PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

dokumen-dokumen yang mirip
PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Payang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson).

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN MELALUI PENDEKATAN KONVENSIONAL

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

Gambar 1. Diagram TS

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

ISTILAH DI NEGARA LAIN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL BERDASARKAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG EKA SEPTIANA

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Transkripsi:

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 20 Maret 2009 Topan Basuma

ABSTRAK TOPAN BASUMA. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON. Pada umumnya nelayan masih menggunakan naluri alamiah dalam menentukan daerah penangkapan ikan, sehingga penangkapan kurang efisien. Usaha memprediksi daerah penangkapan ikan (DPI) dapat dilakukan melalui pendekatan kondisi fisika oseanografi, salah satunya adalah suhu permukaan laut (SPL) melalui teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sebaran temporal dan spasial suhu permukaan laut di perairan Binuangeun, memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol, menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan, dan memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data di lapangan tentang posisi penangkapan, waktu operasi, dan jumlah hasil tangkapan yang dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Mei 2008 di perairan Binuangeun, Provinsi Banten, sedangkan tahap kedua ialah men-download data citra sebaran suhu permukaan laut dari Internet (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov) dilaksanakan pada Bulan Juli 2008. Sebaran SPL ditentukan dengan menggunakan software SeaDAS 4.7 dan Surfer 8.0. Sebaran SPL di perairan Binuangeun pada Bulan Maret sampai Mei 2008 berkisar antara 24 0 C-31 0 C dengan suhu dominan pada Bulan Maret, April dan Mei masing-masing berkisar antara 24 0 C-28 0 C, 25 0 C-29 0 C dan 25 0 C-29 0 C. Hasil tangkapan ikan tongkol memiliki nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) tertinggi pada Bulan Mei, kemudian Bulan April, dan Maret dengan nilai masing-masing sebesar 482, 328, dan 241 kg/setting. Panjang ikan tongkol yang tertangkap selama Bulan Maret-Mei 2008 berkisar antara 24 cm sampai 49 cm. Komposisi ikan layak tangkap sebesar 33.618 kg (65% dari total tangkapan 51.720 kg), sedangkan ukuran tidak layak tangkap sebesar 18.102 kg atau 35% dari total tangkapan. Suhu permukaan laut tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan tongkol. Daerah penangkapan yang paling potensial untuk ikan tongkol di perairan Binuangeun pada Bulan Maret-Mei 2008 adalah di wilayah penangkapan Tanjung Panto. Kata kunci : daerah penangkapan ikan, hasil tangkapan, ikan tongkol, suhu permukaan laut, Binuangeun, Banten

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Nama NRP Departemen : Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten. : Topan Basuma : C54103024 : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Disetujui : Pembimbing Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si NIP. 131 879 352 Diketahui : Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc. NIP. 131 578 799 Tanggal lulus : 20 Maret 2009

KATA PENGANTAR Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala rahmat-nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan; 2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai komisi pembimbing, atas segala saran dan bimbingannya; 3. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si dan Prihatin Ika Wahyuningrum S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji serta Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai komisi pendidikan yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini; 4. Ayahnda Efendi dan Ibunda Neni Supriani, atas segala doa, nasehat, dan dukungannya, serta adik-adikku tercinta Muhammad Salim dan Odie Mufti; 5. Buntat yang maniez, Heatri Devi atas doa, bantuan dan dukungannya; 6. Bapak Kubil, Pak Doblang, dan Ibu Rohmana di Binuangeun; 7. Sahabat-sahabatku (Erwan, Girsang, Tono, Aep, Bernardo, Kak Ides, Kaka, Heri, Cindy) atas segala bantuan dan dukungannya; 8. Teman-Teman di Departemen PSP (angkatan 40, 41, dan 42); 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Bogor, Maret 2009 Topan Basuma

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Tembilahan pada tanggal 03 Maret 1985 dari pasangan Efendi dan Neni Supriani. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1990 penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Tembilahan dan pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 004 Tembilahan. Tahun 1997 penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Tembilahan dan pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Tembilahan. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada salah satu kegiatan organisasi, yaitu menjabat sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan Bakat HIMAFARIN periode 2005-2006. Pada tahun 2008 penulis melakukan penelitian dengan judul Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 1.3 Manfaat... 3 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Suhu Permukaan Laut... 4 2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)... 5 2.3 Sensor MODIS... 8 2.4 Klasifikasi dan Tingkah laku Ikan Tongkol... 11 2.4.1 Ikan tongkol... 11 2.4.2 Daerah Penyebaran Tongkol... 13 2.5 Unit Penangkapan Payang... 14 2.5.1 Metode pengoperasian payang... 15 2.6 Kondisi Umum Daerah Penelitian... 16 2.6.1 Keadaan geografis dan topografi... 16 2.6.2 Keadaan iklim dan musim... 17 2.6.3 Unit penangkapan ikan... 17 2.6.4 Daerah penangkapan ikan... 20 2.6.5 Produksi perikanan tangkap di perairan Binuangeun... 20 2.6.6 Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun... 21 3 METODOLOGI PENELITIAN... 23 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 23 3.2 Bahan dan Alat... 23 3.3 Metode Pengumpulan Data... 24 3.3.1 Posisi dan waktu penangkapan serta hasil tangkapan... 24 3.3.2 Suhu permukaan laut... 25 3.4 Analisis Data... 25 3.4.1 Analisis hasil tangkapan... 25 3.4.2 Analisis suhu permukaan laut... 25 ix x xi vii

3.4.3 Hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan... 27 3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial... 27 4 HASIL... 29 4.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol... 29 4.1.1 Jumlah hasil tangkapan... 29 4.1.2 Ukuran (size) hasil tangkapan... 31 4.2 Suhu Permukaan Laut... 33 4.3 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Hasil Tangkapan... 38 4.4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Ukuran Panjang... 39 5 PEMBAHASAN... 40 5.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol... 40 5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Binuangeun... 41 5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol... 42 5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Tongkol... 43 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 45 6.1 Kesimpulan... 45 6.2 Saran... 45 DAFTAR PUSTAKA... 46 LAMPIRAN... 49 viii

DAFTAR TABEL Halaman 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh... 6 2 Karakteristik sensor MODIS... 10 3 Jenis dan jumlah alat penangkap ikan di PPI Binuangeun tahun 2003 2007... 18 4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008... 18 5 Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun... 19 6 Produksi dan nilai produksi perairan Binuangeun tahun 2003 2007... 20 7 Produksi berbagai jenis ikan yang didaratakan di PPI Binuangeun tahun 2003 2007... 21 8 Fasilitas-fasilitas pengkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun... 22 9 Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan... 27 10 Penilaian jumlah hasil tangkapan... 27 11 Penilaian indikator DPI... 28 12 Evaluasi daerah penangkapan ikan (DPI) berdasarkan jumlah ikan, ukuran, dan sebaran SPL... 43 ix

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda... 5 2 Sistem penginderaan jauh... 7 3 Ikan tongkol... 11 4 Peta daerah penelitian... 23 5 CPUE dan persentase hasil tangkapan Bulan Maret-Mei 2008... 29 6 CPUE perhari pada Bulan Maret 2008... 30 7 CPUE perhari pada Bulan April 2008... 30 8 CPUE perhari pada Bulan Mei 2008... 30 9 Persentase total ikan layak tangkap periode Maret, April, Mei 2008... 31 10 Persentase ukuran ikan layak tangkap Bulan Maret, April dan Mei 2008... 31 11 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Maret 2008... 32 12 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan April 2008... 32 13 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Mei 2008... 33 14 Citra sebaran SPL pada Bulan Maret 2008... 35 15 Citra sebaran SPL pada Bulan April 2008... 36 16 Citra sebaran SPL pada Bulan Mei 2008... 37 17 Hubungan SPL dengan jumlah tangkapan ikan tongkol setiap setting... 38 18 Diagram pencar SPL dengan jumlah hasil tangkapan ikan tongkol... 38 19 Diagram pencar SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol... 39 20 Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol setiap setting... 39 21 Perubahan DPI selama periode Maret sampai Mei 2008... 44 x

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 SPL dan hasil tangkapan payang pada Bulan Maret sampai Mei 2008... 50 2 Uji regresi SPL dengan jumlah hasil tangkapan... 53 3 Uji regresi SPL dengan ukuran panjang... 54 4 Perubahan DPI pada Bulan Maret sampai Mei 2008... 55 xi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banten merupakan wilayah yang sangat strategis mengingat letak daerahnya berbatasan dengan Ibu Kota Negara. Banten memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, salah satunya ialah perairan Binuangeun yang terletak di sebelah selatan propinsi Banten yang memiliki sumberdaya ikan pelagis yang cukup potensial, khususnya ikan tongkol. Ikan tongkol merupakan jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap di perairan Binuangeun (TPI Binuangeun 2008). Namun upaya pemanfaatannya masih belum optimal. Dalam menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground), nelayan pada umumnya masih menggunakan naluri alamiah dengan cara memburu (hunting) gerombolan ikan, sehingga upaya penangkapan ikan kurang efektif dan efisien. Tingkat ketidakpastian hasil tangkapan cukup tinggi, karena nelayan tidak mengetahui lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan. Mereka menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan pengalaman atau melihat tanda-tanda alam, seperti ada tidaknya kawanan burung-burung laut, bongkahan kayu, dan sebagainya. Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil laut, cuaca dan sebagainya serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan, seperti kecepatan makan ikan, metabolisme, pemijahan, dan aktifitas lainnya. Hal ini berarti bahwa perubahan parameter oseanografi akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan dan pembentukan daerah penangkapan yang potensial. Usaha memprediksi daerah penangkapan ikan (fishing ground) dapat dilakukan melalui pendekatan kondisi fisika oseanografi. Hela dan Laevastu (1970) mengatakan bahwa hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan penangkapan (eksploitasi).

2 Fluktuasi suhu dan perubahan geografis bertindak sebagai faktor penting yang merangsang dan menentukan pengkonsentrasian dan pengelompokkan ikan. Tinggi rendahnya suhu juga mempengaruhi produktivitas hasil tangkapan, karena setiap jenis ikan memiliki kisaran suhu tertentu untuk kelangsungan hidupnya. Pengukuran suhu permukaan laut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung yaitu melalui teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dan garis pantai yang sangat panjang menyebabkan pengukuran secara langsung untuk pengamatan fenomena oseanografi sulit dilakukan, karena memerlukan waktu yang lama, usaha yang berat, dan biaya yang besar. Keadaan inilah yang mendorong untuk memanfaatkan satelit dalam pengamatan fenomena oseanografi, seperti suhu permukaan laut, yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi keberadaan ikan dan daerah penangkapan ikan. Teknik penginderaan jauh melalui satelit merupakan metode yang efisien untuk mengetahui suhu permukaan laut. Data dari satelit sangat membantu dalam penentuan suhu optimum yang disenangi ikan. Dewasa ini, suhu permukaan laut dapat dideteksi dengan menggunakan satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dengan sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang merupakan turunan dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWIFS (Sea-Viewing Wide Field of view sensor) dan HIRS (High Resoution Imaging Spectrometer). Suhu permukaan laut tersebut kemudian dapat diimplementasikan guna menentukan daerah penangkapan ikan. Data tersebut juga dapat dengan mudah didapat melalui internet atau instansi-instansi terkait, sehingga dengan adanya data tersebut, nelayan dapat terbantu dalam menentukan daerah penangkapan yang potensial. Hal ini tentunya dapat menghemat biaya operasional serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Perkembangan teknologi pada bidang penginderaan jauh untuk informasi daerah penangkapan ikan diharapkan dapat meningkatkan kepastian hasil tangkapan atau berbekal informasi tentang daerah penangkapan ikan tidak ada lagi istilah bagi nelayan untuk mencari ikan, namun nelayan melaut untuk menangkap ikan.

3 Mengingat potensi perikanan perairan Binuangeun masih belum dimanfatakan secara optimal yang disebabkan oleh belum adanya penyediaan informasi daerah penangkapan ikan yang potensial maka penelitian tentang penentuan daerah penangkapan ikan tongkol berdasarkan pendekatan suhu permukaan laut dan hasil tangkapan di perairan Binuangeun perlu dilakukan. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : (1) Untuk memperoleh sebaran temporal dan spasial suhu permukaan laut di perairan Binuangeun. (2) Memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol. (3) Menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol. (4) Memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial. 1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait (nelayan dan pemilik kapal) mengenai daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial di perairan Binuangeun. Output yang diperoleh juga diharapkan akan dapat memperkaya pengetahuan pada bidang daerah penangkapan ikan.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Laut Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima sinar matahari (Weyl 1970). Suhu perairan bervariasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar pada kedalaman 50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu pada lapisan ini menjadi homogen (sekitar 28 0 C). Lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100-200 meter. Lapisan dingin biasanya kurang dari 5 0 C, terdapat pada kedalaman 200 meter ( Nontji 1987) (Gambar 1). Gambar 1 Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda (Ismajaya 2007). Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa suhu permukaan laut dipengaruhi oleh panas matahari, arus permukaan, upwelling, divergensi, dan konvergensi, terutama pada daerah muara dan sepanjang garis pantai. Faktor-

5 faktor meteorologi juga berperan penting seperti curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Pada lokasi yang terjadi pengangkatan massa air (up welling) seperti di Laut Banda, suhu air permukaan bisa turun hingga 25 0 C, karena air laut yang dingin di lapisan bawah terangkat ke atas permukaan. Nontji (1987) menyatakan bahwa suhu dekat pantai biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di lepas pantai. Suhu permukaan laut (SPL) Indonesia secara umum berkisar antara 26 0 C 29 0 C, dan variasinya mengikuti musim (Ilahude dan Birowo 1987 diacu dalam Dahuri et al 1996). Setiap perairan memiliki standar suhu rata-rata untuk setiap musim tertentu. Variasi suhu musiman pada permukaan daerah tropis sangat kecil, dimana variasi rata-rata musiman kurang dari 20 0 C. Fluktuasi harian suhu permukaan tidak akan lebih dari 0.2-0.4 0 C. Namun di dekat pantai fluktuasinya bisa mencapai beberapa derajat celcius (Gunarso 1985). Nontji (1987) menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). 2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpetasikan guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, perikanan, arkeologi, dan bidang-bidang lainnya (Purbowaseso 1995). Secara khusus penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu cara untuk mendekteksi gelombang elektromagnetik dari suatu objek (dipancarkan atau dipantulkan). Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga bagian utama yaitu : perolehan data, pemrosesan, dan intrepetasi data (pemanfaatan data). Wahana yang dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit buatan yang dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor).

6 Satelit-satelit penginderaan jauh dilengkapi dengan peralatan scanner yang berspektra ganda, yakni suatu alat untuk mencatat radiasi yang dipantulkan melalui beberapa band (interval panjang gelombang elektromagnetik), yang mencakup reaksi yang berbeda-beda terhadap pantulan dan radiasi setiap objek, baik yang berada di atmosfer maupun di permukaan bumi (Suyarso diacu dalam Hadi 1995). Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem penginderaan jauh satelit secara optik) (Dimyati 1998). Spektrum elektromagnetik merupakan berkas dari tenaga elektromagnetik yang meliputi sinar gamma, x, ultraviolet, tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio. Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet, spektrum tampak, spektrum inframerah dekat, spektrum inframerah thermal, dan gelombang mikro yang dapat dilihat pada Tabel 1 (satu). Tabel 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh No. Gelombang Elektromagnetik Panjang Gelombang 1 Photografic untraviolet 0,3-0,4 µm 2 Visible 0,4-0,7 µm 3 Near infrared 0,7-3,0 µm 4 Middle infrared 3,0-8,0 µm 5 Far infrared 8,0-1000 µm 6 Microwave 1,0 mm-100 cm Sumber : Butler et al diacu dalam Anggraini 2003. Alat yang digunakan untuk mendeteksi atau menerima gelombang eletromagnetik dipancarkan dan dipantulkan oleh suatu benda dan mengubah menjadi suatu nilai yang dapat direkam atau diproses adalah sensor. Menurut Purbowaseso (1995), alat penginderaan jauh dapat menerima data baik dengan cara elektronik maupun fotografik. Sensor-sensor eklektronik menimbulkan pulsapulsa listrik ini yang sesuai dengan variasi energi dalam suatu pemandangan. Pulsa-pulsa listrik ini biasanya disimpan pada pita komputer magnetik dimana pulsa-pulsa magnetik tersebut dapat diubah menjadi suatu gambar dengan menggunakan suatu layar seperti televisi. Hasil dari pengolahan ini disebut citra. Sensor-sensor fotografis memanfaatkan reaksi kimia pada lapisan emulsi pada

7 film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan variasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan dan hasilnya disebut foto udara. Menurut Sutanto (1994), sistem penginderaan jauh memiliki empat komponen penting; (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, (4) sensor. Gambar 2 Sistem penginderaan jauh. Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga yaitu matahari yang merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik alami yang digunakan pada teknik pengambilan data obyek dalam penginderaan jauh. Tenaga ini mengenai obyek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor. Penginderaan jauh dengan memanfaatkan tenaga alamiah disebut penginderaan jauh sistem pasif. Sedangkan sumber tenaga buatan digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif. Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi (radiasi) dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), lokasi dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila dibandingkan dengan pagi atau sore hari. Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Data satelit hasil penginderaan jarak jauh diperoleh berdasarkan konsep interaksi antara radiasi elektromagnetik dan objek dengan kisaran spektrum yang bervariasi tergantung dari sensor yang digunakan. Satelit dengan orbit tertentu dapat memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam penginderaan jarak jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan sumberdaya

8 alam. Konsep dasar teknologi penginderaan jarak jauh adalah berdasarkan pada teori dasar radiasi dari Planck yang menyatakan bahwa semua obyek di bumi yang memiliki suhu mutlak diatas 0 0 K (-273 0 C) akan memancarkan energi elektromagnetik. Sebuah obyek akan memantulkan sinar matahari atau mengemisinya sebagai energi internal sesuai dengan vibrasi atom dan molekul obyek itu sendiri. Radiasi dari obyek ini memberikan ciri-ciri khas sebagai identitas dari obyek tersebut. Rambatan energi yang merupakan gelombang elektromagnetik mempunyai kecepatan sebesar kecepatan cahaya (2,997924562 x 10 8 m/detik). Energi ini akan ditangkap oleh sensor yang dibawa oleh wahana satelit ataupun wahana pesawat. Hasil tangkapan sensor akan diterima dan dicatat pada suatu alat perekam yang selanjutnya (khususnya pada wahana sateli) akan ditransmisikan ke stasiun penerima di bumi (Ground Receiving Station) (La Violette 1994). Penginderaan jarak jauh (inderaja) dapat diaplikasikan dalam menentukan daerah penangkapan ikan pada wilayah perairan tertentu. Dalam hal ini, yang terlihat bukanlah keberadaan ikan secara langsung, tetapi berkaitan dengan parameter atau fenomena alam yang menandakan kemungkinan adanya ikan di suatu tempat, sebagai contohnya ialah suhu yang sesuai dengan jenis ikan tertentu. Citra satelit akan menghasilkan informasi kondisi lingkungan laut yang dapat teramati diantaranya kandungan klorofil-a, suhu permukaan laut, kondisi cuaca, dan pola arus permukaan (Nikyuluw 2005). 2.3 Sensor MODIS Sensor adalah alat yang digunakan untuk melacak, mendeteksi, dan merekam suatu obyek dalam daerah jangkauan tertentu. Kemampuan sensor untuk merekam gambar terkecil disebut resolusi spasial. Semakin kecil obyek yang dapat direkam oleh sensor semakin baik kualitas sensor itu dan semakin baik resolusi spasial dari citra. Namun proses pengambilan data oleh sensor penginderaan jauh tidak akan terlepas dari pengaruh awan. Semakin banyak kandungan awan maka akan semakin kecil wilayah yang dapat dideteksi untuk sebaran suhu permukaan bumi, sebaliknya semakin sedikit kandungan awan yang dimiliki oleh citra satelit maka akan semakin luas sebaran suhu permukaan bumi yang dapat dideteksi.

9 Widodo (1999) menjelaskan sensor adalah suatu alat yang mendeteksi dan mengukur suatu parameter fisik, seperti radiasi, dan mengkonversikannya ke dalam suatu bentuk yang dapat disimpan atau ditransmisikan. Setiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik yang menerima dan merekam tenaga dari obyek di muka bumi. Aboet (1985) menjelaskan bahwa keberhasilan teknik penginderaan jauh sangat ditentukan oleh dua faktor, yaitu ketelitian suatu sensor dan kemampuan untuk menginterpretasikan data secara tepat. MODIS merupakan awal satelit hyperspectral. MODIS memungkinkan monitoring secara terus menerus pada lingkungan dengan pengukuran atmospheric trace gases dan densitas aerosol, dan pemetaan permukaan awan, daratan dan lautan dalam berbagai variasi spektral dari biru sampai thermal infrared. Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan salah satu satelit penginderaan jauh, yang memiliki kemampuan memantau permukaan bumi dan fenomena lingkungan dengan resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1000 m. Sensor MODIS merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor MODIS yang pertama yang dikirim ke orbit dibawa oleh satelit TERRA (EOS AM-1) pada 18 Desember 1999. Sensor MODIS yang kedua diluncurkan ke Orbit pada satelit AQUA (EOSPM-1) pada tanggal 4 Mei 2002. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia. Satelit ini dapat mencakup wilayah cakupan yang luas, yaitu sekitar 2.330 km setiap hari dengan resolusi spektral sebanyak 36 kanal. Masing-masing kanal mempunyai kelebihan tersendiri berdasarkan reflektansi obyek pada tiap-tiap kanal. Karekteristik spektral Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dapat dilihat pada Tabel 2.

10 Tabel 2 Karakteristik sensor MODIS KANAL SPEKTRUM KEGUNAAN 1 620 670 nm Lahan/Awan/Aerosol 2 841 876 nm Boundaries 3 459-479 nm 4 545 565 nm Lahan/Awan/ Aerosols 5 1230 1250 nm Boundaries 6 1628 1652 nm Ocean color / 7 2105 2155 nm 8 405 420 nm 9 438 448 nm 10 483 493 nm 11 526 536 nm 12 546 556 nm 13 662 672 nm 14 673 683 nm 15 743 753 nm 16 862 877 nm 17 890 920 nm 18 931 941 nm 19 915 965 nm 20 3.660 3.840 um 21 3.929 3.989 um 22 3.929-3.989 um 23 4.020 4.080 um 24 4.433 4.498 um 25 4.482 4.549 um 26 1.360 1.390 um 27 6.535 6.895 um 28 7.175 7.457 um Ocean color / Fitoplankton / Biogeokimia Uap air atmosfir Surface/ Temperatur Awan Temperatur atmosfir Awan Cirrus Uap air 29 8.400 8.700 um Sifat awan 30 9.580 9.880 um Ozone 31 10.780 11.280 um Surface/Temperatur 32 11.770 2.270 um awan 33 13.185 13.485 um 34 13.485 13.785 um Cloud top 35 13.785 14.085 um Altitude 36 14.085 14.385 um Sumber : http://lpdaac.usgs.gov. Dengan karakteristik di atas MODIS memiliki beberapa kelebihan, yaitu lebih banyaknya spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi temporal).

11 2.4 Klasifikasi dan Tingkah laku Ikan Tongkol 2.4.1 Ikan tongkol Taksonomi ikan tongkol dapat digolongkan sebagai berikut (Saanin 1984): Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perchomorphi Sub-ordo: Scombrina Famili: Scombiridae Genus: Euthynnus Spesies : Euthynnus affinis, Euthynnus alleterus, Auxis thazard. Gambar 3 Ikan tongkol. Ikan tongkol termasuk ikan pelagis kecil karena panjangnya 20-60 cm tetapi kadang-kadang bisa mencapai 100 cm (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Berat maksimum ikan tongkol dapat mencapai 13,6 kg. Makanan Ikan tongkol adalah teri, ikan pelagis dan cumi-cumi. Ikan tongkol bentuknya seperti torpedo, mulut agak miring, gigi-gigi pada kedua rahang kecil, tidak terdapat gigi pada platinum. Kedua sirip punggung letaknya terpisah, jari-jari depan dari sirip punggung pertama tinggi kemudian menurun dengan cepat ke belakang, sirip punggung kedua sangat rendah. Warna tubuh bagian depan punggung keabu-abuan, bagian sisi dan perut berwarna keperak-perakan, pada bagian punggung terdapat garis-garis yang arahnya ke atas dan berwarna keputih-putihan (Wisnuwidayat 1977).

12 Pada famili Scombiridae lainnya, ikan tongkol cenderung membentuk kumpulan multi spesies menurut ukurannya, misalnya dengan kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp, dan Megalopis cardyla. Ikan tongkol umumnya hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat (Nontji 2005). Ikan ini bersifat epipelagis berenang membentuk schooling dan umumnya hidup pada kisaran suhu 21,6 0 C-30,5 0 C (FAO, 1983). Pola tingkah laku ikan tongkol dan penyebarannya sering kali dibahas bersamasama dengan ikan tuna (Scombridae), kedua jenis ikan ini pemakan daging, hidup dan berburu makanan dengan membentuk gerombolan. Ikan tongkol dan tuna biasanya bergerombol ketika ikan tersebut aktif berburu makanan. Sifat bergerombol ikan tongkol disebabkan karena pada kulitnya terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan rangsangan dan rangsangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis ikan yang sama maupun yang berbeda (De Beaufort dan Chapman; Postel; Nasoetion; dalam Nurjaelani 1991). Jenis makanan ikan tongkol biasanya meliputi Crutacea, Mollusca, Anelida, Anthyphyta dan beberapa ikan pelagis kecil (Stolephorus spp. Sardinella spp. dan Selar spp.) Beberapa sifat dan kebiasaan hidup ikan tongkol dikemukakan Unar dalam Nurjaelani (1991) sebagai berikut : (1) Tongkol umumnya adalah karnivor yang rakus (2) Dalam ruayanya, tongkol kadang-kadang berhenti untuk mencari makan (3) Terdapat di daerah tropis yang berkadar salinitas tinggi (4) Bergerak dalam gerombolan besar di lautan bebas dan dapat beruaya dengan jarak yang sangat jauh. Gerombolan ikan tongkol bermigrasi untuk memenuhi tuntutan dari siklus hidupnya selain untuk menghindari tekanan kondisi lingkungan perairan dimana ikan ini berada. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi ikan jenis tuna dan tongkol adalah suhu, arus dan salinitas. Dinyatakan juga oleh Nikolsky (1969) bahwa ada tiga alasan utama ikan tongkol melakukan migrasi, yaitu: (1) Untuk mencari makan (2) Mencari tempat memijah (3) Mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan tubuh (suhu, arus,salinitas)

13 2.4.2 Daerah Penyebaran Tongkol Blackburn (1965) mengemukakan bahwa ikan tongkol memiliki daerah penyebaran yang luas. Pada umumya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup pada lapisan permukaan hingga kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 20-28 0 C (Williamson diacu dalam Burhanudin,1984). Tongkol termasuk epipelagis, neuritik dan oseanik pada perairan yang hangat, biasanya bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran terhadap kisaran suhu yang luas, yaitu 21,6 0 C-30,5 0 C. Ikan dewasa hidup pada kisaran suhu antara 27,0 0 C-27,9 0 C dengan sifat salinitas oseanik. Kisaran suhu untuk habitat Euthynnus affinis antara 18 0 C-29 0 C. Euthynnus affinis biasanya bergerombol sesuai dengan ukuran, misalnya dengan Thunnus albacares muda, cakalang (Katsuwonus pelamis), Auxis dan Megalaspis cordyla. Densitas gerombolan berkisar antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan (Collete and Nauen 1983). Penyebaran genus Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan Laut Hitam. Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis di Lautan Hindia dan juga disepanjang negara-negara pantai dari afrika selatan sampai ke Indonesia dan sekitar pulau Madagaskar, Mauritus, Reunion, Scychelles dan Srilanka. Spesies ini juga terdapat di sepanjang pantai Australia Barat. Euthynnus alleteratus tersebar di perairan tropis dan sbtropis di samudera Atlantik, temasuk Miterania, Laut Hitam, Laut Karibia dan Teluk Meksiko. Euthynnus lineatus tersebar di perairan tropis Pasifik Timur dai San Simeon, California ke selatan sampai Kepulauan Galapagos dan utara Peru, juga ditemukan di Kepulauan Hawaii (Collete and Nauen 1983). Penyebaran tuna dan tongkol sering mengikuti sirkulasi arus, kepadatan populasinya pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arah arus tersebut. Umumnya jenis-jenis tuna mempunyai penyebaran di sepanjang poros arus dalam kelimpahan yang lebih besar daripada di perairan perbatasan (Nakamura vide Setiawan 1999).

14 2.5 Unit Penangkapan Payang Bentuk alat tangkap payang terdiri dari kaki/sayap (leg/wing), badan/perut (body/belly), dan kantong (bag), dua buah sayap yang terletak di sebelah kanan dan kiri badan payang, setiap sayap umumnya berukuran panjang 100-200 meter, bagian badan jaring sepanjang 36-65 meter dan bagian kantong terletak di belakang bagian badan payang yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan ikan adalah sepanjang 10-20 meter. Pada bagian bawah sayap dan mulut jaring diberi pemberat, sedangkan bagian atas pada jarak tertentu diberi pelampung. Pelampung yang paling besar ditempatkan di bagian tengah mulut jaring. Pada kedua ujung depan kaki/sayap disambung dengan tali panjang, yang digunakan untuk menarik. Bagian atas mulut jaring payang menonjol ke belakang, dan bagian bawah mulut menonjol ke depan. Hal itu untuk mempersempit kesempatan lolos bagi ikan dari kantong jaring. Menurut Mawardi (1990), jaring payang terdiri atas bagian kaki (wing), badan (body) dan kantong (cod end). Semua bagian jaring payang ini dibuat perbagian, kemudian baru disambung-sambungkan mulai dari bagian kantong sampai bagian kaki dimana ukuran mata (mesh size) dari bagian kantong hingga kaki semakin membesar. Menurut International Standard Statistical Classification of Fishing Gear (ISSCFG) vide FAO (1990), payang digolongkan ke dalam boat seine. Desainnya terdiri atas dua sayap, badan jaring dan kantong mirip dengan trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selambar. Menurut klasifikasi Von Brandt (1984) payang termasuk kelompok seine net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi dengan pelampung dan pemberat. Ciri khusus dari jaring payang adalah tali ris atas lebih panjang dibandingkan dengan tali ris bawah, hal ini dimaksudkan untuk mencegah ikan agar tidak lolos dari bawah. Jaring payang ini dioperasikan di permukaan laut dengan target ikan-ikan pelagis yang hidup bergerombol (schooling), seperti tongkol (Euthynnus sp), layang (Decapterus sp), kembung (Rastrelliger sp), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain (Mawardi 1990).

15 Perahu yang digunakan dalam unit penangkapan payang di Binuangeun terbuat dari bahan kayu, ciri khas perahu payang adalah adanya tiang pengamat diatas dek yang disebut kakapa dan adanya meja dibagian belakang yang berfungsi untuk menaruh pemberat saat dilakukan penarikan jaring. Perahu ini mengunakan tenaga gerak berasal dari motor tempel (BPPD Lebak 2006). Jumlah nelayan dalam satu unit penangkapan berkisar antara 8-15 ABK dengan pembagian tugas sebagai berikut: (1) Juru mudi, bertugas untuk mengemudikan perahu dan bertanggung jawab terhadap kondisi mesin. (2) Pengawas, bertugas untuk mencari atau mengintai gerombolan ikan target. (3) Petawur, bertugas untuk melemparkan jaring; (4) Juru batu, bertugas untuk membereskan pemberat, pelampung dan jaring sebelum dan sesudah operasi penangkapan; (5) Bubulang, bertugas memperbaiki jaring yang rusak saat operasi penangkapan; (6) Pandega, bertugas untuk menarik jaring; (7) Anak payang, bertugas untuk menghalau gerombolan ikan yang hendak kabur dari jaring payang. Payang yang merupakan bagian dari seine net umumnya terbuat dari bahan sintetis karena bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan bahan alami seperti cotton, manila dan hamp. Keunggulannya tidak diserang bakteri, tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat kuat dan tidak banyak menyerap air. Salah satunya adalah benang nilon (Thomson 1969). Seine net dioperasikan dengan cara melingkari area perairan dengan warp yang panjangnya tertentu. Penarikan dua warp dilakukan secara bersama, sehingga kelompok ikan tergiring dan akhirnya masuk dalam jaring (Sainsbury 1971). 2.5.1 Metode pengoperasian payang Payang dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring pada area dimana telah terlihat kumpulan ikan sebelumnya. Lama trip operasi payang di Binuangeun umumnya one day trip atau satu hari operasi penangkapan, yaitu berangkat pada jam 5-6 pagi dan kembali ke pelabuhan antara jam 16 sampai jam 19 malam.

16 Pada awal mula operasi, kapal payang hanya berputar-putar untuk mencari kumpulan ikan target. Pengawas atau fishing master bertugas untuk mengawasi ada atau tidaknya kumpulan ikan target. Tanda-tanda ini dapat terlihat dari beberapa gejala yang tampak di permukaan perairan, seperti burung-burung yang bergerak diarea tertentu dan menukik tajam ke perairan, adanya riak di air, warna perairan yang berbeda dengan daerah sekitarnya. Setelah mendapatkan kumpulan ikan, maka kapal digerakkan untuk mengejar kumpulan ikan tersebut. Juru mudi bertugas untuk mengarahkan kapal untuk mendekati kumpulan ikan. Setelah itu, jaring payang ditebarkan dengan mengitari kumpulan ikan dengan gerakan kapal yang mengitari ikan. Anak buah kapal payang diturunkan untuk menjaga agar ikan tidak meloloskan diri dengan cara menciptakan riak atau memukul permukaan perairan berulang-ulang. Setelah jaring telah terbentang sempurna, jaring segera ditarik oleh para pandega. Penarikan jaring harus bersamaan antara tali selambar kiri dengan tali selambar kanan. Hasil tangkapan diangkat dan dimasukkan ke dalam palka untuk sementara lalu dipilah-pilah, kemudian dimasukkan ke dalam blong-blong sesuai jenisnya. 2.6 Kondisi Umum Daerah Penelitian 2.6.1 Keadaan geografis dan topografi Binuangeun berada di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Secara geografis Binuangeun terletak pada 06 o 50 18 LS dan 105 o 52 58 BT. Perairan Binuangeun terletak di sebelah selatan propinsi Banten yang berhubungan langsung dengan samudera Hindia. Adapun batas-batas wilayah Binuangeun adalah sebagai berikut : Sebelah Barat : Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang Sebelah Timur : Kecamatan Malimping Sebelah Utara : Desa Cipeudang dan Kecamatan Cibaliung Sebelah Selatan : Samudera Indonesia Bentuk fisiografi kecamatan Wanasalam mempunyai bentang lahan dengan kemiringan 0-15% dengan ketinggian tempat 98% kurang dari 100 m di atas permukaan laut (BPPD Lebak 2006).

17 2.6.2 Keadaan iklim dan musim Binuangeun terletak pada wilayah beriklim tropis. Curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 2000-3000 mm dengan jumlah hari hujan 122-130 hari per tahun. Berdasarkan keadaan curah hujannya menurut Schmidt-Ferguson termasuk pada iklim basah (BBPD lebak 2006). Musim di Binuangeun dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup dari dua arah yang umumnya dikenal dengan angin barat dan angin timur. Nelayan Binuangeun mengelompokan musim berdasarkan arah angin menjadi 3 (tiga) musim yaitu, musim barat, musim timur dan musim paliwungan (peralihan). Musim barat berlangsung pada Bulan Desember - Februari, musim timur berlangsung pada Bulan Mei - September, dan musim peralihan pada Bulan Maret - April dan Oktober - Nopember. Pada musim barat, angin beritup dari arah barat (Ujung Kulon), curah hujan tinggi dan sering terjadi angin kencang yang dapat memicu timbulnya gelombang yang besar. Pada musim timur, angin bertiup dari arah timur (Ujung Genteng), angin relatif tenang sehingga tidak menimbulkan gelombang yang besar. Pada musim paliwungan (peralihan), arah pergerakan angin tidak menentu, tetapi pada umumnya angin bertiup dari arah selatan (samudera). 2.6.3 Unit penangkapan ikan Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari alat penangkapan ikan, kapal, dan nelayan. (1) Alat penangkapan ikan Alat penangkapan ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan. Alat penangkapan ikan yang dioperasikan oleh nelayan bervariasi baik dari bentuk maupun ukurannya. Adapun jenis alat tangkap yang dominan dioperasikan di perairan Binuangeun adalah jaring rampus, purse seine, gillnet, pancing (rawai), payang, bagan perahu, dan alat pengumpul rumput laut. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan dapat dilihat pada Tabel 3.

18 Tabel 3 Jenis dan jumlah alat penangkap ikan di PPI Binuangeun tahun 2003 2007 No Jenis Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 1 Jaring rampus 154 154 147 150 170 2 Purse seine 9 12 12 11 11 3 Gillnet 116 116 118 123 118 4 Pancing (rawai) 128 128 120 128 138 5 Payang 8 8 23 23 18 6 Bagan perahu 48 48 48 54 54 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Lebak, 2007 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa alat tangkap yang paling banyak dioperasikan adalah jaring rampus dan jaring insang (gillnet). Hal ini sesuai dengan keaadaan ekonomi nelayan yang umumnya adalah nelayan kecil. Alat tangkap purse seine dan payang mulai dioperasikan tahun 1993 dan umumnya berasal daerah di luar Binuangeun. Purse seine berasal dari Laut Jawa dan payang berasal dari Palabuhanratu. Secara umum jumlah alat penangkap ikan cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan. Pada tahun 2005 terjadi penurunan jumlah alat penangkap ikan karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan adanya bencana tsunami pada bulan Desember 2004. Menurut laporan PPI Binuangeun, alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Binuangeun pada Bulan Januari dan Februari 2008 mengalami penurunan. Tabel 4 (empat) memperlihatkan besarnya effort dan produksi masingmasing alat tangkap yang dioperasikan di Binuangeun pada bulan Februari 2008. Alat tangkap yang memiliki produktivitas paling besar adalah purse seine. Tabel 4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008 No Jenis Jumlah Trip Produksi (kg) CPUE 1 Jaring rampus 125 2625 53903 431.22 2 Purse seine 10 210 17025 1702.50 3 Gillnet 106 2120 40786 384.77 4 Pancing (rawai) 72 1360 11169 155.13 5 Bagan perahu 48 750 899 18.73 Sumber : PPI Binuangeun 2008.

19 (2) Kapal penangkap ikan Kapal penangkap ikan yang dioperasikan di perairan Binuangeun yaitu kapal motor (in board) dan kapal motor tempel (out board). Kapal motor memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari 5 GT samapai 30 GT. Kapal motor umumnya digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap purse seine, jaring rampus dan jaring insang (gillnet). Kapal yang mengoperasikan alat tangkap purse seine memiliki bobot 15-20 GT, jaring rampus dan jaring insang dioperasikan dengan kapal berbobot 5-10 GT dengan kekuatan mesi 20-33 PK. Kapal motor tempel digunakan umtuk mengoperasikan alat tangkap payang, pancing, gilnet dan rampus. Jumlah unit dari masing-masing ukuran kapal yang diopeasikan di Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 3 (tiga). Selain kapal-kapal lokal terdapat juga kapal-kapal dari daerah lain yang beroperasi di perairan Binuangeun dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Binuangeun. Kapal-kapal tersebut berasal dari Palabuhanratu, Jampang Kulon, dan Labuan. Intensitas kedatangan kapal-kapal tersebut tidak menentu dan cenderung berkurang dari tahun ke tahun. Tabel 5. Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun No Jenis Kapal Jumlah (unit) 1 Motor tempel 39 2 Kapal motor: < 5 GT 89 5-10 GT 105 10-20 GT 10 20-30 GT 3 Sumber : PPI Binuangeun, 2008. (3) Nelayan Nelayan yang beroperasi di perairan Binuangeun terdiri dari nelayan asli (lokal) dan nelayan pendatang. Nelayan pendatang umumnya berasal dari Palabuhanratu, Sukabumi, Cirebon, dan daerah lainnya. Pada bulan Februari 2008, nelayan asli ada sebanyak 1889 orang dan nelayan pendatang sebanyak 205 orang (PPI Binuangeun 2008). Berdasarkan aktifitas yang dilakukan nelayan di Binuangeun dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama, dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan penuh ada sebanyak 2200 orang, nelayan sambilan

20 utama sebanyak 118 orang dan nelayan sambilan tambahan sebanya 205 orang (PPI Binuangeun 2008). 2.6.4 Daerah penangkapan ikan Daerah penangkapan ikan (DPI) nelayan Binuangeun umumnya terdapat di sepanjang pantai selatan propinsi Banten sampai Pulau Tinjil dan Pulau Deli. Kapal-kapal yang berukuran besar (20-30 GT) biasanya sampai ke zona ekonomi eksklusif (ZEE). Pembagian daerah penangkapan ikan secara sendirinya terjadi berdasarkan kemampuan kapal dan alat tangkap yang dioperasikan. Daerah penangkapan alat tangkap purse seine berada disekitar Pulau Tinjil, Pulau Deli dan laut teritoril (<12 mil dari pantai). Alat tangkap gillnet umumnya dioperasikan di sekitar Pulau Tinjil dan Pulau Deli. Kapal yang menggunakan motor tempel seperti alat tangkap payang dan pancing beroperasi di sekitar pantai. Bagan perahu dioperasikan di daerah yang terlindung dan tenang yaitu di sekitar perairan Tanjung Panto. Penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan masih bersifat tradisional. Nelayan yang mengoperasikan payang mencari ikan dengan melihat buih-buih ataupun burung yang ada di perairan. Nelayan yang mengoperasikan jaring rampus memasang jaring pada air yang hangat dan arus yang tenang. Begitu juga dengan nelayan yang mengoperasikan purse seine, mereka memasang alat tangkap dengan bermodal pengalaman dan untung-untungan. 2.6.5 Produksi perikanan tangkap di perairan Binuangeun Produksi ikan di Binuangeun mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 total produksi sebanyak 3.145.288 kg dengan nilai produksi sebesar Rp.10.906.336.250,-. Perkembangan produksi dan nilai produksi ikan di Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Produksi dan nilai produksi perairan Binuangeun tahun 2003-2007 Tahun Produksi (kg) Nilai Produksi (Rp) 2003 4.210.242 7.020.732.400 2004 3.371.038 6.243.590.620 2005 2.278.119 6.259.899.700 2006 3.816.730 11.745.003.850 2007 3.145.288 10.906.336.250 Sumber : TPI Binuangeun, 2008.

21 Ikan yang didaratkan oleh nelayan Binuangeun bervariasi baik dalam jenis maupun jumlahnya. Produksi ikan didominasi oleh ikan pelagis seperti tongkol (Euthymus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus spp.), layang (Decapterus spp.), layang (Decapterus spp.), tembang (Sardinella fimbriata), tenggiri (Scomberomorus spp), lemuru (Sardinella longiceps), layur (Trichiurus spp), kuwe (Caranx sexfasciatus), pepetek (Leiognatus spp.), cucut (Charcharinus spp.), pari (Dasyatis spp.), dan berbagai jenis udang. Produksi dan nilai produksi jenis ikan yang dominan tertangkap dapat dilihat pada Tabel 5 (lima). Produksi dari beberapa jenis ikan yang didaratkan di PPI Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Produksi berbagai jenis ikan yang didaratakan di PPI Binuangeun tahun 2003 2007 Jenis Ikan 2003 2004 2005 2006 2007 Total Layang 265293 87336 112889 267825 203557 936899 Kembung 282792 137890 97465 167389 126341 811877 Tembang 315350 289640 270552 287602 287602 1450746 Tenggiri 85845 85810 17258 70575 50514 310002 Tongkol 326294 299640 256025 555900 478977 1916836 Cakalang 320844 334175 233893 697868 361675 1948455 Teri 147600 120707 136630 75694 21191 501822 Marlin 153943 145865 129692 200626 271289 901415 Layur 223641 265740 225662 274579 348362 1337984 Kuwe 197816 126880 63605 64165 107884 560350 Pari 361820 261911 171407 302785 279403 1377326 Sumber : TPI Binuangeun, 2008. 2.6.6 Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun berlokasi di muara sungai Cibinuangeun. Luas PPI Binuangeun sekitar 13.400 m 2. PPI Binuangeun dilengkapi dengan bebagai fasilitas kepalabuhanan yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas inilah yang mendukung berkembangnya aktifitas perikanan di perairan Binuangeun (Tabel 8). PPI Binuangeun berperan dalam meningkatkan aktifitas perikanan nelayannelayan Binuangeun. PPI ini merupakan satu-satunya PPI terbesar di Kabupaten Lebak dan kedua terbesar di Provinsi Banten. Produksi dan nilai produksi yang besar menjadikan PPI ini merupakan tumpuan perikanan laut Kabupaten Lebak. Namun status pelabuhan yang masih tipe D menyebabkan daerah Binuangeun sulit berkembang. Kurangnya fasilitas yang ada membuat pada investor tidak tertarik untuk membuka usaha perikanan di daerah ini. Nelayan-nelayan dan

22 pengelola PPI berharap agar pemerintah meningkatkan status PPI menjadi tipe C (Pelabuhan Perikanan Pantai). Tabel 8 Fasilitas-fasilitas pengkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun No Jenis fasilitas Keterangan 1 Fasilitas pokok a. Lahan 13.400 m2 b. Dermaga 160 meter c. Kolam pelabuhan Muara sungai 2 Fasilitas fungsional a. Gedung TPI 20 m x 6 m b. Pabrik es 1 unit c. Depot es 3 unit d. Bengkel 1 unit e. Lapak pasar 100 unit f. Lapak pengepakan ikan 11 unit g. Cold storage 1 unit 3 Fasilitas penunjang a. Kantor PPI 77 m 2 b. Gedung serba guna PPI 170 m 2 c. Kantor syahbandar 1 unit d. Kantor polisi air 1 unit e. Pos jaga 15 m 2 Sumber : PPI Binuangeun, 2008 Pelelangan ikan di PPI Binuangeun saat ini dikelola oleh Kelompok Nelayan, karena KUD Mina Laksana Mustika mengalami masalah sehingga harus dibubarkan pada tahun 2006. Kelompok nelayan berperan dalam menentukan pengelola TPI, dana paceklik dan dana sosial. Kelompok nelayan juga berperan dalam menentukan kebijakan pengembangan perikanan di Binuangeun melalui suatu forum yang diadakan secara insidentil. Seluruh kapal yang beroperasi di perairan Binuangeun harus mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Binuangeun. Pelelangan ikan umumnya dilakukan pada pukul 08.00-11.00 WIB, dan jika ada kapal yang mendarat setelahnya dilakukan pelelangan kembali. Retribusi lelang yang ditetapkan oleh kelompok nelayan sebesar 5%. Retribusi tersebut dibagi menjadi 3 bagian, yaitu 2% untuk petugas TPI, 1.5% untuk dana paceklik nelayan, dan 1.5% untuk dana sosial.

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data di lapangan yang dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Mei 2008 di Perairan Binuangeun, Kecamatan Malimping, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Gambar 4). Sedangkan tahap kedua ialah men-download data citra sebaran suhu dari Internet (www.oceancolor.gsfc.nasa.gov) dilaksanakan pada Bulan Juli 2008. Gambar 4 Peta daerah penelitian. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Alat pengukur panjang (meteran atau penggaris), digunakan untuk mengukur panjang ikan; (2) Lembaran kuesioner, digunakan sebagai tempat pencatatan data yang dibutuhkan; (3) Alat tulis, digunakan untuk mencatat data yang dibutuhkan; (4) Kamera, digunakan untuk mengambil gambar yang dibutuhkan seperti; gambar ikan tongkol, kapal, alat tangkap, dan lain-lain;

24 (5) Personal Komputer, (OS Windows dan Linux). Software yang digunakan adalah Mixrosoft Office Excel untuk menghitung CPUE dan nilai suhu permukaan laut, seadas 4.7 untuk membaca nilai suhu permukaan laut, dan software Surfer 8.0 yang digunakan untuk membuat gambar sebaran suhu permukaan laut beserta garis konturnya. 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah metode survei. Metode survei merupakan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan yang faktual (Nazir 2003). Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari hasil survei lapang dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. Sampel kapal yang digunakan adalah payang, karena target utama kapal ini adalah ikan-ikan pelagis yang salah satunya adalah ikan tongkol dan operasi penangkapannya satu hari (one day trip). Jumlah kapal ditetapkan secara purposive atau sengaja sebanyak 8 unit dari 12 payang yang beroperasi di perairan Binuangeun. Selanjutnya dari setiap sampel kapal dikumpulkan data posisi kapal saat melakukan operasi penangkapan, jumlah hasil tangkapan (kg), dan waktu penangkapan. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner terhadap responden yang ditetapkan secara purposive sampling, yaitu terhadap juru mudi kapal payang. 3.3.1 Posisi dan waktu penangkapan serta hasil tangkapan Data hasil tangkapan diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan (experimental fishing). Data yang dikumpulkan dari experimental fishing adalah: (1) Posisi kapal pada saat melakukan operasi penangkapan; (2) Waktu operasi penangkapan; (3) Komposisi berat hasil tangkapan; (4) Ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap pada setiap posisi penangkapan. Posisi kapal dicatat pada saat operasi penangkapan dilakukan (setting dan hauling). Posisi kapal ditentukan dengan menggunakan alat bantu, yaitu berupa peta perairan Binuangeun, Banten.

25 Komposisi jumlah (berat) dari jenis (spesies) ikan yang tertangkap dicatat tiap-tiap operasi penangkapan. Dalam penentuan ukuran hasil tangkapan, ditarik sampel sebanyak n secara acak dari setiap trip operasi masing-masing kapal sampel yang terpilih. Untuk mempermudah proses pengambilan data, dibagikan kuisioner kepada enumerator (juru mudi) yang ditempatkan pada masing-masing kapal sampel. 3.3.2 Suhu permukaan laut Data sebaran suhu permukaan laut di perairan Binuangeun merupakan data sekunder yang diperoleh melalui cara men-download hasil citra suhu permukaan laut yang telah tersedia di internet. Data diperoleh melalui situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data yang dipilih merupakan data harian sebaran suhu permukaan laut Level 2 dengan batasan posisi 06.6 0-07.3 0 LS dan 105 0-106.4 0 BT. Pemilihan citra pada Level 2 dilakukan karena pada Level ini citra olahan sudah terkoreksi secara radiometrik. Data sekunder lain yang dikumpulkan adalah kondisi umum perikanan di lokasi penelitian seperti data produksi dan nilai produksi tahunan, unit penangkapan, keadaan iklim dan musim, dan sebagainya. Data tersebut diperoleh dari dinas perikanan setempat, instansi terkait lainnya dan studi literatur. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari masingmasing kapal sampel selama penelitian digabung untuk menganalisis komposisi hasil tangkapan (ukuran ikan dan jumlah hasil tangkapan) berdasarkan skala penyebaran daerah penangkapan (spasial) dan waktu operasi penangkapannya (temporal). 3.4.2 Analisis suhu permukaan laut Data suhu permukaan laut diketahui dengan melakukan analisis terhadap citra MODIS yang telah di-download. Data tersebut diolah untuk memperoleh nilai dan gambar sebaran suhu permukaan laut. Langkah-langkah yang dilakukan

26 dalam pengolahan citra adalah sebagai berikut : (1) Pembacaan nilai suhu permukaan laut dengan menggunakan program SeaDAS 4.7. Membuka program SeaDAS pada menu terminal, kemudian akan tampil SeaDAS main menu dan seadisp main menu. Langkah selanjutnya adalah memasukkan file citra yang telah didownload dengan memilih sub menu load pada seadisp main menu. Memasukkan koordinat daerah yang akan dihitung, koordinat yang dimasukkan merupakan koordinat pada daerah penelitian dan daerah di sekitarnya (6 0 38 00 LS - 7 0 18 00 LS dan 105 0 00 00 BT - 106 0 24 00 BT). Setelah citra dibuka, kemudian dilakukan penyimpanan output citra dalam bentuk data ASCII dengan memilih functions output data ASCII. Data ini merupakan nilai suhu permukaan laut berdasarkan garis lintang dan bujur (koordinat). (2) Penghitungan nilai suhu permukaan laut Data ASCII hasil pengolahan SeaDAS diolah kembali dengan menggunakan program Microsoft Office Excel untuk memperoleh nilai kisaran dari suhu permukaan laut. Nilai kisaran SPL yang dipilih adalah nilai pada koordinat daerah penelitian (6 0 54 00 LS - 7 0 12 00 LS dan 105 0 06 00 BT - 106 0 18 00 BT). (3) Pembuatan peta sebaran suhu permukaan laut Data hasil pengolahan dari Microsoft Office Excel diolah kembali dengan menggunakan software Surfer 8.0 untuk memperoleh peta sebaran suhu permukaan laut beserta garis konturnya. Nilai dominan dari suhu permukaan laut pada daerah penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang selanjutnya dianalisis sebarannya menurut waktu operasi penangkapan (temporal). Sebaran suhu permukaan laut secara spasial (penyebaran daerah penangkapan) ditentukan dengan melakukan analisis visual terhadap peta sebaran suhu permukaan laut. Pada analisis ini juga akan dilihat bagaimana pergerakan suhu permukaan laut pada daerah penelitian selama Bulan Maret - Mei dengan melakukan analisis visual terhadap peta harian sebaran suhu permukaan laut.

27 3.4.3 Hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan Untuk mengetahui hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan dilakukan analisis korelasi. Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Semakin tinggi nilai r mengindikasikan bahwa hubungan yang semakin erat (Walpole 1995). Kisaran nilai korelasi: -1 < r < +1 Korelasi erat jika : r > 0.7 dan r < - 0.6, dan Korelasi tidak erat jika: -0.6 < r < 0.7 3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial Untuk menentukan daerah penangkapan ikan (DPI) potensial digunakan metode skoring berdasarkan pada tiga indikator, yaitu jumlah hasil tangkapan, ukuran panjang ikan, serta sebaran suhu permukaan laut pada daerah penangkapan. Penilaian kriteria panjang ikan berdasarkan sebaran ukuran ikan tongkol untuk memijah di perairan tropis, yaitu umumnya memijah di atas ukuran 40 cm (Ismajaya, 2007 vide Girsang, 2008), sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan Ukuran panjang (cm) Penilaian x < 30 cm; x > 40 cm Tidak Layak Tangkap 30 cm x 40 cm Layak tangkap Sumber: Ismajaya, 2007 vide Girsang, 2008. Penilaian jumlah hasil tangkapan dilakukan berdasarkan pendekatan CPUE selama 3 bulan. Dengan perhitungan tersebut diperoleh kategori hasil tangkapan sedikit, sedang, dan banyak sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Penilaian jumlah hasil tangkapan Jumlah HT (kg)/trip Penilaian 200 Kg Sedikit 200 Kg HT < 400 Kg Sedang 400 Kg Banyak Data evaluasi daerah penangkapan ikan dikategorikan dalam tiga kelas, yaitu; potensial, sedang dan kurang potensial. Penentuan bobot atau scoring terhadap tiga indikator dijelaskan dalam Tabel 11. Penilaian terhadap setiap

28 indikator didasarkan pada: 1. Untuk kategori jumlah hasil tangkapan: - Jika jumlah hasil tangkapan banyak, diberi nilai (bobot) 6. - Jika jumlah hasil tangkapan sedang, diberi nilai (bobot) 4. - Jika jumlah hasil tangkapan sedikit, diberi nilai (bobot) 2. 2. Untuk ukuran panjang ikan: - Jika diperoleh ukuran layak tangkap, diberi bobot 6. - Jika diperoleh ukuran tidak layak tangkap, diberi bobot 3. 3. Untuk sebaran suhu permukaaan laut: - Jika DPI didominasi oleh SPL optimum untuk penangkapan, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang baik dan diberi bobot 6. - Jika DPI tidak didominasi oleh SPL optimum, maka diberi bobot 2. Setelah diperoleh nilai bobot untuk masing-masing indikator pada suatu DPI tertentu, selanjutnya bobot tersebut dijumlahkan. Dalam hal ini ketiga indikator diasumsikan memiliki pengaruh yang sama terhadap penilaian suatu DPI. Langkah terakhir dalam penentuan DPI ini adalah dengan cara mengelompokkan nilai bobot gabungan yang merupakan penjumlahan ketiga indikator menjadi tiga, yaitu: 1. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI potensial. 2. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI sedang. 3.Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran yang rendah, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang kurang potensial. Tabel 11 Penilaian indikator DPI DPI DPI ke-i CPUE (kg/setting) Banyak (n=6) Sedang (n=4) Kurang (n=2) Indikator DPI Ukuran (cm) Layak Tangkap (n=6) Tidak Layak (n=3) Suhu Permukaan Laut ( 0 C) Optimum (n=6) Tidak optimum (n=2) Kategori DPI Interval untuk DPI potensial ditentukan berdasarkan sebaran nilai

4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol 4.1.1 Jumlah hasil tangkapan Data hasil tangkapan ikan tongkol yang dikumpulkan dari delapan kapal payang memiliki sebaran yang berbeda untuk berat dan rata-rata ukuran panjang tiap bulannya. Jumlah tangkapan untuk Bulan Maret 2008 mencapai 10.130 kg dengan CPUE sebesar 241 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan tongkol untuk Bulan April meningkat menjadi 14.100 kg dengan CPUE sebesar 328 kg/setting. Selanjutnya pada Bulan Mei, jumlah tangkapan ikan tongkol meningkat lagi sebesar 27.490 kg dengan CPUE sebesar 482 kg/setting. Untuk lebih lengkapnya nilai CPUE dan persentase hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 5. 600 500 400 300 CPUE (Kg/setting) 200 100 19.59 % 27.26 % 0 Maret April Mei = CPUE (Kg/setting) = Persentase dari total tangkapan Bulan 53.15 % Gambar 5 CPUE dan persentase hasil tangkapan Bulan Maret-Mei 2008. Jumlah hasil tangkapan total untuk Bulan Maret sampai Mei 2008 adalah 51.720 kg. Hasil tangkapan terbanyak didapat pada periode Mei, kemudian April dan Maret. Hasil tangkapan untuk tiap-tiap bulannya memiliki perbandingan sebagai berikut; 19.59 % atau sebesar 10.130 kg pada bulan Maret, 27,26 % atau sebesar 14.100 kg pada Bulan April, dan 53,15 % atau sebesar 27.490 kg pada Bulan Mei. Pada Gambar 6 terlihat bahwa CPUE secara keseluruhan memiliki kecenderungan meningkat dari awal bulan. CPUE pada Bulan Maret memiliki nilai terbesar pada tanggal 22 Maret yaitu sebanyak 368 kg/setting dan terendah pada tanggal 8 Maret yaitu sebanyak 87 kg/setting.

30 CPUE (Kg/setting) 400 300 200 100 0 6 8 12 14 15 16 20 22 23 26 27 30 CPUE (Kg/setting) Tanggal Gambar 6 Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada Bulan Maret 2008. Pada Gambar 7 terlihat pola yang fluktuatif. Nilai CPUE terbesar didapat pada tanggal 27 April sebanyak 398 kg/setting dan nilai yang terkecil sebanyak 150 kg/setting pada tanggal 3 April. CPUE (Kg/setting) 400 300 200 100 0 2 3 4 7 9 10 13 15 20 22 25 27 CPUE (Kg/setting) Tanggal Gambar 7 Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada Bulan April 2008. Pada Bulan Mei 2008, nilai CPUE secara keseluruhan cenderung meningkat hingga akhir bulan. CPUE terbesar didapat pada tanggal 29 Mei sebanyak 980 kg/setting dan nilai terkecil pada tanggal 4 Mei sebanyak 180 kg/setting dengan nilai rata-rata CPUE sebesar 482 kg/setting (Gambar 8). CPUE (kg/setting) 1000 800 600 400 200 0 1 2 4 5 9 10 12 13 14 15 17 20 22 25 28 29 CPUE (Kg/setting) Tanggal Gambar 8 Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada Bulan Mei 2008.

31 4.1.2 Ukuran (size) hasil tangkapan Panjang ikan tongkol yang tertangkap selama Bulan Maret hingga Mei berkisar antara 24 cm sampai 49 cm. Persentase ukuran ikan layak tangkap yang didapat pada trip penangkapan nelayan payang periode Bulan Maret - Mei 2008 dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa hasil tangkapan yang masuk dalam kategori layak tangkap sebesar 33.618 kg atau 65% dari jumlah total ikan yang tertangkap. Layak Tangkap 65% Tidak Layak Tangkap 35% Gambar 9 Persentase total ikan layak tangkap periode Maret-Mei 2008. Penyebaran hasil tangkapan yang masuk ke dalam kategori layak tangkap pada setiap bulannya disajikan pada Gambar 10. Dari Gambar 10, terlihat bahwa komposisi ikan layak tangkap terbanyak didapatkan pada Bulan Mei sebesar 68.75%, kemudian menyusul Bulan Maret dan April dengan nilai persentase masing-masing sebesar 66.67% dan 58.33%. Hal ini juga berarti bahwa jumlah ikan yang masuk kategori tidak layak tangkap terbanyak terdapat pada Bulan April, Maret kemudian menyusul Bulan Mei. Layak Tangkap 66. 67% Tidak Layak Tangkap 33. 33% Layak Tangkap 58. 33% Tidak Layak Tangkap 41. 67% Layak Tangkap 68. 75% Tidak Layak Tangkap 31. 25% Maret April Mei Gambar 10 Persentase ukuran ikan layak tangkap pada Bulan Maret, April dan Mei 2008.

32 Panjang rata-rata ikan tertangkap periode Bulan Maret 2008 disajikan pada Gambar 11. Kisaran ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap berada pada selang 24 cm sampai 36 cm dengan nilai rata-rata sebesar 30 cm. Ukuran rata-rata ikan tongkol terbesar didapat pada tanggal 26 Maret dan rata-rata ukuran terkecil pada tanggal 8 Maret. 40 Panjang (cm) 30 20 10 0 6 8 12 14 15 16 20 22 23 26 27 30 Tanggal Gambar 11 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Maret 2008. Rata-rata ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap pada Bulan April disajikan pada Gambar 12. Kisaran panjang ikan tongkol yang tertangkap berada pada selang 26 cm sampai 42 cm. Nilai rata-rata yang didapat adalah sebesar 32 cm. Rata-rata ukuran panjang ikan terbesar didapat pada tanggal 15 April dan rata-rata terendah pada tanggal 3 April. Panjang (cm) 50 40 30 20 10 0 2 3 4 7 9 10 13 15 20 22 25 27 Tanggal Gambar 12 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan April 2008. Ukuran panjang rata-rata ikan tertangkap pada periode Bulan Mei 2008 disajikan pada Gambar 13. Kisaran panjang ikan tongkol yang tertangkap pada saat tersebut berada pada selang 26 cm sampai 49 cm dengan nilai rata-rata sebesar 35 cm. Ukuran rata-rata penangkapan tertinggi didapat pada trip penangkapan pada tanggal 28 Mei dan rata-rata ukuran terendah pada tanggal 17 Mei.

33 50 40 Panjang (cm) 30 20 10 0 1 2 4 5 9 10 12 13 14 15 17 20 22 25 28 29 Tanggal Gambar 13 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Mei 2008. 4.2 Suhu Permukaan Laut Sebaran suhu permukaan laut di perairan Binuangeun yang didapat melalui pengolahan citra dengan menggunakan software Surfer 8.0 menghasilkan gambar citra suhu permukaan laut secara jelas dengan pemberian warna (pallet) yang berbeda pada setiap kisaran suhu yang berbeda. Jumlah gambar citra yang diperoleh selama penelitian (Maret sampai Mei 2008) sebanyak 22 citra yang terdiri dari 7 citra Bulan Maret, 6 citra Bulan April dan 9 citra Bulan Mei. Dari keseluruhan citra suhu permukaan laut yang diperoleh terlihat bahwa SPL pada Bulan Maret sampai Mei sangat bervariasi mulai dari suhu yang terendah 24 0 C hingga yang tertinggi yaitu 31 0 C (Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16). Sebaran SPL pada Bulan Maret berkisar antara 24 0 C-30 0 C dengan suhu dominan antara 24 0 C-28 0 C. Pada Bulan ini perairan Binuangeun cenderung didominasi oleh suhu yang dingin yaitu pada tanggal 16 Maret, 22 Maret, 26 Maret dan 30 Maret. Bahkan konsentrasi awan cukup banyak menutupi wilayah penangkapan ikan, khususnya daerah penangkapan Ujungkulon pada tanggal 16 Maret dan 26 Maret, sehingga suhu permukaan laut di daerah tersebut tidak dapat terekam oleh sensor MODIS. Sedangkan pada tanggal 6 Maret, 12 Maret dan 14 Maret frekuensi munculnya suhu hangat lebih sering (Gambar 14). Kisaran suhu permukaan laut pada Bulan April berkisar antara 24 0 C-31 0 C dengan suhu dominan berkisar antara 25 0 C-29 0 C. Secara keseluruhan sebaran SPL pada daerah penangkapan termasuk hangat yaitu pada tanggal 7 April, 13 April, 15 April dan 27 April. Sedangkan pada tanggal 2 April dan 20 April lokasi penelitian didominasi oleh suhu yang dingin (Gambar 15).

34 Pada Bulan Mei SPL berkisar antara 24 0 C-31 0 C dengan SPL dominan 25 0 C- 29 0 C. Secara keseluruhan didominasi oleh SPL hangat, karena Bulan Mei sudah termasuk ke dalam musim timur, sehingga curah hujan yang terjadi cenderung sedikit dibandingkan dengan Bulan Maret dan April (musim peralihan) yang masih terpengaruh oleh angin barat dan curah hujan yang tinggi. Perairan Binuangeun yang didominasi oleh suhu hangat pada Bulan Mei terjadi pada tanggal 2 Mei, 10 Mei, 17 Mei, 22 Mei, 25 Mei, 28 Mei dan 29 Mei. Sebaran SPL yang didominasi oleh suhu dingin terjadi pada tanggal 1 Mei dan 13 Mei (Gambar 16).

35 6 Maret 2008 12 Maret 2008 14 Maret 2008 16 Maret 2008 22 Maret 2008 26 Maret 2008 30 Maret 2008 Gambar 14 Citra sebaran SPL pada Bulan Maret 2008.

36 2 April 2008 7 April 2008 13 April 2008 15 April 2008 20 April 2008 27 April 2008 Gambar 15 Citra sebaran SPL pada Bulan April 2008.

37 1 Mei 2008 2 Mei 2008 10 Mei 2008 13 Mei 2008 17 Mei 2008 22 Mei 2008 25 Mei 2008 28 Mei 2008 29 Mei 2008 Gambar 16 Citra sebaran SPL pada Bulan Mei 2008.

38 4.3 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Hasil Tangkapan Berdasarkan uji statistik, didapatkan bahwa suhu permukaan laut tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan tongkol (Lampiran 2). Hubungan hasil tangkapan ikan tongkol dengan suhu permukaan laut yang tidak erat tersebut juga dapat terlihat pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa tidak terdapat suatu pola atau trend yang jelas menunjukkan meningkat atau menurunnya hasil tangkapan jika suhu permukaan laut naik atau turun. Hasil Tangkapan (Kg) 2500 2000 1500 1000 500 35 30 25 20 15 10 5 Suhu Permukaan Laut ( 0 C) HT 0 SUHU 1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73 79 85 91 97 Waktu Akusisi Gambar 17 Hubungan SPL dengan jumlah hasil tangkapan ikan tongkol setiap setting. Penyebaran hasil tangkapan ikan tongkol dengan suhu permukaan laut disajikan dalam bentuk diagram pencar (Gambar 18). Dari Gambar 18 terlihat bahwa ikan tongkol paling banyak tertangkap pada suhu 27 0 C-29 0 C. Hal ini mengindikasikan bahwa SPL optimum untuk penangkapan ikan tongkol di perairan Binuangeun pada Bulan Maret-Mei 2008 adalah 27 0 C-29 0 C. 0 Hasil Tangkapan (Kg) 2500 2000 1500 1000 500 0 Suhu Optimum 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 SPL Gambar 18 Diagram pencar SPL dengan jumlah hasil tangkapan ikan tongkol.

39 4.4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Ukuran Panjang Berdasarkan uji statistik, didapatkan bahwa hubungan suhu permukaan laut dengan ukuran panjang ikan tongkol adalah tidak erat (Lampiran 3). Namun demikian berdasarkan diagram pencar (Gambar 19), terlihat bahwa ikan ukuran besar lebih dominan tertangkap pada suhu 27 0 C-29 0 C, sedangkan ikan ukuran kecil lebih dominan tertangkap pada suhu 29 0 C. Panjang Ikan (cm) 60 50 ukuran besar 40 30 20 10 ukuran kecil 0 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 SPL Gambar 19 Diagram pencar SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol. Pada Gambar 20 juga terlihat pola atau trend yang menunjukkan bahwa ikan ukuran besar lebih dominan tertangkap pada suhu 27 0 C-29 0 C, sedangkan ikan ukuran kecil lebih terkonsentrasi pada suhu 29 0 C. Panjang Ikan (cm) 60 50 40 30 20 10 0 1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73 79 85 91 97 PANJANG SUHU Waktu Akusisi 35 30 25 20 15 10 5 0 Suhu Permukaan Laut ( 0 C) Gambar 20 Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol setiap setting.

5 PEMBAHASAN 5.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Nilai tangkapan ikan tongkol tertinggi didapat pada Bulan Mei yaitu sebesar 27.490 kg (53,15% dari total tangkapan 51.720 kg) dengan CPUE adalah 482 kg/setting, kemudian menyusul Bulan April dengan nilai persentase 27,26% atau sebanyak 14.100 kg dengan nilai CPUE 328 kg/setting dan paling rendah adalah pada Bulan Maret dengan persentase 19.59% dari total hasil tangkapan atau sebesar 10.130 kg dengan angka CPUEnya yaitu 241 kg/setting (Gambar 5). Bulan Maret dan April termasuk ke dalam musim peralihan, dimana masih mendapatkan pengaruh angin barat, seperti gelombang tinggi, arus permukaan yang cukup kuat, curah hujan yang tinggi, serta angin kencang yang masih terasa membuat keadaan perairan Binuangeun memiliki iklim cuaca yang buruk. Hal ini mengakibatkan nelayan cenderung tidak berani melakukan penangkapan, sehingga jumlah hasil tangkapan ikan tongkol pada Bulan Maret dan April sedikit dibandingkan dengan Bulan Mei. Di samping itu, saat musim angin kencang ikan akan mencari perairan yang lebih tenang untuk menghindari tekanan tersebut (Laevastu and Hayes 1983), sehingga dapat memberi dampak pada ketersediaan ikan tongkol di perairan Binuangeun. Nilai persentase ukuran ikan tongkol yang layak tangkap dapat dilihat pada Gambar 8 yang didapat dari trip penangkapan delapan unit payang periode Bulan Maret sampai Mei 2008 yaitu sebesar 65% atau sebesar 33.618 kg dari total tangkapan 51.720 kg. Hasil tangkapan pada Bulan Maret yang layak tangkap sebesar 66.67%, pada Bulan April 58.33% dan pada Bulan Mei sebesar 68.75%. Berdasarkan data tersebut berarti sebesar 35% hasil tangkapan ikan tongkol tidak layak tangkap. Hal ini mengindikasikan bahwa dari penangkapan yang dilakukan, menguntungkan secara finansial dan cukup optimum dari aspek lingkungan. Namun dalam upaya optimalisasi yang lebih baik diharapkan peran serta Pemerintah Daerah dan ahli perikanan tangkap untuk membuat suatu regulasi atau kebijakan tentang pengaturan ukuran hasil tangkapan yang layak dan benar-benar dapat memperhatikan penggunaan mata jaring (mesh size) yang digunakan oleh nelayan payang, karena angka 35% atau sebesar 18.102 kg dari hasil total

41 tangkapan tersebut cukup mengkhawatirkan bagi ketersediaan ikan di perairan secara berkelanjutan. 5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Binuangeun Secara umum, SPL di perairan Binuangeun pada Bulan Maret 2008 tergolong dingin, namun pada daerah-daerah penangkapan tertentu didominasi oleh suhu yang hangat. Sedangkan pada Bulan April munculnya suhu dingin lebih jarang terjadi, sehingga perairan Binuangen lebih didominasi oleh suhu hangat. Selanjutnya pada Bulan Mei 2008 sebagian besar wilayah-wilayah penangkapan ikan di perairan Binuangeun didominasi oleh suhu hangat. Suhu permukaan laut pada Bulan Maret termasuk dingin kemungkinan terkait dengan terjadinya upwelling. Upwelling adalah penaikan massa air laut dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin sehingga suhu pada lapisan permukaan menjadi dingin (Nontji 1993). Pada wilayah penangkapan tertentu ditemukan suhu yang sangat dingin sebesar 24 0 C yang tidak sesuai dengan SPL dingin yang dikemukakan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika untuk perairan Indonesia yaitu pada kisaran 25 0 C-27 0 C. Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi awan yang tebal menutupi daerah tersebut sehingga energi yang dipantulkan oleh perairan tidak terdeteksi dengan baik oleh sateli Aqua MODIS. Rendahnya SPL juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor oseanografi yang lain seperti arus. Namun demikian, perlu pengamatan yang lebih detail untuk melihat sejauh mana pengaruh arus terhadap suhu permukaan laut di perairan Binuangeun. SPL di perairan Binuangeun pada Bulan April 2008 didominasi oleh suhu hangat, meskipun pada wilayah penangkapan tertentu ditemukan suhu yang dingin. Kondisi ini terkait sudah banyaknya intensitas radiasi matahari yang terjadi dan akan datangnya musim timur yaitu pada Bulan Mei sehingga curah hujan sudah mulai berkurang. Pada Bulan Mei 2008, dari gambar citra yang diperoleh sebagian besar di lokasi penelitian didominasi oleh suhu hangat. Sebagian kecil suhu rendah yang mendominasi wilayah penangkapan hanya terjadi pada tanggal 1 Mei dan 13 Mei. Penentuan kisaran SPL pada setiap operasi penangkapan ikan dengan menggunakan hasil citra satelit masih memiliki kelemahan. Luapan sapuan sensor

42 MODIS yang besar mengakibatkan kisaran SPL yang didapat masih dalam daerah yang luas (resolusi rendah). Disamping itu, satelit Aqua MODIS mengelilingi bumi pada sore hari sehingga data SPL pada saat operasi penangkapan ikan masih kurang akurat karena operasi penangkapan ikan tidak hanya dilakukan pada sore hari. Namun demikian, perubahan suhu harian di perairan tropis tidak terlalu signifikan. 5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol Kisaran suhu permukaan laut pada saat penelitaan berkisar antara 24 0 C- 31 0 C. Pada umumnya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 20 0 C-28 0 C (Williamson diacu dalam Burhanudin,1984). Namun hasil tangkapan ikan tongkol di perairan Binuangeun ditemukan pada kisaran suhu 24 0 C-30 0 C (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol masih dapat mentolerir suhu permukaan laut yang panas sampai suhu 30 0 C. Pada suhu permukaan laut 31 0 C tidak ditemukan hasil tangkapan. Kondisi ini diduga karena ikan tongkol melakukan migrasi atau akan berenang lebih dalam sehingga payang tidak dapat menjangkaunya. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari nelayan payang di perairan Binuangeun, alat tangkap payang dioperasikan pada kedalaman kurang lebih 20 meter. Berdasarkan uji statistik, didapatkan bahwa suhu permukaan laut tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan (Lampiran 2). Namun berdasarkan diagram pencar suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol, terlihat bahwa hasil tangkapan paling banyak tertangkap pada suhu 27 0 C-29 0 C. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa suhu yang cocok untuk penangkapan ikan tongkol di perairan Binuangeun pada Bulan Maret-Mei adalah 27 0 C-29 0 C (Gambar 18). Suhu permukaan laut optimum untuk kegiatan penangkapan tongkol bisa saja bervariasi berdasarkan perubahan waktu (temporal) dan tempat (spasial). Penyebaran ikan tongkol di suatu wilayah perairan tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor oseanografi tertentu. Kemungkinan penyebaran ikan tongkol di suatu tempat secara dominan dipengaruhi oleh SPL, tetapi di daerah lain penyebarannya dipengaruhi oleh faktor oseanografi yang lain. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, diperlukan pengamatan terhadap parameter-

43 parameter oseanografi lain yang dapat mempengaruhi keberadaan ikan tongkol di perairan, seperti arus, salinitas, klorofil a, dan lain-lain. Di samping itu, pengaruh faktor-faktor teknis produksi, seperti keterampilan nelayan, alat tangkap, dan sebagainya diperlukan dalam penelitian-penelitian lanjutan. Berdasarkan uji regresi, diperoleh bahwa suhu permukaan tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran panjang ikan tongkol (Lampiran 3). Namun berdasarkan diagram pencar suhu permukaan laut dengan ukuran panjang (Gambar 19) dan Gambar 20, terlihat pola yang menunjukkan bahwa ikan ukuran besar lebih dominan tertangkap pada suhu 27 0 C-29 0 C, sedangkan ikan ukuran kecil lebih dominan tertangkap pada suhu 29 0 C. Kondisi ini menunjukkan bahwa ikan yang berukuran besar memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dibandingkan ikan ukuran kecil yang hanya terkonsentrasi pada suhu 29 0 C. 5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Penentuan daerah penangkapan ikan (DPI) potensial didasarkan pada tiga indikator, yaitu jumlah tangkapan ikan, ukuran panjang, serta sebaran nilai suhu permukaan laut pada daerah penangkapan. Penentuan DPI potensial dalam periode Bulan Maret sampai Mei dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4 tersebut diperoleh kategori DPI bulanan sebagaimana disajikan pada Tabel 12 dan Gambar 21. Berdasarkan Tabel 12 dan Gambar 21, terlihat bahwa DPI yang paling potensial untuk penangkapan ikan tongkol selama periode Bulan Maret sampai Mei 2008 terdapat di wilayah penangkapan Tanjung Panto. Selanjutnya DPI yang masih potensial untuk penangkapan tongkol selama Bulan Maret sampai Mei 2008 terdapat di wilayah penangkapan Pulau Tinjil, Pulau Deli, dan Bayah. Hal ini didasari oleh kejadian frekuensi timbulnya kategori DPI potensial lebih sering dibandingkan dengan kategori DPI sedang dan kurang. Tabel 12 Evaluasi DPI berdasarkan jumlah ikan, ukuran, dan sebaran SPL DPI Kategori DPI bulan Kategori DPI Maret April Mei Gabungan P. Tinjil kurang potensial potensial masih potensial P. Deli potensial sedang potensial masih potensial Tg. Panto potensial potensial potensial potensial Bayah kurang potensial potensial masih potensial Ujung Kulon potensial sedang sedang sedang

44 Wilayah penangkapan yang potensial terbanyak pada Bulan Mei, dimana pada Bulan tersebut didapatkan sebanyak 4 DPI potensial. Sementara pada Bulan Maret dan April hanya diperoleh 3 DPI potensial. Pada Bulan Maret 2008, DPI potensial terdapat di perairan Pulau Deli, Tanjung Panto, dan Ujung Kulon. Pada Bulan April DPI potensial terdapat di wilayah penangkapan Pulau Tinjil, Tanjung Panto, dan Bayah. Selanjutnya pada Bulan Mei 2008, DPI potensial terdapat di wilayah penangkapan Pulau Tinjil, Pulau Deli, Tanjung Panto, dan Bayah. 6 0 48' 7 0 00' 7 0 12' 105 0 12' 105 0 24' 105 0 36' 105 0 48' 106 0 00' 106 0 12' DPI Bulan Maret 2008 6 0 48' 7 0 00' 7 0 12' 105 0 12' 105 0 24' 105 0 36' 105 0 48' 106 0 00' DPI Bulan April 2008 106 0 12' 6 0 48' 7 0 00' 7 0 12' 105 0 12' 105 0 24' 105 0 36' 105 0 48' 106 0 00' 106 0 12' DPI Bulan Mei 2008 Gambar 21 Perubahan DPI selama periode Maret sampai Mei 2008.