BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

ANCAMAN BADAI MATAHARI

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI

BAB III METODE PENELITIAN

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

Gudang March 29 Permalink

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

6massa udara yg terdapat pd seluas 1 cm 2 : 1,02 kg6. Massa total atmosfer : 1,02 kg x ( luas permukaan bumi) : kg

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel

TUGAS PRESENTASI ILMU PENGETAHUAN BUMI & ANTARIKSA ATMOSFER BUMI

Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

KONDISI LINGKUNGAN ANTARIKSA Dl WILAYAH ORBIT SATELIT

Partikel sinar beta membentuk spektrum elektromagnetik dengan energi

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.1. argon. oksigen. nitrogen. hidrogen

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

Variasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23

BAB III METODE PENELITIAN

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

PENGARUH LINGKUNGAN PADA TEKNOLOGI WAHANA ANTARIKSA

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

BAB III METODE PENELITIAN

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

Spektrum Gelombang Elektromagnetik

ATMOSFER BUMI A. Pengertian Atmosfer Bumi B. Lapisan Atmosfer Bumi

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

BAB I Jenis Radiasi dan Interaksinya dengan Materi

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya

Kunci dan pembahasan soal ini bisa dilihat di dengan memasukkan kode 5976 ke menu search. Copyright 2017 Zenius Education

Satuan Besaran dalam Astronomi. Dr. Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

BBM 8. RADIASI ENERGI MATAHARI Oleh : Andi Suhandi

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

ANALISIS KONDISI ANTARIKSA DI ORBIT LAPAN A2 MENJELANG PUNCAK AKTIVITAS MATAHARI SIKLUS 24

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

PREDIKSI UN FISIKA V (m.s -1 ) 20

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

KATA PENGANTAR. Buletin ini berisi data rekaman Lightning Detector, menggunakan sistem LD-250 dan software Lightning/2000 v untuk analisa.

Jaman dahulu Sekarang

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA.

1.2 Tujuan Makalah Makalah ini dibuat untuk membantu para taruna-taruni dalam hal memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan medan magnet Bumi.

cuaca antariksa fenomena Edisi Revisi sebuah persembahan dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

Radio Aktivitas dan Reaksi Inti

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

Nizam Ahmad 1 dan Neflia Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 6 Maret 2014; Disetujui 14 Mei 2014 ABSTRACT

SATUAN ACARA PERKULIAHAN. : Mahasiswa memiliki gambaran umum perkuliahan terkait konsep-konsep dan materi subjek yang akan dibelajarkan.

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DAN GEOMAGNET TERHADAP KETINGGIAN ORBIT SATELIT

Atmosf s e f r e B umi

Cahaya membawaku ke bulan

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)

SEMBURAN RADIO MATAHARI SEBAGAI INDIKATOR CUACA ANTARIKSA

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

BAB II LANDASAN TEORI

LIMIT BAWAH BILANGAN SUNSPOT UNTUK SUNSPOT YANG BERPOTENSI MELEPASKAN FLARE : METODA PERINGATAN DINI ANTARIKSA

Kita awali fenomena geosfer dari yang pertama: Atmosfer

CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di Antariksa bukan berupa hujan air atau salju es seperti di Bumi, melainkan cuaca di Antariksa terjadi akibat adanya aktivitas Matahari. Matahari secara terus menerus memancarkan partikel, radiasi, dan medan magnet ke ruang angkasa. Dalam keadaan aktif, pancaran radiasi dan partikel ini akan bertambah banyak, bahkan dapat bertambah secara impulsif. Oleh karena itu, Matahari mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan variabilitas pada cuaca Antariksa. Cuaca Antariksa menunjukkan kondisi di Matahari dan di angin Matahari, magnetosfer, ionosfer, dan termosfer yang dapat mempengaruhi kondisi dan kemampuan sistem teknologi, baik yang di landas Bumi maupun di ruang angkasa, dan membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia (National Space Weather Program, 2000; dalam Yatini 2008). Cuaca Antariksa mengakibatkan munculnya sejumlah masalah yang terkait dengan infrastruktur teknologi, misalnya kegagalan satelit, kegagalan sistem navigasi dan komunikasi, serta putusnya aliran listrik. Untuk mengantisipasi dampak-dampak dari cuaca Antariksa, maka diperlukan informasi tentang cuaca Antariksa, terutama untuk mengetahui sumber gangguan dan membuat koreksikoreksi yang diperlukan, sehingga dapat diminimalisasi efek yang dapat merugikan manusia dan sistem teknologi yang diakibatkan oleh cuaca Antariksa ini. Informasi ini dapat terdiri dari peringatan (nowcast), yaitu peringatan setelah 1

2 munculnya peristiwa di Matahari yang berpotensi mengganggu lingkungan Bumi, dan prakiraan (forecast) yang memberikan informasi tentang kondisi yang akan dihadapi termasuk rentang waktunya. Cuaca Antariksa sangat dipengaruhi oleh aktivitas Matahari terutama kecepatan dan kerapatan angin surya, sifat dari medan magnet Bumi, serta medan magnet antar planet Interplanetary Magnet Field (IMF) yang dibawa oleh plasma angin surya. Cuaca Antariksa bermula dari Matahari, yang merupakan sumber radiasi dan partikel energetik yang memberikan pengaruh pada lingkungan Bumi dan medium antar planet. Aktivitas Matahari dapat mengubah radiasi dan partikel yang keluar dari Matahari, dan berakibat pada perubahan di lingkungan Bumi. Beberapa aktivitas Matahari yang mempengaruhi cuaca Antariksa antara lain flare, CME, solar proton events, dll. Aktivitas Matahari ditandai dengan munculnya bintik Matahari atau yang biasa disebut sebagai sunspot yang muncul pada permukaan Matahari. Sunspot berevolusi dari bintik kecil dengan aktivitas rendah, kemudian berkembang menjadi konfigurasi yang sangat kompleks dengan kemungkinan mempunyai aktivitas tinggi, yaitu mengeluarkan ledakan-ledakan berupa flare dan lontaran massa korona (CME). Ledakan-ledakan ini dikenal dengan badai Matahari. Badai Matahari terjadi apabila terjadi peristiwa eruptif di Matahari. Badai Matahari merupakan fenomena di Matahari yang sering terjadi, bukan saja saat aktivitas Matahari mencapai puncak, namun dapat terjadi bila kondisi daerah aktif di permukaan Matahari memungkinkan untuk terjadinya badai. Badai Matahari akan terjadi ketika adanya CME dan flare.

3 Lontaran Massa Korona atau CME melontarkan partikel seperti plasma, proton, dan elektron berenergi tinggi. Jika mengarah ke Bumi, CME akan berinteraksi dengan magnetosfer. Partikel-partikel ini akan dibelokkan oleh magnetosfer ke kutub-kutub Bumi dan daerah sekitarnya yang selanjutnya akan berinteraksi dengan molekul-molekul di atmosfer. Flare merupakan ledakan akibat terbukanya salah satu kumparan magnet di Matahari. Selain melepaskan sinar ultraviolet ekstrim, flare juga memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik seperti sinar x yang dapat mengionisasi molekul-molekul atmosfer Bumi. Akibatnya, komposisi kimia dan kerapatan molekul di lapisan atmosfer atas berubah. Flare terjadi di daerah-daerah aktif dengan fluks yang muncul mempunyai polaritas berlawanan, sehingga membuat medan magnet di daerah aktif tersebut menjadi kompleks (Yatini, 2000). Sumber energi flare tersimpan dalam medanmedan magnet di daerah aktif. Bila terjadi rekoneksi antara garis-garis medan magnet, maka energi yang tersimpan di dalamnya akan dilepaskan sebagai energi flare. Daerah aktif merupakan daerah di permukaan Matahari tempat munculnya bintik Matahari (sunspot). Daerah aktif mempunyai hubungan yang sangat erat dengan munculnya medan magnet, namun tidak semua daerah aktif akan menghasilkan flare, ada juga daerah aktif yang tidak menghasilkan flare. Perbedaan antara daerah aktif yang satu dengan daerah aktif yang lain adalah dalam hal produktivitas flare. Diperlukan kondisi-kondisi tertentu dari suatu

4 daerah aktif agar energi yang tersimpan di dalam medan-medan magnet ini dapat lepas dan digantikan dengan munculnya flare. Ledakan berupa flare dapat menghasilkan solar proton events dan tidak menghasilkan solar proton events. Pada penelitian ini akan ditinjau mengenai daerah aktif yang menghasilkan solar proton events. Solar proton events merupakan peristiwa yang terjadi ketika proton yang dipancarkan oleh Matahari dipercepat hingga energi yang sangat tinggi saat terjadinya flare. Solar proton events terjadi ketika energi proton yang lebih besar dari 10 MeV (Mega elekton Volt) melampaui 10 pfu (proton flux unit) di ketinggian satelit Geosinkron. Solar proton memiliki energi yang cukup untuk menembus atmosfer Bumi melalui medan magnet Bumi. Ketika solar proton masuk ke medan magnet (magnetosfer) Bumi, gangguan pada medan magnet Bumi akan menjadi lebih kuat. Dari beberapa peristiwa ledakan-ledakan (CME, flare, solar proton events) di Matahari akibat adanya aktivitas Matahari, maka dapat diketahui tingkat kompleksitas bintik Matahari dan aktivitasnya dengan mengklasifikasikan jenis bintik Matahari tersebut. Klasifikasi bintik Matahari yang muncul di daerah aktif di Matahari terdiri dari klasifikasi Mount Wilson (kelas magnet) dan klasifikasi Zurich (kelas sunspot). Klasifikasi Mount Wilson (kelas magnet) terdiri dari kelas Alpha, Beta, Delta, Gamma, Beta-Gamma, Beta-Delta, Beta-Gamma-Delta, dan Gama-Delta. Sedangkan klasifikasi Zurich (kelas sunspot) terdiri dari kelas A, B, C, D, E, F, H. Klasifikasi bintik Matahari menunjukan jenis kelas bintik (spot-cluster) sebagai satu kelompok unipolar atau bipolar. Kelompok unipolar digambarkan

5 sebagai bintik tunggal (single spot). Sedangkan kelompok bipolar terdiri dari paling sedikit dua bintik utama (two principal spots) dengan jarak setiap bintiknya minimal 3º heliographic. Semakin kompleks suatu konfigurasi bintik Matahari, semakin besar kemungkinan terjadinya ketidakstabilan (instability) medan magnet sehingga memicu peristiwa flare (Adipranata, et al., 2010). Dengan mengklasifikasikan tingkatan kompleksitas bintik Matahari, maka dapat dilihat karakteristik daerah aktif yang kompleks, yaitu yang menghasilkan proton berenergi tinggi. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik daerah aktif di Matahari berdasarkan tingkatan kompleksitas bintik Matahari yang akan menghasilkan solar proton events. Dampak dari aktivitas Matahari yang menghasilkan solar proton events yang muncul pada daerah aktif di Matahari salah satunya adalah gangguan sistem satelit. Partikel energetik dari Matahari secara terus menerus akan mempengaruhi satelit. Partikel berenergi tinggi akan menembus komponen elektrik, dan merubah sinyal elektronik yang mengakibatkan informasi yang salah dari satelit, sedangkan partikel dengan energi lebih rendah akan menyebabkan pemuatan pada permukaan satelit. Radiasi ultra violet dari Matahari yang bervariasi secara terus menerus mengubah kerapatan dan temperatur atmosfer dan mempengaruhi orbit dan kala hidup satelit, terutama satelit-satelit orbit rendah, dengan naiknya kerapatan atmosfer dan atmospheric drag. Gangguan ini dapat menyebabkan penurunan ketinggian orbit satelit. Sehingga mengakibatkan orbit satelit mengalami degradasi atau bahkan mengalami re-entry ke Bumi.

6 Adapun gangguan sistem satelit akibat seburan partikel berenergi tinggi bergantung pada beberapa hal, diantaranya posisi satelit diangkasa dan tingkat aktivitas Matahari. Sebagai contoh dampak dari solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23 yang mengganggu sistem satelit terjadi pada tahun 2003 dimana satelit Midori 2 milik Jepang, pada ketinggian 800 km mengalami kerusakan pada sistem tenaga yang menyebabkan satelit ini kehilangan kontak dengan Bumi. Badan Eksplorasi Ruang Angkasa Jepang (JAXA) menyatakan kemungkinan kerusakan berkaitan dengan semburan partikel dari Matahari. Setelah diketahui dampak-dampak yang akan terjadi saat solar proton events terjadi, diperlukan informasi mengenai aktivitas Matahari, berupa besarnya aktivitas Matahari dan besar kecilnya gangguan yang akan terjadi pada Bumi saat peristiwa tersebut terjadi. Berdasarkan hal itu, penelitan ini dilakukan untuk memprediksikan gangguan yang akan terjadi di Bumi saat peristiwa tersebut terjadi, sehingga dapat dicegah akibat buruk dari peristiwa tersebut, atau setidaknya diminimalisasi dampaknya pada Bumi. Kondisi di Matahari selalu mengalami perubahan dalam skala pendek (detik, menit, dan 27 harian) dan skala panjang (siklus Matahari 11 tahun), seperti halnya cuaca dan iklim bagi bumi. Aktivitas Matahari bervariasi secara periodik dengan periode rata-rata 11 tahun untuk periode panjang dan periodik sesuai rotasi Matahari dengan periode rata-rata 27 hari (Lean, 1991; dalam Suratno, 2008).

7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana frekuensi terjadinya solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23? 2. Bagaimana karakteristik daerah aktif di Matahari yang menghasilkan solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23? 3. Bagaimana perbandingan daerah aktif di Matahari yang menghasilkan solar proton events dengan daerah aktif yang tidak menghasilkan solar proton events? 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ini membahas karakteristik daerah aktif di Matahari yang menghasilkan solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23. Variabel-variabel yang akan diamati pada penelitian ini antara lain berupa: 1. Luas daerah aktif 2. Kelas magnet 3. Kelas sunspot 4. Jumlah sunspot (bintik Matahari) Dari keempat varibel yang akan diamati, maka pembahasan ini akan lebih difokuskan pada daerah aktif yang menghasilkan solar proton events. Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan data aktivitas Matahari pada siklus ke-23 yaitu aktivitas Matahari dari tahun 1997-2006.

8 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui frekuensi terjadinya solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23. 2. Mengetahui karakteristik daerah aktif di Matahari yang menghasilkan solar proton events pada siklus aktivitas Matahari ke-23. 3. Mengetahui perbandingan daerah aktif di Matahari yang menghasilkan solar proton events dengan daerah aktif yang tidak menghasilkan solar proton events. 1.4.2 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah agar kita dapat mengetahui karakteristik daerah aktif di Matahari yang mempunyai kemungkinan untuk menghasilkan solar proton events. Selain itu, manfaat pengklasifikasian bintik Matahari adalah untuk menganalisis cuaca Antariksa. Sehingga dapat diprediksi dampak-dampak atau gangguangangguan yang akan terjadi pada Bumi ketika peristiwa tersebut terjadi. Dengan begitu dapat dicegah atau setidaknya diantisipasi dan diminimalisasi dampak yang akan terjadi pada Bumi saat peristiwa tersebut terjadi.

9 1.5 Metode Penelitian Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik. Adapun data yang diperlukan untuk melakukan penelitian dengan metode deskriptif analitik ini terdiri dari data daerah aktif di Matahari dan data solar proton events. Deskriptif analitik ini dilakukan dengan memperoleh kondisi daerah aktif yang menghasilkan solar proton events yaitu luas daerah aktif, kelas magnet, kelas sunspot, dan jumlah sunspot di daerah tersebut. Selanjutnya akan dibandingkan dengan data daerah aktif yang tidak menghasilkan solar proton events, yang meliputi luas daerah aktif, kelas magnet, kelas sunspot, dan jumlah sunspot, sehingga dapat diketahui perbedaan antara daerah aktif yang menghasilkan solar proton events dan daerah aktif yang tidak menghasilkan solar proton events. 1.6 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di beberapa tempat, yaitu : a. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LAPAN yang berlokasi di Jalan DR. Djunjunan 133 Bandung, Jawa Barat. Penelitian di Lapan dilakukan setiap 2-3 hari setiap minggunya. b. Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) Tanjungsari, Sumedang. Penelitian di SPD Tanjungsari ini dilakukan pada bulan Agustus 2010.