BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian, kemudian berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut dibuat rekomendasi. Bab ini juga berisi keterbatasanketerbatasan penelitian. 7.1. Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan pada PKPT di Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta setelah terbitnya rekomendasi BPK di tahun 2013 dan penyebab belum dilaksanakannya penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan berbasis risiko di Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan hasil analisis pada Bab VI dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perubahan yang telah dilakukan atas PKPT Inspektorat DIY merupakan upaya perbaikan yang telah dilaksanakan Inspektorat DIY setelah terbitnya rekomendasi BPK antara lain: a. Perbaikan data yang ditampilkan dalam dokumen PKPT mengikuti ketentuan peraturan perundangan. Beberapa rekomendasi BPK tentang data-data yang harus dicantumkan dalam PKPT telah dilaksanakan. Rekomendasi seperti pencantuman seluruh kegiatan pengawasan beserta pendukung kegiatan telah dilaksanakan, setelah sebelumnya hanya jenis dan waktu kegiatan audit yang dimuat dalam dokumen PKPT. Sasaran pemeriksaan dan tenaga pemeriksa walau tidak dicantumkan dalam PKPT 80
akan tetapi telah dimuat dalam Surat Perintah Tugas (SPT) tim pemeriksa. Data yang direkomendasikan untuk dicantumkan dalam PKPT namun belum dicantumkan adalah besaran risiko tiap auditi. Besaran risiko tiap auditi belum dicantumkan karena belum adanya pengukuran atas risiko auditi. Perbaikan data yang dilakukan Inspektorat mencerminkan berbagai upaya yang telah dilaksanakan Inspektorat untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. b. Inspektorat DIY dalam menentukan frekuensi dan kedalaman audit telah mempertimbangkan beberapa risiko auditi seperti anggaran dan aset yang dikelola suatu SKPD atau UPTD, banyaknya program/kegiatan yang dilaksanakan, fungsi pelayanan vital terhadap publik yang dimiliki SKPD atau UPTD. Namun, identifikasi risiko auditi ini belum disertai pengukuran risiko sehingga belum dapat dilakukan pemeringkatan auditi berdasar besaran risiko yang dimilikinya. 2. Penyebab belum dilaksanakannya penyusunan PKPT berbasis risiko Penyusunan PKPT berbasis risiko belum dilaksanakan karena belum dipahaminya tahapan-tahapan dalam penyusunan perencanaan audit berbasis risiko, oleh karena itu diperlukan penyamaan pendapat di lingkungan Inspektorat DIY sehingga dapat diambil langkah yang tepat demi terselesaikannya temuan BPK. Dalam perencanaan audit berbasis risiko, setelah risiko diidentifikasi langkah selanjutnya adalah melakukan analisis risiko berdasarkan besaran risiko yang dimiliki auditi. Di Inspektorat DIY, penentuan auditi dan frekuensi audit belum melalui pengukuran besaran risiko 81
auditi, setidaknya pengukuran risiko sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 tahun 2009. 7.2. Rekomendasi Berbagai kesimpulan yang didapat bermuara pada belum dilaksanakan pengukuran risiko dalam menyusun PKPT Inspektorat DIY. Walaupun Inspektorat DIY dalam menentukan auditi dan frekuensi auditnya telah mempertimbangkan risiko melekat yang dimiliki seluruh auditi, namun dikarenakan belum melakukan pengukuran risiko, maka rekomendasi BPK dinilai belum ditindaklanjuti. Oleh karena itu rekomendasi yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah: 1. Data yang dicantumkan dalam PKPT disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 dan Peratyran Menteri PAN dan RB Nomor 19 tahun 2009. 2. Inspektorat DIY melakukan analisis risiko. Aturan yang digunakan BPK ketika menyatakan Inspektorat DIY belum melakukan penyusunan PKPT berbasis risiko adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 tahun 2009 tentang Pedoman Kendali Mutu Audit APIP, maka untuk menyelesaikan rekomendasi tersebut Inspektorat DIY harus melaksanakan ketentuan yang disebutkan dalam peraturan tersebut yaitu dengan melakukan analisis risiko. Penaksiran risiko yang mencakup identifikasi risiko dan analisis risiko memerlukan partisipasi segenap unsur 82
dalam APIP, baik itu perencana pengawasan maupun pelaksana. Partisipasi dari seluruh unsur APIP akan menghasilkan perencanaan pengawasan berbasis risiko yang efektif dan efisien. Analisis risiko dapat dilaksanakan dengan pemberian bobot nilai terhadap risiko sebagai dasar pengukuran. Faktor risiko yang telah ditentukan diberi skor sesuai aturan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 19 Tahun 2009, dinilai dengan rentang angka 1,2,3 dan 4 atau dalam kualitas adalah rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Sebagai contoh faktor risiko anggaran yang dikelola auditi: a. Anggaran 20 milyar ke atas diberi nilai (4) atau memiliki risiko sangat tinggi; b. Anggaran 15 s.d. 20 milyar diberi nilai (3) atau memiliki risiko tinggi; c. Anggaran 5 s.d. 15 milyar diberi nilai (2) atau memiliki risiko sedang; d. Anggaran s.d 5 milyar diberi nilai (1) atau memiliki risiko rendah. Contoh lain adalah faktor risiko atas tindak lanjut atas temuan, dinilai dengan presentase temuan yang telah ditindaklanjuti: a. Tindak lanjut atas temuan memiliki presentase di bawah 50 % diberi nilai (4) atau memiliki risiko sangat tinggi; b. Tindak lanjut atas temuan memiliki presentase di bawah 50 % sampai dengan 75 % diberi nilai (3) atau memiliki risiko tinggi; c. Tindak lanjut atas temuan memiliki presentase di bawah 75 % sampai dengan 90 % diberi nilai (2) atau memiliki risiko sedang; d. Tindak lanjut atas temuan memiliki presentase di atas 90 % diberi nilai (1) atau memiliki risiko rendah; 83
Berdasar penjumlahan nilai risiko akan dihasilkan peringkat auditi yang memiliki risiko tertinggi sampai dengan terendah, sehingga dapat ditentukan auditi yang memiliki risiko yang lebih tinggi dan memerlukan pemeriksaan lebih sering dan dalam. 7.3. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Penelitian ini hanya terbatas pada perencanaan audit berbasis risiko tahunan yang dilakukan APIP dan tidak membahas mengenai perencanaan audit terhadap satu auditi tertentu. Penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian terhadap perencanaan pengawasan berbasis risiko tahunan dan individual sehingga didapat perencanaan pengawasan yang menyeluruh dalam suatu APIP. b. Penelitian ini tidak meneliti pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pada suatu SKPD atau unit kerja yang akan dijadikan obyek pemeriksaan, tapi SPIP SKPD akan dievaluasi dan hasil evaluasinya digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi APIP dalam merencanakan pengawasannya. c. Pemahaman informan mengenai audit internal berbasis risiko beragam dan keterbatasan peneliti dalam menerangkan menyebabkan penelitian ini kurang optimal. 84