BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan penyakit paru (Suma mur, 2011). Penurunan fungsi paru

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. teknologi menyebabkan kebutuhan hidup manusia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA WANITA DI RUMAH SAKIT HA. ROTINSULU BANDUNG PERIODE ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB I PENDAHULUAN. Sering juga penyaki-penyakit ini disebut dengan Cronic Obstruktive Lung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari-hari pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular atau NCD (Non-Communicable Disease) yang ditakuti karena

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

Laporan Penyuluhan. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

THE CHARACTERISTICS OF THE CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE PATIENTS AT IMMANUEL HOSPITAL BANDUNG IN 2012

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, kanker,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 5 juta orang mati

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. cerebrovascular disease (CVD) yang membutuhkan pertolongan dan penanganan

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Asia Timur seperti Jepang dan China memiliki kejadian terendah PPOK, dengan

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I. PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. perokok mengalami peningkatan dari tahun ketahunnya (Sari, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi di era globalisasi yang semakin cepat seperti saat ini membawa dampak perubahan terhadap tingkat kesejahteraan di Indonesia. Dampak perubahan tersebut diikuti dengan perubahan pola penyakit yang mengalami transisi epidemiologi, yaitu beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat terlihat pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2000, dimana penyebab kematian tertinggi di antara orang dewasa adalah Kardiovaskuler (Kemenkes RI, 2008). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 5 penyakit paru utama merupakan 17,6 % dari seluruh kematian yang ada di dunia. Infeksi paru 7,4 %, PPOK 4,8 %, tuberkulosis 3 %, kanker paru/trakea/bronkus 2,1 % dan asma 0,3 %. Bank Dunia menyatakan kelima penyakit tersebut merupakan 13,3 % dari seluruh Disability Adjusted Life Years (DALY) (Ditjen P2 & PL, 2008). Penyakit paru obstruktif kronik dan asma merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia dan pasien dengan penyakit ini terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab utama kematian ketiga setelah penyakit jantung iskemik dan stroke dan penyebab utama kecacatan kelima dari semua Disability Adjusted Life Years (DALY) (Musafiri et al., 2011). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 menunjukkan bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. Pada SKRT 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2011). Studi yang dilakukan The Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) di kota-kota negara Brasil, Chile, 1

2 Meksiko, Uruguay dan Venezuela diketahui bahwa di setiap negara, prevalensi PPOK meningkat tajam dengan pertambahan usia, dengan prevalensi tertinggi di antara mereka di atas usia 60 tahun, mulai total dari populasi yang rendah 18,4% di Mexico City, Meksiko sampai tertinggi di Montevideo, Uruguay sebesar 32,1% (GOLD, 2010). Jumlah pasien PPOK derajat sedang hingga berat di Asia tahun 2006 diperkirakan mencapai 56,6 juta pasien dengan prevalensi 6,3%. Angka prevalensi berkisar antara 3,5 6,7%, seperti di China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang sebanyak 5,014 juta jiwa, dan Vietnam sebesar 2,068 juta jiwa (PDPI, 2011). Di negara-negara lain prevalensi PPOK bervariasi dari studi-studi yang telah dilakukan. Studi yang dilakukan Al Zaabi et al. (2011) diketahui prevalensi PPOK di Abu Dhabi adalah 3,7% dan 95% CI (2,0 5,3). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan PPOK pada usia 70 tahun. Berbeda dengan pendapat Kurniawan et al. (2011) yang menyatakan bahwa prevalensi PPOK pada laki-laki sekitar 8,5-22,2% dan perempuan sekitar 5,1-16,7% secara global, sedangkan prevalensi PPOK pada orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun sekitar 9-10%. Meskipun PPOK merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia, namun data prevalensinya sangat terbatas, khususnya di Asia (Kim et al., 2005). Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat dan sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Ditjen P2 & PL, 2008). Menurut PDPI (2011) di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok, karena 90% pasien PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Penelitian pada penduduk di Kota Salzburg Austria yang berusia lebih besar sama dengan 40 tahun diketahui kurang lebih seperempatnya mengalami obstuktif saluran napas ringan (Schirnhofer et al., 2007). Hasil studi berbeda

3 dilakukan Kota Manchester Inggris yang melaporkan 11% orang dewasa berusia di atas 45 tahun mengalami obstruktif saluran napas yang tidak reversible. Studi Nasional di seluruh Inggris melaporkan 10% laki-laki dan 11% perempuan yang berusia 16-65 tahun mengalami obstuktif ringan (Devereux, 2006). Studi lain di Kota Kopenhagen Denmark tahun 1991-1994, di mana sekitar 3700 responden (2200 perempuan dan 1500 laki-laki) dengan usia rata-rata 76 tahun didapatkan bronkitis kronis sebesar 13% pada wanita dan 18,6% pada pria (Thorn et al., 2007). Chronic Obstructive Pulmonary Disease Uncovered memperkirakan pada tahun 2011 penderita PPOK sebanyak 210 juta orang dan kemungkinan setengahnya sudah didiagnosis. Baru-baru ini COPD Uncovered melaporkan temuan dari hasil survei internasional pasien di enam negara (Brasil, Cina, Jerman, Turki, Amerika Serikat, dan Inggris) dengan PPOK berusia 45-67 tahun sebanyak 2.400 orang. Disebutkan bahwa 624 orang harus berhenti bekerja, kerugian penghasilan individu seumur hidup akibat pensiun dini kurang lebih 316.000 dolar, biaya produktivitas tahunan hilang karena pensiun dini kurang lebih 556 juta Euro pertahun, 1.200 orang mengalami penurunan pendapatan, 552 orang menyatakan PPOK mempengaruhi produktivitas kerjanya, dan biaya ekonomi keseluruhan (pemanfaatan pelayanan kesehatan, kehilangan pajak, peningkatan keuntungan negara dan kehilangan produktivitas) sebesar 1,7 milliar Euro (Fletcher et al., 2011). Studi yang dilakukan oleh Lou et al. (2012) di China diketahui besaran beban rata-rata ekonomi langsung dan tak langsung masingmasing adalah 1.090 dan 20.605 Yuan. Biaya ekonomi langsung dihitung berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang besaran biaya rawat inap, biaya rawat jalan, akomodasi rawat jalan, biaya perawatan di rumah, dan biaya pengobatan jangka panjang, biaya pembelian obat dengan pengobatan sendiri, dan biaya terkait dengan kehilangan produktivitas dan kehilangan pekerjaan di tahun lalu (dengan memeriksa catatan pasien rumah sakit, catatan dari kota dan klinik desa). Biaya akomodasi rumah sakit termasuk biaya transportasi pasien dan makanan, biaya pendamping, dan biaya tenaga kerja yang dibayarkan kepada pengasuh. Sedangkan biaya ekonomi tak langsung diketahui dengan menghitung

4 pendapatan perkapita lokal dan harapan hidup untuk tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pencegahan dan pengelolaan PPOK. Sementara Fletcher et al. (2011) menyatakan bahwa PPOK mempunyai dampak terhadap individu, ekonomi dan beban sosial pada usia produktif, maka diperlukan upaya lebih lanjut untuk manajemen dan meningkatkan diagnosis PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2011). Timbulnya kasus PPOK disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya paparan faktor risiko, antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan, dan di tempat kerja. Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu (host) yaitu genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas. Faktor paparan lingkungan meliputi merokok, status sosial ekonomi, hipereaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi lingkungan, kejadian saat perinatal, infeksi bronkopulmoner rekuren dan lain-lain (Kemenkes RI, 2008). Kejadian PPOK dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperreaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, dan defisiensi alfa -1 antitripsin yang jarang terdapat di Indonesia (PDPI, 2003). Sementara itu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan faal paru pada pekerja tambang dan sejenisnya adalah lama paparan debu dan karakteristik penambang seperti usia penambang, kebiasaan merokok, dan status gizi pekerja (Guyton & Hall, 2006). Polusi udara yang terus menerus merupakan salah satu predisposisi infeksi rekuren yang dapat memperlambat aktivitas silia dan fagositas (Price & Wilson, 1995). Sedangkan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru. Salah satu

5 polusi udara tersebut adalah hidrogen sulfida (H 2 S). Hidrogen sulfida merupakan gas tidak berwarna, sangat beracun, mudah terbakar, dan memiliki bau karakteristik seperti telur busuk (ATSDR, 2006). Gas ini menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Pengamatan yang telah dilakukan terhadap kesehatan manusia, berikut paparan H 2 S termasuk kematian dan gangguan/infeksi pernapasan, mata, saraf, efek kardiovaskular, metabolisme, dan reproduksi (WHO, 2003). Gas H 2 S dengan cepat diserap oleh paru. Pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan iritasi mata, hidung atau tenggorokan, bahkan dapat menyebabkan kesulitan bernapas pada penderita asma. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan mungkin kematian. Hal ini disebabkan karena H 2 S menghambat enzim cytochrome oxidase sebagai penghasil oksigen. Metabolisme anaerobik menyebabkan akumulasi asam laktat yang mendorong ketidakseimbangan asam-basa. Sistem jaringan saraf berhubungan dengan jantung yang peka sekali kepada gangguan metabolisme oksidasi, sehingga terjadi kematian dan terhentinya saluran napas (U.S. EPA, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Bhambani & Singh (1991) dalam WHO (2003) menyimpulkan bahwa dengan menghirup 2,8 14 mg/m 3 gas H 2 S dalam waktu 16 30 menit tidak mempengaruhi fungsi paru yang sehat pada pria dan wanita. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Hessel et al. (1997) dalam ATSDR (2006) yang menyatakan tidak ada perbedaan fungsi paru pekerja gas pada tiga kelompok terpapar gas H 2 S. Namun Guidotti (1996) yang menyebutkan paparan gas H 2 S konsentrasi 20-50 ppm dapat menyebabkan iritasi paru dan iritasi mukosa. Begitu juga dengan Drimal et al. (2010) menyatakan bahwa paparan gas H 2 S tingkat rendah dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko inflamasi saluran pernapasan dan patologis gejala saluran pernapasan. Penelitian sebelumnya pada pekerja saluran pembuangan ditemukan bukti bahwa paparan gas H 2 S tingkat rendah dapat dikaitkan dengan gangguan fungsi paru (Richardson, 1995). Populasi yang tinggal di daerah dengan aktivitas vulkanik juga berisiko menderita bronkitis kronik jika dibandingkan dengan populasi yang tinggal di

6 daerah tanpa aktivitas vulkanik. Populasi laki-laki yang tinggal di daerah dengan aktivitas vulkanik berisiko hampir 4 kali dan perempuan hampir 11 kali menderita bronkitis kronik (Amaral & Rodrigues, 2007). Mata air belerang yang terdapat di Kawah Gunung Ijen selain mengeluarkan gas H 2 S yang berbahaya bagi manusia, namun terdapat sisi positif untuk kemaslahatan manusia, salah satunya belerang (Wittiri & Sumarti, 2013). Pengukuran gas belerang yang dilakukan oleh tim Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) di Gunung Ijen tanggal 12 Januari 2013 pada tujuh titik, diketahui yang tertinggi di sekitar kawah, yaitu sebesar 47 ppm (batas normal 10 ppm) (BPPD Bondowoso, 2013). Penambangan belerang yang dilakukan oleh PT. X sudah berlangsung sejak tahun 1968 sampai sekarang dan saat ini memperkerjakan sebanyak 379 penambang (TEMPO.CO, 2013). Frekuensi penambang belerang untuk melakukan penambangan tergantung dari kekuatan fisik masing-masing penambang. Paparan gas H 2 S yang terus menerus tentunya berdampak negatif bagi kesehatan penambang belerang yang bekerja menggunakan alat pelindung diri seadanya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penambangan belerang di Kawah Ijen dan gas H 2 S yang berbahaya bila dihirup oleh manusia secara terus menerus, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: Apakah lama paparan gas H 2 S, perilaku merokok, usia, dan lama bekerja berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen?

7 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang bekerja 2 jam perhari dengan penambang belerang yang bekerja <2 jam perhari di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. b. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang mempunyai masa kerja 5 tahun dengan penambang belerang yang mempunyai masa kerja <5 tahun di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. c. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang berusia 40 tahun dengan penambang belerang yang berusia <40 tahun di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. d. Untuk mengetahui perbedaan rerata faal paru antara penambang belerang yang merokok (aktif, pasif, bekas perokok) dengan penambang belerang yang tidak merokok di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. e. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H 2 S dan lama bekerja terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. f. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H 2 S dengan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. g. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H 2 S dengan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. h. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja dengan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi.

8 i. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja dengan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. j. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H 2 S dan perilaku merokok terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. k. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H 2 S, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. l. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. m. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama paparan gas H 2 S, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. n. Untuk mengetahui adanya interaksi antara lama bekerja, lama paparan gas H 2 S, perilaku merokok, dan usia terhadap gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Dapat memberikan informasi tentang faktor risiko gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Penelitian ini dapat memberikan masukan dalam menyusun langkah, strategi pencegahan dan penanganan gangguan faal paru pada penambang belerang di Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi. 3. Untuk Fakultas Sebagai tambahan kepustakaan kesehatan masyarakat terutama gangguan faal paru pada penambang belerang yang bekerja di daerah vulkanik.

9 4. Untuk Peneliti Lain Hasil kegiatan ini diharapkan dapat melengkapi penelitian tentang gangguan faal paru, khususnya pada penambang belerang. E. Keaslian Penelitian Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan Gauderman et al. ( 2004) Amaral & Rodrigues (2007) Jaén et al. (2006) Aviandari et al. (1994) Pengaruh polusi udara terhadap perkembangan fungsi paru pada anak usia 10 tahun sampai 18 tahun di California Selatan Chronic Exposure To Volcanic Environments And Chronic Bronchitis Incidence In The Azores, Portugal Occupation, smoking, and chronic obstructive respiratory disorders: a cross sectional study in an industrial area of Catalonia, Spain Prevalensi Gangguan Obstruksi Paru dan Faktor- Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Dermaga & Silo Gandum di PT X Jakarta Pemeriksaan fungsi paru Variabel: H 2 S Rancangan: Potong Lintang Rancangan: Potong Lintang Tujuan: mengetahui gangguan fungsi paru Rancangan : kohor prospektif Subyek: usia 10 tahun Tujuan: mengetahui perkembangan fungsi paru anak usia 10 sampai 18 tahun Lokasi : California Selatan Rancangan: kohor retrospektif Subyek: masyarakat yang terkena aktivitas vulkanik Tujuan penelitian: mengetahui hubungan daerah vulkanik dg bronkitis kronik Lokasi: Portugal Subyek: pekerja tekstil Variabel: debu dan gas Tujuan penelitian: mengetahui hubungan paparan debu dan gas dg obstruktif aliran udara Lokasi: Spanyol Subyek: pekerja Dermaga & Silo Gandum Variabel: biji-bijian Lokasi: Jakarta Sianipar (2009) Analisis Risiko Paparan Hidrogen Sulfida pada Masyarakat Sekitar TPA Sampah Terjun Kecamatan Medan Marelan Variabel: H 2 S Rancangan: Potong Lintang Subyek: masyarakat sekitar TPA Variabel: resiko gangguan kesehatan Tujuan: mengetahui perbedaan risiko kesehatan Lokasi: Medan