BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan.

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk religius (homo religious), manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Setelah penulis mengkaji nilai keadilan yang diterapkan dalam kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Tinggi Theologia adalah suatu lembaga pendidikan setingkat

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan cara berpikir dan penalaran yang kuat. Pendeta adalah individu

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah bahkan sekolah dewasa ini di bangun oleh pemerintah agar anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dunia terdapat berbagai macam profesi yang digeluti oleh

Gereja Menyediakan Persekutuan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. memiliki arti tradisi. Istilah asing lainnya yang memiliki pengertian dengan agama adalah dari

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang memiliki beragam kebutuhan, dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

BAB I PENDAHULUAN. Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB IV ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN METODE KETELADANAN DALAM PEMBINAAN AKHLAK ANAK DI RA NURUSSIBYAN RANDUGARUT TUGU SEMARANG

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

32. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB IV MEWARISKAN IMAN DENGAN TELADAN SUATU REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PIRING NAZAR

BAB IV TINJAUAN KRITIS. budaya menjadi identitasnya. Apabila manusia dicabut dari budayanya, ia bukan lagi orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perhatian masyarakat mengenai hal-hal yang menyangkut

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

I. PENDAHULUAN. Pola hidup mengacu pada cara-cara bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan

BAB V FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT INTERNALISASI NILAI- NILAI AGAMA DALAM MENINGKATKAN KARAKTER RELIGIUS SISWA DI SMP NEGERI 26 SURABAYA.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Jakarta : Logos. Wacana Ilmu, 2009), hlm. 140.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak terus bekerja, dan daya serap anak-anak tentang dunia makin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

ANAK BATITA: USIA ± 15 BULAN 3 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB IV ANALISIS PERAN GURU PAI DALAM PEMBINAAN MORAL PESERTA DIDIK DI SD NEGERI JETAKLENGKONG KECAMATAN WONOPRINGGO KABUPATEN PEKALONGAN

Oleh Pdt. Daniel Ronda. Latar Belakang Pergumulan Pendidik

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB IV ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DALAM KELUARGA NELAYAN DI DESA PECAKARAN KEC.WONOKERTO KAB. PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk

BAB I. pendidikan informal dalam rangka pembentukan nilai-nilai, sopan santun, (1991) bahwa keluarga, yakni orangtua merupakan sumber pengasuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. forum diskusi ilmiah, mempraktikkan ilmu pengetahuan di lapangan, dan. juga dibutuhkan pula oleh orang lain (Zuhri, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Piring Nazar sebagai sebuah kenyataan sosio-religius dapat dijadikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Akhir-akhir ini di Indonesia dapat dilihat terjadinya banyak tindak kriminal. Setiap harinya pada berbagai stasiun televisi dapat disaksikan tayangantayangan kriminal yang berbeda. Gejala ini dikatakan oleh Ignas Kleden, seorang sosiolog dan Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur sebagai kebangkrutan moral dari bangsa Indonesia. Tingkah laku seperti pergaulan bebas, pembunuhan, pembantaian keluarga, mutilasi, pemerkosaan, pembuatan vcd porno amatir, penjambretan, pencurian, perampokan yang disertai pembunuhan, bunuh diri dan terorisme merupakan sebagian dari banyak indikator yang menunjukkan kebangkrutan moral tersebut. Dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah sosial yang sangat serius, masalah yang menyangkut perilaku-perilaku yang tidak wajar ditampilkan di lingkungan sosial. Untuk memahami lebih baik mengenai masalah perilaku maka perlu dipahami sumber yang mengarahkan perilaku tersebut. Sumber penggerak perilaku oleh Rotter (1967) disebut sebagai locus of control. Jika sumber itu berasal dari luar diri maka disebut sebagai locus of control eksternal sedangkan jika sumber penggerak perilaku itu berasal dari dalam diri maka disebut sebagai locus of control internal. Contohnya, individu dengan kecenderungan locus of 1

2 control yang internal akan mengatakan bahwa kerja keras yang mendatangkan keberhasilan baginya sedangkan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal akan mengatakan bahwa keberhasilan adalah suatu keberuntungan. Contoh lain, seseorang dengan kecenderungan locus of control internal akan berkata bahwa perilaku baik yang ia lakukan, ia perbuat secara sadar atas dasar pilihannya sendiri, sedangkan orang dengan locus of control eksternal merasa bahwa perilaku yang ia lakukan dikontrol oleh lingkungan dan ia merasa kurang mendapat kendali yang cukup atas perilakunya tersebut. Locus of control penting karena dapat mendasari penyesuaian diri seorang individu (Arnold Buss, 1973). Penyesuaian diri yang baik dibutuhkan oleh seorang remaja, terutama pada fase remaja akhir, karena pada fase remaja akhir dituntut untuk dapat mandiri dan juga mengembangkan kapasitas hubungan interpersonal dengan teman sebayanya. Selain itu penyesuaian diri penting dalam fase ini karena remaja mengalami perubahan peran sosial yang menunjukkan diri mereka mulai dewasa (Steinberg, 1955). Perubahan peran dan tanggung jawab sosial pada fase remaja akhir bukan hanya terjadi pada komunitas masyarakat pada umumnya namun juga terjadi di gereja. Di gereja X seorang anak yang berada pada fase remaja akhir baru diijinkan untuk mengikuti sakramen baptisan dan setelahnya mengikuti perjamuan kudus karena pada fase ini individu sudah dianggap mengerti bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang diembannya ketika memutuskan untuk mengambil sakramen tersebut. Dengan mengikuti baptisan, remaja diijinkan mengambil

3 pelayanan-pelayanan dalam posisi sebagai pemimpin. Jadi dapat dilihat bahwa pada fase remaja akhir seorang individu dalam komunitas gereja mulai diijinkan mendapatkan tanggung jawab dan peran yang baru yaitu sebagai pemimpin. Bagi seorang anak pendeta dalam fase remaja akhir, kemampuan penyesuaian diri dibutuhkan karena selain mendapat tanggung jawab dan peran yang baru dalam masyarakat dan gereja, mereka juga memiliki tuntutan khusus bagi dirinya. Tuntutan khusus itu adalah tuntutan untuk dapat bertingkah laku sebagai teladan (http://www.preacherskids.com). Tuntutan khusus itulah yang membuat anak pendeta berbeda dengan remaja biasa. Untuk dapat lebih memahami mengenai tuntutan kepada anak pendeta maka peneliti akan membahas tentang Pendeta. Pendeta adalah pemuka agama kristen. Menurut Msweli & Crider (1993) dalam menjadi seorang pemuka agama, pendeta memiliki tanggungjawab yang banyak seperti menyediakan waktu untuk berdoa seorang diri dan berdoa untuk rumah tangga anggota jemaat, selain itu pendeta juga harus mempelajari Alkitab, menyelidiki apa yang harus ia lakukan menurut Alkitab. Dalam hubungannya dengan jemaat seorang pendeta juga harus merencanakan dan melaksanakan kunjungan ke setiap anggota jemaat. Dalam perkunjungan tersebut pendeta mendengarkan permasalahan jemaat, membaca Alkitab dan mendoakan jemaat. Setiap hari minggu dan acara-acara kebaktian khusus lainnya pendeta harus mempersiapkan khotbah dan menyampaikannya kepada jemaat. Pendeta juga harus mengajarkan dan menanamkan kebenaran Alkitab kepada jemaatnya, memimpin anggota jemaat

4 baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Selain bertanggungjawab terhadap jemaat, seorang pendeta juga memiliki tanggung jawab dalam keluarganya sendiri, yaitu memelihara keluarga yang baik. Memelihara keluarga yang baik merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang pendeta. Dalam sebuah artikel Intisari, ditulis bahwa pendekatan pendidikan dalam keluarga masih tetap sahih untuk meningkatkan kualitas manusia, yang merupakan anggota sebuah keluarga (http://www.indomedia.com). Hal tersebut menimbulkan suatu harapan yang lebih bagi keluarga pendeta, karena pemimpin yang diharapkan untuk mendidik dalam keluarga tersebut adalah pendeta. Pendeta tersebut adalah seorang figur signifikan yang dipandang dan menjadi panutan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta yang merupakan ketua sinode suatu denominasi gereja tentang keluarga, yaitu bahwa keluarga pendeta adalah sangat penting dalam hubungannya dengan jabatan sebagai pendeta. Dijelaskan bahwa tingkah laku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma kristiani yang dilakukan oleh anggota keluarga pendeta dapat merusak citra seorang pendeta dan sebaliknya apabila keluarga pendeta dalam bertingkah laku menggambarkan ajaran Alkitab maka hal tersebut dapat meneguhkan citra pendeta sebagai pemimpin dan pengajar jemaat. Melalui penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa citra pendeta tercermin dari perilaku keluarganya. Dengan kata lain, tuntutan yang dibebankan kepada seorang pendeta juga dibebankan kepada seluruh anggota keluarga,

5 termasuk anak-anaknya. Adanya tuntutan yang lebih pada keluarga pendeta maka anak pendeta selain harus memenuhi tuntutan perkembangan pada fase remaja akhir ia pun mempunyai tuntutan dari masyarakat yang harus ia penuhi, dengan perkataan lain tuntutan kepada anak pendeta menjadi lebih dari remaja pada umumnya. Dalam sebuah artikel mengenai anak pendeta dikatakan bahwa terdapat tuntutan dari masyarakat tentang bagaimana anak pendeta berpakaian, dengan siapa mereka dapat berteman dan ke tempat mana saja mereka boleh pergi. Anak-anak pendeta seringkali juga mendengar komentar-komentar tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku di tengah masyarakat dan dalam kehidupan pribadinya, bagamana mereka berhubungan dengan orang-orang, siapa yang seharusnya menjadi pasangan hidup yang pantas bagi mereka, bagaimana keterlibatan mereka dalam pelayanan di gereja. Mereka seringkali dibandingbandingkan dengan anak-anak lain di dalam gereja (http://www.preacherskids.com). Apabila seorang remaja anak pendeta gagal untuk memenuhi tuntutan tersebut maka akan berdampak bukan hanya pada diri remaja itu sendiri namun dapat berdampak bagi orang tuanya yang adalah pendeta. Dengan banyaknya tuntutan yang dibebankan pada anak pendeta maka penyesuaian diri yang baik sangat dibutuhkan terutama pada fase remaja akhir. Fase remaja akhir merupakan masa transisi dari fase anak-anak menjadi dewasa. Harvey (1978) mengatakan bahwa locus of control berkembang ke arah internal seiring dengan bertambahnya usia. Pembentukan locus of control ke arah

6 internal sangat penting, karena pada fase remaja akhir remaja sudah diharapkan untuk dapat mandiri, memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, menjadi lebih bijaksana dan dapat mengambil keputusannya sendiri serta mulai mendapat tanggung jawab sebagai seorang dewasa. Dengan adanya perubahan-perubahan menuju dewasa tersebut maka locus of control yang internal dibutuhkan, karena dengan locus of control yang internal remaja dapat lebih mandiri, lebih bergantung pada penilaian sendiri dan tidak mudah terkena pengaruh orang lain. Selain itu, dengan locus of control yang internal remaja memiliki kontrol diri yang baik karena mereka dapat melihat hubungan yang erat tentang apa yang mereka lakukan dengan apa yang akan terjadi terhadap mereka dan dengan demikian mereka akan lebih berhati-hati dalam berperilaku. Bagi anak pendeta, agar dapat hidup menjadi teladan dalam kehidupan sehari-harinya dengan konsisten maka mereka perlu menginternalisasi nilai-nilai positif yang telah ditanamkan oleh orang tuanya. Apabila anak pendeta sudah menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya dengan baik maka ia dikatakan memiliki locus of control internal. Apabila anak pendeta dapat menginternalisasi nilai-nilai kristiani yang diajarkan oleh orang tuanya dengan baik maka perilaku yang menunjukkan keteladanan dapat ia lakukan dengan baik dan konsisten sebagai aplikasi dari internalisasi nilai-nilainya. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan locus of control internal maka perilaku keteladanan dapat lebih mudah dilakukan sebagai cermin diri dan bukan tuntutan atau paksaan.

7 Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan sembilan orang anak pendeta yang berada di fase remaja akhir di gereja berdenominasi X, peneliti menemukan fakta yang beragam mengenai locus of control yang dimiliki oleh anak pendeta. Dari survai awal didapat, 100 % anak pendeta merasa tuntutan dari masyarakat bagi dirinya untuk menjadi teladan. Dari keseluruhan, 55,6% merasakan tuntutan tersebut sebagai suatu beban yang membatasi kebebasan mereka dalam bertingkah laku. Mereka merasa bahwa pandangan masyarakat sangat berpengaruh terhadap dirinya. Dalam hidup sehari-hari mereka menampilkan perilaku yang sopan. Cara berpakaian dan cara berbicara mereka sopan, namun penghayatan mereka adalah, dalam kehidupan sehari-hari mereka terasa dikekang dan dibatasi oleh pandangan masyarakat tentang mereka. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa mereka memiliki kecenderungan locus of control yang eksternal. Sebesar 44,4% merasakan bahwa tuntutan sebagai anak pendeta merupakan hal yang biasa dan bukanlah beban. Mereka merasakan bahwa melakukan suatu perilaku keteladanan adalah suatu hal yang pantas dan baik untuk dilakukan sebagai aplikasi nilai yang diajarkan oleh orang tuanya. Dalam hal berbicara, berpakaian dan berteman mereka menghayati bahwa keteladanan merupakan hal yang wajar dan baik untuk dilakukan, mereka tidak merasakan adanya paksaan ataupun beban dalam melakukannya. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa mereka memiliki locus of control yang cenderung internal.

8 Dari uraian latar belakang dan pemikiran tersebut, maka peneliti menjadi tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kecenderungan locus of control pada anak pendeta yang berada fase remaja akhir. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka pada penelitian ini masalah yang akan diteliti yaitu : Bagaimana kecenderungan locus of control pada anak pendeta yang berada pada fase remaja akhir? 1.3 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecenderungan locus of control pada anak pendeta yang berada pada fase remaja akhir Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan locus of control pada anak pendeta yang berada pada fase remaja akhir dan faktor-faktor yang menentukan kecenderungan locus of control 1.4 KEGUNAAN PENELITIAN berupa: Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan beberapa manfaat

9 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan sumbangan informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu psikologi perkembangan yaitu untuk menambah kekayaan dan kedalaman kajian mengenai konsep locus of control. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan gambaran locus of control remaja bagi pendeta sebagai orang tua, sehingga orang tua dapat lebih memahami keadaan anaknya. Memberi kontribusi bagi para anak pendeta yang berada pada fase remaja akhir, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri lebih baik 1.5 KERANGKA PIKIR Sumber pengarah perilaku disebut Rotter (1960) sebagai locus of control. Rotter (1960) menjelaskan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa locus of control merupakan suatu variabel sentral yang mendasari tingkah laku penyesuaian diri yang terdapat dalam struktur kepribadian manusia. Locus of control merupakan suatu variabel sentral dalam struktur kepribadian yang implisit dalam proses belajar, mempengaruhi tingkah laku aktual, mewarnai sikap dan kehidupan perasaan, pusat hirarki pada pola pikir serta mendasari tingkah laku penyesuaian diri dan antisipasinya. Selanjutnya Rotter (1960) membuat suatu pembagian kepribadian ke dalam tipe global yaitu tipe internal dan eksternal locus of control, ditinjau dari sumber reinforcement-nya. Pada tipe internal sumber

10 reinforcement berasal dari dalam dirinya sendiri, sedangkan pada tipe eksternal sumbernya berasal dari luar diri. Apabila seseorang memiliki locus of control yang cenderung internal maka individu tersebut akan bertingkah laku dengan motivasi yang berasal dalam dirinya (bukan dari lingkungan). Internalisasi nilai yang diperoleh merupakan dasar pertimbangan untuk memunculkan perilaku. Tingkah laku yang ditampilkan merupakan hasil dari kesadaran dan pemahaman individu tentang situasi lingkungan dan bukan karena pengaruh yang diberikan lingkungan kepadanya. Namun apabila seseorang memiliki locus of control yang cenderung eksternal maka yang berpengaruh terhadap tingkah laku yang ditampilkan individu adalah lingkungannya dan bukan karena pemahaman dirinya tentang situasi lingkungan. Orang yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal kurang dapat menginternalisasi nilai-nilai yang diajarkan kepadanya. Hal ini mengakibatkan perilaku yang ia tampilkan lebih mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam lingkungan, sehingga pengaruh lingkungan bagi orang dengan kecenderungan locus of control eksternal akan sangat terasa. Locus of control pada masa remaja akhir dapat berkembang dengan baik seiring dengan perkembangan kognisi remaja. Pada fase ini remaja sudah dapat berpikir secara abstrak dan kompleks. Perkembangan kognisi untuk berpikir abstrak dan kompleks memungkinkan remaja untuk dapat memilah pengalamanpengalaman yang terjadi pada dirinya. Remaja dapat menemukan suatu pola yang tetap tentang perilaku serta konsekuesi terhadap perilakunya. Selain menemukan

11 pola yang tetap dalam berperilaku, dengan kondisi kognisi remaja yang telah berkembang pada fase ini maka remaja juga dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang telah ia terima selama ia tumbuh. Dengan kemampuan kognitif tersebut maka pada fase ini remaja diharapkan memiliki locus of control yang cenderung internal. Selain karena adanya perkembangan kognitif yang pesat pada fase remaja akhir, locus of control internal penting dimiliki remaja karena pada fase ini menurut Steinberg (1993), remaja diharapkan untuk dapat mandiri artinya bahwa pada fase ini remaja sudah dituntut untuk dapat berperilaku berdasarkan prinsipprinsip yang ia miliki. Pada fase ini remaja dipercayakan dapat mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi dirinya sendiri, untuk itu akan lebih baik apabila keputusan yang diambil oleh remaja merupakan hasil dari pemahaman dirinya tentang lingkungan dan bukan hasi pengaruh lingkungan terhadap dirinya. Remaja yang berada pada fase remaja akhir adalah seorang remaja yang berusia 18-21 (Lawrence Steinberg, 1993). Bagi anak pendeta yang berada pada fase remaja akhir tuntutan yang dibebankan akan menjadi lebih berat dari tuntutan yang dibebankan kepada remaja akhir pada umumnya. Hal itu disebabkan pada fase ini anak pendeta selain harus memenuhi tuntutan perkembangannya sebagai remaja pada fase akhir, ada pula tuntutan dari masyarakat yang harus dipenuhi dan keteladanan adalah salah satunya. Keteladanan dalam perilaku seorang remaja anak pendeta dapat lebih dimengerti jika kondisi orang tuanya dipahami dengan baik

12 Seorang pendeta adalah seorang yang bergerak dalam bidang pelayanan sosial khususnya agama. Kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh seorang pendeta adalah kegiatan penanaman nilai dan prinsip hidup yang selaras dengan kebenaran menurut kitab sucinya yaitu Alkitab. Penerapan prinsip Alkitab dilakukan pendeta pada keluarganya terlebih dahulu sebagai jemaat dalam lingkup terkecil dalam pelayananya. Menjadi model bagi masyarakat, penting artinya bagi keluarga pendeta, karena mempengaruhi kredibilitas seorang pendeta (http://www.anglican.ca). Apabila pendeta dianggap mampu dan telah menjadi contoh yang baik bagi jemaat maka pendeta tersebut akan terus dipercayakan untuk memimpin jemaat itu. Kepercayaan tersebut diperoleh dari pandangan masyarakat terhadap kehidupan pendeta dan keluarganya. Jadi dapat dikatakan bahwa keluarga pendeta dituntut oleh jemaatnya untuk dapat hidup sesuai dengan nilai dan prinsip kristiani yang telah diajarkan oleh pendeta itu sendiri. Bagi seorang remaja anak pendeta hal ini berarti bahwa dalam memenuhi tuntutan perkembangannya ia diharapkan juga dapat menerapkan nilai dan prinsip kristiani yang diajarkan oleh orang tuanya dengan diawasi oleh jemaat. Tuntutan jemaat kepada anak pendeta misalnya, anak pendeta harus terlibat dalam pelayanan. Anak pendeta juga harus menunjukkan perilaku yang sopan dan santun dalam penampilan, menyangkut caranya berpakaian dan aksesoris yang digunakan di tubuhnya. Selain itu perkataan anak pendeta harus santun, tidak berkata kasar dan menggunakan katakata makian. Anak pendeta juga dituntut mampu untuk memilih teman yang

13 tepat, yang tidak berisiko untuk membawa dirinya ke dalam tingkah laku atau kebiasaan yang buruk dan dalam segala sesuatu yang dilakukannya ia harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan tersebut dapat membuat buruk nama baik orang tuanya bahkan sampai risiko kehilangan pekerjaan. Tuntutan yang diberikan oleh masyarakat sebenarnya bertujuan agar anak pendeta dapat menginternalisasi nilai-nilai positif yang ditanamkan kepadanya. Apabila nilainilai tersebut telah terinternalisasi dengan baik maka locus of controlnya akan cenderung internal. Namun banyaknya tuntutan yang diberikan masyarakat mungkin justru menciptakan suatu lingkungan yang akan membuat anak pendeta memiliki locus of control yang cenderung eksternal. Hal itu disebabkan anak pendeta hidup dengan berbagai aturan-aturan yang ketat yang tidak disertai dengan alasan yang jelas mengapa aturan tersebut perlu ditaati. Kondisi tersebut menyebabkan internalisasi nilai kurang dapat terjadi dengan baik sehingga dapat menyebabkan locus of control dapat berkembang ke arah eksternal (Arnold Buss, 1973). Locus of control internal penting bagi penyesuaian diri (Arnold Buss, 1973). Bagi anak pendeta locus of control penting karena locus of control berperan dalam bagaimana tingkah laku teladan ditampilkan. Anak pendeta yang memiliki kecederungan locus of control internal dalam penyesuaian dirinya pada tuntutan masyarakat akan memunculkan tingkah laku yang mencerminkan keteladanan meskipun tidak ada lingkungan di sekitarnya yang menilai tingkah

14 lakunya. Sedangkan jika anak pendeta memiliki kecenderungan locus of control eksternal maka tingkah laku keteladanan hanya ditunjukkan jika ada orang di sekitarnya yang menilai tingkah lakunya, untuk memunculkan kesan baik dari orang sekitar. Sebagai seorang individu yang dituntut untuk mandiri dalam fase remaja akhir anak pendeta dengan kecenderungan locus of control eksternal akan sulit untuk mengambil keputusan-keputusan bagi dirinya. Hal itu disebabkan keputusan yang diambil merupakan pemenuhan tuntutan masyarakat bagi dirinya dan bukan apa yang dianggap penting oleh dirinya. Jadi dapat dilihat bahwa locus of control berperan dalam penyesuaian diri anak pendeta terhadap tuntutan perkembangan sebagai anak remaja pada fase akhir dan juga tuntutan masyarakat terhadap dirinya. Anak pendeta yang cenderung internal meyakini bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor-faktor internal seperti usaha, kemampuan dirinya, serta karakteristik lain di dalam dirinya. Dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan yang dibebankan kepada dirinya anak pendeta dengan kecenderungan internal akan menjalankan tugasnya sebagai teladan bukan sebagai beban atau tuntutan namun sebagai tampilan dari kesadaran tentang pentingnya arti teladan bagi dirinya. Anak pendeta yang cenderung eksternal merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya diyakini bersumber dari hal-hal di luar dirinya seperti nasib, keberuntungan atau tindakan-tindakan orang lain. Anak pendeta dengan kecenderungan ini menganggap tuntutan masyarakat terhadap dirinya adalah

15 sesuatu tuntutan yang harus diikuti karena lingkungan yang mengharuskannya dan bukan karena kesadaran akan pentingnya arti keteladanan bagi dirinya. Secara garis besar terdapat beberapa faktor pengubah locus of control yaitu usia, pengalaman tinggal di istitusi, pengalaman dan konsistensi didikan orang tua (Harvey, 1978). Faktor pertama adalah usia. Seiring bertambahnya usia maka bertambah pulalah pengalaman seorang individu. Pada fase remaja akhir, kognisi anak pendeta akan berkembang dengan pesat sehingga dapat berpikir secara abstrak dan kompleks. Perkembangan kognitif ini membuat remaja memiliki kemampuan untuk dapat memilah pengalaman-pengalaman yang ia alami, membuat pola yang terbentuk dari perilaku yang ia tampilkan dengan konsekuensi yang diperoleh. Kemampuan tersebut membuat remaja memiliki kontrol terhadap lingkungan sekitarnya sehingga dapat membentuk locus of control internal. Faktor lainnya adalah pengalaman tinggal di institusi. Apabila seorang anak pendeta dalam perkembangannya memiliki pengalaman tinggal dalam suatu institusi atau lembaga seperti asrama, penjara, panti asuhan, panti rehabilitasi yang memiliki suatu peraturan yang ketat maka remaja akan cenderung memiliki locus of control eksternal. Hal itu disebabkan tingkah laku mentaati peraturan bukanlah suatu pilihan dari individu melainkan suatu keharusan sehingga individu tidak dapat memiliki kontrol terhadap perilakunya melainkan sebaliknya perilaku individu dikontrol oleh lingkungannya.

16 Faktor berikutnya adalah pengalaman. Dalam perkembangan hidup remaja tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang remaja akan mengalami suatu pengalaman yang berkesan mendalam dalam hidupnya yang tak dapat ia kendalikan, contohnya gempa bumi, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerusuhan. Semakin sering seorang remaja mengalami pengalaman berkesan yang tidak dapat ia kendalikan maka pola-pola yang terbentuk dalam kognisi individu menggambarkan hubungan yang tetap antara tingkah laku dan konsekuensinya akan terdistorsi sehingga remaja akan merasa bahwa ia tidak memiliki kontrol terhadap lingkungan sekitarnya sehingga perkembangan locus of control internal akan sulit untuk terjadi. Faktor yang terakhir adalah konsistensi didikan orang tua. Perubahan locus of control menjadi internal pada remaja juga dapat terjadi jika dalam perkembangannya remaja dididik secara konsisten oleh orang tua. Apabila orang tua dapat mendiskusikan peraturan yang berada dalam rumah dan menerapkannya secara konsisten maka anak dapat mengerti mengapa suatu tingkah laku dilarang dan diijinkan untuk dilakukan. Konsistensi dalam memberi hukuman pada pelanggaran dan pujian pada tiap tingkah laku positif yang ditunjukkan individu akan membuat individu dapat belajar memahami bahwa terdapat suatu pola yang tetap pada tingkah laku serta konsekuensi dari tingkah lakunya. Dengan demikan individu tersebut dapat mengontrol konsekuensi lingkungan dengan mengontrol perilakunya. Apabila didikan yang diberikan oleh orang tua tidak konsisten artinya perilaku yang ditampilkan anak terkadang mendapat respon yang berbeda-

17 beda maka anak akan berkembang menjadi seorang remaja dengan locus of control yang cenderung eksternal. Hal tersebut disebabkan remaja tersebut kurang dapat memahami konsekuensi dari perilakunya sehingga ia menganggap bahwa kejadian yang terjadi padanya adalah diluar dari kendalinya. Tuntutan masyarakat: Pelayanan Sopan dalam penampilan, perkataan dan perbuatan Memilih teman yang tepat Remaja anak pendeta Tugas perkembangan : Mencapai identitas diri Kemandirian Tanggung jawab Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Locus of control Faktor-faktor pengubah locus of control Usia Pengalaman Stabilitas perubahan Konsistensi pola asuh orang tua Cenderung Eksternal Cenderung Internal Berdasarkan hal-hal di atas, maka ditarik beberapa asumsi yaitu : Anak pendeta pada fase remaja akhir memiliki tuntutan yang lebih dari anak remaja pada umumnya karena selain harus memenuhi tugas perkembangannya mereka juga mendapat tuntutan lain yaitu keteladanan

18 Anak pendeta yang memiliki kecenderungan locus of control internal meyakini bahwa mereka memiliki pengaruh dan kontrol terhadap lingkungan. Anak pendeta yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal meyakini bahwa mereka tidak memiliki pengaruh dan kontrol terhadap diri sendiri dan lingkungan.