29 25 Turun 833 1.027 Naik 25 Kota Tasikmalaya 30 36 Naik 1.035 1.094 Naik 26 Kota Banjar 16 21 Naik 513 570 Naik TOTAL 1.935 1.956 46.363 53.033 Sumber: Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Tabel 1.2 Realisasi Dana Alokasi Khusus dan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dan 2013 di atas terdapat fenomena yang terjadi yaitu adanya peningkatan dana alokasi khusus tetapi tidak diikuti oleh belanja daerah yang malah mengalami penurunan diantaranya terjadi di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Ciamis yang mengalami penurunan belanja daerah. Sedangkan, terdapat juga fenomena penurunan dana alokasi khusus tetapi belanja daerah malah mengalami peningkatan yang cukup besar hal ini dapat dilihat di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bekasi, dan KotaDepok. Hal ini menunjukkan pengalokasian dana alokasi umum tidak merata dalam mendanai kegiatan khusus tiap pemerintah daerahnya (Mulyadi, 2010).

11 Tabel 1.4 Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat (dalam milyar rupiah) No. Nama Kab/Kota Pendapatan Asli Daerah (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun Belanja Daerah (Rp) 2012 2013 Naik/ Turun 1 Kabupaten Bogor 1.068 1.063 Turun 3.674 4.914 Naik 2 Kabupaten Sukabumi 185 218 Naik 1.999 1.983 Turun 3 Kabupaten Cianjur 215 204 Turun 1.973 2.181 Naik 4 Kabupaten Bandung 366 368 Naik 2.850 2.803 Turun 5 Kabupaten Garut 184 166 Turun 2.131 2.737 Naik 6 Kabupaten Tasikmalaya 60 70 Naik 1.829 1.589 Turun 7 Kabupaten Ciamis 87 90 Naik 1.839 1.738 Turun 8 Kabupaten Kuningan 97 109 Naik 1.434 1.624 Naik 9 Kabupaten Cirebon 229 240 Naik 2.033 2.289 Naik 10 Kabupaten Majalengka 103 125 Naik 1.525 1.766 Naik 11 Kabupaten Sumedang 161 144 Turun 1.467 1.643 Naik 12 Kabupaten Indramayu 164 144 Turun 1.843 2.090 Naik 13 Kabupaten Subang 120 119 Turun 1.481 1.547 Naik 14 Kabupaten Purwakarta 151 199 Naik 1.138 1.408 Naik 15 Kabupaten Karawang 658 478 Turun 2.416 2.778 Naik 16 Kabupaten Bekasi 801 913 Naik 2.639 3.083 Naik 17 Kab. Bandung Barat 136 169 Naik 1.501 1.436 Turun 18 Kota Bogor 252 315 Naik 1.355 1.542 Naik 19 Kota Sukabumi 148 143 Turun 674 842 Naik 20 Kota Bandung 1.005 1.344 Naik 3.490 4.555 Naik 21 Kota Cirebon 149 174 Naik 813 938 Naik 22 Kota Bekasi 730 871 Naik 2.499 3.026 Naik 23 Kota Depok 474 458 Turun 1.371 1.817 Naik 24 Kota Cimahi 144 155 Naik 833 1.027 Naik 25 Kota Tasikmalaya 153 139 Turun 1.035 1.094 Naik 26 Kota Banjar 54 55 Naik 513 570 Naik TOTAL 7.909 8.485 46.363 53.033 Sumber: Data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Tabel 1.4 Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah di Kota dan Kabupaten Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dan 2013 di atas terdapat beberapa fenomena diantaranya terjadi peningkatan pendapatan asli

12 daerah namun tidak di ikuti oleh belanja daerah yang mana mengalami penurunan hal ini terjadi di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bandung Barat. Sedangkan, terdapat juga fenomena penurunan pendapatan asli daerah tetapi belanja daerah malah mengalami peningkatan yang cukup besar hal ini dapat dilihat di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kota Sukabumi, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya. Menurut Anggiat (2009:4) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan asli daerah yang tidak diikuti dengan peningkatan belanja daerah menyebabkan adanya kesenjangan fiskal antar daerah sehingga adanya perbedaan kesiapan daerah dalam memasuki era otonomi daerah. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prakosa (2004) yang meneliti di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil penelitian tersebut, menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Nugraeni (2011) di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Hasil membuktikan bahwa Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah merupakan faktor yang signifikan untuk prediksi Anggaran Belanja Daerah pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengambil judul Pengaruh Dana Alokasi Umum (Dana Alokasi Umum), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan

13 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat) 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat? 2. Bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat? 3. Bagaimana Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat? 4. Bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah, baik secara parsial maupun secara simultan, terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2013? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data, mempelajari, menganalisis, serta menyimpulkan mengenai pengaruh Dana Alokasi Umum (Dana Alokasi Umum), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik secara parsial maupun simultan terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat.

14 1.3.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. 2. Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. 3. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. 4. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah, baik secara parsial maupun secara simultan, terhadap Belanja Daerah pada tahun 2011-2013 di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas pengetahuan akuntansi sektor publik mengenai pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat, khususnya mengenai pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah.

15 1.4.2 Kegunaan Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah selaku pengelola keuangan daerah, dalam menentukan Belanja Daerah di masa yang akan datang yang disesuaikan dengan Dana Alokaksi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan yang diterima daerah sehingga Pemerintah Daerah dapat lebih efektif dan efisien dalam mengalokasikan belanjanya dan pelayanan kepada masyarakat pun dapat ditingkatkan.