PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

dokumen-dokumen yang mirip
PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh Marzuki

Hukum Pidana Islam HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN APLIKASINYA DI INDONESIA. Kosim

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

Dr. Marzuki, M.Ag. Dosen PKn dan Hukum FIS UNY DAFTAR ISI PRAKATA PENULIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

EKSISTENSI KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM POSITIF

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

SKRIPSI. Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

MEMILIH PEMIMPIN YANG BENAR PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag.

PERBANDINGAN HUKUM PERDATA 4 SISTEM HUKUM DI DUNIA. Oleh : Diah Pawestri Maharani, SH MH

SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk

BAB IV ANALISIS DATA. Yogyakarta, 2008, hlm Dimyauddin Djuwaini, Pengantar fiqh Muamalah, Gema Insani,

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB IV. Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural. 1. hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Dalam pembahasan kali ini,

ANALISIS AKTA PEMBAGIAN WARISAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pesat, dimana Perbankan Syari ah mendapatkan respon yang positif oleh

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan segala

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari setiap individu memiliki kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM INDONESIA

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan kesimpulan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya

Sistem Hukum. Nur Rois, S.H.,M.H.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN PAJAK. semakin meningkat. Dalam upaya untuk mendapatkan dana dari pajak,

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. kebaikan. Salah satunya nilai-nilai normatif yang berisi tentang petunjukpetunjuk. dalam menghadapi perkembangan zaman.

Pengadilan Agama Ponorogo). TESIS, Program Studi Pascasarjana Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk-nya di dunia ini berpasang-pasangan agar mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL SURVEI SURVEI SYARIAH 2014 SEM Institute

BAB I PENDAHULUAN. seharusnya merupakan hal yang sangat di perhatikan oleh pemerintah (Negara) sebagai

JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT Volume 14 Nomor 1 Januari 2015

PENGARUH MODERNITAS TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA

PANCASILA PANCASILA DAN AGAMA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

BAB I PENDAHULUAN. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, UPP-AMP YKM, Yogyakarta, 2002, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 2. 2

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

Salah satu misi yang ingin disampaikan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang di

BAB I PENDAHULUAN. minallah atau dimensi vertikal dan hablum minannas atau dimensi horizontal.

Pendidikan Agama Islam

BAB I PENDAHULUAN. dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Hukum

PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH WAKAF (Studi kasus di KUA Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

HUKUM ISLAM DALAM KONSTITUSI SEBUAH HARAPAN MASA DEPAN. Oleh: Abd Rahman R. Abstrak

BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS PENGAWASAN KUA KECAMATAAN SEDATI TERHADAP PENGELOLA BENDA WAKAF

BAB I PENDAHULUAN. sebuah masyarakat adalah aqidah, khususnya aqidah Islam. Maka tugas

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

BAB IV ANALISIS A. Pelaksanaan Pembayaran Upah Buruh Tani Oleh Pemberi Kerja

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Landasan Sosial Normatif dan Filosofis Akhlak Manusia

Pendidikan Agama Islam

KABUPATEN SIDOARJO. menganalisis ragam pandangan tokoh agama kecamatan Taman tentang. benda wakaf yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagai penuntun memiliki daya

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat

SUMBER AJARAN ISLAM. Disampaikan pada perkuliahan PENDIDIKAN AGAMA ISLAM kelas PKK H. U. ADIL, SS., SHI., MH. Modul ke: Fakultas ILMU KOMPUTER

BAB I PENDAHULUAN. mu amalah. Islam bukan hanya mengatur urusan manusia dengan tuhannya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan

BAB V PEMBAHASAN. 1. Perencanaan pembelajaran PAI dalam meningkatkan kesadaran. meningkatkan kesadaran beribadah siswa di ke dua SMP tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Transkripsi:

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. I Hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di berbagai negara juga ditentukan kapan Islam masuk dan berkembang di negera-negara tersebut. Begitu juga, perkembangan hukum Islam sangat ditentukan oleh keberadaan umat Islam. Hingga sekarang hukum Islam sudah menyebar hampir di semua negara di belahan dunia seiring dengan keberadaan umat Islam di sana. Begitu juga halnya di negara kita Indonesia, hukum Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan masuknya umat Islam di Indonesia. Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia mengalami berbagai peristiwa seiring dengan perkembangan negara ini. Pada awalnya umat Islam tidak pernah direpotkan oleh situasi dan kondisi masyarakat maupun negara dalam mengakkan aturan hukumnya. Situasi ini berubah ketika Indonesia berada di bawah dominasi kaum imperialis (Belanda khususnya). Secara umum, ada tiga sistem hukum besar yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Dalam tataran kenegaraan ketiga sistem hukum ini ikut mengisi dan mewarnai pelembagaan hukum nasional. Dalam hal ini terjadi konflik yang berkepanjangan yang berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga sekarang. Pasca Indonesia merdeka, tahun 1945, penyelesaian konflik di antara ketiga sistem hukum terus diupayakan, meskipun hingga sekarang belum tuntas. Konflik ini memang sengaja dibuat oleh pihak Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum PAI untuk mahasiswa baru UNY, Selasa, 16 September 2003 di UNY. 1

penjajah untuk menekan umat Islam dan sekaligus menghambat pemberlakuan hukum Islam yang lebih luas, atau bahkan lebih formal, di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam. Namun demikian, selepas era penjajahan umat Islam tidak lagi mendapat tekanan ketika menerapkan aturan-aturan hukum Islam. Bahkan dalam perkembangannya umat Islam berhasil melakukan kodifikasi hukum Islam dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisah dari hukum nasioal. Namun hal ini sangat disayangkan, karena baru terbatas pada formalisasi hukum Islam yang bersifat keperdataan, seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan, dan belum menyentuh hukum pidana. Hingga sekarang belum terlihat upaya yang jelas dari umat Islam atau negara yang mempercepat pemberlakuan hukum pidana (Islam) di negara kita. Nampaknya umat Islam Indonesia sendiri belum sepakat ke arah itu, apalagi umat lain yang jelas-jelas memiliki aturan agama yang berbeda dengan aturan hukum Islam. Salah satu alasan mengapa aturan hukum pidana Islam ini sulit diterapkan di Indonesia adalah materinya tidak cocok dengan masyarakat kita dan terlalu kejam serta bertentangan dengan HAM. Inilah barangkali alasan yang selama ini muncul ke permukaan, yang sebenarnya tidak benar jika dilihat dari filsafat hukum Islam. II Misi utama disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan (kesejahteraan) umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Karena itu, kecenderungan yang dominan dari hukum Islam adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik. Komunal memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup segi materi dan segi-segi lain yang meliputi seluruh hak dan kewajiban, sedang sosialistik mempunyai pengertian khusus yang terbatas pada materi. Kecenderungan hukum Islam yang komunal ini dapat terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah. 2

Semua aturan hukum Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik individu untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang ibadah, penghalalan jual beli dan pengharaman riba, perintah jual beli dan larangan riba, serta menegakkan hukuman hudud untuk melindungi masyarakat dalam bidang muamalah. Dari contoh-contoh tersebut jelaslah bahwa hukum Islam di dalam mewajibkan perintah dan mengharamkan larangan tidak hanya bertujuan untuk keselamatan dan kebahagiaan individu saja, tetapi juga untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara umum. Itulah watak dan kecenderungan hukum Islam yang hakiki sebagaimana yang kita jumpai dalam al-quran, Sunnah, dan putusan-putusan para ulama melalui ijtihad. Sangat berbeda halnya dengan hukum-hukum buatan manusia yang pada umumnya memiliki kecenderungan individual. Karena itu, aturan-aturan hukum positif banyak yang mengakibatkan benturan antar individu ketika kepentingan masing-masing individu itu berbeda. Inilah yang kemudian menjadi titik tolak hukum positif membenahi aturan-aturannya, sehingga pada akhirnya juga mempunyai watak komunal. Sebagai contoh, tidak ada hukum positif yang melarang praktek riba yang pada prinsipnya menguntungkan pemilik modal dan merugikan peminjam. Dengan demikian, hukum Islam memiliki misi universal yang bisa dijadikan pedoman bagi semua umat manusia dan aturan-aturannya ada yang secara spesifik tertuju kepada umat Islam dan secara universal bisa memberikan kemaslahatan bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Namun, sayangnya misi ini tidak dipahami oleh semua orang, bahwa tidak sedikit umat Islam sendiri yang tidak faham akan hal ini. Masih banyak umat Islam yang alergi dengan hukum Islam, apalagi dengan hukum 3

pidananya. Ini menunjukkan bahwa hambatan terbesar dalam pelembagaan hukum Islam di negara kita adalah umat Islam sendiri. Sekarang bagaimana institusi penegak hukum Islam yang ada di negara kita. Institusi negara formal yang memiliki kewenangan dalam pemberlakuan hukum Islam di negara kita adalah Peradilan Agama. Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan permasalahan hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga masalah ini merupakan bagian dari objek garapan fikih muamalah, dan secara integral merupakan bagian dari ruang lingkup hukum Islam. Hukum Islam sudah mengatur permasalahan hukum yang cukup detail. Aturanaturan hukum Islam ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat Islam di dalam menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan masalah hukum. Namun, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kepastian aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkannya sumber atau landasan hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undangundang untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masing-masing. Hal seperti ini juga terjadi di negara kita Indonesia. Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum 4

Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna dengan cara misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsur dalam sistem peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara normatif adalah hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Pelaksanaannya bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim dalam berpegang kepada hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam seperti ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya. Hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam arti ibadah murni ( ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam ini, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif ini tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri. Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1946, PP. No, 45 Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam 1991. Dengan undang-undang atau peraturan seperti ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis. Dari beberapa undangundang tersebut dapat dipahami bahwa permasalahan hukum Islam yang menyangkut 5

keperdataan haruslah diselesaikan melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan. Dalam perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami berbagai persoalan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan eksistensi Peradilan Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru tahun 1989, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi harapan umat Islam Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan kewenangannya. Pengesahan UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia. Dengan disahkannya UUPA tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif di negara kita. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam bidang muamalah (keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara formal yuridis telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya telah pula dimantapkan eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari sistem peradilan nasional, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam memiliki landasan hukum yang kuat. Di negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau didukung oleh tiga hal, yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan hukum yang jelas, dan kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan 6

doktrin hukum nasional yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam (Bustanul Arifin, 1996: 56). Lembaga penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama, terutama hakim-hakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki ijazah kesarjanaan baik sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan persyaratan seperti ini diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan hukum yang jelas, belum dijamin keberadaannya secara total, karena peraturan-peraturan hukum Islam (fikih) masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga sangat sulit untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam. Oleh karena itu, keperluan akan adanya suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Di sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hukum Islam menjadi jelas dan terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama Indonesia kemudian membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab hukum, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini kemudian diresmikan berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 (Abdurrahman, 1992: 50). Namun, harus diakui bahwa perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan. Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak adanya penanganan yang 7

jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi terhadap tindakan kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah pidana ini masih berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di Pengadilan Negeri masih aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang kurang sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini ditetapkan di Indonesia sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan melibatkan Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan dan wewenang Peradilan Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi hukum Islam juga semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia. Karena kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam di negara kita, yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini, akan sulit bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai institusi penegak keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Dalam rangka inilah pembinaan organisasi, administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama haruslah diusahakan dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini benar-benar mantap nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh Departemen Agama sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. III Sebagai catatan akhir perlu ditegaskan bahwa hukum Islam sudah ada di Indonesia jauh sebelum negara ini merdeka. Dalam perkembangannya pemberlakuan dan pelembagaan hukum Islam ini di negara kita mengalami berbagai peristiwa. Bagitu juga halnya dengan keberadaan Peradilan Agama yang merupakan salah satu institusi 8

formal yang ikut bertanggung jawab dalam penegakan hukum Islam di negara kita. Pada zaman penjajahan Belanda keberadaan Peradilan Agama sangat diwarnai oleh kepentingan pemerintah Belanda. Dan inilah yang terkadang sering berbenturan dengan aspirasi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya menganut agama Islam. Setelah Indonesia merdeka, eksistensi Peradilan Agama masih belum mantap dibandingkan dengan eksistensi peradilan lainnya hingga ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan UUPA ini, Peradilan Agama benar-benar mantap dan mempunyai status hukum yang kuat dan memiliki kedudukan yang sama dan setingkat dengan peradilan-peradilan lainnya dengan kekuasaan dan wewenang yang berbeda. Harus diakui juga, bahwa wewenang Peradilan Agama masih terbatas pada perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, serta perwakafan, dan belum menjangkau bidang hukum yang lain, khususnya hukum pidana. Eksistensi Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, terutama dalam menegakkan pelaksanaan hukum Islam yang bersifat formal yuridis. Namun, keberadaan Peradilan Agama ini belum bisa menjamin berlakunya hukum Islam tersebut dengan baik jika tidak ditunjang oleh kesadaran yang tinggi dari umat Islam sendiri. Kesadaran yang tinggi ini sangat membantu Peradilan Agama dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga penegak hukum syariat atau fikih di Indonesia. 9

DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. Cet. I. Amrullah Ahmad (et al.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I. Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press. Cet. I. Mohammad Daud Ali. 1989. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES. Cet. I.. 1991. Hukum Islam: Peradilan dan Masalahnya. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. I. 10