7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil. Oleh karena itu, jamur mengambil zat-zat makanan yang sudah jadi yang dibuat/dihasilkan oleh organisme lain untuk kebutuhan hidupnya. Jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrofik karena ketergantungannya terhadap organisme lain tersebut (Cahyana, et. al., 2007). Pada awalnya, sebelum dibudidayakan jamur konsumsi ataupun jamur berkhasiat obat ditemukan dalam bentuk jamur liar yang tumbuh di kebun, tegalan, bahkan di pekarangan rumah. Sejalan dengan kebutuhan manusia terhadap jamur untuk konsumsi ataupun untuk bahan obat maka kalau hanya tergantung pada alam tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu beberapa jenis jamur mulai dibudidayakan. Jamur konsumsi yang dibudidayakan misalnya jamur merang (supa pare, paddy straw mushroom), jamur tiram (supa liat), jamur kuping (lember), dan jamur coklat hitam (shiitake). Jenis jamur lainnya yang memiliki khasiat tinggi sebagai bahan obat antara lain jamur maitake dan jamur ling-zhi (Suriawiria, 2001). 2.2. Jamur Tiram Jamur tiram merupakan salah satu jenis jamur kayu. Jamur kayu adalah jamur yang tumbuh pada media kayu, baik pada serbuk kayu maupun kayu gelondongan. Selain jamur tiram, jenis jamur kayu yang banyak dibudidayakan yaitu jamur kuping dan jamur shiitake. Disebut jamur tiram atau oyster mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong, dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai jamur tiram tidak tepat berada pada tengah tudung, tetapi agak ke pinggir. Jenis jamur tiram (Pleurotus sp.) yang mulai banyak dibudidayakan antara lain sebagai berikut (Pasaribu, et. al., 2002): 1. Pleurotus ostreatus, berwarna putih kekuning-kuningan;
8 2. Pleurotus flabellatus, berwarna merah jambu; 3. Pleurotus florida, berwarna putih bersih (shimeji white); 4. Pleurotus sajor caju, berwarna kelabu (shimeji grey); 5. Pleurotus cystidiyosus, berwarna kecoklatan (abalon). Dari beberapa jenis jamur tersebut, jamur tiram putih, abu-abu, dan cokelat paling banyak dibudidayakan karena mempunyai sifat adaptasi dengan lingkungan yang baik dan tingkat produktivitasnya cukup tinggi. Jenis-jenis jamur tersebut mempunyai sifat pertumbuhan yang sama, tetapi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Cahyana, et. al., 2007). Kelebihan dan kekurangan jamur tiram putih, abu-abu, dan cokelat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Jenis Jamur Tiram Sifat Tiram Putih Tiram Cokelat Tiram Abu-abu Rumpun Dalam satu media Sangat sedikit Paling banyak Tudung Sangat tipis Tebal Tipis Daya Simpan Agak lama Lama Paling pendek Sumber: Cahyana, at. al., (2007) 2.2.1. Syarat Tumbuh Pada prinsipnya budidaya jamur tiram adalah mengusahakan kondisi sehingga jamur tiram tersebut dapat tumbuh dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan adaptasi subtrat dan lingkungan tempat tumbuh sesuai dengan habitat tumbuhnya di alam. Faktor yang berpengaruh tersebut adalah faktor media tumbuh dan faktor lingkungan (Cahyana, et. al., 2007). Media bagi pertumbuhan jamur tiram sebaiknya dibuat menyerupai kondisi tempat tumbuh jamur tiram di alam. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membuat media tumbuh antara lain nutrisi, kadar air, dan tingkat keasaman. Nutrisi bahan baku atau bahan yang ditambahkan harus sesuai dengan kebutuhan hidup jamur. Bahan baku yang digunakan sebagai media dalam budidaya jamur tiram dapat berupa batang kayu yang sudah kering, jerami, serbuk kayu, campuran antara serbuk kayu dan jerami, dan bahkan alang-alang. Selain bahan baku tersebut, masih perlu ditambahkan beberapa bahan tambahan antara lain bekatul, kapur, serta gips: 1. bekatul sebagai sumber karbohidrat, lemak, dan protein; 2. kapur sebagai sumber mineral dan pengatur ph media;
9 3. gips sebagai bahan penambah mineral dan sebagai bahan untuk mengokohkan media. Bahan-bahan tersebut perlu ditambahkan mengingat jamur tiram termasuk organisme heterotrofik, yakni organisme yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Kadar air media diatur hingga 50 60 persen dengan menambahkan air bersih. Air perlu ditambahkan sebagai bahan pengencer agar miselia jamur dapat tumbuh dan menyerap makanan dari media/substrat dengan baik. Apabila air yang ditambahkan kurang maka penyerapan makanan oleh jamur menjadi kurang optimal sehingga jamur menjadi kurus. Bahkan hal ini dapat mengakibatkan jamur mati. Apabila air yang ditambahkan terlalu banyak maka akan mengakibatkan busuk akar. Keasaman atau ph media perlu diatur antara ph 6-7 dengan menggunakan kapur. Apabila ph terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur tiram akan terhambat. Bahkan kemungkinan akan tumbuh jamur lain yang akan mengganggu pertumbuhan jamur tiram itu sendiri. Di samping media tumbuh, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu, kelembaban ruangan, cahaya, dan sirkulasi udara: 1. suhu inkubasi jamur tiram berkisar antara 22 28 o C, sedangkan suhu pada pembentukan tubuh buah berkisar antara 16 22 o C; 2. kelembaban inkubasi jamur tiram berkisar antara 60 80 persen, sedangkan suhu pada pembentukan tubuh buah berkisar antara 80 90 persen; 3. sirkulasi udara harus cukup, tidak terlalu besar tetapi tidak pula terlalu kecil; 4. intensitas cahaya yang diperlukan pada saat pertumbuhan sekitar 10 persen (intensitas cahaya dalam ruangan cukup untuk membaca koran). Pengaturan suhu dan kelembaban ruangan dapat dilakukan dengan menyemprotkan air bersih ke dalam ruangan.
10 2.2.2. Panen dan Pascapanen 2.2.2.1. Panen Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal, yaitu cukup besar, tetapi belum mekar penuh. Pemanenan ini biasanya dilakukan 5 hari setelah tumbuh calon jamur (tubuh buah). Pada saat itu, ukuran jamur sudah cukup besar dengan diameter rata-rata antara 5-10 cm. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegarannya dan mempermudah pemasarannya (Cahyana, et. al., 2007). Selama pemeliharaan, pemanenan jamur dapat dilakukan 4 8 kali tergantung pada kandungan subtrat tanam, bibit jamur, serta lingkungan selama pemeliharaan. Keberhasilan budidaya jamur dapat diukur dengan nilai REB (Rasio Efisiensi Biologis). Semakin tinggi nilai REB semakin baik budidaya jamur tersebut. Jika jumlah jamur yang dipanen per musim adalah 600 g, sedangkan berat subtrat tanam adalah 1 kg, maka nilai REB adalah 60 (Suriawiria, 2001). Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh rumpun jamur hingga ke akar-akarnya yang ada. Pemanenan tidak dapat dilakukan dengan hanya memotong jamur yang ukurannya besar saja, karena jamur yang berukuran kecil tidak akan bertambah besar, bahkan kemungkinan layu atau busuk. Disamping itu untuk menghindari akar atau batang jamur yang tertinggal, apabila membusuk dapat mengakibatkan kerusakan media sehingga merusak pertumbuhan jamur yang lain (Pasaribu, et. al., 2002). 2.2.2.2. Pascapanen Jamur yang sudah dipanen tidak perlu dipotong menjadi bagian per bagian tudung, tetapi hanya perlu dibersihkan kotoran yang menempel di bagian akarnya saja. Dengan cara tersebut, disamping kebersihannya lebih terjaga, daya tahan simpan jamur pun akan lebih lama. Jamur merupakan komoditas hasil pertanian yang akan cepat layu atau membusuk jika disimpan tanpa perlakuan yang benar. Oleh karena itu, perlakuan harus segera dilakukan setelah pemanenan agar tidak mendatangkan kerugian. Perlakuan untuk memperpanjang umur jamur setelah panen agar tidak rusak
11 antara lain dengan cara memperpanjang kesegaran, pengeringan, dan pengasapan (Suriawiria, 2001). Cara yang dilakukan untuk memperpanjang kesegaran jamur yang baru dipanen yaitu dengan menyimpannya di tempat dingin pada suhu antara 1 5 o C. Dengan kondisi temperatur seperti ini, umur jamur dapat diperpanjang minimal 4 5 x 24 jam. Pengeringan pada dasarnya adalah mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam jamur sehingga air yang tersisa tidak dapat digunakan untuk kehidupan mikroba perusak yang ada pada jamur tersebut. Alat pengering dapat berbentuk bejana yang dipanaskan oleh listrik (misal oven khusus), kompor minyak, atau dengan cahaya matahari langsung. Pengasapan dilakukan dengan cara kerja awal yang sama dengan pengeringan. Pada proses akhir, tidak dikeringkan melainkan ditempatkan pada satu tempat yang di bawahnya terdapat tungku penghasil asap. Kayu atau daun untuk bahan pengasap harus terpilih dari tanaman yang tidak menghasilkan bau asap. Bau asap tersusun dari senyawa kimia tertentu yang akan mengurangi kualitas hasil asapannya. 2.3. Penelitian Terdahulu Analisis pendapatan dan kelayakan finansial usahatani jamur tiram telah beberapa kali dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Walaupun demikian penelitian tentang analisis pendapatan dan kelayakan finansial usahatani jamur tiram masih perlu dilakukan karena studi dalam waktu dan tempat yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Rahwana (2003) melakukan penelitian tentang analisis pendapatan usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cicurug dan Parungkuda. Peneliti mengelompokan petani contoh menurut skala usahanya berdasarkan jumlah log, mulai dari 5.000 sampai 20.000 log, dan menurut teknologi yang digunakan berdasarkan alat sterilisasi yaitu drum dan autoklaf. Hasil analisis pendapatan menunjukan bahwa pendapatan usahatani jamur tiram putih dengan teknologi autoklaf cenderung lebih tinggi dari teknologi drum. Berdasarkan perhitungan B/C dan Return to Family Labor, usahatani yang paling
12 efisien adalah pada skala usaha 10.000 log, baik dengan teknolgi drum maupun autuklaf. Berdasarkan pendekatan Titik Impas Produksi (TIP), untuk teknolgi drum efisien pada skala usaha 20.000 log, tetapi untuk teknologi autoklaf efisien pada skala usaha 10.000 log. Berdasarkan pendekatan Return to Total Capital, untuk teknologi drum efisien pada skala usaha 7.000 log, tetapi untuk teknologi autoklaf efisien pada skala usaha 10.000 log. Novita (2004) melakukan analisis pendapatan dan kelayakan finansial usahatani jamur tiram di Kecamatan Parungkuda dan Kecamatan Cicurug. Skala usahatani jamur tiram di bagi ke dalam dua kelompok yaitu skala usaha kecil yang memproduksi kurang dari 250 kg jamur tiram segar per hari (kurang dari 25.000 baglog per siklus tanam) dan skala usaha sedang yang memproduksi antara 250-500 kg jamur tiram segar per hari (25.000-40.000 baglog per siklus tanam). Output yang dihasilkan ada dua yaitu dalam bentuk baglog dan dalam bentuk jamur tiram segar. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani jamur tiram dalam semua pola usahatani layak dan menguntungkan untuk diusahakan. Hal ini ditunjukan dengan nilai R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai lebih besar dari 1. Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial pada tingkat diskonto 15 persen menunjukan semua pola usahatani jamur tiram layak untuk diusahakan. Hal tersebut ditunjukan oleh nilai NPV > 0, IRR >1 5 persen, Net B/C > 1, Payback Period < 5 tahun (umur proyek), dan proyeksi penjualan jamur tiram yang berada di atas nilai titik impas. Namun demikian, hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram peka terhadap penurunan produksi sebesar 30 persen pada output jamur tiram segar dan sebesar 20 persen pada output baglog, serta penurunan harga jual pada output jamur tiram segar sebesar 25 persen dan 10 persen pada output baglog yang menyebabkan usaha ini tidak layak untuk diusahakan. Yunus (2005) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan finansial usahatani jamur tiram putih di Desa Tugu Utara. Usahatani jamur tiram putih (jamur konsumsi dan baglog jamur) di daerah penelitian layak untuk dilaksanakan pada tingkat suku bunga 12 persen.
13 Hal ini ditunjukan oleh nilai NPV yaitu Rp111.298.143,50 untuk usahatani jamur konsumsi dan Rp71.563.848,50 untuk usahatani baglog jamur. Dilihat dari nilai net B/C-nya, usahatani jamur tiram konsumsi memiliki nilai net B/C 1,84 sedangkan usahatani baglog jamur memiliki nilai net B/C 1,70. IRR yang diperoleh berdasarkan perhitungan adalah sebesar 47,88% untuk usahatani jamur konsumsi dan 42,61 untuk usahatani baglog jamur. Payback period untuk usahatani jamur konsumsi yaitu 2 tahun 2 bulan sedangkan untuk baglog jamur 1 tahun 2 bulan. Hal ini berarti kedua usahatani yang dikembangkan mampu mengembalikan modal usaha sebelum umur proyek berakhir (5 tahun). Apabila dilihat dari analisis switching value, usahatani jamur di daerah penelitian menjadi tidak layak apabila harga jual turun 24,81 persen biaya produksi meningkat 33 persen, dan produktivitas tanaman menurun sebesar 24,48 persen untuk usaha jamur konsumsi. Untuk usahatani baglog jamur menjadi tidak layak apabila harga jual turun 16,27 persen, biaya produksi meningkat 21 persen, dan produktivitas tanaman menurun sebesar 16,21 persen. Ruillah (2006) melakukan penelitian tentang analisis usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Ruillah membagi petani contoh ke dalam 3 skala usaha yaitu skala I, petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 m 2, skala II antara 76,5-135,5 m 2, dan skala III petani yang memiliki luas kumbung lebih besar dari 135,5 m 2. Dari hasil analisis perbandingan pendapatan usahatani jamur tiram putih petani skala I, skala II, dan skala III per 100 m 2 luas kumbung/musim tanam diketahui bahwa usahatani jamur tiram putih skala I lebih menguntungkan dari skala II dan III. Apabila dilihat dari perbandingan R/C antara petani skala I, skala II, dan skala III, R/C atas biaya tunai maupun R/C atas biaya total untuk petani skala III lebih besar dari skala I dan skala II. Maharany (2007) melakukan analisis pendapatan usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Skala usahatani jamur tiram dikelompokan menjadi tiga yaitu skala kecil (< 10.000 log), skala menengah (10.000 24.000 log), dan skala besar (>24.000 log). Produk yang diperjualbelikan terdiri dari jamur tiram segar, media jamur tiram, dan bibit jamur tiram.
14 Berdasarkan hasil analisis pendapatan secara keseluruhan (dihitung per 1000 log jamur tiram), usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi menguntungkan dan efisien. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai R/C atas biaya tunai yaitu 2,69 dan R/C atas biaya total yaitu 2,20. Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan terhadap kelima penelitian tersebut, ditemukan persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis. Persamaannya adalah komoditi yang diteliti yaitu jamur tiram, dan alat analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan dan kelayakan finansial. Perbedaannya adalah tempat penelitian yang dilakukan. Penulis melakukan penelitian mengenai analisis pendapatan dan kelayakan finansial usahatani jamur tiram di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasil studi pustaka ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian.