BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium

Tingginya prevalensi kusta di Kabupaten Blora juga didukung oleh angka penemuan kasus baru yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sampai dengan

PROFIL PENDERITA MORBUS HANSEN (MH) DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI DESEMBER 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang

NASKAH PUBLIKASI KEJADIAN REAKSI KUSTA DI PUSKESMAS KOTA PONTIANAK PERIODE

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN KECACATAN PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. kusta maupun cacat yang ditimbulkannya. kusta disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium leprae, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH

Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYAKIT KUSTA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Sebenarnya kusta bila ditemukan dalam stadium dini

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

Studi Retrospektif: Reaksi Kusta Tipe 1. (Retrospective Study: Type 1 Leprosy Reaction)

Profil Program P2 Kusta Dinkes Kayong Utara

NASKAH PUBLIKASI GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN LEPRA MULTIBASILAR YANG MENGALAMI REAKSI LEPRA DI RUMAH SAKIT KHUSUS ALVERNO SINGKAWANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Predileksi awal penyakit

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

Klasifikasi penyakit kusta

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

Penderita Kusta Anak Baru sebagai Tolok Ukur Derajat Endemisitas Penyakit Kusta


BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO TINGKAT KECACATAN PADA PENDERITA KUSTA DI PUSKESMAS PADAS KABUPATEN NGAWI

BAB I PENDAHULUAN. sementara penyakit menular lain belum dapat dikendalikan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadiannya yang masih tinggi (World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman kusta Mycobacterium leprae (M. leprae) yang dapat menyerang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat (Kemenkes, 2012).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak lepas terkait dengan status gizi ataupun kesehatan setiap. individu. Indikator yang digunakan salah satunya adalah Indeks

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Penyakit kusta (morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi kronis menahun

Indikator monitoring dan evaluasi program pengendalian kusta :

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Para penderita kusta akan cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. kusta (Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya

-Faktor penyebab penyakit kusta. -Tanda dan gejala penyakit kusta. -Cara penularan penyakit kusta. -Cara mengobati penyakit kusta

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab. yang penting di dunia sehingga pada tahun 1992 World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun. Begitu pula menurut Smith (1994) yang menyatakan bahwa di Nepal dan secara umum di

BAB 1 PENDAHULUAN. bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia


BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

Jumlah Penderita Baru Di Asean Tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan infeksi kronis granulomatous yang mengenai kulit, syaraf tepi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)


BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan

Profil Pasien Kusta Baru pada Anak. (Profil of New Leprosy in Childhood )

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT KUSTA DI KOTA MAKASSAR. Risk Factors of Disease Leprosy in Makassar

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Tuberculosis menyebabkan 5000 kematian perhari atau hampir 2 juta

BAB I PENDAHULUAN. penyakit di seluruh dunia, setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). negatif dan 0,3 juta TB-HIV Positif) (WHO, 2013)

BAB 1 PENDAHULUAN. TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan

KARAKTERISTIK PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS TUMINTING MANADO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bakteri Mycobacterium Tuberculosis atau tubercel bacillus dan dapat

Volume VI Nomor 3, Agustus 2016 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA


Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) terutama menyerang kulit dan saraf tepi. Penularan dapat terjadi dengan cara kontak yang erat dan lama dengan penderita. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatosa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka (Haymen, 2008). Penyakit kusta banyak ditemukan di negara-negara berkembang yang pada umumnya masih mengalami keterbatasan dalam memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Jumlah penemuan penderita kusta baru didunia sampai tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus. Jumlah tersebut tersebar di Asia Tenggara 71%, Amerika 16%, Afrika 9%, Mediterania 2% dan Pasifik Barat 2%. Indonesia merupakan penyumbang penderita kusta terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Jumlah penderita baru yang dilaporkan dari beberapa negara dalam lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, sedangkan di Indonesia cenderung tetap. Penderita kusta baru yang ditemukan di Indonesia tahun 2012 berjumlah 18.994 penderita, kasus baru tipe MB 15.703 (82,67%), kasus baru pada anak 2.191 (11,54%), kasus baru dengan cacat tingkat 2 sebesar 2.131 (11,22%), kasus kambuh 194 (1%) (WHO, 2013). Provinsi Jawa Timur merupakan daerah dengan jumlah penderita kusta terbanyak di Indonesia. Rata-rata penemuan penderita kusta per tahun antara 4.000-5.000 kasus. Penyebaran penderita kusta meliputi pantai utara Jawa dan Madura. Empat puluh dua persen wilayah (16 kabupaten) memiliki angka prevalensi di atas 1/10.000 penduduk. Pelaksanaan program pemberantasan kusta yang telah dicapai selama itu adalah penurunan secara signifikan pada angka kesakitan (prevalence rate) 1

2 dari 9,51 per 10.000 penduduk pada tahun 1989 menjadi 1,46 per 10.000 penduduk pada tahun 2012. Disisi lain beberapa permasalahan yang masih ditemukan adalah angka penemuan penderita baru (Case Detection Rate) tidak ada penurunan yang berarti, tingginya proporsi cacat kusta dan tingginya proporsi penderita usia anak (Profil Kesehatan Jatim, 2013). Gambaran lengkap pelaksanaan program kusta di Jawa Timur adalah sebagai berikut: Tabel 1. Pencapaian Program Pemberantasan Penyakit Kusta Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2012 No Indikator Target Pencapaian Program Nasional 2009 2010 2011 2012 1 Prevalence Rate < 1/10.000 1,69 1,48 1,63 1,46 2 Case Detection Rate < 0,5/10.000 1,60 1,25 1,39 1,26 3 Proporsi anak (< 14 th) 5% 12% 11% 10% 9% 4 Proporsi Cacat II 5% 11% 13% 13% 14% 5 Proporsi MB - 84% 85% 85% 86% 6 Released From Treatment Rate a. PB b.mb 95% 90% Sumber: Profil Kesehatan Jatim, 2013 95% 91% 93% 90% 97% 90% 93% 89% Rumah Sakit Kusta Kediri (RSK Kediri) merupakan salah satu rumah sakit rujukan kusta di Jawa Timur. Jangkauan pelayanan terutama pada daerah Jawa Timur bagian barat. Rata-rata kunjungan kasus baru setiap tahun sekitar 1.160, sedangkan kunjungan kasus lama sekitar 3.500. Kasus kusta yang paling banyak dilayani adalah reaksi kusta (41,04%) (Profil RSK Kediri, 2012). Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari s/d Juni 2013 di didapatkan 88 penderita baru dimana sekitar 44% (39 pasien) mengalami kecacatan dan 34% (30 pasien) mengalami reaksi kusta. Hasil survei yang dilaksanakan di lima kota di Indonesia menyebutkan bahwa penderita cacat kusta 60% mengalami keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari, 35,5% mengalami permasalahan sosial dan stigma. Dampak lebih lanjut dari kecacatan adalah munculnya stigma negatif terhadap penderita kusta. Permasalahan

3 pokok terkait masalah stigma adalah perasaan malu dan kebingungan dalam mencari pendamping hidup dan sulitnya mendapat pekerjaan (Van Brakel et al., 2012). Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan baik seluler maupun humoral yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Terdapat 2 tipe reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 atau reversal reaction (RR) dan tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler terhadap kuman kusta dikulit dan saraf, yang dapat terjadi pada penderita kusta tipe Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB). Reaksi tipe 2 merupakan reaksi humoral dimana basil kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen yang terjadi pada penderita tipe MB (Mansjoer et al., 2000). Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama selama pengobatan dan setelah pengobatan (Lockwood et al., 2012). Reaksi merupakan penyebab pokok kerusakan saraf serta kecacatan, terjadi pada sekitar sepertiga penderita kusta (Dogra et al., 2013). Studi kohort yang dilakukan Sousa, et al., (2012) memperkirakan bahwa kecacatan yang disebabkan oleh penyakit kusta berkisar antara 16% s/d 56% utamanya karena reaksi kusta. Penderita kusta yang mengalami kejadian reaksi tipe 1 mempunyai risiko 54,33 kali lebih besar untuk mengalami kecacatan sedangkan reaksi tipe 2 memiliki risiko 20,67 kali dibandingkan mereka yang tidak pernah mengalami kejadian reaksi setelah dikontrol variabel pekerjaan dan tipe kusta (Widarsih et al., 2013). Diagnosis kasus sejak dini dan penanganan reaksi merupakan hal yang sangat pokok dalam pencegahan terjadinya kecacatan kusta (Sales et al., 2013). Penanganan yang tepat terhadap reaksi kusta, diagnosis kasus sejak dini, identifikasi pasien kusta yang mempunyai risiko munculnya komplikasi serta ketepatan waktu penanganan kasus merupakan tahapan yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan kusta (WHO, 2010). Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa jenis kelamin, umur pada saat diagnosis kusta, tipe kusta serta jumlah bercak mati rasa merupakan

4 faktor risiko terjadinya reaksi kusta. Hubungan jenis kelamin dengan reaksi kusta menunjukkan hasil yang berbeda. Sebagian menyebutkan jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko reaksi kusta (Nery et al., 1998, Rangue et al., 2006) sedangkan penelitian lain menyatakan jenis kelamin sebagai faktor risiko reaksi kusta (Kumar et al., 2004, Antunes et al., 2013). Kejadian infeksi penyakit, trauma, stres mental, vaksinasi, hamil dan melahirkan merupakan pencetus kejadian reaksi kusta. Perbedaan intensitas paparan merupakan kondisi yang mendasari terjadinya perbedaan besarnya risiko kejadian reaksi. Peningkatan usia akan diikuti dengan potensi untuk mengalami infeksi. Peningkatan usia merupakan faktor risiko reaksi kusta (Sousa et al., 2007). Penderita yang berumur lebih dari 15 tahun pada saat diagnosis kusta mempunyai risiko untuk terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berumur kurang dari 15 tahun. Keadaan ini dipengaruhi oleh sistem imun anak dimana sel T helper 2 (Th2) diduga mampu mengatasi terjadinya reaksi kusta (Rangue et al., 2007). Prevalensi kejadian reaksi kusta tipe I sebesar 8,09% sedangkan tipe 2 sebesar 4,70%. Kejadian reaksi tipe 1 lebih banyak dijumpai pada penderita dengan tipe Borderline (BB) diikuti tipe Borderline lepromatosa (BL), Borderline tuberkuloid (BT) dan Lepromatosa (LL) ( Sharma et al., 2004). Mayoritas reaksi kusta (80,5%) terjadi pada penderita dengan jenis kusta MB. Risiko kejadian reaksi pada pasien kusta MB lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kusta yang lain (Antunes et al., 2013). Kusta tipe MB merupakan gambaran banyaknya bakteri. Proses pengobatan kusta akan membunuh bakteri sehingga banyaknya bakteri yang mati membawa dampak tingginya paparan antigen. Reaksi terjadi karena peningkatan respon imun seluler maupun humoral (Scolllard et al., 1994). Multidrug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta yang salah satunya terdiri dari Rifampisisn sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Terjadinya proses pembersihan kuman dan peningkatan respon imun merupakan penyebab terjadinya reaksi (Antunes et al., 2013). Semakin lama orang menderita kusta akan berakibat

5 semakin banyak kuman M. leprae yang yang mati atau pecah sehingga memicu timbulnya reaksi kusta. Reaksi tipe 1 umumnya terjadi 6-12 bulan setelah memulai pengobatan MDT, sedangkan rekasi tipe 2 kebanyakan terjadi pada tahun pertama atau kedua setelah memulai pengobatan MDT (Kumar et al., 2004). Reaksi kusta tipe 2 lebih banyak terjadi pada penderita yang mengalami sakit dalam waktu 4 bulan sampai 3 tahun setelah onset kejadian kusta (Schollard et al., 1994). Indek bakteri mengindikasikan kepadatan kuman M. leprae dalam tubuh penderita kusta. Kepadatan bakteri mempunyai hubungan terhadap tingginya paparan antigen (Penna et al., 2008). Indek bakteri merupakan salah satu faktor terhadap kejadian reaksi kusta (Antunes et al., 2013). Reaksi tipe 1 didominasi pasien dengan indek bakteri < 3 sedangkan reaksi tipe 2 didominasi pasien dengan indek bakteri > 3 (Nery et al., 1998). Berdasarkan kondisi diatas peneliti ingin mengetahui faktor risiko reaksi kusta di RSK Kediri dengan harapan dapat membantu memberikan informasi untuk pencegahan kecacatan kusta. B. Perumusan Masalah Apakah umur pada saat diagnosis, jenis kelamin, tipe kusta, lama pengobatan dan indek bakteri merupakan faktor risiko kejadian reaksi kusta? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian reaksi kusta di RSK Kediri

6 2. Tujuan khusus a. Mengetahui besarnya risiko umur pada saat diagnosis terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. b. Mengetahui besarnya risiko jenis kelamin terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. c. Mengetahui besarnya risiko tipe kusta terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. d. Mengetahui besarnya risiko lama pengobatan terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. e. Mengetahui besarnya risiko indek bakteri terhadap kejadian reaksi kusta di RSK Kediri. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti sebagai sarana untuk mengembangkan ketrampilan dalam pelaksanaan penelitian. 2. Sebagai masukan kepada pengelolaan program kusta di RSK Kediri khususnya dan di Jawa Timur pada umumnya. 3. Sebagai salah satu acuan dan rujukan bagi peneliti yang berminat dalam penelitian yang sama. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian faktor risiko reaksi kusta pernah dilakukan sebelumnya, tetapi berbeda dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kontrol dengan populasi studi penderita kusta terdaftar di RSK Kediri tahun 2009-2014 (hospital based). Persamaan dan perbedaan pada penelitian terdapat pada desain penelitian, variabel penelitian sumber data yang digunakan dan lokasi penelitian.

7 Beberapa penelitian yang pernah dilakukan seperti tabel berikut : Tabel. 2 Penelitian Faktor Risiko Reaksi Kusta No Penulis Judul Perbedaan Hasil 1 2 3 4 5 1 Kumar et al, (2004) Epidemiological Characteristic of Leprosy Reactions: 15 Years Experience from Nort India Desain study: analisis retrospective untuk melihat faktor deterrminan kejadian reaksi Lokasi penelitian: India Jenis kelamin perempuan, beratnya penyakit dan kusta jenis MB merupakan faktor risiko terjadinya reaksi tipe 1. Faktor kejadian reaksi tipe 2 yaitu kusta lepromatosa, jenis kelamin perempuan dan indek bakteri >3. 2 Pocatera et al, (2006) Clinical Course Of Erythema Nodosum Leprosum: an 11- Year Cohort Study In Hyderabad, India Variabel terikat kejadian reaksi tipe 2 Lokasi penelitian: India Kusta jenis Lepromatosa (LL) dan Borderline Lepromatosa dengan indek bakteri > 4+ merupakan faktor risiko reaksi tipe 2 3 Ranque et al, (2006) Age Is Important Risk Factor for Onset and Sequelae of Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy Variabel terikat kejadian reaksi tipe 1 Lokasi penelitian: Vietnam Tipe kusta, indek bakteri, jumlah lesi dan umur saat diagnosa kusta merupakan faktor risiko reaksi tipe 1

8 1 2 3 4 5 4 Prawoto (2008) Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Brebes) Varibael bebas: stres, kelelahan fisik.menstruasi, kehamilan,laktasi, kontrasepsi hormonal, riwayat pengobatan reaksi tidak adekuat. Varibel terikat tidak dibedakan antara reaksi tipe 1 dan 2. Data: dari masyarakat Lokasi penelitian: Brebes Umur saat diagnosa >15 tahun, lama sakit lebih 1 tahun dan kelelahan fisik merupakan faktor risiko reaksi kusta