BAB IV HASIL DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber Keterangan. (Lingkungan Dilakukan digitasi sehingga 1 Batimetri

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMILIHAN JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai

BAB VI ALTERNATIF PELINDUNG PANTAI

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 5 SYSTEM PLANNING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA WRPLOT View (Wind Rose Plots for Meteorological Data) WRPLOT View adalah program yang memiliki kemampuan untuk

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik

TRANSPORT SEDIMEN YANG DISEBABKAN OLEH LONGSHORE CURRENT DI PANTAI KECAMATAN TELUK SEGARA KOTA BENGKULU

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

. PERENCANAAN SISTEM PERLINDUNGAN PANTAI KENDAL (SHORE PROTECTION SYSTEM PLANNING OF KENDAL)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *)

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Analisis Karakteristik Fisik Sedimen Pesisir Pantai Sebala Kabupaten Natuna Hendromi 1), Muhammad Ishak Jumarang* 1), Yoga Satria Putra 1)

PENUNTUN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI FISIKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

ESTIMASI EFEKTIFITAS PENGGUNAAN GROIN UNTUK MENGATASI EROSI PADA KAWASAN PESISIR PANTAI UTARA TELUK BAGUALA AMBON. Tirza Jesica Kakisina * Abstract

III HASIL DAN DISKUSI

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

MEKANISME ABRASI PESISIR DI KAWASAN PANTAI DEPOK, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

PENGARUH BESAR GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN GARIS PANTAI

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

BAB II STUDI PUSTAKA

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

Transformasi Gelombang pada Batimetri Ekstrim dengan Model Numerik SWASH Studi Kasus: Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

Bambang Istijono 1 *, Benny Hidayat 1, Adek Rizaldi 2, dan Andri Yosa Sabri 2

BAB II TEORI TERKAIT

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REFRAKSI GELOMBANG DI PERAIRAN PANTAI MARUNDA, JAKARTA (Puteri Kesuma Dewi. Agus Anugroho D.S. Warsito Atmodjo)

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. langsung berada dibawah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

Oleh: Ikhsan Dwi Affandi

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

EROSI MARIN SEBAGAI PENYEBAB KERUSAKAN LAHAN KEBUN DI KELURAHAN TAKOFI KOTA TERNATE

Jurusan Teknik Kelautan - FTK

PERENCANAAN BANGUNAN PEMECAH GELOMBANG (PENGAMAN PANTAI LABUHAN) DI KABUPATEN SUMBAWA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JUSTIFIKASI TEKNIS PERUBAHAN VOLUME PEKERJAAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

JUSTIFIKASI TEKNIS PERUBAHAN VOLUME PEKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA)

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

(a) Sisi kiri (selatan)

BAB III LANDASAN TEORI

PENGAMANAN DAERAH PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN KEARIFAN LOKAL DI BATU PUTIH KOTA BITUNG. Ariestides K. T. Dundu ABSTRAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ALTERNATIF PENGAMANAN DAN KAJIAN RESIKO. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 7

(Design of The Shore Protection for Muarareja, Tegal)

KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pelabuhan, fasilitas pelabuhan atau untuk menangkap pasir. buatan). Pemecah gelombang ini mempunyai beberapa keuntungan,

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

Analisis Transformasi Gelombang Di Pantai Matani Satu Minahasa Selatan

Gambar 4.20 Lokasi Alo dominan terjadi crosshore sediment transport akibat gelombang dominan dari arah timur.

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uji Sensitifitas Sensitifitas parameter diuji dengan melakukan pemodelan pada domain C selama rentang waktu 3 hari dan menggunakan 3 titik sampel di pesisir. (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Tabel 4.1 Daftar Koordinat Titik Sampel Uji Sensitifitas Titik Lintang ( o LS) Bujur ( o BT) A 6,05836 106,9829 B 5,94568 106,9918 C 5,91495 107,0895 Gambar 4.1 Sebaran Titik Sampel Uji Sensitifitas 26

Hasil pemodelan untuk uji sensitifitas berupa grafik sensitifitas yaitu nilai Hsig terhadap waktu sebagai berikut: a. Resolusi Grid Grafik sensitifitas pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa nilai Hsig hasil pemodelan pada ketiga jumlah grid tidak jauh berbeda baik di titik A, B, maupun C. Di titik A nilai Hsig sekitar 0,27 m, titik B antara 0,19-0,21 m, sedangkan pada titik C nilai Hsig masih berkisar di 0,26 m. Jadi, parameter jumlah grid tidak banyak berpengaruh dalam penghitungan hasil pemodelan gelombang. Parameter jumlah grid memberikan pengaruh terhadap lamanya waktu pemodelan. Dengan menggunakan resolusi grid 159x259 m, waktu pemodelan adalah 19 menit, resolusi grid 79.5x129.5 m selama 8 menit, dan dengan resolusi grid 318x518 m pemodelan berlangsung 76 menit. Jadi, semakin rapat grid, maka waktu pemodelan akan semakin lama. Gambar 4.2 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Resolusi Grid di Titik A 27

Gambar 4.3 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Resolusi Grid di Titik B Gambar 4.4 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Resolusi Grid di Titik C b. Kecepatan Angin Dapat dilihat pada Gambar 4.5, Gambar 4.6, dan Gambar 4.7 bahwa pemodelan dengan parameter kecepatan angin yang berbeda pada ketiga titik sampel menghasilkan nilai Hsig yang berbeda. Dengan menggunakan kecepatan angin 5 m/s, nilai Hsig di titik A 0,28, di titik B 0,2 m, dan titik C 28

0,26 m. Saat kecepatan angin 2,5 m/s, nilai Hsig di titik A 0,09 m, titik B 0,05 m, dan titik C 0,09 m. Sedangkan dengan nilai kecepatan angin 10 m/s, nilai Hsig di titik A mencapai 0,62 m, titik B 0,45 m, dan titik C 0,62 m. Hal ini menunjukkan parameter kecepatan angin sangat berpengaruh pada penghitungan nilai Hsig pemodelan gelombang. Semakin cepat angin bertiup, maka gelombang akan semakin tinggi. Gambar 4.5 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Kecepatan Angin di Titik A Gambar 4.6 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Kecepatan Angin di Titik B 29

Gambar 4.7 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Kecepatan Angin di Titik C c. Langkah Waktu Dari pemodelan terhadap ketiga titik sampel (Gambar 4.8, Gambar 4.9, dan Gambar 4.10) dengan menggunakan langkah waktu berbeda menghasilkan nilai Hsig yang relatif sama. Di titik A, nilai Hsig sekitar 0,27 m, di titik B berkisar 0,19 m, dan di titik C nilai Hsig yaitu ± 0,26 m. Dapat dilihat bahwa parameter langkah waktu tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemodelan gelombang. Namun dalam pengerjaannya, langkah waktu 1 jam berlangsung 19 menit, sedangkan langkah waktu 0,5 jam selama 37 menit, dan dengan langkah waktu 2 jam pemodelan selesai dalam 15 menit. Jadi, parameter ini berpengaruh terhadap waktu yang digunakan untuk berlangsungnya pemodelan. Dengan langkah waktu yang semakin singkat, maka waktu pemodelan akan semakin lama. 30

Gambar 4.8 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Langkah Waktu di Titik A Gambar 4.9 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Langkah Waktu di Titik B Gambar 4.10 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Langkah Waktu di Titik C 31

d. Komponen Fisik Pada Gambar 4.11, Gambar 4.12, dan Gambar 4.13 terlihat bahwa nilai Hsig yang dihasilkan berbeda sesuai komponen fisik yang digunakan. Dengan menggunakan KOMEN, Hsig yang dihasilkan pada titik A sekitar 0,26 m, titik B 0,19 m, dan titik C 0,26 m. Dengan WESTHUYSEN, dihasilkan Hsig 0,27 m di titik A, 0,2 m di titik B, dan 0,27 m di titik C. Sedangkan untuk JANSSEN, nilai Hsig jauh lebih tinggi, yakni 1 m di titik A, 0,8 m di titik B, dan 1,07 m di titik C. Selain itu, dengan jumlah iterasi yang sama, akurasi penghitungan menggunakan KOMEN adalah 98%, sedangkan WESTHUYSEN dan JANSSEN hanya menghasilkan akurasi ± 50%. Hal ini menunjukkan pemilihan parameter komponen fisik sangat berpengaruh terhadap hasil pemodelan. Gambar 4.11 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Komponen Fisik di Titik A Gambar 4.12 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Komponen Fisi di Titik B 32

Gambar 4.13 Grafik Sensitifitas untuk Parameter Komponen Fisik di Titik C 4.2 Model Gelombang Dua Musim Angin Dari hasil uji sensitifitas, didapatkan kondisi-kondisi parameter yang sesuai untuk proses pemodelan berikutnya. Resolusi grid yang digunakan yaitu 159x259 m, langkah waktu pemodelan tiap 1 jam, dan komponen fisik menggunakan KOMEN. Sedangkan untuk kecepatan angin bergantung pada data angin dari parameter masukan. Selanjutnya, dilakukan pemodelan gelombang untuk masing-masing musim angin di Indonesia. Angin Musim Timur diwakili oleh data angin bulan Juli 2011 dan untuk Angin Musim Barat digunakan data bulan Januari 2012 dengan hasil sebagai berikut: a. Angin Musim Timur Gelombang yang terjadi di domain C pada musim ini relatif kecil dengan arah datang dari timur dan tenggara. Nilai maksimum Hsig terjadi pada 31 Juli 2011 pukul 08.00 yaitu 0,68 m. Sedangkan periode maksimum 6,72 detik terjadi pada 31 Juli 2011 pukul 01.00. Sampel model gelombang dapat dilihat pada Gambar 4.14. Dari grafik Hsig di pesisir (Gambar 4.15) menunjukkan gelombang yang tidak tinggi. Nilai Hsig tertinggi terjadi pada titik pengamatan 11 hanya mencapai 0,51 m pada akhir bulan Juli. 33

Gambar 4.15 Model Gelombang Angin Musim Timur Gambar 4.14 Grafik Hsig Angin Musim Timur di Titik Pengamatan b. Angin Musim Barat Pada musim ini, di domain C gelombang datang dari arah barat laut dan relatif tidak terlalu tinggi. Hsig mencapai maksimum pada 26 Januari 2012 pukul 13.00 dengan nilai mencapai 0,63 m. Sedangkan periode gelombang maksimum terjadi tanggal 9 Januari 2012 pukul 05.00 dengan nilai 5,56 detik. Sampel hasil pemodelan dapat dilihat pada Gambar 4.16. 34

Gambar 4.16 Model Gelombang Angin Musim Barat Gelombang yang merambat di pesisir pun fenomenanya tidak jauh berbeda. Nilai Hsig tertinggi yaitu 0,6 m di titik 10 terjadi pada 26 Januari 2012. Grafik keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.17. Gambar 4.17 Grafik Hsig Angin Musim Barat di Titik Pengamatan 35

4.3 Bangunan Pelindung Pantai Dari hasil pengambilan sampel di daerah studi, didapatkan hasil seperti pada Tabel 4.2. Sebagian besar sedimen di Muara Gembong memiliki d50 dalam rentang ± 80-185 mikron yang termasuk golongan pasir halus dan pasir sangat halus. Jadi untuk data sedimen diasumsikan seragam sepanjang pantai yaitu berupa pasir. Tabel 4.2 Daftar Nilai d50 di Titik Pengambilan Sampel Sedimen Titik Nilai d50 (mikron) Jenis Sedimen A 136,85 Pasir halus B 84,51 Pasir sangat halus C 121,57 Pasir halus D 182,31 Pasir halus E 87,80 Pasir sangat halus F 108,97 Pasir sangat halus G 153,72 Pasir halus H 136,85 Pasir halus I 84,51 Pasir sangat halus J 88,44 Pasir sangat halus Berdasarkan hasil pemodelan, gelombang daerah pesisir Muara Gembong mempunyai tinggi kurang dari 1 m, sehingga bisa dikategorikan kecil. Terlebih pada saat Angin Musim Timur, daerah pantai barat dapat dikatakan sangat aman karena gelombang yang terjadi kecil, hanya sekitar 0,3 m. Dapat dikatakan area ini sebagai daerah bayangan (shadow zone). Jadi, data yang akan digunakan dalam penentuan lokasi gelombang pecah adalah model Angin Musim Barat dimana gelombang di pesisir bernilai relatif seragam. Setelah dilakukan pemodelan untuk lokasi energi gelombang yang hilang karena gelombang pecah, didapatkan garis gelombang pecah tersebar di daerah sangat dekat pantai (Gambar 4.18). Selain itu, arah gelombang yang datang membentuk sudut terhadap pantai sehingga menimbulkan potensi kerusakan 36

pantai. Oleh karena itu, bangunan pelindung pantai yang sesuai untuk pesisir Muara Gembong adalah revetment dan groin (Gambar 4.19 dan 4.20). Sebaiknya penempatan bangunan ini di daerah 1, 2, dan 3 pada Gambar 4.18. Gambar 4.18 Garis Gelombang Pecah dan Lokasi Bangunan Pelindung Pantai Revetmen berfungsi untuk mengurangi abrasi dan menahan energi gelombang yang datang dengan membentuk sudut terhadap pantai. Sedangkan groin berguna dalam menahan transpor sedimen sepanjang pantai sehingga bisa mengurangi abrasi yang terjadi. Selain itu, groin juga berfungsi menahan masuknya transpor sedimen ke pelabuhan atau muara sungai.untuk daerah dekat tanjung (daerah 2 dan 3 pada Gambar 4.18) disarankan menggunakan revetmen di garis pantai, dengan konstruksi yang tahan terhadap tinggi gelombang ekstrimnya. Sedangkan untuk daerah teluk (daerah 1 dan daerah 37

antara 2 dan 3 pada Gambar 4.18), disarankan menggunakan groin tegak lurus pantai, dimana struktur ini berfungsi sebagai penghambat arus sejajar pantai dan menangkap sedimen. Sehingga panjang groin dipersyaratkan mulai dari garis pantai sampai menembus garis gelombang pecah. Gambar 4.19 Revetment (Triatmodjo, 2012 dan Damara, 2007) Gambar 4.20 Groin (Triatmodjo, 2012 dan oceanica.cofc.edu) 38