BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Respon imun adaptif : Respon humoral

PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP RASIO IL-4/IFN-γ DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

MEKANISME FAGOSITOSIS. oleh: DAVID CHRISTIANTO

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

MATURASI SEL LIMFOSIT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

Gambar: Struktur Antibodi

(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

EFEK TERAPI VAKSINASI BCG TERHADAP PERUBAHAN KADAR IgG TOTAL DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK PADA RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. Alergi terjadi akibat adanya paparan alergen, salah satunya ovalbumin.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan reaksi radang yang diperantarai oleh IgE

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN. Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Transkripsi:

8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis rinitis alergi, mulai dari paparan pertama suatu antigen pada tubuh hingga timbulnya manifestasi klinik pada paparan kedua dapat dibagi atas dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. 14,32 1). Fase Sensitisasi Mukosa saluran nafas terutama mukosa hidung kerapkali terpapar oleh berbagai antigen yang masuk bersama-sama udara nafas. Saat pertama kalinya suatu antigen terpapar pada tubuh hingga terbentuknya IgE spesifik dan menempati reseptorreseptornya pada permukaan sel mast ataupun basofil disebut sebagai fase sensitisasi. Peristiwa ini membutuhkan waktu antara 8 hingga 15 hari. 32 Antigen yang terdeposit pada mukosa saluran nafas akan ditangkap dengan cara endositosis oleh sel-sel penyaji antigen (antigen presenting cell; APC) terutama sel dendritik. 21 Setelah menangkap antigen sel dendritik segera melakukan migrasi melalui pembuluh limfe aferen menuju kelenjar limfe regional. Sepanjang perjalanannya sel dendritik mengalami proses maturasi sambil mengolah antigen tadi. 20 Di dalam tubuh sel dendritik antigen ditempatkan dalam fagosom. Fagosom tersebut kemudian berfusi dengan lisosom yang mengandung enzim-enzim protease,

9 membentuk fagolisosom. Dengan enzim tersebut antigen didegradasi menjadi potongan-potongan pendek peptida (terdiri dari 7-14 asam amino). Sementara itu, di dalam retikulum endoplasma dibentuk molekul-molekul major histocompatibility complex (MHC). Oleh karena antigen yang sedang diproses merupakan antigen eksogenous maka MHC yang dibentuk adalah MHC klas II. Molekul-molekul MHC- II tersebut kemudian ditransfer ke dalam kompleks Golgi dan ditempatkan dalam vesikel-vesikel. Vesikel yang mengandung molekul-molekul MHC-II tersebut kemudian mengadakan fusi dengan endosome yang mengandung potongan-potongan peptida. Peptida antigen kemudian terikat pada molekul MHC-II membentuk kompleks MHC-II-peptida. Kompleks tersebut kemudian diekspresikan ke permukaan sel dendritik melalui mekanisme yang mirip eksositosis. 21,33 Peptida antigen yang diekspresikan bersama molekul MHC-II oleh sel dendritik akan dapat dikenali oleh sel limfosit T-CD4 + naif (sel Th 0 ). Peptida antigen akan berikatan dengan T-cell receptor (TcR), sementara molekul MHC-II berikatan dengan molekul CD4 yang terdapat pada permukaan sel T-CD4 +. Ikatan ini menimbulkan sinyal yang akan mengaktifkan sel T-CD4 +. Sel T-CD4 + yang telah aktif akan memproduksi dan melepaskan sitokin-sitokin. Berdasarkan jenis sitokin yang diproduksi maka dibedakan dua tipe sel T-CD4 + aktif yaitu sel Th 1 dan sel Th 2. Sel Th 1 memproduksi interleukin-2 (IL-2) dan interferon- - 2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. 17,33 Polarisasi sel Th 0 apakah akan menjadi sel Th 1 atau menjadi sel Th 2 dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama faktor genetik. Pada individu atopi, sel Th 0 cenderung terpolarisasi menjadi sel Th 2. Faktor

10 lain yang diduga ikut menentukan adalah dosis dan karakteristik antigen, faktor ajufan, interaksi MHC-TcR, costimulatory molecules, karakteristik sel dendritik, produksi sitokin dan lain-lain. 20,21,22 Dari sitokin-sitokin tersebut di atas, IL-4 disebut sebagai prototipe sitokin Th 2, sementara IFN- 1. Antara IL-4 dan IFNmempunyai sifat saling menghambat. IL-4 menghambat produksi IFN- IFN- -4. Dengan demikian antara IL-4 dan IFN- berada dalam kesetimbangan terbalik (reciprocal balance). Pada individu atopi, karena sel Th 0 memiliki kecenderungan terpolariasi ke arah Th 2 maka IL-4 menjadi lebih dominan daripada IFN- 17 Selain terpolarisasi menjadi sel Th 1 atau Th 2, sel Th 0 juga terpolarisasi menjadi sel T-memori. Namun profil sitokin sel T-memori ini dapat berubah-ubah. Sel-sel memori Th 2 spesifik-antigen akan memproduksi sitokin Th 1 bila teraktivasi dalam kehadiran IL-12, suatu protein penginduksi IFNbila IL-12 diberikan dalam dosis besar, secara paradoksal akan meningkatkan sintesis IL-4. 34 IL-4 dan IL-13 yang disekresikan oleh sel Th 2 akan berikatan dengan reseptornya (IL-4R dan IL-13R) yang terdapat pada permukaan sel B. Ikatan ini akan menimbulkan sinyal untuk terjadinya mekanisme isotype switching khususnya IgEclass-switching-recombination pada rangkaian DNA dalam inti sel B dengan hasil akhir terbentuknya molekul-molekul IgE. 18

11 Selain sel dendritik, limfosit B (sel-b) juga dapat berperan sebagai APC. Sel- B mengekspresikan sigm spesifik pada permukaan selnya yang berperan sebagai reseptor antigen (B-cell receptor; BcR). Berbeda dengan TcR yang mengikat epitop antigen bila diekspresikan bersama dengan molekul MHC oleh APC ataupun sel-sel berinti, BcR dapat secara langsung mengikat epitop antigen. Bila sel-b tersebut mengikat alergen melalui imunoglobulin permukaan tadi maka alergen tersebut akan ditelannya melalui proses endositosis. Alergen tersebut akan diolahnya dan kemudian akan diekspresikan ke permukaan bersama dengan molekul MHC kelas II. Penyajian ini ditujukan untuk sel Th 0. Kompleks alergen-mhc-ii tersebut akan berikatan dengan kompleks TcR-CD4 yang terdapat pada permukaan sel Th 0. Ikatan ini akan mempercepat ekspresi CD40 ligand (CD40L) oleh sel Th 0. CD40L akan berikatan dengan reseptornya yaitu CD40 yang terdapat pada permukaan sel-b. Ikatan ini akan menginduksi sel-b untuk mengekspresikan molekul B7. Molekul B7 ini akan berikatan dengan molekul CD28 yang ada pada permukaan sel Th 0. Ikatan ini akan menginduksi sel Th 0 untuk mensekresikan IL-4. Karena IL-4 merupakan profil sitokin sel Th 2, maka sekarang sel Th 0 dikatakan telah terpolarisasi menjadi sel Th 2. IL-4 kemudian berikatan dengan reseptornya (IL-4R) yang terdapat pada permukaan sel-b. Sinyal yang ditimbulkan oleh ikatan ini mencetuskan proses transkripsi pada germline DNA dengan sasaran cross-linking CD40/CD40L akan mengaktifkan rekombinasi. Hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya IgE. 35

12 2). Fase Elisitasi Telah diketahui bahwa sel mast tersebar pada berbagai jaringan tubuh termasuk -I dengan afinitas tinggi untuk IgE. Pada orang atopi jumlah reseptor ini jauh lebih padat dibandingkan orang nonatopi. Dengan demikian sel mast orang atopi termasuk penderita rinitis alergi potensial untuk mengikat lebih banyak IgE spesifik. Apabila mukosa hidung orang atopi yang sudah tersensitisasi terpapar oleh suatu alergen maka alergen tersebut akan terikat pada IgE spesifik yang terdapat pada permukaan sel mast mukosa hidung. 17,19 Pada umumnya alergen bersifat bivalen atau multivalen, sehingga setiap molekul alergen dapat terikat oleh lebih dari satu molekul IgE pada saat yang bersamaan. Keadaan ini menyebabkan cross-linking molekul Fc -I. Cross-linking -I menyebabkan aktifnya protein G yang terdapat pada membran plasma sel mast. Protein G yang teraktivasi akan mengaktifkan enzim phospholipase-c yang juga terdapat pada membran plasma. Enzim ini mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphate (PIP 2 ) menjadi inositol triphosphate (IP 3 ) dan diacylglycerol (DAG). IP 3 yang terbentuk akan terikat pada reseptornya yang terdapat pada membran retikulum endoplasma, dan menyebabkan terbukanya saluran ion pada membran retikulum endoplasma tersebut sehingga ion kalsium yang terdapat di dalam retikulum endoplasma terbebas dan menyebar dalam sitoplasma sel mast. Ion kalsium yang telah menyebar dalam sitoplasma berikatan dengan calmodulin, berikatan dengan DAG, dan mengaktifkan enzim phospholipase-a 2. Ikatan antara ion kalsium dengan

13 calmodulin membentuk kompleks calcium-calmodulin yang akan mengaktifkan enzim myosin light chain kinase yang mana enzim ini akan mengubah myosin light chain menjadi myosin light chain phosphate. Myosin light chain phosphate berperan pada mekanisme eksositosis (degranulasi) mediator-mediator yang tergolong dalam preformed mediators seperti histamin, tryptase dan bradykinin. Ikatan antara ion kalsium dengan DAG membentuk kompleks calcium-dag-phospholipid yang akan mengaktifkan enzim protein-kinase-c. Enzim ini mengubah protein menjadi phosphoprotein yang juga berperan dalam mekanisme eksositosis. Dengan aktifnya enzim phospholipase-a 2 maka akan terjadi serangkaian reaksi yang diakhiri dengan terbentuknya lipid mediators seperti prostaglandin PGD 2, leukotrien LTC 4, LTD 4 dan LTE 4 yang semuanya tergolong dalam newly formed mediators. 14,19 Histamin yang dilepaskan oleh sel mast merupakan mediator yang memegang peranan penting dalam mekanisme terjadinya gejala klinik rinitis alergi pada reaksi alergi fase segera (RAFS). Telah diketahui bahwa pada sel-sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta ujung-ujung saraf nosiseptif tipe C pada mukosa hidung terdapat reseptor histamin H 1. Serat-serat nosiseptif tipe C pada mukosa hidung berasal dari cabang pertama dan kedua nervus trigeminus. Serat-serat ini bercabangcabang dan tersebar secara luas pada submukosa. Histamin yang terikat pada reseptor H 1 pada ujung serat nosiseptif akan menimbulkan impuls saraf dan akan diteruskan ke pusat, mengaktifkan pusat gatal sehingga timbul gejala klinik berupa hidung gatal. Impuls saraf ini sekaligus mencetuskan refleks bersin serta refleks parasimpatik yang mengakibatkan peningkatan sekresi kelenjar-kelenjar serus. Histamin yang terikat

14 pada reseptor H 1 pada sel endotel mengakibatkan peningkatan permiabilitas pembuluh darah sehingga akan terjadi ekstravasasi serum ke jaringan interstisial yang nampak sebagai edema mukosa. Serum tersebut selanjutnya merembes di sela-sela sel epitel mukosa, masuk ke rongga hidung, bermanifestasi sebagai gejala rinore encer. Terikatnya histamin pada reseptor H 1 pada otot polos pembuluh darah mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga menyebabkan kongesti konka nasi dengan manifestasi gejala berupa hidung buntu. 23 Selain RAFS dengan puncak reaksi pada 10-20 menit pasca paparan, umumnya juga terjadi reaksi alergi fase lambat (RAFL) dengan puncak reaksi pada 5 8 jam pasca paparan dan menetap hingga 24-48 jam. 24,36 RAFL terjadi akibat mediator sekunder (contoh: leukotrin) yang dilepaskan oleh sel-sel radang terutama eosinofil yang terakumulasi pada mukosa hidung. Gejala klinik yang ditimbulkan oleh RAFL tidak sehebat pada RAFS, akan tetapi dengan dilepaskannya substansi yang bersifat toksik oleh eosinofil, seperti major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil-derived neurotoxin (EDN) dan eosinophil peroxidase (EPO) maka dapat terjadi kerusakan mukosa hidung yang bersifat permanen. 23 2.2. Peran IgE pada Rinitis Alergi Molekul IgE yang lengkap memiliki berat molekul 188.000, terdiri dari sepasang rantai berat dengan berat masing-masing 72.500 dan sepasang rantai ringan dengan berat masing-masing 23.000. IgE bersifat labil terhadap pemanasan. Pemanasan

15 selama 2 jam pada suhu 56 C akan menghilangkan kemampuannya berikatan dengan reseptot Fc, namun kemampuannya mengikat alergen masih tetap. Reseptor IgE dengan afinitas tinggi (Fc- 1 -I) dijumpai pada sel mast dan basofil, sementara reseptor dengan afinitas rendah (Fc- 2 -II) dijumpai pada sel limfosit T, limfosit B, monosit, makrofag, eosinofil dan trombosit. Pada saat lahir, kadar IgE pada darah tali pusat sebesar 1 IU/ml (1 IU = 2,4 nanogram), namun pada lebih dari 50% bayi baru lahir belum ditemukan IgE. Kemudian kadar IgE akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, dan mencapai kadar puncaknya pada usia 10 15 tahun. Kadar ini bertahan hingga usia sekitar 50 tahun, dan kemudian kembali menurun seiring dengan bertambahnya usia. Kadar IgE cenderung berhubungan dengan tingkat stimulasi antigen. Pada saat serangan rinitis alergi seperti selama musim tepung sari kadar IgE meningkat secara bermakna. Peningkatan kadar IgE dalam serum juga terjadi pada infeksi parasit, asma alergi, hay fever dan dermatitis atopik. 14,19 Molekul IgE diproduksi oleh sel B karena adanya stimulasi IL-4 dan IL-13. 18 Melalui sirkulasi darah, molekul-molekul IgE dibawa ke jaringan tubuh termasuk mukosa hidung dan terikat pada permukaan sel-sel yang memiliki reseptor IgE terutama pada -I dengan afinitas tinggi terhadap fragmen Fc molekul IgE. IgE yang telah terikat pada permukaan sel mast atau basofil pada mukosa hidung siap mengikat alergen yang terpapar pada mukosa hidung. Apabila molekul alergen terikat pada dua atau lebih molekul IgE maka terjadi cross-linking -I yang mengakibatkan sel mast atau basofil teraktifasi dan melepaskan berbagai mediator. Mediator tersebut

16 berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam timbulnya gejala klinik rinitis alergi seperti yang telah dijelaskan di atas. 14,19 2.3. Hubungan antara Vaksinasi BCG dengan Penyakit Atopi Polarisasi sel Th 0 menjadi sel Th 1 atau menjadi sel Th 2 dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama faktor genetik. Faktor lain yang ikut berpengaruh yaitu dosis dan karakteristik antigen, faktor ajufan, interaksi MHC-TcR, costimulatory molecules, karakteristik sel dendritik serta jenis dan kadar sitokin yang menstimulasi. 20,21,22 Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah Mycobacterium bovine hidup yang dilemahkan, telah dipergunakan di banyak negara sejak awal abad ke-20 sebagai vaksin untuk mencegah penyakit tuberkulosis pada manusia. Vaksin ini dapat memacu imunitas seluler secara efektif yang dikendalikan oleh sitokin-sitokin Th 1. 25 Mikobakterium merupakan mikroorganisme intraseluler, yang bila menginfeksi tubuh akan ditangkap oleh sel-sel makrofag atau oleh sel-sel dendritik DC 1. Makrofag dan sel DC 1 yang telah aktif akan melepaskan IL-12. Sitokin ini dapat menstimulasi sel Th 0 untuk membentuk profil sitokin sel efektor Th 1 di antaranya IFN- 32 IFNmempunyai efek menginduksi isotype switching sel-b membentuk IgG 2 meningkatkan sekresi IL-12 oleh APC, meningkatkan fungsi reseptor IL-12 pada selsel T-CD4 + dan menghambat produksi dan kerja IL-4. 17,18 Oleh karena IFNmenginduksi isotype switching ke arah pembentukan IgG 2 serta menghambat produksi dan kerja IL-4, berarti IFN- juga bersifat menghambat pembentukan IgE.

17 Penelitian tentang hubungan antara vaksinasi BCG dengan penyakit-penyakit atopi sudah banyak dilakukan baik pada hewan coba maupun pada manusia. Injeksi subkutan heat killed Mycobacteria vaccae pada hewan coba tikus yang telah dibuat alergi dengan ovalbumin, ternyata dapat menginduksi kuat sel Th 1, menghambat produksi IgE dan IL-5 oleh splenic cells. 37 Choi et al. (2002) dalam penelitian pada penderita asma derajat sedang-berat di Korea menyimpulkan bahwa vaksinasi BCG dapat meningkatkan fungsi paru secara bermakna dan menurunkan penggunaan obat-obat medikamentosa pada evaluasi 4, 8 dan 12 minggu. Perbaikan ini disertai dengan penekanan respon imun jenis Th 2 dan kenaikan rasio IFN- -4. 25 Arkwright dan David (2001) mendapatkan perbaikan yang cukup bermakna pada penderita dermatitis atopik usia 5-18 tahun yang diberikan injeksi intrakutan suspensi Mycobacterium vaccae (SRL 172). Pada penelitian ini didapatkan berkurangnya luas dermatitis secara bermakna pada evaluasi 1 dan 3 bulan setelah suntikan. Namun dalam penelitian ini tidak dijumpai adanya pengaruh pemberian SRL 172 terhadap kadar IgE total serum ataupun terhadap jumlah eosinofil darah absolut. 30 Sirakawa et al. (1997) mendapatkan bahwa anak-anak di Jepang yang mempunyai respon tuberkulin negatif mempunyai gejala penyakit atopi tiga kali lebih besar daripada anak-anak dengan respon tuberkulin positif setelah mendapatkan vaksinasi BCG saat baru lahir, pada usia 6 tahun dan pada usia 12 tahun. 27

18 Di Gambia dilaporkan bahwa vaksin BCG yang diberikan pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan meningkatkan respon imun Th 1 yang disertai kenaikan IFNyang bermakna. Respon Th 1 masih dapat dijumpai hingga 1 tahun setelah vaksinasi BCG. Sebaliknya pada bayi yang tidak diberi vaksin BCG hingga usia 2-4 bulan terbentuk IL-4. 28 Penelitian di Jerman mendapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kadar IgE dan kejadian atopi antara bayi yang mendapatkan vaksinasi BCG dengan yang tidak mendapatkan. 38 Di Norwegia dilaporkan bahwa respon tuberkulin pada usia dewasa (20-44 tahun) yang diberi vaksin BCG pada usia 14 tahun tidak berhubungan dengan kejadian atopi yang dibuktikan dengan skin prick test dan kadar IgE. 39

19 2.4. Kerangka Teori BCG Antigen Makrofag (+) IL-12 APC/DC Genetik (atopi) (+) (+) Sel-Th 1 Sel-Th 0 Sel-Th 2 (-) (-) IFN- (-) Sel-B (+) IL-4 IL-13 Alergen IgE Sel mast/ basofil Mediator (Histamin) Hidung gatal Keterangan: = memacu, melepaskan, terikat = menghambat Saraf nosiseptif, pembuluh darah, kelenjar serus Bersin-bersin Hidung berair Hidung tersumbat

20 2.5. Kerangka Konsep Vaksinasi BCG Rinitis alergi IgE total Gejala klinik Usia Lama sakit Riwayat alergi keluarga 2.6. Hipotesis Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa kepustakaan yang telah ada maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Vaksinasi BCG menurunkan kadar IgE total penderita rinitis alergi. 2. Vaksinasi BCG memperbaiki gejala klinik rinitis alergi. 3. Terdapat hubungan antara kadar IgE total dengan gejala klinik rinitis alergi.