MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1"

Transkripsi

1 MENGGALI HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM TATA PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA Oleh: Ali Muhtarom, S.H.I, M.H.I. 1 A. Pendahuluan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. dinilai banyak kalangan banyak membawa perubahan yang sangat signifikan, baik mengenai eksistensi struktur keberadaan Peradilan Agama dengan jajaran lembaga negara lainnya, maupun mengenai materimateri kompetensi yang di-emban oleh Peradilan Agama. Pemantapan eksistensi Peradilan Agama secara struktural dapat dilihat dari munculnya Undang-Undang yang mendahuluinya yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai Undang-Undang organik atas Pasal 24 UUD 1945 pasca amandemen dengan menetapkan sistem satu atap (one roof system), yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan proses penyelesaian perkara kewarisan bagi umat Islam pasca berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, harus diselesaikan di Pengadilan Agama, sehingga tidak ada hak opsi lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 paragraf kedua yang berbunyi: Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: Para pihak sebelum beperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus. Konsekwensi logis berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut adalah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut atas penyelesaian sengketa waris yang subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam dan semua materi hukum kewarisan akan tunduk pada materi hukum yang ada di lingkungan Peradilan Agama. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah mampukah materi-materi hukum di lingkungan Peradilan Agama tersebut menjawab segala permasalahan sengketa waris bagi masyarakat Islam Indonesia, yang sebelumnya terkontruksi pada dua pilihan hukum (opsi) tersebut, mengingat pada masa-masa sebelumnya penolakan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris disebabkan kurang adanya kesesuaian kultur dengan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga dalam hal ini, timbul beberapa tuntutan yang harus terpenuhi pada materi hukum tersebut; Pertama, Materi hukum waris di lingkungan Peradilan Agama harus mampu mewadahi kepentingan dan kebutuhan kultur masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat bilateral. Kedua, Materi hukum kewarisan Islam yang digunakan dalam mengambil ijtihad pemutusan sengketa waris di Peradilan Agama harus bisa 1 Hakim Pengadilan Agama Tanjung Redeb, Kaltim. 1

2 meng-cover materi hukum yang ada di Peradilan Negeri sebagai jawaban atas hilangnya hak opsi. Ketiga, Peradilan Agama harus mempunyai banyak pilihan materi hukum (hukum materiil) khususnya tentang kewarisan yang digunakan memperkaya literatur pertimbangan hukum. B. Penerapan Hukum Kewarisan di Lingkungan Peradilan Agama dalam Lintas Sejarah Hukum kewarisan Islam secara legal formal berjalan seiring dengan sejarah perkembangan lembaga peradilan yang berlaku di Indonesia. Lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan agama sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam berdiri, namun pada waktu itu kekuasaan sebagai hakim (qadhi) umumnya dilakukan oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa, khususnya untuk perkara-perkara yang menyangkut agama. Dalam operasionalisasinya selalu ada pemuka-pemuka agama yang bertugas secara khusus untuk urusan mu amalah dan muhkamah meliputi perkawinan, talak, rujuk, iddah, waris mewaris dan sebagainya. Oleh karenanya seorang Sultan biasanya akan menunjuk Ulama atau pemuka agama untuk melakukan fungsi tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kesultanan Aceh, kerajaan Pasai, Pagaruyung, Demak, Mataram, Jambi dan sebagainya. Walapun pada masa itu secara tertulis yuridis Peradilan Agama belum ada, tetapi secara praktis penyelesaian yang diberikan secara tahkim dari umat Islam pada pemuka agama di daerahnya masing-masing telah dapat merasakan manfaatnya oleh masyarakat. 2 Dasar untuk memutus suatu perkara biasanya dikaitkan dengan Al-Qur an, Hadits dan kitab-kitab fiqh yang telah disusun oleh para Fuqaha (orang yang ahli dalam ilmu fiqh). Di samping itu juga didasarkan pada hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Istilah hukum adat yang dijadikan sebagai sumber hukum ini dalam Islam dikenal dengan Urf. Kedatangan Belanda (VOC) ke Indonesia yang tujuan utamanya hanya untuk berdagang ternyata juga berimplikasi terhadap lembaga Peradilan Agama yang telah ada pada waktu itu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau tepatnya tahun 1882 keluarlah ordonantie Stbl tentang Peradilan Agama di pulau Jawa- Madura. 3 Pemerintah kolonial Belanda dengan Stbl mengistilahkan lembaga peradilan agama dengan istilah priesterraad yang artinya peradilan pendeta. Hal ini dilakukan karena mereka mengasumsikan bahwa para ulama yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang hukum perdata sama saja dengan pendeta yang selama ini mereka kenal. Namun demikian dalam Stbl tersebut tidak ditentukan wewenang Peradilan Agama, sehingga kewenangannya tetap berlaku sebagaimana yang telah ada sebelumnya. Pada waktu itu kewenangan Peradilan Agama terkadang berbenturan dengan Peradilan Negeri karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah jajahan, sebab pemerintah jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam. Hal ini disebabkan karena hukum Islam dinilai bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagian besar dianut oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, menurut mereka memberikan hak hidup bagi hukum Islam sama artinya memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia. 2 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta; Pustaka Jaya) hal. 4 3 Raihan A. Rasyid, 2003, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; PT Raja Grafindo) hal. 1 2

3 Apa yang terjadi dalam peradilan agama ini didukung dan dipengaruhi oleh teori yang berkembang pada waktu itu, yaitu teori receptio in complexu, 4 yang dikemukakan oleh Van den Berg dan teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck hurgronje dan Van Vollenhaven. Berdasarkan pada teori receptio in complexu, bahwa yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan. 5 Maka Peradilan Agama atau raad agama pada awal berdirinya berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus seluruh sengketa keperdataan yang dialami oleh umat Islam. Sedangkan teori receptie yang dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje ( ) seorang penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Islam dan Bumi Putera, adalah upaya menentang teori receptio in complexu, yang dikemukakan Van den Berg tersebut di atas. Berdasarkan penyelidikannya terhadap orang-orang Aceh dan Goya di Banda Aceh, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat. Pada hukum adat yang berlaku memang telah terpengaruh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuaran hukum kalau benar-benar diterima oleh hukum adat. 6 Dengan munculnya teori receptie tersebut menyebabkan Peradilan Agama mulai dikurangi kewenangannya, misalnya Peradilan Agama tidak lagi berwenang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa dibidang kewarisan (faraid) yang dialami oleh umat Islam. Perubahan kewenangan ini didasarkan pada perubahan Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling pada tahun 1937 dibatasi melalui pasal 2a Ordonansi Peradilan di Jawa Madura Staatsblad 1937 Nomor 116 yaitu hanya berwenang mengenai masalah perkawinan, sedangkan perkara kewarisan dicabut dan diserahkan pada Peradilan Umum. 7 Selain itu putusan yang dikeluarkan oleh hakim-hakim di Peradilan Agama ternyata juga tidak dapat secara langsung dilaksanakan, melainkan memerlukan adanya fiat eksekusi (executor verklaring) dari Ketua Pengadilan Negeri (Landraad). Pada kenyataanya sisa-sisa peninggalan pemerintahan kolonial Belanda di bidang Peradilan Agama ini masih ada di zaman awal kemerdekaan, khususnya yang berkait dengan diperlukannya fiat eksekusi (executor verklaring) dari Ketua Pengadilan Negeri terhadap putusan yang dikeluarkan oleh hakim-hakim Peradilan Agama. sehingga dapat dinilai bahwa kedudukan Peradilan Agama pada waktu itu adalah subordinatif terhadap peradilan umum (peradilan negeri), sehingga keberadaannya tidak memiliki kemandirian dalam hal melaksanakan fungsi dan peran yang dimilikinya. Hal ini terus berlangsung sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 mengatur tentang Mahkamah Syari ah Kabupaten dan Mahkamah Syari ah Propinsi untuk daerah luar Jawa-Madura dan sebagian Kalimantan. Pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan: Pengadilan Agama/Mahkamah Syari ah memeriksa dan memutus perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, 4 Istilah receptio atau receptie dalam kepustakaan hukum mengandung arti bahwa norma hukum tertentu atau seluruh aturan hukum tertentu diambil alih dari perangkat hukum yang lain. Dalam hubungan ini menurut sejarah hukum Eropa, resepsi telah dilakukan oleh hukum Romawi sebelumnya dan hukum Romawi telah direpsesi pula oleh hukum banyak negara di Eropa, ada yang banyak ada pula yang sedikit (sebagian) 5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta; Rajawali Press) Hal Ibid, hal Idris Djakfar, dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Op Cit, hal. 6 3

4 talak, fasakh, nafkah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) dan sebagainya, hadlanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta liq sudah berlaku. Pasal ini mengungkapkan bahwa kewenangan perkara kewarisan dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura. Namun hal tersebut telah menimbulkan persoalan sehubungan dengan masalah wewenang untuk mengadili, karena persengketaan mengenai harta waris adalah juga merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadilinya. Oleh karena itu dalam masalah kewarisan, Pengadilan Agama waktu itu biasa memberi fatwa saja, yang disebut dengan fatwa waris. 8 Pada tataran hukum materiil, secara jelas terdapat perkembangan yang cukup signifikan dalam rangka menggantikan sistem hukum kolonial menjadi hukum nasional. Sebagai contoh adalah diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Maka dengan adanya undang-undang ini, sepanjang mengenai perkara perkawinan yang terdapat dalam Buku 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang (van personen recht) dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian dalam hukum telah terdapat suatu unifikasi hukum, sehingga setiap orang yang ingin melakukan perbuatan hukum dibidang perkawinan harus melihat ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berbeda dengan hukum perkawinan tersebut, hukum kewarisan justru belum mendapatkan tempat yang layak dalam sistem perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya undang-undang khusus kewarisan sebagaimana tentang perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Sehingga proses penyelesaian perkara waris, khususnya bagi umat Islam masih mengikuti undang-undang hukum perdata di lingkungan Peradilan Umum. Perkara waris tersebut mulai mendapatkan perhatian setelah diberlakukan Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam undang-undang tersebut Peradilan Agama berwenang menangani sengketa perkawinan, kewarisan, wasit, hibah, wakaf dan shadaqah bagi. Namun demikian penyelesaian perkara waris bagi umat Islam masih diberlakukan proses pemilihan hukum (hak opsi), yaitu hak untuk memilih sistem hukum yang dikehendaki para pihak beperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. 9 Dalam hal ini penyelesaian perkara waris dapat dipilih untuk diselesaikan di Peradilan Umum atau di Peradilan Agama. Kewenangan terhadap penyelesaian perkara waris di lingkungan Peradilan Agama dapat terealisasikan secara sempurna adalah setelah diundang-undangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan dengan berlakunya undang-undang tersebut, penyelesaian perkara waris bagi umat Islam harus di putus dan diselesaikan di lembaga Peradilan Agama. C. Hukum Waris Pasca berlakunya No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 juga memberikan perluasan kewenangan Peradilan Agama, dimana sebelumnya hanya menangani sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Maka ditambah menangani 8 Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1977) hal Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 73 4

5 sengketa zakat, infaq dan ekonomi syari ah. Sebagaimana dituangkan dalam perubahan pasal 49 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari ah. Dengan adanya penegasan tentang perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut, dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qanun (bagi daerah tertentu). Sehingga dalam pasal 2 istilah perdata tertentu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah menjadi perkara tertentu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun Penghapusan kata perdata tersebut mengandung pengertian bahwa tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama, tetapi juga termasuk di dalamnya adalah perkara pidana yang berdasarkan syariat Islam seperti yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Khusus dalam bidang kewarisan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kekuasaan dan kewenangan penuh terhadap Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris bagi umat Islam. Hal ini ditandai dengan dihapuskanya pilihan hukum penyelesaian perkara waris baik di Peradilan Agama atau Peradilan Umum. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 paragraf kedua yang berbunyi: Dalam kaitannya dengan perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: Para pihak sebelum beperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus. Dan pernyataan tersebut dikuatkan dengan Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006, yang berbunyi: 1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Dalam hal ini Prof. Dr. Abdul Ghafur Al-Anshori menilai bahwa hukum waris yang berlaku adalah berdasarkan agama pewaris. Jadi bukan berdasarkan agamanya para ahli waris. Apabila pewaris beragama Islam, maka hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Islam. Begitu juga jika pewarisnya beragama selain Islam, maka hukum waris yang berlaku mengikuti agama pewaris tersebut Abdul Ghafur al-anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun (Yogyakarta; UII Press, 2007) hal. 55 5

6 D. Proses Penyelesaian Sengketa Hukum Kewarisan dalam Sistem Perundangundangan di Indonesia. Materi hukum kewarisan yang berlaku dalam perundang-undangan di Indonesia adalah disesuaikan dengan kewenangan dan lembaga yang menanganinya, artinya bagi masyarakat non muslim dengan kewenangan penyelesaian sengketa waris dilakukan di Pengadilan Negeri maka materi hukumnya adalah sistem hukum perdata KUHPerdata (BW). Begitu juga bagi umat Islam, maka kewenangan penyelesaian sengketa waris harus dilakukan di Pengadilan Agama, maka materi hukum yang digunakan adalah sistem hukum Islam yang berlaku. Sumber Hukum Materiil Peradilan Agama dapat terdiri dari beberapa hal berikut : a. Hukum Islam yg bersumber dari Al-Qur an dan hadits b. Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan c. Undang Undang No. 7 Tahun 1989 jo UU No.3/2006 tentang Peradilan Agama d. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 e. PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik f. Inpres No.1 Tahun 1991 g. Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 h. Yurisprudensi i. Doktrin Ilmu hukum termasuk kitab-kitab fiqh j. Hukum positif yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama Dan khusus mengenai hukum waris yang berkembang di Indonesia bersumber dari : a. Gagasan tentang harta bersama (gono-gini) dan sistem Bilateral yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH. b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama c. UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. d. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum Materiil Peradilan Agama di Indonesia pada awalnya bukan merupakan hukum tertulis atau hukum positif, tetapi masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama masa lalu (salaf) dan masih terdapat perbedaan pendapat (khilaf) antara ulama satu dengan yang lainnya. Sebagai upaya untuk mengeliminasi berbagai perbedaan tersebut, dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk. Undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan surat biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan di luar Jawa dan Madura. 1. Dalam surat biro peradilan tersebut, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Peradilan Agama / Mahkamah Syar iyah dianjurkan agar menggunakan 13 kitab rujukan. Sebagai kitab-kitab ilmiah, maka hukum yang terkandung di dalamnya belum merupakan hukum yang tertulis sebagaimana halnya undang-undang yang disahkan oleh pemerintah bersama DPR. Oleh karenanya dalam upaya aktualisasi materi kitabkitab tersebut dalam hukum formil di Indonesia, maka sejak tanggal 2 Januari 1974 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, 6

7 dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun Ketentuan ini disusul dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Namun bagian lain dari hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf masih di luar hukum tertulis, sehingga masih banyak terjadi perbedaan putusan oleh Pengadilan Agama terhadap kasus yang sama, karena pengambilan dasar hukumnya dari kitab fikih yang berbeda, meskipun kitab-kitab rujukan telah dibingkai dalam 13 kitab fikih tersebut. Seiring dengan kebutuhan materi hukum masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan kepastian hukum sekaligus mewujudkan hukum Islam, setidaknya dibidang hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf menjadi hukum tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. 11 KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dengan mempersatukan berbagai fikih madzhab dan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Pembentukan KHI dapat terselesaikan pada pertengahan tahun Hal ditunjukkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni Instruksi Presiden tersebut merupakan landasan hukum KHI untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Status hukum Kompilasi Hukum Islam dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, juga sempat menimbulkan keraguan dari beberapa kalangan. Hal ini karena KHI hanya dituangkan dalam Inpres, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991, bukan dituangkan dalam undang-undang. Sumber hukum waris yang ketiga setelah Al-Qur an dan As-Sunnah adalah Ijtihad. Dan ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum dengan menyimpulkan dari Al-Qur an dan As-Sunnah. Ijtihad tentang hukum waris Islam banyak ditulis para ulama dalam kitab-kitab klasik pada pembahasan fiqih mawaris. Selain ijtihad yang dikeluarkan oleh perorangan, ada juga yang dikeluarkan oleh lembaga, seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dikeluarkan oleh pemerintah. 12 Dan apabila dibandingkan dengan beberapa kitab fiqh mawaris, seperti karya Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqy, Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan lain sebagainya, maka rumusan pasal-pasal tentang hukum kewarisan dalam KHI tersebut, menurut Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. dinilai bahwa hukum kewarisan dalam Buku II KHI hanyalah berupa pokok-pokok saja. Hal ini disebabkan garis-garis hukum dalam KHI hanyalah pedoman dalam menyelesaikan perkara dibidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Pengembangannya diserahkan kepada hakim (agama) yang wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan, seperti yang diharapkan oleh pasal penutup (229) KHI Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet-3, (Jakarta; Akademika Pressindo, 2001) hal Syaifudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Cet-III, (Jakarta; Darunnajah, 2008) hal Mohammad Daud Ali, Op Cit, hal 330 7

8 Berangkat dari kondisi tersebut, maka tidak ada larangan untuk menggunakan pendapat siapa saja, sepanjang masih berpegang pada roh keislaman dan kebutuhan masyarakat. Berangkat dari keterangan di atas, penulis merumuskan ada 3 tahapan pengambilan hukum yang dapat digambarkan sebagai berikut: I II III Tahap I : Peraturan Perundangundangan Tahap II : Aliran Pemikiran yang berlaku / disepakati Tahap III : Pemikiran yang sesuai kebutuhan Dari ketiga tahapan tersebut hanya berhubungan dengan materi atau bahan dasar seorang mujtahid (hakim) dalam mengambil keputusan. Tetapi pada dasarnya proses penentuan dan pengambilan keputusan seorang hakim adalah berdasarkan ijtihadnya sendiri untuk menentukan dasar hukum mana yang patut diterapkan dalam melihat kondisi konkrit per-kasus. Kesimpulan dari semuanya adalah, bahwa tidak ada halangan atau bisa dikatakan sangat siap apabila lembaga peradilan agama menangani sengketa kewarisan, khususnya pasca berlakukan UU No. 3 Tahun 2006 yang melegitimasikan tidak ada pilihan hukum (opsi) bagi umat Islam menyelesaikan sengketa waris. Selain itu materi hukum yang dijadikan pegangan oleh seorang mujtahid hukum (hakim) sangatlah cukup untuk memutus suatu perkara di Peradilan Agama, karena selain tertulis dalam norma peraturan dan perundang-undangan, dapat pula mengambil pemikiran mujtahid sendiri dalam mengisi kekosongan hukum. Pustaka: - Abdurrahman, H. SH. MH. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet-3, Jakarta; Akademika Pressindo, Anshori, Prof. Dr. Abdul Ghafur, SH. MH., Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), Cet-1, Yogyakarta; UII Press, Ali, Prof. H. Mohammad Daud, SH., Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet-1, Jakarta; RajaGarafindo Persada, Abdul Ghafur al-anshari, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun Yogyakarta; UII Press, Bakar, Al Yasa Abu, Ahli Waris Sepertalian Darah; Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, Cet-1, Jakarta; INIS, Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Cet-2, Jakarta; Raja Grafindo Persada, Budiono, A. Rachmad, SH. MH., Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet-1, Bandung; Citra Aditya Bakti, Rasyid, Drs. H. Roihan A., SH., Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Cet-1, Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, Saleh, K. Wantjik, SH., Kehakiman dan Peradilan, Cet-2, Jakarta; Ghalia Indonesia, Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Syaifudin Arif, Praktik Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Cet-III, Jakarta; Darunnajah, Dan lain-lain. 8

PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh Marzuki

PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh Marzuki PERADILAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI PENEGAK HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh Marzuki Abstrak Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di samping tiga peradilan yang lain,

Lebih terperinci

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di

PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. I Hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan

Lebih terperinci

KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PASCA REFORMASI

KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PASCA REFORMASI KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA MASA PASCA REFORMASI Abdullah Tri Wahyudi IAIN Surakarta Abstract This article discusses the absolute competencies of the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

Lebih terperinci

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB III SEJARAH SINGKAT PENGADILAN AGAMA JEPARA. Indonesia sejak Islam masuk dan berdiri kesultanan-kesultanan Islam di

BAB III SEJARAH SINGKAT PENGADILAN AGAMA JEPARA. Indonesia sejak Islam masuk dan berdiri kesultanan-kesultanan Islam di BAB III SEJARAH SINGKAT PENGADILAN AGAMA JEPARA A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama 1. Sejarah Pengadilan Agama Jepara Hukum Islam dan pengadilan yang menegakkannya telah berlaku di Indonesia sejak Islam

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH A. Pendahuluan Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia exis tanpa Undang-Undang tersendiri dan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 65-76. KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI

Lebih terperinci

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram)

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) A. Perkembangan dan perubahan kewenangan perkara Waris 1. Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN KEKUASAAN KEHAKIMAN SEJARAH: UU Nomor 13 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU

Lebih terperinci

ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) Oleh: H. Zulkarnain Suleman, M.Hi ABSTRAK

ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) Oleh: H. Zulkarnain Suleman, M.Hi ABSTRAK ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) Oleh: H. Zulkarnain Suleman, M.Hi ABSTRAK Tulisan ini menguraikan tentang asas personalitas keislaman; salah satu asas umum yang melekat pada

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Di dalam hukum Islam dikenal banyak

Lebih terperinci

BAB II SEJARAH KHI DAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM. yang beragama Islam merupakan fenomena aktual yang harus dillihat

BAB II SEJARAH KHI DAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM. yang beragama Islam merupakan fenomena aktual yang harus dillihat BAB II SEJARAH KHI DAN PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Sejarah Kompilasi Hukum Islam Keanekaragaman suku bangsa Indonesia dengan karakteristik budaya, norma hukum yang di yakini juga merupakan sesuatu

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DAN DASAR PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA WARIS NON MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA KRAKSAAN (PENETAPAN NOMOR 0023/PDT.P/2015/PA. KRS). A. Analisis Kewenangan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan berkeluarga terjadi melalui perkawinan yang sah, baik menurut

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan berkeluarga terjadi melalui perkawinan yang sah, baik menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan berkeluarga terjadi melalui perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun ketentuan undang-undang yang berlaku. Dari sini tercipta kehidupan yang harmonis,

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap

Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Oleh: Ari Wibowo Judul Buku : Pergumulan Politik dan Hukum I s l a m ; R e p o s i s i P e r a d i l a n Agama dari Peradilan Pupuk

Lebih terperinci

BAB II. PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH di KUA dan KANTOR CATATAN SIPIL. Perceraian dalam istilah fiqih disebut t}ala>q atau furqah.

BAB II. PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH di KUA dan KANTOR CATATAN SIPIL. Perceraian dalam istilah fiqih disebut t}ala>q atau furqah. BAB II PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH di KUA dan KANTOR CATATAN SIPIL A. Perceraian 1. Pengertian perceraian Perceraian dalam istilah fiqih disebut t}ala>q atau furqah. T}ala>q berarti membuka ikatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 1 Kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan merupakan tempat bagi seseorang atau badan hukum untuk mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul selain alternatif penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1 Abstraksi Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi

Lebih terperinci

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR A. Deskripsi Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama merupakan matakuliah wajib fakultas yang diberikan kepada mahasiswa pada semeter VI, setelah mahasiswa menempuh

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

Hukum Islam di Indonesia. Lena Hanifah, SH, LLM

Hukum Islam di Indonesia. Lena Hanifah, SH, LLM Hukum Islam di Indonesia Lena Hanifah, SH, LLM Ada 3 aliran pendapat : 1. Islam agama yang sempurna, lengkap dengan pengaturan segala aspek kehidupan termasuk dalam bernegara. Dalam bernegara harus memakai

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

KONFLIK KEWENANGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGAI PERKARA SENGKETA WARIS ORANG ISLAM

KONFLIK KEWENANGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGAI PERKARA SENGKETA WARIS ORANG ISLAM KONFLIK KEWENANGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGAI PERKARA SENGKETA WARIS ORANG ISLAM Ilham Thohari* Abstract This article aims at discussing about a lawsuit of authority between

Lebih terperinci

BAB IV. Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural. 1. hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Dalam pembahasan kali ini,

BAB IV. Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat plural. 1. hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Dalam pembahasan kali ini, BAB IV ANALISA ATAS PANDANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA KAJEN DALAM MEMUTUS PERKARA ISBAT NIKAH YANG PERNIKAHANNYA TERJADI SEBELUM DAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak mampu. Walaupun telah jelas janji-janji Allah swt bagi mereka yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan sangat dianjurkan dalam Islam, terutama bagi mereka yang secara lahir dan batin telah siap menjalankannya. Tidak perlu ada rasa takut dalam diri setiap muslim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Agama adalah salah satu dari peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama sebagaimana lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

BAB III PERKARA PENETAPAN PERMOHONAN ASAL USUL ANAK OLEH SUAMI ISTRI YANG SUAMI-NYA BERSTATUS WNA PADA AWAL PERNIKAHAN-NYA

BAB III PERKARA PENETAPAN PERMOHONAN ASAL USUL ANAK OLEH SUAMI ISTRI YANG SUAMI-NYA BERSTATUS WNA PADA AWAL PERNIKAHAN-NYA BAB III PERKARA PENETAPAN PERMOHONAN ASAL USUL ANAK OLEH SUAMI ISTRI YANG SUAMI-NYA BERSTATUS WNA PADA AWAL PERNIKAHAN-NYA A. Deskripsi Normatif Pengadilan Agama Surabaya Pengadilan Agama Surabaya dibentuk

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya.

BAB I PENDAHULUAN. benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa. melaksanakan kemurnian dari peraturan-peraturannya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di lihat dari letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis antara dua benua dan lautan yang sangat luas, maka penyebaran agama-agama yang dibawa oleh pendatang

Lebih terperinci

PANDANGAN HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN MAQÂSHID AL-SYARÎ AH DALAM UPAYA RECHTVINDING DI PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG

PANDANGAN HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN MAQÂSHID AL-SYARÎ AH DALAM UPAYA RECHTVINDING DI PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG PANDANGAN HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN MAQÂSHID AL-SYARÎ AH DALAM UPAYA RECHTVINDING DI PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG A. Pendahuluan Sebuah aturan hukum tidaklah mungkin mengatur seluruh aspek kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA. Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA. Peradilan Agama disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN AGAMA A. Sejarah Singkat Peradilan Agama 1. Pengertian Peradilan Agama Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 14 Di dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. 32 BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA Oleh: Ahsan Dawi Mansur Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

LANDASAN HUKUM POSITIF PEMBERLAKUAN HUKUM ISLÂM DI INDONESIA

LANDASAN HUKUM POSITIF PEMBERLAKUAN HUKUM ISLÂM DI INDONESIA LANDASAN HUKUM POSITIF PEMBERLAKUAN HUKUM ISLÂM DI INDONESIA Eka Susylawati (Dosen Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Pamekasan) Abstract: Islamic law has been valid since a long time ago in Indonesia

Lebih terperinci

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51 KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA Kewenangan PA dari masa ke masa: Sebelum Kemerdekaan: Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (pewaris),

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI PERMA NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG)

BAB III IMPLEMENTASI PERMA NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG) 37 BAB III IMPLEMENTASI PERMA NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG) A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Kota Semarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pengadilan. Karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pengadilan. Karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam tatanan kehidupan berkeluarga, perkara yang berkaitan dengan warisan sering menimbulkan permasalahan. Dimana permasalahan tersebut sering menyebabkan sengketa

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia mempunyai kehidupan jiwa yang selalu menyendiri. Namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP UU NO 3 TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN PERADILAN AGAMA

ANALISIS TERHADAP UU NO 3 TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN PERADILAN AGAMA ANALISIS TERHADAP UU NO 3 TAHUN 2006 DAN UU NO. 50 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN PERADILAN AGAMA Linda Firdawaty Fakultas Syari ah IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin, Sukarame, Bandar

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta:

DAFTAR PUSTAKA. Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta: 141 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta: Darussalam, 2004. Ali, Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1990. Bisri, Cik Hasan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA 77 BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Dasar Penentuan Patokan Asas Personalitas Keislaman di Pengadilan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 68 BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Analisis Terhadap Kedudukan Hakam Setelah Berlakunya Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Sudah kodrat manusia antara satu sama lain selalu saling membutuhkan

Lebih terperinci

EKSISTENSI KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM POSITIF

EKSISTENSI KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM POSITIF Vol,1, Vol. 1, Desember 2016 Fakultas Agama Islam Universitas Wiralodra Indramayu www.jurnal.faiunwir.ac.id EKSISTENSI KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM POSITIF Oleh: Abd.Muin, SH, M.Kn. dan Ahmad

Lebih terperinci

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM* NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM* Mohamad Hasib Dosen STKIP PGRI Tulungagung ABSTRAKSI : Pada prinsipnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan

Lebih terperinci

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkup khusus. 1 Kekhususan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS 64 BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS A. Implikasi Yuridis Pasal 209 KHI Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hokum kewarisan menurut KHI secara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA (Analisis Putusan No. 0488/Pdt.G/2012/PA.Ska.

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA (Analisis Putusan No. 0488/Pdt.G/2012/PA.Ska. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA (Analisis Putusan No. 0488/Pdt.G/2012/PA.Ska.) NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Program Studi Muamalat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu

BAB I PENDAHULUAN. peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota, Kabupaten atau Kota. Sebagai Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti dengan adanya data Bank Indonesia tahun 2012 mengenai Jaringan Kantor Perbankan Syariah yang dari

Lebih terperinci

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim)

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) A. Pendahuluan Kekuasaan Kehakiman dengan para Hakimnya

Lebih terperinci

PASANG SURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA: PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

PASANG SURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA: PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Muhammad Faisol: Pasang Surut Undang-Undang Peradilan Agama PASANG SURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA: PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH MUHAMMAD FAISOL STAIN Jember Email: ayehsafaisol@yahoo.co.id

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1957 TENTANG MENETAPKAN PERATURAN TENTANG PENGADILAN AGAMA DI LUAR JAWA-MADURA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1957 TENTANG MENETAPKAN PERATURAN TENTANG PENGADILAN AGAMA DI LUAR JAWA-MADURA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1957 TENTANG MENETAPKAN PERATURAN TENTANG PENGADILAN AGAMA DI LUAR JAWA-MADURA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : 1. bahwa berhubung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum tersebut memiliki unsur-unsur kesamaan, walaupun dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. hukum tersebut memiliki unsur-unsur kesamaan, walaupun dalam beberapa 1 BAB I PENDAHULUAN Hibah diatur baik dalam Hukum Islam, Hukum Perdata yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun Hukum Adat. Pada dasarnya pengaturan hibah menurut sistem

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 I. PEMOHON Nama pekerjaan Alamat : Suryani : Buruh sesuai dengan KTP : Serang Propinsi Banten II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan BAB I PENDAHULUAN A. KONTEKS PENELITIAN Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam. Kewajiban mengeluarkan zakat itu berlaku bagi setiap muslim yang dewasa, merdeka, berakal sehat, dan telah memiliki harta

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Selayang Pandang Mahkamah Syariah di Sabah, Malaysia

Selayang Pandang Mahkamah Syariah di Sabah, Malaysia Selayang Pandang Mahkamah Syariah di Sabah, Malaysia Oleh: Drs. Rusliansyah, S.H. (Ketua PA Nunukan) Negeri Sabah merupakan salah satu dari 13 negara bagian di Malaysia yang terletak di pulau Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA BANGIL

BAB III PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA BANGIL 39 BAB III PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA BANGIL A. Sejarah Pengadilan Agama Bangil 1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Bangil Tidak dapat diketahui

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA STUDI PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 Magister

Lebih terperinci

Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Oleh: Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H.

Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Oleh: Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H. Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Oleh: Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H. I. Pendahuluan. Dalam pandangan Islam perkawinan (nikah) merupakan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH. BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta)

PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH. BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta) 1 PENYELESAIAN WARIS BAGI ORANG ISLAM SETELAH BERLAKUNYA UU No. 3 TAHUN 2006 (Studi kasus Di Pengadilan Negeri Di Daerah Istimewa Yogyakarta) A. Latar Belakang Masalah Di dalam sejarah kehidupan manusia

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975 Yasin Abstrak Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan atau belum dipenuhi syarat-syarat

Lebih terperinci