BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN. Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam

dokumen-dokumen yang mirip
PROFESI AKUNTANSI MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

Professional Veterinarian

Pengembangan MRA Sektor Perbankan Menyongsong MEA 2015 dan ABIF Ir. Sumarna F. Abdurahman M.Sc. Ketua BNSP

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 31 / PRT / M /2006 TENTANG

MEMASUKI BURSA TENAGA KERJA DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. jasa, aliran investasi dan modal, dan aliran tenaga kerja terampil.

BAB 2 MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENT

PENDIDIKAN AKUNTANSI SEBAGAI PONDASI PENINGKATAN KOMPETENSI AKUNTAN PROFESIONAL

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI TENAGA KESEHATAN DALAM MENGHADAPI PASAR BEBAS ASEAN 2015

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

PERKEMBANGAN ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (AFAS) DAN KES APAN INDONESIA. Komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.

PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING (TK-WNA) DI INDONESIA. Dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes BADAN PPSDMK KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Executive Summary. Laporan Penelitian ASEAN Study Center Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi secara luas telah membuka perekonomian dunia dalam skala yang hampir

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Madura, 27 Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN. dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X. Jl. Tamansari No.1 Bandung

SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Phone/Fax:

Keywords: ASEAN Economic Community, Micro, Small and Medium Enterprises, Monopoly

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta dalam Mempersiapkan Tenaga Keperawatan di Era Masyarakat

STRATEGI DAN PROGRAM INDONESIA KOMPETEN DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

LIBERALISASI PERDAGANGAN. Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global. Urip Sedyowidodo

SKRIPSI. Oleh : YARA OLIVIA NIM :

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEINSINYURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh bidang konstruksi pada suatu negara cukup besar. Bidang

Pilar 1, MEA 2015 Situasi Terkini

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 & PENGUATAN REGULASI PROFESI AKUNTANSI

KERJASAMA PROGRAM PROFESI INSINYUR KEMENTERIAN PUPR DENGAN KEMENTERIAN RISTEK DIKTI. DIREKTUR JENDERAL BINA KONSTRUKSI Jakarta - Senin,10 Oktober 2016

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

2011, No Pedoman Standardisasi Nasional tentang panduan keberterimaan regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian kesesuaian untuk produk pe

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

Sinergitas Asosiasi Profesi dalam Penguatan Profesionalisme Akuntan di Indonesia. Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama)

IKATAN AKUNTAN INDONESIA PROFESI AKUNTAN PADA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. yang telah diaudit oleh akuntan publik. Selain itu, kondisi perekonomian domestik

Tujuan Pembangunan Negara RI adalah kesejahteraan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PERSAINGAN PERDAGANGAN JASA DI BIDANG KONSTRUKSI DALAM RANGKA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA)

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

Simposium Akuntan Pendidik Medan, 16 September Oleh: MUSTOFA, CA. Anggota Dewan Penasihat IAI

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang dapat distandardisasi secara internasional di setiap negara.

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. jurusan Akuntansi, Manajemen, dan IE (Ilmu Ekonomi). Mahasiswa Ekonomi

Ketentuan Pengaturan Jasa Dalam Percepatan Penerapan Asean Economic Community

LATAR BELAKANG PELUNCURAN CA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

ANALISIS KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA PADA KONTRAKTOR DI SURABAYA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

HEALTH SERVICES GLOBALIZATION: KE MANA AJA INDONESIA?

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi Free Trade Area (AFTA) dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. pada ASEAN Economic Community (AEC) yang mana merupakan pedoman

KESIAPAN TENAGA KERJA INDONESIA MENGHADAPI MEA PELUANG DAN TANTANGAN. Dasril Rangkuti. Wakil KOMITE TETAP PELATIHAN KETENAGAKERJAAN

PERAN PERDAGANGAN JASA DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL

PELUANG TENAGA KERJA INDONESIA DALAM MENGHADAPI MEA Oleh: Tiesnawati Wahyuningsih, SH., MH (FISIP)

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN ITB BANDUNG, 28 JULI 2016

SEMINAR STRATEGI DAN REGULASI PENDIDIKAN TINGGI AKUNTANSI SESUAI CETAK BIRU PROFESI AKUNTAN PROFESIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENINGKATAN PELAKSANAAN PERJANJIAN-PERJANJIAN ASEAN Oleh: Dina Kurniasaril

MENYIAPKAN AKUNTAN PROFESIONAL INDONESIA (CA INDONESIA)

TANTANGAN PUSTAKAWAN INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN. Sri Suharmini Wahyuningsih 1 Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang terluas di Asia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB I PENDAHULUAN. dan membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi tahun 2015 pada

ASION WORKSHOP NASIONAL MENYIAPKAN ENGINEER DAN KONSULTAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI MEA

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

MEA: DUA SISI MATA UANG

KESIAPAN MAHASISWA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DI AKPER YKY

Masyarakat Ekonomi ASEAN. Persiapan Menghadapi Persaingan Dunia Kerja By : Tambat Seprizal (FE 06)

1 A S C F I S I P U I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa globalisasi saat ini sangat diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/PMK.04/2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman.

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT LAOS JADWAL KOMITMEN SPESIFIK

ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI

Transkripsi:

BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam AEC 2015, negara-negara anggota yang telah tergabung di dalam ASEAN sebelumnya telah mempersiapkan perjanjian-perjanjian yang mendukung adanya aliran bebas dalam sektor jasa antar negara-negara ASEAN khususnya sektor jasa yang berkaitan dengan tenaga kerja terampil yang menjadi fokus utama yang hendak dicapai dalam AEC 2015. Dasar penerapan tersebut dapat terlihat dari perjanjian-perjanjian yang disepakati negara-negara anggota ASEAN dibidang jasa, yaitu: A. ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 1. Prinsip dan Penerapan Prinsip AFAS Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan Prinsip-prinsip sebagaimana yang diterapkan dalam WTO. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 23 a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment- kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain. b. Non discriminative-pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian; c. Transparancy-setiap negara wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah; Jakarta, hal 42 23 H.S Kartadjoemena, 1997, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, Universitas Indonesia (UI-Press), 17

d. Progressive liberalization-liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tinggat perkembangan ekonomi setiap negara anggota. Keempat prinsip tersebut sangat penting sebagai dasar penerapan kesepakatan-kesepakatan AFAS bagi Negara-Negara Anggota ASEAN. Meskipun demikian, dalam penerapannya kesepakatan perdagangan jasa ini tidak bisa dilakukan semutlak penerapan prinsip dalam perdagangan barang. Hal ini dikarenakan dalam penerapan kesepakatan perdagangan jasa, setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda yang menjadikan tingkat kualifikasi tiap negara berbeda-beda pula dan terdapat perbedaan kemampuan tenaga kerja yang ada pada negara-negara anggota sehingga kesepakatan pada bidang jasa harus dilakukan secara bertahap (progressive liberalization). Sementara itu dalam kesepakatan perdagangan barang dilakukan dengan langkah agresive liberalization dimana pemerintah secara agresif ikut dalam arus liberalisasi. Hal ini juga terjadi dalam penerapan prinsip-prinsip di AFAS. Prinsip dalam AFAS merupakan prinsip yang penting sebagai dasar dalam membuat dan mengajukan kesepakatan kesepakatan dalam komitmen yang diajukan, tetapi penerapannya sendiri bersifat regional untuk kawasan Asia Tenggara atau negara-negara yang tergabung dalam kesepakatan AFAS itu sendiri. Mengenai prinsip Most Favored Nation (MFN), bahwa perdagangan internasional harus dilakukan tanpa diskriminasi. Apabila suatu negara anggota memberikan konsesi kepada suatu negara anggota, maka konsesi tersebut harus pula diberikan kepada negara anggota lain tanpa diskriminasi. 24 Dalam penerapannya segala kemudahan yang diberikan kepada suatu negara haruslah sama dengan apa yang diberikan terhadap negara lain sehingga ada hubungan yang seimbang antara keduanya. Menanggapi hal tersebut, hal pertama dalam hal ini bahwa tentu saja segala kemudahan 24 Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2011, hal. 110 18

yang tercipta dari perjanjian dan komitmen AFAS tentu saja hanya berlaku terhadap negara anggota, yaitu negara negara yang tergabung dalam kesepakatan AFAS. Dalam pasal 3(a) AFAS disebutkan: Eliminating substantially all existing discriminatory measures and market access limitations amongst Member States; and Digaris bawahi dalam hal ini adalah kata among Member State yang memberikan gambaran bahwa perjanjian perjanjian yang terkait dengan kesepakatan AFAS hanya terjadi antara member state dan tentu saja termasuk penerapan prinsip dari AFAS itu sendiri. Kemudian jika kita memperhatikan pasal-pasal dalam AFAS, hampir dalam semua pasal-pasal AFAS sendiri terus menyebutkan kata Member state dalam setiap pasal yang menandakan bahwa pasal-pasal tersebut ditujukan untuk negara-negara anggota. 25 Selain itu, pasal 6 AFAS memuat yang tentang Denied of Benefits semakin menegaskan hal tersebut. Disebutkan bahwa: The benefits of this Framework Agreement shall be denied to a service supplier who is a natural person of a non-member State or a juridical person owned or controlled by persons of a non- Member State constituted under the laws of a Member State, but not engaged in substantive business operations in the territory of Member State(s) Pasal ini jelas sekali memberikan penjelasan bahwa segala keuntungan yang akan diperoleh dari perjanjian ini hanya berlalu untuk negara-negara dan person dari negara-negara anggota, termasuk untuk mendapatkan perlakuan Most Favered Nation. Kemudian isu selanjutnya, bahwa diantara negara-negara anggota sekalipun pemberlakuan prinsip Most Favored Nation sendiri tidak berlaku mutlak. Terdapat kemungkinan kemungkinan dimana prinsip ini dapat dikesampingkan. Salah satunya adalah bahwa setiap negosiasi paket AFAS 25 Nurchalis, Strategi Indonesia dalam Analisis Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Dibidang Jasa oleh Negara-negara ASEAN melalui AFAS, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasannudin, Makassar, 2013, hal. 159 19

sendiri selain komitmen Schedule Of Specific Commitment dan Horizontal Commitment dikenal adanya MFN Exemption. MFN Exemption ini memuat hal hal dimana kewajiban MFN dari suatu negara anggota dikecualikan. Pengecualian ini harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana tertuang dalam pasal II GATS mengenai MFN. 26 Dalam pasal II GATS diatur kewajiban perlakuan MFN dalam perdagangan jasa yang bertujuan untuk menjamin kesamaan kesempatan atas jasa yang sejenis dan pemberi jasa (service suppliers) sejenis tanpa memperdulikan asal atau tujuan dari jasa-jasa atau pihak-pihak pemberi jasa baik yang berasal dari anggota WTO maupun yang berasal dari pihak-pihak yang bukan anggota WTO. Selain itu, dalam penerapan prinsip MFN, dikenal adanya dua perlakuan terhadap pemasok jasa yaitu treatment no less favourable, dimana yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap service supplier dari suatu negara dengan negara lainnya. Yang kedua adalah national treatment, yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap domestic service supplier dengan foreign service supplier. 27 Prinsip selanjutnya yaitu Non Discriminative, bahwa negara anggota tidak diperbolehkan memberikan perlakuan yang berbeda kepada penyedia jasa dari satu negara tertentu. dengan kata lain pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian. 28 Ini berarti, secara umum bahwa bila suatu negara menerapkan suatu hambatan dalam perdagangan, maka hambatan tersebut haruslah berlaku untuk semua negara. tentu saja sehubungan dengan penulis telah bahas sebelumnya pada bagian pertama tadi bahwa prinsip ini 26 Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa,Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2009, hal. 36 27 Syahmin A.K., Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 h.184. 28 Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa, Loc.cit. 20

hanya berlaku dalam konteks negara negara anggota AFAS, dan tidak berlaku terhadap negaranegara yang berada diluar perjanjian ini. olehkarena itu, maka diskriminasi terhadap negaranegara anggota asean memang dapat dicegah dengan adanya prinsip ini, akan tetapi sebagai organisasi regional, maka perbedaan perlakuan antara negara anggota dan negara diluar konteks AFAS tak bisa dihindari. Kemudian prinsip transparency, AFAS pun menerapkan prinsip ini sebagaimana di WTO, bahwa setiap negara anggota WTO, wajib bersikap transparan dalam menetapkan kebijakan perdagangan luar negerinya antara lain dengan mempublikasikan peraturan perundang-undangan dibidang perdagangan, memberikan informasi atas permintaan anggota WTO lainnya, membentuk institusi yang memungkinkan peninjauan keputusan administrasi negara. 29 Selain itu setiap negara juga wajib memberitahukan atas adanya peraturan baru yang dapat mempengaruhi pelaksaan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan negara anggota. 30 Kemudian prinsip yang terakhir yaitu progressive liberalization, bahwa setiap negara anggota wajib melakukan liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan ekonominya masing-masing. Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua angota AFAS untuk melakukan putaran negosiasi yang berkesinambungan. Negosiasi tersebut harus dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan measures yang dapat berdampak buruk terhadap perdagangan Jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing. 31 Proses liberalisasi suatu bidang jasa dilakukan dengan sangat berhati-hati dengan mempertimbangkan 29 Sri Sunardi, Strategi Indonesia dalam menghadapi liberalisasi Jasa Telekomunikasi dalam kerangka Asean Framework Agreement on Service (AFAS),Tesis, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 39. 30 Syahmin A.K., Op.cit hal. 191. 31 Syahmin A.K., Op.cit hal. 195. 21

kepentingan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi negara anggota ASEAN. Untuk itu diterapkan prinsip fleksibilitas yang disepakati oleh semua negara ASEAN (Pre-agreed flexibility) 32 dan penerapan formula ASEAN minus X 33. Hal ini juga dapat kita lihat dalam negosiasi tiap paket AFAS. Setiap negara hanya diberikan target untuk meliberalisasi sejumlah komitmen, baik dari segi jumlah, presentasi modal asing dan sebagainya dalam perundingan tersebut, namun hanya menargetkan dan tidak ada aturan yang bersifat paksaan untuk memenuhi target tersebut, dimana hal ini bertujuan agar negara negara anggota dapat mempersiapkan terlebih dahulu sektor yang ingin diajukannya. 2. Mekanisme dan Penerapan Mekanisme AFAS Mekanisme liberalisasi perdagangan Jasa AFAS dilakukan melaui rangkaian negosiasi dibawah Coordinating Committee on Service (CCS), yang didirikan pada Januari 1996. Badan ini bertanggung jawab kepada ASEAN Economic Meeting (AEM) melaui Senior Officials Meeting (SEOM). CCS mengordinasikan enam kelompok kerja yang terdiri dari bisnis, konstruksi, kesehatan, transportasi laut, parawisata, serta telekomunuikasi dan teknologi informasi. Untuk sektor jasa lainnya, sejak 1999 proses perundingan dikordinasikan secara terpisah dibawah masing-masing kementrian yang menangani sektor tersebut, sebagai contoh sektor transportasi melalui Air Transport Working Group (ATWG), dan sektor jasa keuangan melalui Working Committee on Financial Service Liberalisation (WC-FSL) under AFAS. 34 Perundingan liberalisasi jasa ASEAN dilakukan dalam putaran perundingan dengan kurun waktu sekitar tiga tahun. Putaran pertama dilakukan pada 1996-1998, dengan mengadopsi 32 Integrasi ekonomi Asean dibidang jasa, Op.cit hal. 16. 33 Dalam publikasi WTO/ESCAP Workshop On Trade in Service Negosiation di Dhaka, Bangladesh menjelaskan bahwa Formula Asean Minus X yaitu ketika dua negara atau lebih dapat melakukan liberalisasi atas sektor jasa yang disepakati bersama, sedangkan Negara-negara lain dapat menyusul setelah mereka siap. 34 Nurchalis, Op.cit, hal. 163. 22

pendekatan permintaan dan penawaran (Request and Offer Approach). 35 Pendekatan ini dimulai dengan pertukaran informasi antar anggota ASEAN tentang komitmen yang telah dibuat dalam GATS dan rezim perdagangan jasa yang diberlakukan dinegara masing-masing. Putaran kedua dilakukan pada 1999-2001 dengan mengadobsi Common subsektor Approach, yakni pendekatan yang didasarkan pada komitmen yang telah disetujui oleh minimal empat negara ASEAN, baik dalam GATS maupun dalam AFAS. Jika suatu sub-sektor jasa telah memiliki komitmen lebih dari empat negara, maka subsektor jasa tersebut harus terbuka diseluruh negara anggota dengan memberlakukan prinsip Most Favoured Nation (MFN). Putaran ketiga dilakukan pada 2002-2004 dengan pendekatan Modified Common subsector Approach. Pada dasarnya pendekatan ini sama dengan Common subsektor approach tetapi negara yang berkomitmen dikurangi dari empat negara menjadi tiga negara. padaputaran kali ini ASEAN juga mulai menggunakan formula ASEAN minus negara X. putaran keempat dimulai pada 2005 dan telah dicapai kesepakatan dengan ditandatangani Protocol to Implement the Fourth Package of Commitment on Financial Service Under the ASEAN Framework Agreement on Service pada The 12th ASEAN Financial Minister Meeting (AFMM) di Danang, Vietnam tanggal 4 April 2008. Dalam memfasilitasi aliran bebas sektor jasa pada 2015, ASEAN juga telah mempersiapkan beberapa mekanisme pelaksanaannya, yaitu: 36 35 Ibid. 36 Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN, Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 13-15 23

a. Mengurangi substansial seluruh hambatan dalam perdagangan jasa untuk empat sektor prioritas bidang jasa, yaitu transportasi udara, e-asean, kesehatan, dan pariwisata. Pada 2010 dan untuk sektor prioritas kelima, yaitu jasa logistik, pada 2013; b. Menguranggi secara substansial seluruh hambatan perdagangan jasa pada 2015; c. Melaksanakan liberalisasi perdangnan jasa melalui putaran negoisasi setiap 2 tahun hingga 2015, yaitu, 2008, 2010, 2012, 2014, 2015; d. Menargetkan jadwal jumlah minimum subsektor jasa baru yang harus dipenuhi pada setiap putaran, yaitu 10 subsektor pada 2010, 15 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2014, 7 subsektor pada 2015, yang didasarkan pada klasifikasi umum perjanjian umum perdagangan jasa WTO (GATS) W/120; e. Menjadwalkan paket komitmen untuk setiap putaran sesuai parameter sebagai berikut: i. Tidak ada hambatan bagi moda 1 dan 2, dengan pengecualiaan alasan yang dapat diterima (seperti kepentingan dan keamanan nasional) atas persetujuan semua Negara anggota berdasarkan kasus per kasus. ii. Mengijinkan penyertaan modal asing (ASEAN) minimal 50% pada 2008 dan 70% pada 2010 bagi empat sektor prioritas; minimal 49% pada 2008, 51% pada 2010 dan 70% pada 2015 bagi sektor jasa lainnya; dan iii. Menghapuskan secara progresif hambatan lainnya bagi perdangan jasa moda 3 pada 2015. f. Menetapkan parameter liberalism untuk pembatasan National Treatment, moda 4 dan pembatasan dalam Horizontal Commitments pada setiap putaran pada 2009; 24

g. Menjadwalkan komitmen sesuai dengan parameter yang disepakati untuk pembatasan national treatment, moda 4 dan pembatasan pada horizontal commitments yang ditentukan pada 2009; h. Menyelesaikan kompilasi daftar hambatan perdangan jasa pada Agustus 2008; i. Mengizinkan seluruh fleksibelitasi, meliputi subsektor yang secara penuh dikecualikan dari lliberalisasi, dan subsektor yang parameternya belum disepakati dalam penjadwalan komitmen liberalisasi. Penjadwalan komitmin liberalisasi pada tiap putaran akan disesuaikan dengan fleksibelisasi sebagai berikut: i. Kemungkinan untuk ikut serta pada putaran berikutnya jika negara anggota tidak dapat memenuhi parameter komitmen yang ditentukan pada putaran sebelumnya; ii. Mengizinkan pergantian sub-sektor telah sepakat sepakat diliberalisasikan dalam satu putaran dengan subsektor lain diluar yang telah di sepakati, tapi hanya untuk negara anggota yang tidak mampu melaksanakan komitmennya; dan iii. Liberalisasi melalui formulasi ASEAN minus X. j. Menyelasaikan Pengaturan saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangements/ MRas) yang saat ini sedang dalam tahap negosiasi antara lain di bidang jasa arsitek, akuntan, surveying qualification, tenaga medis pada 2008 dan dokter gigi pada 2009; k. Mengimplementasikan MRA secepatnya sesuai dengan ketentuan dari setiap MRA; l. Mengidentifikasi dan mengembangkan MRA untuk jasa profesi lainnya selambatlambatnya pada tahun 2015; dan m. Memperkuat pengembangan SDM dan peningkatkan kemampuan di bidang perdagangan jasa 25

Namun dalam hal penerapan mekanisme AFAS, dapat dilihat dari bagaimana AFAS itu diimplementasikan selama ini, dimana implementasi AFAS tercermin dari komitmen-komitmen tiap-tiap negara ASEAN yang ada didalam suatu paket skedul komitmen yang dicapai pada setiapputaran negosiasi. Paket-paket skedul komitmen tersebut antara lain sebagai berikut: 37 a. Paket 1 dan 2 skedul komitmen AFAS dicapai pada putaran pertama b. Negosiasi AFAS yang dimulai pada 1 Januari 1996 dan berakhir pada 31 Desember 1998 c. Paket 3 Skedul Komitmen dicapai pada putaran kedua negosiasi AFAS yang berlangsung antara tahun 1999 hingga 2001 d. Paket 4 Skedul komitmen dicapai pada putaran ketiga negosiasi AFAS yang berlangsung antara tahun 2002 hingga 2004 e. Paket 5 & 6 skedul komitmen AFAS dicapai pada putaran keempat Negosiasi AFAS yang berjalan antara tahun 2005 hingga 2006 f. Paket 7 Skedul Komitmen AFAS dicapai pada putaran kelima Negosiasi AFAS yang berjalan antara tahun 2007 hingga 2009 13. 37 The ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, Jakarta: ASEAN Secretariat, Agustus 2009, hal 26

B. Mutual Recognition Agreement (MRA) 1. MRAs Dalam Sektor Jasa Berkaitan Dengan Bisnis Penerapan MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan bisnis diatur oleh Business Services Sectoral Working Group (BSSWG) dibawah koordinasi ASEAN Coordinating Committee on Services (CCS). 38 Pembagian MRAs yang termasuk ke dalam sektor ini, yaitu: 1.1 MRA Dalam Sektor Jasa Keinsinyuran Perjanjian MRA ASEAN dalam sektor jasa keinsinyuran (engineering services) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Indonesia pada saat itu diwakilkan oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Berbeda dengan sektor survei dan sektor akuntansi, MRA dalam sektor keinsinyuran telah ditandatangani oleh kesepuluh negara dan bukan lagi merupakan kerangka kerja (framework). Perjanjian tersebut terdiri dari 8 pasal: 39 1. Pasal 1 tentang maksud dan tujuan 2. Pasal 2 tentang definisi 3. Pasal 3 tentang pengakuan, kualifikasi, dan kelayakan 4. Pasal 4 tentang PRA, MC, dan ACPECC (kelembagaan/otoritas) 5. Pasal 5 tentang perjanjian pengecualian 6. Pasal 6 tentang kemungkinan perubahan 38 The ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, Jakarta: ASEAN Secretariat, Desember 2015, hal 28. 39 Menuju MEA mengamati MRA keinsinyuran, https://imedimud.wordpress.c om/2014/12/17/menujumea-mengamati-mra-di-bidang-keinsinyuran/, diakses tanggal 14 Februari 2016 27

7. Pasal 7 tentang penyelesaian sengketa 8. Pasal 8 tentang penutup Tujuan dari MRA sektor jasa keinsinyuran adalah untuk memfasilitasi perdagangan dan sebagai stimulan aktivitas ekonomi antarpihak melalui penerimaan kompetensi SDM dalam hal standar, kualifikasi, sertifikasi dan lisensi. Dalam artikel 1 MRA sektor keinsinyuran dijelaskan bahwa tujuan dari adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini adalah untuk memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran profesional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi. Di dalam MRA ini, terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa keinsinyuran. Apa yang dinamakan dengan sektor keinsinyuran (engineering services) merujuk kepada aktivitas yang berada di lingkup Central Product Classification (CPC) Code 8672 dari Provisional CPC yang diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. 40 Selain itu, apa yang disebut dengan graduate engineer merujuk kepada setiap warga negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di bidang keinsinyuran yang telah memperoleh pengakuan dan diakreditasi oleh otoritas nasional di suatu negara. Berbeda dengan graduate engineer, professional engineer (practitioner) merujuk kepada:..natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and is assessed by a Professional Regulatory Authority (PRA) of any participating ASEAN Member Country as being technically, morally, and legally qualified to undertake independent professional engineering 40 Makmur Keliat dkk, op.cit, hal. 25 28

practice and is registered and licensed for such practice by the Authority. ASEAN Member Countries may have different nomenclatures and requirements for this term. 41 Sebenarnya, tujuan umum dari MRA bidang keinsinyuran ini adalah untuk menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, metode dan spesialisasi yang secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negara-negara ASEAN. Ada tiga prinsip yang dilakukan dalam penyelenggaraan MRA bidang keinsinyuran ini, antaralain: transparansi, ekuivalensi, dan harmonisasi.. 42 Agar seorang professional engineer bisa berpraktik di negara tujuan (host country) dan memperoleh gelar ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain mencakup: 43 a. Telah menyelesaikan pendidikan tinggi bidang keinsinyuran; b. Mendapatkan izin (lisensi) dari otoritas profesi nasional untuk berpraktik mandiri; c. Memiliki pengalaman kerja 7 tahun, 2 tahun di antaranya adalah pengalaman kerja di bidang keinsinyuran; d. Sejalan dengan kebijakan Continuing Professional Development (CPD) dengan tingkat yang memuaskan; e. Memperoleh sertifikat dari badan penyelenggara nasional dan tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar hukum. 41 MRA on Engineering Services Article 2.10 42 Makmur Keliat dkk, op.cit, hal. 26 43 MRA on Engineering Services Article 3 29

Jika syarat di atas telah dipenuhi, maka professional engineer bisa mendaftarkan diri ke ACPE Coordinating Committee di bawah ACPE Registers. Insinyur yang telah memperoleh sertifikat ACPE bisa mendaftarkan diri kepada otoritas pengaturan profesional di host country untuk dicatat sebagai Registered Foreign Professional Engineers (RFPE). Jika seorang ACPE akan bekerja di host country, persyaratannya adalah ia tidak bisa bekerja secara mandiri, namun harus berkolaborasi dengan insinyur lokal yang telah memiliki standar kualifikasi yang sama. Adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini sebenarnya merupakan awal untuk masuk ke dalam penetrasi pasar bebas sektor keinsinyuran, awal untuk memastikan bahwa keseragaman dari kualitas sektor jasa keinsinyuran di negara-negara ASEAN itu sama. 44 Masih banyak peraturan dan standar yang bisa dibuat untuk mengarahkan kepada efisiensi dan daya saing. Tidak bisa diartikan bahwa kualitas insinyur dari seluruh negara ASEAN harus sama karena adanya perbedaan kualifikasi dan kualitas SDM yang ada di negara-negara anggota ASEAN. Semisal, SDM insinyur di Singapura tidak bisa disamakan begitu saja dengan SDM insinyur di Indonesia, atau negara lainnya. Jasa keinsinyuran adalah jasa yang krusial khususnya dalam hal pembangunan fisik, infrastruktur, dan teknologi di suatu negara. Tanpa adanya sektor keinsinyuran, sektor-sektor ekonomi lainnya tidak akan berjalan, misal tidak adanya jalan yang memadai untuk mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lain; tidak berkembangnya fasilitas publik yang dibutuhkan, dan lain sebagainya. Di Indonesia, jasa keinsinyuran didasarkan pada bidang keilmuan dalam rumpun teknik dari kurikulum yang ada. Indonesia mengenal ada 12 jenis bidang dalam sektor keinsinyuran, antara lain: 45 44 Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia dalam FGD di FISIP UI, 26 Oktober 2013 45 Makmur Keliat, op.cit, hal. 27 30

1. Teknik Sipil 2. Teknik Mesin 3. Teknik Elektro 4. Teknik Fisika 5. Teknik Perminyakan 6. Teknik Industri 7. Teknik Geodesi 8. Teknik Kelautan 9. Teknik Kimia 10. Teknik Lingkungan 11. Teknik Pertambangan 12. Teknik Aeronautikal Dalam bidang keinsinyuran, sebenarnya di MRA ada dua yang diatur, pertama adalah bidang keinsinyuran (engineering services) dan sektor arsitektur (architectural services). Akan tetapi, keduanya dipisah karena sekalipun sama-sama rumpun keinsinyuran namun mempunyai karakteristik yang berbeda. Di Indonesia, asosiasi yang membidangi keinsinyuran adalah Persatuan Insinyur Indonesia yang dibentuk pada tahun 1952 dan saat ini dipimpin oleh Ir. Bobby Gafur Umar, MBA hingga tahun 2015. 46 1.2 MRA Dalam Sektor Jasa Arsitektur MRA untuk jasa arsitektur ditandatangani pada tanggal 19 November 2007 di Singapura. Tujuan dari MRA ini dijelaskan dalam empat poin yaitu: 47 46 Diakses dari http://pii.or.id/profil/overview 47 ASEAN MRA on Architectural Services diambil dari http:/ /www.asean.org/ images/archive /21137.pdf 31

a. Menfasilitasi mobilitas arsitek-arsitek; b. Melakukan pertukaran informasi dalam upaya mempromosikan pengadopsian best practices dalam hal standar pendidikan arsitektur, praktik profesional dan kualifikasi-kualifikasi lainnya; c. Melaksanakan spirit kerjasama ASEAN yang menekankan pada distribusi sumber daya yang fair dan benefit melalui riset kolaborasi; d. Mendorong, menfasilitasi dan membangun pengakuan timbal balik dalam hal jasa arsitek dan menyusun standar dan komitmen untuk melakukan transfer teknologi di antara negara-negara anggota ASEAN. Melihat tujuan MRA jasa arsitek ini, terkesan lebih maju dalam lingkup kegiatannya terutama terkait poin 3 dan 4, yang menekankan distribusi sumber daya yang fair dan riset kolaborasi serta transfer teknologi. Poin-poin ini tidak disebutkan untuk MRA disektor lainnya seperti Keperawatan dan Kedokteran yang seyogyanya bisa juga ditujukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih luas. 48 1.3 MRA Dalam Sektor Jasa Akutansi MRA Framework untuk sektor jasa akuntansi (accountancy services) Disepakati pada tanggal 26 Februari 2009, oleh negara-negara anggota ASEAN. Pihak yang mewakili Indonesia adalah Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sebagai sebuah MRA Framework, kesepakatan tersebut tidak langsung mengatur secara detail namun memberikan panduan mengenai prinsip-prinsip besar dan kerangka kerja sama yang dapat 48 Makmur Keliat, op.cit, hal. 34 32

menjadi panduan untuk negosiasi lebih lanjut tentang MRA di sektor tersebut di antara negaranegara ASEAN. 49 Di dalam dokumen tersebut, definisi Accountancy Services merujuk pada kegiatankegiatan yang masuk ke dalam klasifikasi Central Product Classification (CPC) 862 dari Provisional CPC dari Persatuan Bangsa-Bangsa, ditambah dengah berbagai jasa terkait akuntansi atau jasa-jasa yang bersifat insidental bagi penyedia Jasa Akuntasi, yang ditentukan oleh kesepakatan di antara atau kesepakatan bersama negara-negara ASEAN yang menegosiasikan MRA di sektor Jasa Akuntasi (sebagai tindak lanjut dari MRA Framework yang disepakati tahun 2009 ini). 50 Menurut CPC 862, jasa akuntasi, audit dan bookkeeping digolongkan sebagai bagian dari subsektor A dari Jasa-Jasa Bisnis di dalam Services Sectoral Classification List. Di dalam Provisisonal CPC, kategori Accounting, auditing and bookkeeping services" (atau sering disebut dengan CPC 862) tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kategori. Di dalamnya terdapat Accounting and Auditing Services (CPC 8621) yang meliputi: (1) financial auditing services (CPC 86211, yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap catatan pembukuan serta bukti-bukti pendukung organisasi yang lain dengan tujuan untuk menyampaikan opini tentang apakah pernyataan keuangan dari organisasi tersebut telah menunjukkan dengan baik posisi keuangan organisasi tersebut pada tanggal tertentu dan hasil-hasil dari kegiatannya pada periode yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum ); (2) accounting review services (CPC 86212; yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap financial statements tahunan atau sementara dan berbagai informasi pembukuan yang lain, yang cakupannya lebih kecil dibandingkan audit sehingga tingkat keyakinannya lebih rendah dibandingkan dengan audit), (3) Compilation of financial statements services (CPC 86213, yaitu jasa menyusun laporan keuangan 49 Makmur Keliat, op.cit, hal. 90 50 ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, pasal 2.1. 33

berdasarkan informasi yang diberikan oleh klien. Tidak ada jaminan yang diberikan mengenai akurasi dari laporan tersebut.), dan (4) jasa akuntansi yang lain (CPC 86219). Kategori yang lain adalah jasa pembukuan (bookkeeping services) yang diberi kode CPC 8622, yaitu jasa mengklasifikasi dan mencatat transaksi bisnis dalam nilai uang atau unit penilaian tertentu di dalam buku catatan keuangan (books of account). 51 MRA Framework tentang sektor jasa akutansi menggariskan prinsip-prinsip dasar mengenai dasar-dasar pengakuan profesi di sektor jasa akuntansi. Dalam aspek persyaratan pendidikan, MRA Framework ini menggariskan bahwa Akuntan Profesional Aktif (Practicing Professional Accountant) dari sebuah negara anggota ASEAN yang menginginkan pengakuan untuk dapat bekerja di negara anggota ASEAN yang lain harus memenuhi syarat-syarat pendidikan akuntan di negara asalnya, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk mengakui bahwa orang tersebut telah memenuhi syarat-syarat pendidikan di negara tempatnya akan bekerja (host country). MRA Framework ini juga menggariskan bahwa akuntan profesional yang menginginkan pengakuan di negara ASEAN yang lain juga harus menunjukkan kompetensinya untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan-peraturan domestik dari Host Country yang ditujunya. Selain itu, ia juga harus memenuhi persyaratan pengalaman yang ditentukan di dalam peraturan domestik dari Host Country. Dalam MRA Framework ini kita melihat bahwa peraturan domestik berkaitan dengan jasa akuntansi akan sangat berpengaruh dalam menentukan jalannya MRA di sektor jasa akuntansi tersebut. MRA Framework ini mengakui keberagaman peraturan domestik di dalam jasa akuntasi di masing-masing negara ASEAN dan tidak hendak memaksakan keseragaman. Bahkan, di dalam pasal 4 dokumen tersebut disebutkan bahwa: serv_e/w73.doc. 51 Dokumen WTO Secretariat Note, S/C/W/73, 4 December 1998, diakses dari www.wto.org/ english/tratop_e/ 34

Any bilateral or multilateral MRAs on Accountancy Services between or among ASEAN Member States shall not prejudice the rights, powers and authority of each ASEAN Member State and its NAB and/or PRA and other regulators of the profession to set and regulate the necessary Domestic Regulations. 52 Meskipun demikian, MRA Framework ini juga mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk menggunakan standar dan panduan dari International Federation of Accountants (IFAC) dengan tetap memperhatikan peraturan domestik di masing-masing negara anggota ASEAN. IFAC adalah organisasi yang menaungi asosiasi-asosiasi akuntan di seluruh dunia. Sekarang, IFAC terdiri dari 173 anggota yang tersebar di 130 negara dan yurisdiksi. Berdasarkan perkiraan jumlah anggota dari organisasi akuntan yang menjadi anggota IFAC, IFAC menaungi sekitar 2,5 juta akuntan di seluruh dunia. 53 Ikatan Akuntan Indonesia, asosiasi yang menaungi para akuntan di Indonesia, aktif dalam keanggotaan IFAC sejak tahun 1997. 54 Pada tahun 2011, Ahmad Hadibroto dari Indonesia terpilih menjadi salah satu anggota dewan organisasi IFAC periode 2011-2014. 55 Di ASEAN sendiri, Indonesia menjadi salah satu pendiri ASEAN Federation of Accountants yang didirikan pada tahun 1977. Sekretariat IAI di Jakarta bahkan menjadi sekretariat dari federasi akuntan se-asean tersebut. 56 1.5 MRA Dalam Sektor Jasa Surveying Qualfications Sebagai salah satu sektor yang masuk di dalam pasar jasa ASEAN, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications ditandatangani di Singapura, pada tanggal 19 52 ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, pasal 4.1. 53 About IFAC, diakses dari http://www.ifac.org/about-ifac/membership 54 Diakses dari http://www.iaiglobal.or.id/berita/detail.php?id=344 55 RI Masuk Anggota Dewan Organisasi Profesi Akuntan Dunia, http://economy.okezone.com/read/ 2011/11/19/320/531 563/ri-masuk-anggota-dewan-organisasi-profesi-akuntan-dunia, diakses, 2 Maret 2016 56 Diakses dari http://www.aseanaccountants.org/about.htm 35

November 2007 oleh kesepuluh perwakilan negara-negara ASEAN. Pada saat itu, dokumen MRA ASEAN dalam bidang surveying ini perwakilan Indonesia ditandatangani oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Seperti halnya MRA di bidang-bidang lainnya, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications juga mengandung gambaran dan aturan umum mengenai pengaturan bidang surveying di ASEAN. 57 Di dalam kerangka kerja MRA bidang surveying qualifications, ada beberapa pendefinisian mengenai bidang surveying qualifications. Pertama, yang disebut dengan surveyor adalah warga negara dari negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana pada universitas atau perguruan tinggi pada program surveying yang telah diakui oleh otoritas kompetensi. Kedua, surveying professional merujuk kepada surveyor yang memiliki pengalaman atau keahlian teknis yang sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh otoritas kompetensi. Sementara, yang disebut dengan surveying services adalah satu atau lebih dari satu aktivitas yang terjadi di atas atau di bawah permukaan tanah atau laut dan dikelola oleh asosiasi dengan pekerja profesional seperti yang didefinisikan dalam International Federation of Surveyors (FIG), yang dijelaskan di dalam Appendix II di dalam MRA tersebut. 58 Di dalam Appendix II MRA Framework for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications disebutkan definisi FIG tentang fungsi dari surveyor. 59 Menurut FIG, yang disebut dengan surveyor adalah a professional person with the academic qualifications and technical expertise to conduct one, or more, of the following activities: 57 Makmur Keliat, op.cit, hal. 83 58 ASEAN Framework Arrangement MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article 2.9-2.11 59 Di dalam ulasan berikutnya penggunaan istilah surveying bersifat interchangeable dengan pemetaan, survei. 36

a. to determine, measure and represent land, three-dimensional objects, point-fields and trajectories; b. to assemble and interpret land and geographically related information, c. to use that information for the planning and efficient administration of the land, the sea and any structures thereon; and, d. to conduct research into the above practices and to develop them Di dalam Article III di MRA tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi aturan umum mengenai pengakuan sektor survei di negara-negara ASEAN. Pertama adalah masalah pendidikan. Dalam hal pendidikan, seorang calon surveyor harus bisa memenuhi kompetensi pendidikan yang disyaratkan di negara asalnya (home country) sesuai dengan aturan dan kualifikasi yang ada di negara asalnya. Sementara, jika ia ingin mendapatkan pengakuan di negara lain, calon surveyor ini harus memenuhi standar yang diberikan oleh negara tujuan (host country) di mana ia ingin memperoleh pengakuan. Kedua, masalah examinations. Negara-negara ASEAN mengakui bahwa bisa jadi ada persyaratan bagi para calon surveyor untuk memenuhi ujian yang ditujukan untuk memastikan bahwa aplikan mempunyai pengetahuan yang memadai atas praktik, standar, dan peraturan lokal dan nasional di host country. Namun jika calon surveyor profesional sudah memperoleh pengakuan nasional di home country, maka ia bisa saja tidak perlu mengikuti seluruh ujian yang disyaratkan di host country, sepanjang persyaratan pendidikan dan persyaratan profesional lainnya telah terpenuhi. 60 Aturan umum yang ketiga adalah masalah pengalaman (experience), di mana aplikan harus memenuhi standar minimum durasi pengalaman teknis profesional dalam hal surveying setelah lulus sarjana. Jumlah dan jenis pengalaman yang disyaratkan harus sesuai dengan yang diminta oleh host country, jika belum 60 Ibid, Article 3.2 (b) 37

terpenuhi, aplikan bisa melengkapinya di negara tujuan. Aturan pengakuan keempat adalah proses pengakuan (recognition process) yang mensyaratkan bahwa seluruh negara ASEAN harus memastikan bahwa semua standar yang diadopsi terkait pengakuan, regsitrasi atau lisensi atas surveying professional dari negara ASEAN lainnya harus berdasarkan kompetensi dan bisa diakses dengan mudah. Negara-negara ASEAN setuju bahwa perihal registrasi dan/atau lisensi dari surveying professional pada yurisdiksinya disesuaikan dengan hukum dan peraturan domestik, kebijakan, standard an kebutuhan nasional. 61 Dengan kata lain, peraturan domestik masih dijadikan sebagai pertimbangan untuk menerapkan standar regional di kalangan negaranegara ASEAN. Meskipun di dalam kerangka kerja MRA dalam bidang surveying ini diatur mengenai hak negara untuk mengatur bagaimana bidang surveying diatur di dalam negeri, di dalam Article IV dijelaskan bahwa pengaturan lokal tersebut harus disesuaikan dengan tujuan dari perjanjian kerangka kerja tanpa menciptakan hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary barriers) bagi pengakuan surveying professional yang akan masuk ke suatu negara. Satu hal yang menarik untuk dilihat adalah dibandingkan dengan sub sektor jasa lain yang sudah diatur dalam masing-masing MRA, sektor surveying ini di seluruh negara ASEAN dipegang oleh instansi pemerintah, sementara di sektor MRA lainnya didelegasikan kepada asosiasi profesi dengan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait. Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena bidang survei pemetaan berhubungan langsung dengan kekuasaan geografis suatu negara dengan kata lain berkaitan pula dengan kedaulatan negara dalam hal geografi. Oleh sebab itu, dalam Appendix I di dalam kerangka kerja MRA surveying tersebut, competent authority dari setiap negara dipegang oleh instansi pemerintah di bawah kementerian. 61 Ibid,. Article 3.4 (b) 38

Di Indonesia sendiri, otoritas yang merupakan representasi Indonesia dalam MRA framework bidang surveying didelegasikan kepada Badan Informasi Geospasial (atau sebelumnya dikenal dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Selain itu, tidak semua informasi geospasial yang dimiliki oleh badan informasi bidang geospasial tersebut bisa dipublikasikan. Banyak jenis data yang memang tidak bisa dibagi secara luas dan hanya untuk kepentingan negara saja. 62 Hal ini bisa jadi mencakup pemetaan potensi sumber daya alam yang ada di suatu negara dan jika informasi mengenai hal ini bisa diakses dengan mudah akan dapat dimanfaatkan oleh pihak investor asing untuk melakukan eksplorasi sumber daya di negara tersebut yang mana pengelolaan sumber daya seharusnya berada penuh di tangan negara. 2. MRAs Dalam Sektor Jasa Berkaitan Dengan Pelayanan Kesehatan Implementasi MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan pelayanan kesehatan dijalankan oleh ASEAN Joint Coordinating Committees (AJCCs) yang berada dikoordinasi the Healthcare Services Sectoral Working Group (HSSWG) dibawah koordinasi the ASEAN Coordinating Committee on Services (CCS). 63 Ketiga bentuk AJCCs, yaitu : a. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners (AJCCM) yang mengkoordinir tenaga medis pada bidang dokter; b. ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (AJCCN) yang mengkoordinir tenaga medis keperawatan; c. ASEAN Joint Coordinating Committee on Dental Practitioners (AJCCD) yang mengkoordinir tenaga medis pada bidang kedokteran gigi. 62 http://infopublik.layanan.go.id/read/5421/yusuf-surachman-deputi-bidang-infrastruktur-data-spasialbadan-koordinasi-survei-dan-pemetaan-nasional-bakosurtanal-.html, diakses tanggal 12 Februari 2016 63 ASEAN Integration in Services 2015, op.cit, hal, 30 39

Tujuan dari tiga (3) MRAs terkait kesehatan-ini adalah untuk: 64 a. Memfasilitasi mobilitas profesional dalam ASEAN; b. Pertukaran informasi dan meningkatkan kerja sama dalam hal saling pengakuan dari para profesional; c. Mempromosikan adopsi praktik terbaik pada standar dan kualifikasi; dan d. memberikan kesempatan untuk peningkatan kapasitas dan pelatihan. Sejalan dengan tujuan MRAs ini, bekerja yang dilakukan oleh AJCCs adalah untuk: a. Pertukaran informasi berkaitan dengan hukum, praktik dan perkembangan dalam praktek kesehatan; b. Pertukaran informasi berkaitan dengan prosedur untuk pendaftaran dan perizinan dari praktisi dalam dan luar negeri di masing-masing Negara Anggota ASEAN; c. Diskusikan kualifikasi yang dibutuhkan; d. Mengidentifikasi dan melakukan program pertukaran; e. Mengidentifikasi daerah potensi untuk memudahkan mobilitas lebih lanjut; dan f. Tinjau MRA sebagai mandat. MRAs di pelayanan kesehatan tidak mengadopsi sistem pendaftaran ASEAN-lebar tidak seperti orang-orang di bawah layanan bisnis. bentuk yang tepat dari mobilitas praktisi kesehatan terus dieksplorasi dengan mempertimbangkan keselamatan pasien akun sebagai pertimbangan penting. Informasi tentang prosedur untuk pendaftaran dan perizinan dari praktisi asing di masing-masing Negara Anggota ASEAN telah dibagikan untuk memfasilitasi pendaftaran dan perizinan dari profesional kesehatan di ASEAN. 64 http://www. asean.org/communities/asean-economic-community/category/healthcare-services, diakses tanggal 14 Februari 2016 40

Pembagian MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut: 1.1 MRA Dalam Sektor Jasa Keperawatan Jasa tenaga profesional perawat merupakan salah satu sektor yang disepakati dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN. MRA untuk jasa perawat ditandantangani di Cebu, Filipina pada tanggal 18 Desember 2006. MRA ditandatangani dengan empat tujuan yaitu: 65 a. Memfasilitasi mobilitas perawat professional di dalam negara-negara ASEAN; b. Pertukaran informasi dan ahli dalam hal standar dan kualifikasi; c. Mempromosikan pengadopsian praktik-praktik terbaik jasa perawat profesional; dan d. Menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi perawat-perawat tersebut. Adapun perawat dalam MRA tersebut didefinisikan sebagai berikut: 66 Nurserefers to a natural person who has completed the required professional training and conferred the professional nursing qualification; and has been assessed by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional nursing practice; and is registered and/or licensed as a professional nurse by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin. This definition shall not apply to a technical level nurse. Dalam definisi tersebut terkandung makna secara jelas bahwa perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa keperawatan yang didapatkan secara 65 ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services diambil dari http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-mutual-recognition-arrangement-on-nursing-services 66 Ibid. 41

formal dan secara administratif telah mendapatkan pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya masing-masing. Dengan demikian tergambarkan secara jelas bahwa hanya perawat-perawat yang mempunyai daya saing tinggi yang memiliki kesempatan untuk ikut dan mendapatkan keuntungan dalam pasar jasa perawat. Selain itu, peran negara menjadi poin penting terutama dalam menentukan dan meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga perawat untuk dapat memanfaatkan secara optimal implementasi liberalisasi jasa perawat di level ASEAN. Di Indonesia, terdapat tumpang tindih dalam mendefinisikan profesi perawat. Istilah perawat belum memiliki standar yang baku, sehingga posisi perawat profesional seringkali disamakan dengan jasa perawat-perawat yang lebih menekankan pada keterampilan. 67 Dalam upaya implementasi MRA ini, ada dua badan yang bertanggung jawab yaitu: 68 a. Nursing Regulatory Authority (NRA), merupakan sebuah badan yang ditunjuk di masingmasing negara yang biasanya dipegang oleh kementerian kesehatan atau dewan perawat seperti di Kamboja, Singapura, Phillipnes dan Brunei, yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tenaga-tenaga perawat yang tersedia sudah memenuhi kriteria dan standadr kualifikasi yang disepakati. Dengan kata lain badan ini melakukan kontrol dan mengatur arus masuk dan keluar jasa perawat dari dan ke suatu negara. Beberapa negara seperti Brunei, Philipina, Singapura, dan Thailand menunjuk board of nursing sebagai badan yang menjalankan fungsi sebagai NRA. Hal ini mengindikasikan bagaimana posisi board of nursing dipandang memiliki posisi strategis di negara-negara tersebut. Sementara di Indonesia board of nursing baru berdiri di tahun 2014, dengan adanya UU keperawatan. Dengan demikian focal point MRA Keperawatan berada di Kementerian Kesehatan dalam 67 Makmur Keliat, op.cit, hal. 40 68 Ibid 42

hal ini Direktorat Bina Upaya Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medik Ditjen BUK Kemkes RI. b. The ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (AJCCN) merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan NRA masing-masing negara yang bertanggung jawab untuk melakukan pertukaran informasi, menyelaraskan dan mengharmonisasikan berbagai kebijakan-kebijakan di setiap negara. Di level inilah diskusi dan negosiasi terhadap berbagai aspek dalam pelaksanaan liberalisasi jasa perawat yang dilakukan oleh masing-masing NRA yang ditunjuk. Dalam hal monitoring dan evaluasi, peran NRA dan A-JCCN menjadi focal point untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dan melakukan evaluasi atas pelaksanaan MRA tersebut. Walau demikian, perlu dicatat bahwa mekanisme evaluasi belum tertera secara detail dalam MRA yang disepakati. 69 1.2 MRA Dalam Sektor Jasa Praktisi Medis/ Dokter MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26 Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi (dental practitioners) dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan untuk: 70 a. Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN; b. Bertukar informasi dan meningkatakan kerjasama dalam skema MRA jasa dokter; c. Mempromosikan pengadopsian best practices untuk standar dan kualifikasi; d. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para pelaku jasa dokter 69 Ibid. 70 ASEAN MRA on Medical Practitioners diambil dari http://www.asean.org/communities/asean-economiccommunity/item/asean-mutual-recognition-arrangement-on-medical-practitioners-2, diakses tanggal 14 Februari 2015 43

Definisi terkait jasa praktisi medis/dokter sangat menekankan pada keahlian dan kualifikasi. Bahkan untuk posisi specialiast secara jelas disebutkan memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana. Poin ini berbeda dengan MRA yang disepakati di bidang jasa keperawatan yang tidak menyebutkan persyaratan level pendidikan pascasarjana sebagai syarat. Hal ini mungkin disebabkan cara pandangan terhadap profesi dokter dan perawat yang dianggap sebagai sebuah strata. Padahal sesungguhnya cara pandang seperti ini mengotak-kotakkan profesi yang seharusnya dituntut memenuhi kualiifikasi yang sebaik mungkin. 71 Dalam menjalankan MRA ini, seperti juga di bidang keperawatan ada dua badan yang berfungsi untuk mengimplementasikan MRA ini. Dua badan tersebut adalah: 72 1. Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) PMRA merupakan sebuah badan yang terdiri dari otoritas pemerintah setiap negara anggota ASEAN yang secara umum berfungsi untuk mengatur dan mengontrol praktik jasa medis dan pengobatannya. 2. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners (AJCCMP) Seperti halnya di sektor keperawatan, MRA jasa praktisi medis ditindaklanjuti dengan pembentukan AJCCMP yang terdiri dari perwakilan PMRA dari setiap negara anggota yang tidak lebih dari dua orang. Tugas AJCCMP ini menfasilitas implmentasi MRA melalui upaya-upaya menyelaraskan aturan domestik dengan tujuan yang ingin dicapai dalam MRA. AJCCMP juga secara menghimbau agar negara anggota mengikuti standarisasi dan mengadopsi mekanisme dan 71 Makmur Keliat, op.cit, hal. 54 72 Detail tugas PMRA lihat ASEAN MRA on Medical Services. Ibid. 44

prosedur dalam MRA. Diharapkan hambatan-hambatan domestik sudah hilang pada tahun 2015. Indonesia dapat dikatakan lebih liberal dari negara lainnya. Hambatan national treatment dan akses pasar hampir dipastikan sudah tidak diberlakukan. Hal ini hampir mirip dengan yang terjadi di Thailand. Sementara di Filipina, UU Dasar negara melarang dokter asing praktik di Filipina. Adapun negara lainnya seperti Laos, Vietnam dan Kamboja belum memiliki regulasi yang ditentukan negaranya. Di Singapura dokter asing dipatok dengan standar yang tinggi. 73 Di sisi lain, MRA juga menyatakan bahwa setiap negara host memiliki statutory responsibilities untuk melindungi kesehatan, keselamatan dan lingkungan. Hal ini dapat menjadi celah untuk dapat memberlakukan aturan-aturan yang spesifk untuk menjaga kepentingan bangsa. Hal ini dikarenakan karakter MRA sendiri secara keseluruhan tidak bersifat otomatis. 74 Makmur Keliat dalam artikel Kompas (2013) menyatakan bahwa: MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain. 1.3 MRA Dalam Sektor Jasa Kedokteran Gigi ASEAN menyepakati Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners (selanjutnya MRA-DP). MRA-DP ini ditujukan untuk memfasilitasi mobilitas dokter gigi di dalam ASEAN, seiring dengan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk meliberalisasi sektor jasanya. Selain memfasilitasi mobilitas dokter gigi di kawasan ASEAN, diharapkan MRA 2011. 73 Lihat juga AJCCM: Jalan Panjang Menuju Kompetensi Bersama, Majalah Halo Internis, Edisi 19, September 74 Lihat juga Keliat (2013), Op.cit, hal. 8 45

ini dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi dan penguatan kerjasa dalah hal pengakuan tinggal balik dalam profesi dokter gigi, mempromosikan penerapan praktik terbaik (best practices) dalam standar dan kualifikasi, serta menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dokter gigi di ASEAN. 75 Dalam MRA-DP ini, dental practitioners didefinisikan sebagai a natural person who has completed the required professional dental training and conferred the professional dental qualification; and has been registered and/or licensed by the Professional Dental Regulatory Authority in the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional dental practice." 76 Dengan demikian, seseorang dapat disebut sebagai dokter gigi jika ia sudah menyelesaikan pendidikan profesional sebagai dokter gigi dan sudah mendapatkan kualifikasi sebagai dokter gigi serta mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang mengatur profesi dokter gigi di negaranya. Hal ini konsisten dengan apa yang selama ini berlaku bagi dokter gigi di Indonesia. Untuk dapat berpraktik sebagai dokter gigi di Indonesia (mendapatkan surat izin praktik sebagai dokter gigi), seseorang harus menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi dan mendapatkan rekomendasi dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Otomatis, berbeda dengan sektor lain seperti pariwisata yang pelaku jasanya tidak semua terdaftar atau sektor jasa akuntansi yang tidak semua akuntan beregisternya menjadi bagian dari asosiasi profesi, seluruh dokter gigi di Indonesia adalah anggota dari PDGI. 77 Sementara itu, spesialis (atau dokter gigi spesialis) merujuk pada seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis dan kualifikasi pascasarjana yang diakui oleh negara asalnya 75 ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel 1. 76 ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel 2. 77 Makmur Keliat dkk, op.cit, hal. 61 46