APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MENENTUKAN LOKASI SUB TERMINAL AGRIBISNIS PADA KAWASAN AGROPOLITAN CENDAWASARI. Oleh: ABY GALIH SANTRI

dokumen-dokumen yang mirip
III. BAHAN DAN METODE

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sistem Informasi Geografis

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MENENTUKAN LOKASI SUB TERMINAL AGRIBISNIS PADA KAWASAN AGROPOLITAN CENDAWASARI. Oleh: ABY GALIH SANTRI

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Gambaran Umum Kecamatan Leuwiliang

III. METODE PENELITIAN

Oleh : INA NOPELINA A

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

Perkembangan Ekonomi Makro

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

VII. KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN BOGOR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI KAJIAN

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Gambar 7. Lokasi Penelitian

I. PENDAHULUAN. pelestarian keseimbangan lingkungan. Namun pada masa yang akan datang,

III. METODOLOGI PENELITIAN


GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

III. BAHAN DAN METODE

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

BAB III PENDEKATAN LAPANG

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

BAB IV METODE PENELITIAN

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

GAMBARAN UMUM. Wilayah Sulawesi Tenggara

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT

BAHAN DAN METODE. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

Programa Penyuluhan Kab.Bangka

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

4.1. Letak dan Luas Wilayah

METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Teknik Skoring untuk berbagai analisis AY 11

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB II LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE. Waktu dan Tempat

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

SISTEM PAKAR PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PEMILIHAN WILAYAH BUDIDAYA KOMODITAS PERTANIAN (STUDI KASUS: KECAMATAN KLARI, KARAWANG, JAWA BARAT)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tambah (value added) dari proses pengolahan tersebut. Suryana (2005: 6)

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

LOGO Potens i Guna Lahan

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

III. BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

ARTANTI YULAIKA IRIANI A

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data

Transkripsi:

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MENENTUKAN LOKASI SUB TERMINAL AGRIBISNIS PADA KAWASAN AGROPOLITAN CENDAWASARI Oleh: ABY GALIH SANTRI A24104082 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM MENENTUKAN LOKASI SUB TERMINAL AGRIBISNIS PADA KAWASAN AGROPOLITAN CENDAWASARI Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ABY GALIH SANTRI A24104082 PROGRAM STUDI ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

SUMMARY ABY GALIH SANTRI. The application of GIS in locating agribusiness sub terminal at the Cendawasari Agropolitan. Supervised by BABA BARUS and BAMBANG H. TRISASONGKO. An agribusiness Sub Terminal (STA) in an agropolitan is where buying and selling transactions conducted, and it also but also works as a place where many interests of agribusiness players coordinate such as infrastructure packaging, sorting, storage, exhibition space, transportation, training, and as a place of communication and information for all agribusiness actors. Currently, the infrastructure does not already exist in the Cendawasari region, so as to enhance the role of farmers in the mangosteen agribusiness system, determining the location of required effort STA. This infrastructure has not yet developed in the area. This study aims to determine the location of STA with geographic information system applications and methods of multi-criteria evaluation (MCE- Multi Criteria Evaluation). The research conducted in the area Cendawasari, Karacak village, Leuwiliang district, Bogor district of the month in August 2009 to November 2009. The comparison in pairs analysis in the early stages in order to get the value of primary eigenvector of factors and criteria established by priority / importance relative to location. This value is assumed as the weight and score on a multicriteria analysis phase. Degree of importance is measured by a specific value of the constant Saaty by comparing it with each other. Multi-criteria analysis in GIS done by entering the main eigenvector values as scores and weights with the end result is the value of the sum of the scores by multiplying the weight of each factor, which is presented in the form of maps. The evaluation is done by the assumption that the largest final value of the results of the analysis is the area with the highest priority as the location of STA. From the research results, obtained by two area locations STA recommendations that are at 0-8% slope class, namely the use of bush land, included in 50 m zone of each of the road, mangosteen plantations and settlements. Area recommendations are assumed to be the best in terms of accessibility, topographical conditions, safety, and ease of information and commodity distribution of mangosteen. The location area 1 (1876 m 2 ) was located in Darmabakti, while the location of area 2 (845 m 2 ) was in Cengal. Keywords : Geographic Information System, agribusiness sub terminal, Multi criteria evaluation (MCE-Multi Criteria Evaluation).

RINGKASAN ABY GALIH SANTRI. Aplikasi sistem informasi geografis dalam menentukan lokasi Sub Terminal Agribisnis (STA) pada kawasan agropolitan Cendawasari. Dibawah bimbingan BABA BARUS dan BAMBANG H. TRISASONGKO. Sub terminal agribisnis (STA) dalam lingkup agropolitan merupakan tempat transaksi jual beli, namun juga merupakan wadah yang dapat mengkoordinasi berbagai kepentingan pelaku agribisnis seperti sarana prasarana pengemasan, sortasi, penyimpanan, ruang pamer, transportasi, pelatihan, serta merupakan tempat komunikasi dan informasi bagi para pelaku agribisnis. Saat ini, infrastruktur tersebut belum ada pada kawasan Cendawasari, sehingga untuk meningkatkan peran petani dalam sistem agribisnis manggis, diperlukan upaya penentuan lokasi STA. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi STA dengan aplikasi sistem informasi geografis dan metode evaluasi multi kriteria (MCE-Multi Criteria Evaluation). Penelitian dilakukan di kawasan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dari bulan Agustus 2009 sampai bulan November 2009. Perbandingan berpasangan pada tahap awal dilakukan untuk mendapatkan nilai eigenvektor utama dari faktor dan kriteria yang dibangun berdasarkan prioritas/kepentingan relatif terhadap lokasi. Nilai tersebut diasumsikan sebagai bobot dan skor pada tahap analisis multi kriteria. Derajat kepentingannya diukur berdasarkan nilai tertentu dari tetapan Saaty dengan membandingkannya satu sama lain. Analisis multi kriteria pada SIG dilakukan dengan memasukkan nilai eigenvektor utama tersebut sebagai skor dan bobot dengan hasil adalah nilai akhir berupa penjumlahan dari perkalian skor dengan bobot tiap faktor, yang disajikan dalam bentuk peta. Evaluasi dilakukan dengan asumsi bahwa nilai akhir terbesar pada hasil analisis merupakan area dengan prioritas tertinggi sebagai lokasi STA. Dari hasil penelitian, diperoleh dua area rekomendasi lokasi STA yang berada pada kelas lereng 0-8 %, yaitu pada penggunaan lahan semak belukar, masuk dalam zona 50 m masing-masing dari jalan, perkebunan manggis dan permukiman. Area rekomendasi diasumsikan merupakan yang terbaik dari segi aksesibilitas, kondisi topografi, keamanan, serta kemudahan informasi dan distribusi komoditas manggis. Lokasi 1 dengan luas sekitar 1876 m 2 terletak di Kampung Darmabakti, sedangkan lokasi 2 dengan luas sekitar 845 m 2 berada di Kampung Cengal. Kata kunci : Sistem Informasi Geografis, Sub Terminal Agribisnis (STA), evaluasi multi kriteria (MCE-Multi Criteria Evaluation).

LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NRP : Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam Menentukan Lokasi Sub Terminal Agribisnis pada kawasan agropolitan Cendawasari. : Aby Galih Santri : A24104082 Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc NIP. 19610101 198703 1 004 NIP : 19700903 200812 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002 Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Juni 1986. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan Bapak H. Gun-gun Gunawan dan Ibu N.Cicin, S.Pd. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 1 Cisalada hingga tamat pada tahun 1998. Selanjutnya melanjutkan di SLTP Negeri 1 Cijeruk dan lulus pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 1 Cijeruk, Kabupaten Bogor. Pada tahun yang sama (2004) penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Kartografi tahun ajaran 2009/2010, serta Geomorfologi dan Analisis Lansekap tahun ajaran 2006/2007.

i KATA PENGANTAR Tiada daya, upaya dan kekuatan melainkan karena Allah. Skripsi yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam menentukan lokasi Sub Terminal Agribisnis pada kawasan agropolitan Cendawasari ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Baba Barus, MSc dan Ir. Bambang H. Trisasongko, MSc selaku dosen pembimbing. 2. (Alm) Baehaqi selaku koordinator P4W untuk kawasan agropolitan Cendawasari. 3. Staf dosen dan pegawai di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. 4. Keluarga atas doa, harapan dan dukungannya. 5. Kelompok Tani Karya Mekar. 6. Teman-teman di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. 7. Anak Tanah, Bellers dan Si Berat Soil. 8. Semua pihak yang telah ikut serta membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat meskipun masih ada hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam lagi. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Bogor, 18 Februari 2010 Penulis

ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... vi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Sistem Informasi Geografis... 3 2.2 Agropolitan... 6 2.3 Sub Terminal Agribisnis... 8 2.4 Perbandingan Berpasangan... 8 2.5 Evaluasi Multi Kriteria (MCE)... 10 III. BAHAN DAN METODE... 12 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 12 3.2 Bahan dan Alat Penelitian... 12 3.3 Kerangka Pemikiran... 12

iii 3.4 Metodologi... 13 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN... 21 4.1 Topografi dan kemiringan lereng... 21 4.2 Penggunaan lahan... 21 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27 5.1 Perbandingan Berpasangan... 27 5.2 Peta Faktor Penentuan Lokasi STA dan Hasil Skor... 40 5.2.1 Lereng... 40 5.2.2 Jarak Dari Jalan... 42 5.2.3 Jarak Dari Perkebunan Manggis... 44 5.2.4 Penggunaan Lahan... 46 5.2.5 Jarak Dari Permukiman... 48 5.3 Analisis Multi Kriteria (AMK)... 50 5.4 Pembahasan... 52 VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 55 6.1 Kesimpulan... 55 6.2 Saran... 55 VII. DAFTAR PUSTAKA... 56

iv DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Skala penilaian untuk perbandingan berpasangan... 10 2. Contoh matriks perbandingan berpasangan pada faktor lereng... 17 3. Contoh nilai eigenvektor utama (E) setiap kriteria pada faktor lereng... 17 4. Nilai pembangkit acak (RI)... 18 5. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor lereng... 27 6. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor lereng... 28 7. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari jalan... 28 8. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari jalan... 29 9. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari perkebunan manggis... 29 10. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari perkebunan manggis... 30 11. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor penggunaan lahan... 31

v 12. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari permukiman... 32 13. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari permukiman... 32 14. Matriks perbandingan berpasangan setiap faktor (peneliti)... 33 15. Matriks perbandingan berpasangan setiap faktor (responden)... 33 16. Nilai eigenvektor utama setiap faktor (peneliti)... 34 17. Nilai eigenvektor utama setiap faktor (responden)... 34 18. Bobot dan skor untuk setiap faktor dan kriteria hasil perbandingan berpasangan (responden)... 36 19. Bobot dan skor untuk setiap faktor dan kriteria penentuan area rekomendasi lokasi STA... 37

vi DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman Gambar 1. Diagram alir penelitian... 20 Gambar 2. Ladang pada kawasan Cendawasari... 22 Gambar 3. Semak belukar pada kawasan Cendawasari... 22 Gambar 4. Hutan sekunder pada kawasan Cendawasari... 23 Gambar 5. Permukiman pada kawasan Cendawasari... 23 Gambar 6. Lahan terbuka pada kawasan Cendawasari... 24 Gambar 7. Kebun campuran pada kawasan Cendawasari... 24 Gambar 8. Sawah pada kawasan Cendawasari... 25 Gambar 9. Perkebunan manggis pada kawasan Cendawasari... 25 Gambar 10. Kebun produksi pada kawasan Cendawasari... 26 Gambar 11. Jalan pada kawasan Cendawasari. (a) jalan lokal, (b) jalan lain, dan (c) jalan setapak.... 26 Gambar 12. Peta kelas lereng Cendawasari... 40 Gambar 13. Peta skor faktor lereng Cendawasari... 41 Gambar 14. Peta disertai zona buffer jalan Cendawasari... 42 Gambar 15. Peta skor faktor jarak dari jalan Cendawasari... 43 Gambar 16. Peta disertai zona buffer perkebunan manggis Cendawasari... 44

vii Gambar 17. Peta skor faktor jarak dari perkebunan manggis... 45 Gambar 18. Peta penggunaan lahan kawasan Cendawasari... 46 Gambar 19. Peta skor faktor penggunaan lahan... 47 Gambar 20. Peta disertai zona buffer permukiman Cendawasari... 48 Gambar 21. Peta skor faktor jarak dari permukiman Cendawasari... 49 Gambar 22. Peta nilai akhir analisis multi kriteria... 50 Gambar 23. Peta area rekomendasi lokasi STA kawasan Cendawasari... 51 Lampiran 1. Data SRTM dari http://srtm.csi.cgiar.org... 58 2. Lembar Rupa Bumi Indonesia hasil scanning dan penggabungan... 59

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cendawasari merupakan suatu kawasan perdesaan berbasis pertanian yang ditetapkan menjadi suatu kawasan agropolitan sejak tahun 2002. Cendawasari merupakan nama yang diambil dari nama-nama dusun yang merupakan bagian dari kawasan agropolitan tersebut, yaitu dusun Cengal, Nariti, Darmabakti, Wanakarya, Sumberjaya, dan Rawasari. Daerah tersebut memiliki komoditas unggulan berupa manggis. Dari tahun 2004, Kelompok Tani Karya Mekar telah terbentuk pada kawasan agropolitan Cendawasari dengan salah satu harapan dapat meningkatkan potensi manggis di Desa Karacak yang meliputi dusun-dusun tersebut. Pada kenyataannya, peningkatan mutu manggis dan produktifitas tidak diimbangi dengan peningkatan sistem agribisnis yang cenderung didominasi oleh tengkulak. Untuk meningkatkan perannya pada sistem agribisnis manggis di kawasan Cendawasari, petani membutuhkan sebuah tempat untuk mendukung proses sortasi, pengangkutan, penyimpanan, pengawetan, pengemasan, dan sarana pertukaran informasi harga baik masukan maupun keluaran yang dikoordinasikan oleh suatu manajemen, yang disebut sebagai sub terminal agribisnis (STA). Fungsi STA pada dasarnya adalah untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani dan pelaku pasar, disamping untuk mendidik petani memperbaiki kualitas produknya, sekaligus juga mengubah pola pikir ke arah agribisnis serta menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah. Saat ini STA tersebut belum terbangun pada kawasan ini, sehingga diperlukan upaya penentuan lokasi yang ideal. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi dan teknologi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Penentuan lokasi STA dapat difasilitasi dengan SIG yang dengan kemampuannya dapat mengakomodasi berbagai faktor/kriteria dari keinginan para pihak dan pertimbangan teknis. Dengan demikian, dapat

2 diwujudkan suatu STA sebagai infrastruktur yang fungsinya lebih dapat dioptimalkan. Penetapan lokasi dengan sistem informasi geografis dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah dengan metode evaluasi multi kriteria (MCE). Pendekatan MCE memberikan banyak pilihan dalam mengintegrasikan berbagai faktor. Mengingat salah satu faktor penting dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat pengguna, maka penelitian ini juga mengintegrasikan pendekatan perbandingan berpasangan. 1.2. Tujuan a. Memahami teknis penentuan bobot dan skor dalam pengambilan keputusan untuk analisis multi kriteria (AMK). b. Memahami penggunaan evaluasi multi kriteria (MCE) dalam sistem informasi geografis (SIG). c. Menentukan area rekomendasi untuk lokasi sub terminal agribisnis (STA) pada kawasan agropolitan Cendawasari.

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG, mulai dikenal pada awal tahun 1980-an, namun seiring dengan perkembangan di bidang komputer baik hardware (perangkat keras) maupun software (perangkat lunak), SIG dapat berkembang secara pesat pada era tahun 1990-an. SIG dapat diartikan sebagai suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja secara bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) pengertian SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial. SIG berdasarkan operasinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (1) SIG secara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, dan (2) SIG secara terkomputer atau lebih sering disebut SIG otomatis (prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital). SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta, lembar material transparansi untuk tumpang tindih, foto udara dan foto lapangan, laporanlaporan statistik dan laporan-laporan survey lapangan, perkembangan teknik SIG telah mampu menghasilkan berbagai fungsi analisis yang canggih. Kekuatan SIG terletak pada kemampuan analisis yang bersifat memadukan data spasial dan atribut sekaligus. Kemampuan SIG melakukan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan

4 analisis, serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan terus menerus (Barus dan Wiradisastra, 2000). Hasil analisis dari penelitian ini berupa area rekomendasi lokasi STA yang disajikan dalam bentuk peta. Peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data mentah maupun yang telah dianalisis atau informasi sesuai lokasinya. Dengan kata lain, peta diartikan sebagai bentuk penyajian informasi spasial mengenai permukaan bumi untuk dapat dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Fungsi analisis dalam SIG merupakan fungsi yang memanfaatkan data yang telah dimasukkan kedalam SIG dan telah mendapatkan berbagai manipulasi persiapan. Analisis ini dikelaskan oleh Aronoff (1993) dalam Barus dan Wiradisastra (2000) menjadi 4 kategori, yaitu fungsi pemanggilan data/klasifikasi/pengukuran, fungsi tumpang tindih, fungsi tetangga, dan fungsi jaringan/keterkaitan. 1. Fungsi pemanggilan data/klasifikasi/pengukuran a) Operasi pemanggilan data Operasi ini termasuk memilih, mencari, memanipulasi, dan menghasilkan data tanpa perlu untuk memodifikasi lokasi geografik obyek atau membuat identitas baru spasial. b) Klasifikasi dan generalisasi Klasifikasi diartikan sebagai suatu prosedur untuk mengidentifikasi obyek menjadi anggota kelompok tertentu dan dapat membantu untuk mengenali pola-pola baru. Sedangkan generalisasi merupakan suatu proses untuk membuat klasifikasi menjadi kurang detil dengan menggabungkan kelas-kelas dan dalam melihat pola tertentu. Fungsi generalisasi secara umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu untuk melihat/memunculkan pola atau tema tertentu, dan untuk mempertahankan pola tertentu. Generalisasi juga merupakan suatu bentuk pemilihan dalam penyajian unsur-unsur yang terlihat pada peta dan bertujuan untuk mempermudah pembacaan peta.

5 c) Fungsi pengukuran Fungsi ini diartikan sebagai prosedur dalam menentukan berbagai fungsi pengukuran seperti jarak, panjang, luas, dan keliling. 2. Fungsi tumpang tindih Fungsi ini merupakan operasi dalam berbagai tipe analisis. Operasi yang umum dilakukan pada operasi tumpang tindih adalah : a) Fungsi logika dan Boolean Fungsi ini meliputi gabungan (union), potongan (intersection), pilihan (and dan or), dan pernyataan bersyarat (if, then, else). b) Fungsi aritmatika Fungsi ini meliputi penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian, dan lain-lain. c) Operasi relasional Fungsi ini meliputi lebih-besar, lebih-kecil, sama-besar, dan kombinasinya. 3. Fungsi tetangga Fungsi ini dapat diartikan sebagai operasi yang dilakukan dalam mengevaluasi ciri-ciri lingkungan tetangga yang mengelilingi suatu lokasi yang spesifik. Tipe yang paling umum dari operasi tetangga adalah fungsi pencarian, fungsi topografi, dan fungsi interpolasi. Salah satu fungsi topografi yang digunakan pada penelitian ini adalah lereng. Lereng merupakan besarnya perubahan elevasi/ketinggian dibandingkan ke panjang bidang datar. Lereng biasanya diukur dalam derajat dari lingkungan atau persentase perubahan elevasi dibagi jarak horizontal bersangkutan. Sedangkan aspek merupakan arah permukaan lereng menghadap, dan didefinisikan dari sudut horizontal atau vertikal dari arah permukaan. 4. Fungsi jaringan/keterkaitan Fungsi ini dapat diartikan sebagai operasi dalam suatu bentuk perangkat linear yang membentuk pola atau jaringan kerja. Jaringan kerja tersebut umumnya dipakai sumberdaya yang bergerak dari suatu lokasi ke lokasi lain. Contoh umum jaringan kerja antara lain : jalan-jalan kota,

6 jaringan jalur transmisi energi, rute angkutan umum, dan lain-lain (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam mengklasifikasikan nilai akhir hasil analisis multi kriteria pada peta, peneliti menggunakan metode equal interval. Metode equal interval membagi jangkauan nilai-nilai atribut kedalam sub-sub jangkauan dengan ukuran yang sama. Contohnya jika unsur-unsur peta yang terdapat didalam theme yang aktif memiliki nilai-nilai atribut berjangkauan dari 12 hingga 351, maka nilai jangkauannya adalah 339 (351-12). Dengan demikian, jika klasifikasi dilakukan menjadi 3 kelas dengan menggunakan metode equal interval, maka setiap kelas akan berjangkauan 113 (339/3). Kelas 1 akan memiliki interval 12-125, kelas 2 memiliki interval 126-238, dan kelas 3 memiliki interval 239-351 (Prahasta, 2007). 2.2 Agropolitan Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Menurut konsep ini, agropolitan terdiri dari beberapa distrik dimana distrik-distrik agropolitan (selanjutnya kita sebut desa-desa sekitarnya) didefinisikan sebagai kawasan pertanian yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian dengan kecenderungan menggunakan pola pertanian modern. Ditinjau dari tata bahasa, agropolitan terdiri dari kata agro yang berarti pertanian dan politan yang berarti kota, dengan demikian agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan didefinisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Rustiadi dan Pranoto, 2007). Dalam pengertian tersebut sistem agribisnis adalah suatu sistem yang terdiri dari : (1) sub sistem pengadaan infrastruktur, sarana dan prasarana produksi pertanian, (2) sub sistem pengelolaan usaha budidaya pertanian, (3) sub sistem pengolahan hasil-hasil pertanian dan pemasaran

7 (4) sub sistem kelembagaan penunjang pengembangan agribisnis. Pola sebaran spasial potensi sumberdaya untuk pengembangan aktivitas sektor pertanian relatif tersebar di kawasan perencanaan, diantaranya meliputi Kecamatan Jasinga, Leuwiliang, Tenjo, Rumpin, Parung Panjang, Cigudeg, Sukajaya, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, dan Nanggung. Aktivitas pertanian yang selama ini telah berkembang di wilayah-wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat, diantaranya yaitu : pertanian tanaman pangan dan palawija, pertanian tanaman hortikultur sayuran dan buah-buahan, pertanian tanaman perkebunan (perkebunan rakyat dan PTPN), perikanan dan peternakan. Berdasarkan pertimbangan dan kriteria tersebut, kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Bogor meliputi bagian dari wilayah 53 (lima puluh tiga) desa yang berada dalam 9 wilayah tingkat kecamatan dengan luas 18.620,14 Ha. Berdasarkan aglomerasi lokasinya, kawasan agropolitan ini terbagi kedalam dua zona, yaitu zona I terdiri dari 34 desa di 5 kecamatan seluas 10.287,10 Ha dan zona II yang terdiri dari 19 desa di 4 kecamatan seluas 8.333,4 Ha. Aktivitas pertanian yang sudah berkembang di Kawasan Pengembangan Agropolitan Zona I, diantaranya meliputi: 1) pertanian tanaman pangan dan palawija dengan jenis komoditas yang diusahakan yaitu padi sawah, padi ladang/gogo, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai; 2) pertanian tanaman perkebunan terdiri dari perkebunan rakyat dengan komoditas utama yang diukembangkan yaitu cengkeh dan perkebunan negara (PTPN) dengan komoditas yang dikembangkan yaitu tanaman karet dan kelapa sawit; 3) pertanian tanaman buah-buahan dengan komoditas yang dikembangkan yaitu: jeruk, jeruk siam, alpukat, durian, duku, jambu biji, jambu air, jambu bol, nenas, mangga, pepaya, pisang, rambutan, salak, sawo, dan manggis; dan 4) pertanian tanaman sayuran dengan jenis komoditas yang diusahakan meliputi: tanaman kacang panjang, cabe, terung, mentimun, dan tomat. Untuk wilayah pengembangan kawasan agropolitan Zona I, komoditas terpilih sebagai komoditas potensial diantaranya meliputi komoditas buah manggis, pisang, ubi jalar, dan cengkeh. Untuk melihat pola pemusatan aktivitas dari masing-masing komoditas unggulan, disajikan sebagai berikut:

8 Tanaman manggis, wilayah yang menjadi sentra pengumpul untuk buah manggis adalah di Kecamatan Leuwiliang yaitu di Desa Karacak Tanaman pisang, wilayah yang menjadi sentra pengumpul untuk buah pisang adalah di Desa Cibatok Dua Tanaman ubi jalar, wilayah yang merupakan senta pengumpul untuk ubi jalar yaitu di Desa Cibatok Dua dan Ciaruteun Udik Tanaman cengkeh, wilayah yang merupakan sentra pengumpul tanaman cengkeh, yaitu Desa Pamijahan Tanamah pepaya, wilayah yang merupakan sentra pengumpul tanaman ini di Desa Cibatok Dua. Disamping itu juga, selain komoditas unggulan ada beberapa komoditas yang berpeluang untuk terus dikembangkan dan secara aktual banyak diusahakan oleh masyarakat sebagai sumber tambahan untuk pendapatan keluarga, diantaranya adalah: i) tanaman ubi kayu dengan sentra pengumpul di wilayah Ciaruteun Ilir; ii) pepaya di Desa Cibatok (Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, 2009). 2.3 Sub Terminal Agribisnis Pengertian Sub Terminal Agribisnis menurut Badan Agribisnis Departemen Pertanian (2000) dalam Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2004) adalah infrastruktur pasar untuk transaksi fisik (lelang, langganan, pasar spot) maupun non fisik (kontrak dan pesanan). Secara umum kegiatan pengelolaan STA antara lain : 1. Pencarian dan penciptaan pasar. 2. Transaksi penjualan dan pembelian. 3. Konsolidasi barang dan pengelolaan pasca panen. 4. Bantuan teknisi budidaya manajemen kepada petani atau kelompok tani. 5. Fasilitas pendanaan produksi dan informasi pasar. 2.4 Perbandingan berpasangan Penilaian faktor/kriteria dilakukan dengan kuantitatif tidak langsung melalui perbandingan berpasangan berdasarkan input dari wawancara. Input

9 tersebut berupa jawaban terhadap serangkaian pertanyaan yang dalam bentuk umum dapat diekspresikan sebagai berikut : Seberapa penting kriteria A relatif terhadap kriteria B. Dalam hal ini penilaian dapat dilakukan dengan memberikan suatu skala penilaian yang menunjukkan seberapa besar tingkat kepentingan antara dua kriteria. Kepentingan relatif tiap faktor dari setiap baris dari matriks dapat dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative weight). Bobot relatif yang dinormalkan ini merupakan bobot suatu nilai relatif untuk masing-masing faktor pada setiap kolom dengan membandingkan masingmasing nilai skala dengan jumlah kolomnya. Eigenvektor utama yang dinormalkan (Normalized Principal Eigenvector) adalah identik dengan menormalkan kolom-kolom dalam matriks perbandingan berpasangan. Itu merupakan bobot nilai rata-rata secara keseluruhan yang diperoleh dari rata-rata bobot relatif yang dinormalkan masing-masing faktor/kriteria pada setiap barisnya. Skala penilaian dari matriks perbandingan berpasangan disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut (Saaty, 1980) :

10 Tabel 1. Skala penilaian untuk perbandingan berpasangan Nilai kepentingan Definisi Penjelasan 1 Sama penting (equal) Kedua kriteria memberikan kontribusi yang sama Pengalaman dan 3 Sedikit lebih penting yang satu atas pertimbangan sedikit lainnya (moderate) memihak kriteria satu atas lainnya 5 Sangat penting atas lainnya (strong) Pengalaman dan penilaian dengan memihak kiriteria satu atas lainnya 7 Kriteria satu dengan kuat Jelas lebih penting atas lainnya (very disukai dan dominasinya strong) tampak nyata dalam praktek Bukti-bukti yang memihak 9 kepada kriteria yang satu Mutlak lebih penting atas lainnya atas yang lain berada pada (Extreme) tingkat persetujuan tertinggi yang mungkin 2,4,6,8 Nilai tengah antara dua penilaian Diperlukan kompromi berdekatan (Intermediate) antara dua pertimbangan Resiprok Nilai berkebalikan atas lainnya (1/ j) dari nilai j 2.5 Evaluasi Multi Kriteria (MCE) Evaluasi multi kriteria adalah suatu proses terstruktur untuk menentukan tujuan, untuk merumuskan kriteria dan untuk mengevaluasi solusi untuk suatu masalah keputusan (Pullar, 1996 dalam Prihandayani, 2009). Kolaborasi dari metode AMK dan SIG dalam menganalisa masalah keruangan menghasilkan Spatial Multi Criteria Evaluation (Boerboom, 2004 dalam Wairmahing, 2008). SMCE atau analisis multi kriteria keruangan, dijalankan secara transparan dengan membangun struktur analisisnya, memberikan skala penilaian, skoring, dan pembobotan sesuai karakteristik masing-masing faktor/kriteria.

11 Penggunaan teknologi dan sistem informasi yang semakin baik tentunya akan memberikan efektivitas dan efisiensi dalam proses perencanaan dan penerapan pembangunan. Diskusi, negosiasi, musyawarah untuk mufakat tetap dapat digunakan karena metode ini memberikan peluang bagi lebih dari satu atau sekelompok pengambil keputusan yang terlibat didalamnya (Wairmahing, 2008).

12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di kawasan agropolitan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisis data dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2009 sampai bulan November 2009. 3.2 Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan adalah data sekunder berupa peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25000 hasil foto udara tahun 1994 dan survey lapang tahun 1995, ekstensi ArcView : analisis multi kriteria (_mcdmv1.avx) dari Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dari http://srtm.csi.cgiar.org yang diperoleh secara gratis, dan peta penggunaan lahan disertai batas kawasan Cendawasari. Data primer yang dipakai adalah matriks perbandingan berpasangan hasil wawancara dengan 12 orang responden pada Kelompok Tani Karya Mekar Dusun Cengal Desa Karacak. Peralatan yang digunakan meliputi seperangkat komputer berbasis Windows XP dengan perangkat lunak ArcView 3.3, Global Mapper versi 9, Microsoft Office 2007, Expert Choice 11 dan Corel Photo Paint X3. 3.3 Kerangka Pemikiran Penentuan lokasi STA dalam suatu pengambilan keputusan dipertimbangkan dengan membandingkan faktor dan kriteria yang ditetapkan dengan penilaian skala prioritas tertentu. Perhitungan tingkat kepentingan/prioritas harus memperhatikan nilai relatif terhadap prioritas lainnya,

13 dan salah satu teknik yang dapat digunakan adalah perbandingan berpasangan. Pengulangan pengukuran atau wawancara dilakukan apabila ketidakkonsistensian matriks melebihi batas yang ditetapkan yaitu 0.1 (Saaty, 1980). Mengingat sifat dan karakteristik lahan yang beragam serta adanya partisipasi pihak terkait pada penentuan lokasi STA, maka metode MCE dapat digunakan dalam pengambilan keputusan, dimana hasil dari analisis akan dievaluasi dengan memilih nilai akhir yang merupakan nilai kombinasi keseluruhan faktor dan kriteria, asumsinya adalah area dengan nilai akhir terbesar merupakan yang terbaik untuk lokasi STA. Lokasi STA merupakan salah satu objek dalam ruang di permukaan bumi dengan data pendukungnya yang bereferensi spasial, dengan demikian sistem informasi geografis dapat diaplikasikan pada tahap pengolahan, analisis dan penyajian hasil. 3.4 Metodologi Berdasarkan peta RBI dan pengecekan lapang diketahui bahwa kondisi topografi wilayah penelitian relatif bergelombang. Kemiringan lereng dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan kesesuaiannya untuk bangunan, yaitu baik (0 8%), sedang (8 15%), dan buruk (> 15%) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Berdasarkan fungsinya sebagai infrastruktur sentralisasi komoditas manggis, lokasi STA diharapkan berada pada aksesibilitas terbaik, dan faktor-faktor jarak ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pihak peneliti (Aby Galih Santri) serta responden/masyarakat kawasan Cendawasari bahwa jarak sejauh 50 meter dari batas 0 dikategorikan sebagai dekat, lebih dari 50 meter tetapi kurang dari 100 meter dari batas 0 dikategorikan sebagai jarak sedang, serta lebih dari 100 meter dari batas 0 dikategorikan sebagai jarak jauh. Sehingga kriteria dari setiap faktor jarak, terbagi menjadi 3 yaitu dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), dan jauh (> 100 m). Batas 0 untuk faktor jarak dari jalan merupakan tepi jalan, sedangkan batas 0 untuk faktor jarak dari perkebunan manggis merupakan batas antara penggunaan lahan perkebunan manggis dengan penggunaan lahan lainnya. Sedangkan batas 0

14 untuk faktor jarak dari permukiman merupakan batas antara penggunaan lahan permukiman dengan penggunaan lahan lainnya, dimana area yang termasuk dalam kategori dekat adalah area permukiman dan area dengan jarak 50 m dari batas 0. Penentuan lokasi STA dengan mempertimbangkan jaraknya dari jalan adalah penting. Hal ini berhubungan dengan kemampuan lokasi STA yang dapat dijangkau oleh transportasi darat bermotor dalam proses distribusi komoditas. Semakin dekat dengan jalan tentunya akan semakin memudahkan proses distribusi dan pengangkutan komoditas. Faktor jenis jalan tidak digunakan karena seluruh jalan yang ada masih dapat dilalui kendaraan bermotor roda empat. Jarak dari perkebunan manggis merupakan faktor selanjutnya dalam penentuan lokasi STA dengan pertimbangan optimasi waktu, tenaga dan biaya angkut komoditas. Apabila lokasi STA berada semakin jauh dengan perkebunan manggis, maka waktu, tenaga dan biaya yang dibutuhkan untuk pengangkutan komoditas juga akan semakin besar. Kriteria yang ditetapkan adalah dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), dan jauh (> 100 m). Fungsi STA yang juga penting selain sarana pengemasan, penyimpanan, dan sentralisasi distribusi komoditas adalah sebagai wadah berbagai informasi misalnya harga, keamanan, serta kemudahan jangkauan dan manajemen, maka lokasi tersebut diharapkan berada untuk mendukung hal-hal tersebut. Jarak dari permukiman dibangun dengan pertimbangan tersebut serta dikelompokkan kedalam kriteria dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), dan jauh (> 100 m). Penggunaan lahan pada kawasan Cendawasari yang ada saat ini terbagi atas lahan terbuka, semak belukar, hutan sekunder, kebun produksi, perkebunan manggis, ladang, kebun campuran, permukiman, dan sawah berdasarkan data sekunder yang diperkuat dengan ground check. Setiap penggunaan lahan tersebut dipertimbangkan berdasarkan nilai/fungsinya secara keseluruhan kawasan Cendawasari, yang diurutkan dari mulai prioritas tertinggi untuk lokasi STA sampai ke prioritas terendah. Skala penilaian yang ditetapkan bersumber dari hasil wawancara 12 responden pada Kelompok Tani Karya Mekar.

15 Teknis pembuatan kriteria hasil uraian tersebut secara lengkap disajikan sebagai berikut : a) Jarak dari jalan Kriteria : dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), jauh (> 100 m). Sumber penilaian : peneliti dan masyarakat. b) Lereng Kriteria : baik (0 8 %), sedang (8 15 %), buruk(>15 %). Sumber penilaian : referensi Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001. c) Penggunaan lahan Kriteria : Kebun campuran (KC), kebun produksi (KP), pemukiman (P), sawah (S), perkebunan manggis (PM), lahan terbuka (LT), ladang (L), hutan sekunder (HS), semak belukar (SB). Sumber penilaian : masyarakat. d) Jarak dari permukiman Kriteria : dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), jauh (> 100 m). Sumber penilaian : peneliti dan masyarakat. e) Jarak dari perkebunan manggis. Kriteria : dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), jauh (>100 m). Sumber penilaian : peneliti dan masyarakat. Secara garis besar, penelitian ini terbagi menjadi 4 tahap kegiatan yaitu tahap persiapan, pengolahan data, penentuan bobot dan skor dengan metode perbandingan berpasangan, penentuan lokasi dengan SIG, kemudian tahap penulisan hasil. 3.4.1 Tahap Persiapan Pada tahap ini data dikumpulkan dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu data sekunder berupa bahan pustaka, peta RBI, SRTM, dan peta digital penggunaan lahan disertai batas Cendawasari, sedangkan data primernya adalah hasil wawancara berupa matriks perbandingan berpasangan faktor penggunaan

16 lahan dan matriks perbandingan berpasangan antar faktor, sumbernya adalah 12 responden pada Kelompok Tani Karya Mekar. 3.4.2 Tahap Pengolahan Data Peta digital jalan, sungai, dan administrasi diperoleh dari pengolahan 4 lembar peta RBI 1 : 25000 hasil penyiaman (scanning) yang selanjutnya digabungkan dalam Corel Photo Paint, kemudian dilakukan transformasi geometris (registrasi) dengan proyeksi dan datum berturut-turut Geographic dan World Geodetic System 1984 zona 48 S. Peta lereng diperoleh berdasarkan hasil olah Digital Elevation Model (DEM) dari data SRTM. Pengkelasan lereng dilakukan menggunakan model builder dengan kelas lereng dalam persen mengacu pada kesesuaian lahan untuk bangunan/tempat tinggal (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Delineasi peta lereng hasil model kemudian disimpan dalam format.shp dalam ArcView 3.3. Data lainnya adalah hasil wawancara berupa matriks yang diolah dengan Expert Choice dan Excel menghasilkan nilai kepentingan relatif dan nilai eigenvektor utama rata-rata dari 12 responden menggunakan perbandingan berpasangan. 3.4.3 Tahap Penentuan Skor dan Bobot dengan Metode Perbandingan Berpasangan. Perbandingan berpasangan adalah metode yang dipakai dalam menetapkan kepentingan relatif dari setiap faktor dan kriteria terhadap yang lainnya menggunakan matriks, berdasarkan skala perbandingan berpasangan (j) yang bernilai 1 sampai 9 dan nilai berkebalikan (1/j) (Saaty, 1980). Eigenvektor utama merupakan bobot rasio dari tiap faktor atau kriteria (jumlah bobot relatif yang dinormalkan dibagi dengan banyaknya faktor/kriteria pembanding), bobot relatif yang dinormalkan merupakan kepentingan relatif dari tiap faktor/kriteria, yaitu membandingkan nilai masing-masing dengan jumlah faktor/kriteria pembanding. Penjelasan dari ilustrasi tersebut adalah sebagai berikut :

17 Tabel 2. Contoh matriks perbandingan berpasangan pada faktor lereng Lereng Baik Sedang Buruk Baik 1 3 5 Sedang 1/3 1 3 Buruk 1/5 1/3 1 jumlah 1,53 4,33 9 Tabel 3. Contoh nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor lereng Lereng Baik Sedang Buruk E Baik 0,6522 0,6923 0,5556 0,6333 Sedang 0,2174 0,2308 0,3333 0,2605 Buruk 0,1304 0,0769 0,1111 0,1062 Jumlah 1 1 1 1 Bobot relatif yang dinormalkan dari kriteria baik terhadap sedang adalah 3/4.33 = 0.6923. Eigen maksimum merupakan nilai yang diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian jumlah kolom pada matriks perbandingan berpasangan (Tabel 2) dengan eigenvektor utama setiap kriteria (Tabel 3). Eigen maksimum = (1.53 x 0.6333) + (4.33 x 0.2605) + (9 x 0.1062) = 0,969 + 1,1288 + 0,9554 = 3.0532

18 Indeks konsistensi (CI) adalah kekonsistensian matriks dalam suatu pengukuran. Apabila CI bernilai 0 maka matriks tersebut konsisten (Saaty, 1980) : CI =, n adalah banyaknya ordo matriks (dalam hal ini adalah jumlah kriteria). 3.0532 3 CI = 3 1 CI = 0.0266 Rasio konsistensi (CR) adalah batas ketidakkonsistensian dari hasil pembagian indeks konsistensi dengan nilai pembangkit acak (RI). Tabel 4. Nilai pembangkit acak (RI) n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RI 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 CI 0.0266 CR = = = 0.046 RI 0. 58 Apabila dari hasil perhitungan tersebut matriks mempunyai nilai CR yang lebih kecil dari 0.1, maka ketidakkonsistensian matriks masih dianggap dapat diterima (Saaty, 1980). Dari nilai CR yang diperoleh untuk kriteria lereng tersebut, maka matriks dapat digunakan.

19 3.4.4 Tahap Penentuan Lokasi dengan SIG Tahap selanjutnya adalah dengan menggunakan ekstensi Analisis Multi Kriteria pada ArcView 3.3 dengan memasukkan nilai eigenvektor utama sebagai bobot dan skor untuk masing-masing faktor dan kriteria. Khusus untuk faktor penggunaan lahan, skor merupakan nilai eigenvektor utama rata-rata. Analisis dilakukan dengan mengkombinasikan seluruh peta untuk tiap faktor dan kriteria sehingga menghasilkan nilai akhir. Nilai akhir merupakan penjumlahan dari hasil perkalian bobot dari masing-masing faktor dan skor dari masing masing kriteria (Yalcin, 2004). Nilai akhir = Σ (Ai x Wi ) Ai : Skor faktor ke-i, Wi : Bobot kriteria ke-i. Evaluasi multi kriteria dilakukan dengan asumsi bahwa area dengan nilai akhir tertinggi merupakan rekomendasi terbaik untuk lokasi STA. Area rekomendasi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk peta. 3.4.5 Tahap Penulisan Hasil Semua data dan peta hasil pengolahan, selanjutnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai akhir dari rangkaian kegiatan penelitian. Diagram alir secara lengkap disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut :

20 Start Pengumpulan data dan informasi Data sekunder Survey lapang Pustaka Peta RBI, SRTM, peta penggunaan lahan digital Plotting dan pengukuran Wawancara Pengolahan data Data spasial Perbandingan berpasangan Data atribut Peta Bobot & skor Atribut peta Analisis Multi Kriteria (AMK) Peta kombinasi & nilai akhir Evaluasi multi kriteria (MCE) Rekomendasi lokasi STA Finish Gambar 1. Diagram alir penelitian

21 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Secara administratif, wilayah Agropolitan Cendawasari termasuk ke dalam wilayah Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Selain itu, kawasan ini juga berbatasan dengan Dusun Ciputih disebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Nanggung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Barengkok, dan sebelah barat berbatasan dengan Kampung Kidul. Wilayah Agropolitan Cendawasari memiliki luas ± 455,481 Ha, yang terbagi atas 6 dusun, yaitu Cengal, Nariti, Darmabakti, Wanakarya, Sumberjaya, dan Rawasari. 4.1. Topografi dan Tanah Topografi wilayah Agropolitan Cendawasari secara umum termasuk kedalam kategori datar/landai sampai berbukit dengan ketinggian bervariasi antara 100 sampai dengan 750 meter di atas permukaan laut. Topografi areal perkebunan manggis relatif bergelombang dengan kemiringan 6-30 % (Pusat Kajian Buah Tropika, 2004). Jenis tanah daerah tersebut didominasi oleh tanah Latosol bertekstur liat berlempung, struktur gumpal agak bersudut (sub angular blocky), konsistensi teguh dengan drainase agak baik sampai baik. Berdasarkan tingkat kesuburannya, wilayah tersebut tergolong rendah sampai sedang dan derajat kemasamannya tergolong rendah sampai sedang dengan ph antara 4,5 6,5. Curah hujan rata-rata bulanan cukup tinggi, berkisar antara 322 510 mm/bulan. Areal perkebunan manggis didominasi oleh relief bergelombang dengan kemiringan 6-30% (Pusat Kajian Buah Tropika, 2004). 4.2. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di kawasan Agropolitan Cendawasari terbagi kedalam beberapa tipe penggunaan lahan, yaitu :

22 a) Ladang, adalah penggunaan lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menanam tanaman semusim seperti kacang panjang dan singkong. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Ladang pada kawasan Cendawasari. b) Semak belukar, adalah lahan bekas ladang/perkebunan yang sudah ditinggalkan dan tidak dikelola lagi oleh penduduk, atau lahan yang memang tidak dikelola oleh penduduk setelah penebangan hutan sekunder. Vegetasi yang tumbuh pada semak belukar ini umumnya adalah alang alang, sianit, rumput merdeka, serta tanaman perdu lainnya. Tipe penggunaan lahan semak belukar disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Semak belukar pada kawasan Cendawasari.

23 c) Hutan sekunder, adalah hutan sisa penebangan dimana kayu yang mempunyai volume tegakan yang berdiameter > 50 cm sudah jarang. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Hutan sekunder pada kawasan Cendawasari. d) Permukiman, merupakan koloni atau tempat tinggal penduduk yang menetap secara berkelompok yang berupa kampung maupun desa. Umumnya pemukiman yang berada di kawasan Cendawasari ini berada dekat dengan akses akses jalan di wilayah tersebut. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Permukiman pada kawasan Cendawasari. e) Lahan terbuka, merupakan lahan yang sudah rusak, atau berubah fungsi menjadi fasilitas umum (lapangan), kadang kadang hanya berupa hamparan tanah

24 kering yang lambat laun akan menjadi semak belukar. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Lahan terbuka pada kawasan Cendawasari. f) Kebun campuran, adalah lahan dimana terdapat berbagai jenis tanaman tahunan dan semusim yang tumbuh bersama-sama. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Kebun campuran pada kawasan Cendawasari.

25 g) Sawah, adalah daerah menetap yang ditanami padi. Pada daerah penelitian, sawah mayoritas berada di daerah selatan wilayah tersebut. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Sawah pada kawasan Cendawasari. h) Perkebunan, adalah suatu areal yang ditumbuhi oleh tanaman sejenis. Di wilayah penelitian, perkebunan yang ada adalah perkebunan dengan tanaman manggis sebagai tanaman utamanya. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Perkebunan manggis pada kawasan Cendawasari. i) Kebun produksi, adalah lahan yang digunakan untuk menanam berbagai jenis tanaman selain manggis. Tanaman pada kebun produksi cenderung telah

26 mendapatkan pengelolaan secara baik. Adapun tanaman yang terdapat pada kebun produksi di wilayah penelitian ini adalah jenis tanaman buah-buahan, antara lain adalah belimbing, jambu batu, durian, mangga, cempedak dan alpukat. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Kebun produksi pada kawasan Cendawasari. j) Jalan, adalah fasilitas umum transportasi darat yang menghubungkan antar daerah di dalam dan keluar kawasan Cendawasari. Jenis jalan terbagi menjadi 3 antara lain : jalan lokal, jalan lain, dan jalan setapak. Tipe penggunaan lahan ini disajikan pada Gambar 11. a b c Gambar 11. Jalan pada kawasan Cendawasari. (a) jalan lokal, (b) jalan lain, dan (c) jalan setapak.

27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perbandingan Berpasangan Untuk mempelajari pendekatan dalam penentuan bobot dan skor menggunakan nilai eigenvektor utama yang merupakan kepentingan relatif tertentu, maka matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utama dari setiap faktor dan kriteria penentuan lokasi STA yaitu lereng, jarak dari jalan, jarak dari perkebunan manggis, jarak dari permukiman, dan penggunaan lahan pada bagian berikut akan disajikan dengan menggunakan tabel. Faktor lereng merupakan salah satu pertimbangan dalam penentuan lokasi STA. Faktor tersebut menjadi penting mengingat kemiringan lereng yang ada pada kawasan Cendawasari tidak homogen. Penempatan lokasi STA akan semakin baik apabila berada pada lereng yang semakin datar. Skala penilaian setiap kriteria dan nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor lereng Lereng Baik Sedang Buruk Baik 1 3 5 Sedang 1/3 1 3 Buruk 1/5 1/3 1 JUMLAH 1,53 4,33 9 Tabel 5 menunjukkan skala penilaian setiap kriteria pada faktor lereng dengan menggunakan matriks perbandingan berpasangan, penilaian lereng baik terhadap lereng buruk mendapat skala tertinggi dengan nilai 5 : 1 (Sangat penting). Hal itu berarti bahwa nilai berkebalikannya (1 : 5) merupakan penilaian lereng buruk terhadap lereng baik. Sedangkan skala penilaian lereng baik terhadap lereng sedang mendapat perbandingan 3 : 1 (sedikit lebih penting).

28 Tabel 6. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor lereng Lereng Baik Sedang Buruk E Baik 0,6522 0,6923 0,5556 0,6333 Sedang 0,2174 0,2308 0,3333 0,2605 Buruk 0,1304 0,0769 0,1111 0,1062 JUMLAH 1 1 1 1 Tabel 6 menyajikan nilai eigenvektor utama dari setiap kriteria pada faktor lereng, dapat dilihat bahwa lereng baik merupakan prioritas utama penempatan lokasi STA dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0.6333. kemudian lereng sedang dengan nilai eigenvektor utama 0.2605 dan lereng buruk dengan nilai eigenvektor utama 0.1062. Dari jumlah yang dihasilkan, yaitu bernilai 1 pada kolom 5, dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut merupakan nilai persentasenya terhadap 1. Kepentingan relatif dari setiap kriteria pada faktor lereng antara lain dipertimbangkan dengan perkiraan biaya, tingkat kesukaran dalam pembangunan, serta kemungkinan resiko bencana seperti longsor. Oleh karena itu, kriteria lereng baik (0 8%) dijadikan prioritas utama dalam penempatan lokasi STA agar halhal tersebut dapat diminimalkan. Faktor selanjutnya dalam pertimbangan penentuan lokasi STA adalah jarak dari jalan (JDJ) dengan kriteria dekat, sedang, dan jauh. Skala penilaian dari matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari jalan JDJ Dekat Sedang Jauh Dekat 1 3 5 Sedang 1/3 1 2 Jauh 1/5 1/2 1 JUMLAH 1,53 4,5 8 Tabel 7 menunjukkan bahwa penilaian kriteria dekat terhadap jauh mendapat skala tertinggi dengan perbandingan 5 : 1 (sangat penting), sedangkan

29 nilai 2 menunjukkan skala penilaian kriteria sedang (sangat sedikit lebih penting) terhadap jauh dengan perbandingan 2 : 1. Untuk kriteria dekat terhadap sedang mendapat nilai 3, dimana nilai berkebalikannya yaitu 1/3 adalah penilaian sedang terhadap dekat. Tabel 8. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari jalan JDJ Dekat Sedang Jauh E Dekat 0,6522 0,6667 0,625 0,6479 Sedang 0,2174 0,2222 0,25 0,2299 Jauh 0,1304 0,1111 0,125 0,1222 JUMLAH 1 1 1 1 Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa kriteria dekat menjadi prioritas utama penempatan lokasi STA dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0.6479. Sedangkan kriteria buruk mendapatkan nilai eigenvektor utama terendah 0.1222. Salah satu faktor penting lainnya yang dapat mempermudah pengangkutan dan distribusi komoditas manggis adalah jarak dari jalan. Kemudahan pengangkutan dan distribusi manggis tersebut diasumsikan akan semakin baik apabila lokasi STA berada dekat dengan jalan. Oleh karena itu, maka jarak yang dekat dengan jalan adalah prioritas utama penempatan lokasi STA. Faktor yang ketiga dalam penentuan lokasi STA adalah jarak dari perkebunan manggis (JDPM). Jarak dari perkebunan manggis ditetapkan berdasarkan 3 kriteria yaitu dekat, sedang, dan jauh. Matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utamanya berturut-turut disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari perkebunan manggis JDPM Dekat Sedang Jauh Dekat 1 3 5 Sedang 1/3 1 3 Jauh 1/5 1/3 1 JUMLAH 1,53 4,33 9

30 Perbandingan berpasangan kriteria dekat terhadap jauh pada Tabel 9 adalah 5 : 1 (kriteria dekat sangat penting atas kriteria jauh), sedangkan kriteria dekat terhadap kriteria sedang dan kriteria sedang terhadap kriteria jauh samasama memperoleh nilai 3 (sedikit lebih penting) dengan nilai berkebalikannya adalah 1/3. Tabel 10. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari perkebunan manggis JDPM Dekat Sedang Jauh E Dekat 0,6522 0,6923 0,5556 0,6333 Sedang 0,2174 0,2308 0,3333 0,2605 Jauh 0,1304 0,0769 0,1111 0,1062 JUMLAH 1 1 1 1 Jarak dari perkebunan manggis dengan kriteria dekat mendapat prioritas utama penempatan lokasi STA dengan nilai eigenvektor utama 0.6333 yang ditunjukkan pada Tabel 10, kemudian kriteria sedang memperoleh nilai eigenvektor utama 0.2605 dan kriteria jauh dengan nilai eigenvektor utama 0.1062. Asumsi bahwa semakin dekat lokasi STA dengan perkebunan manggis akan mengakibatkan akses pengumpulan hasil produksi manggis juga akan semakin baik, maka kriteria dekat pada faktor jarak dari perkebunan manggis ditentukan sebagai prioritas utama penempatan lokasi STA. Faktor keempat dalam penentuan lokasi STA adalah penggunaan lahan. Faktor tersebut terbagi menjadi 9 tipe penggunaan lahan berbeda yang ditetapkan sebagai kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah hutan sekunder (HS), kebun campuran (KC), kebun produksi (KP), ladang (L), lahan terbuka (LT), permukiman (P), perkebunan manggis (PM), sawah (S), dan semak belukar (SB). Skala penilaian diberikan oleh masing-masing responden dari jumlah responden 12 orang dengan nilai eigenvektor utama masing-masing dan eigenvektor utama rata-ratanya disajikan pada Tabel 11.

31 Tabel 11. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor penggunaan lahan HS KC KP L LT P PM S SB JUMLAH Arnawi 0,151 0,048 0,076 0,057 0,316 0,035 0,068 0,037 0,212 1 Atria 0,16 0,046 0,07 0,066 0,272 0,034 0,085 0,037 0,23 1 Bakri 0,163 0,044 0,086 0,065 0,267 0,034 0,07 0,037 0,234 1 H.asta 0,151 0,041 0,079 0,062 0,274 0,033 0,072 0,036 0,252 1 H.sayuti 0,126 0,046 0,08 0,052 0,273 0,038 0,069 0,029 0,287 1 Manan 0,144 0,037 0,078 0,053 0,242 0,042 0,065 0,03 0,309 1 Marwa 0,165 0,047 0,078 0,057 0,297 0,035 0,066 0,036 0,219 1 Masum 0,154 0,048 0,082 0,057 0,305 0,035 0,063 0,038 0,218 1 Rusdi 0,161 0,046 0,091 0,065 0,269 0,035 0,072 0,039 0,222 1 Saripudin 0,131 0,042 0,065 0,047 0,303 0,035 0,062 0,031 0,284 1 Sarpani 0,15 0,032 0,073 0,043 0,226 0,048 0,065 0,024 0,339 1 Udin jalu 0,152 0,056 0,101 0,05 0,254 0,041 0,084 0,065 0,197 1 E 0,1507 0,0444 0,0799 0,0562 0,2748 0,0371 0,0701 0,0366 0,2502 1 Tabel 11 menunjukkan nilai eigenvektor utama dari 12 responden dan eigenvektor utama rata-ratanya (E). Masing masing responden memberikan penilaian sebagai hasil dari perbandingan berpasangan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memberikan prioritas utama penempatan lokasi STA pada penggunaan lahan LT (lahan terbuka) terkecuali responden H.Sayuti, Manan, dan Sarpani yang memprioritaskan pada penggunaan lahan SB (semak belukar). Responden H.Sayuti, Manan, Saripudin, dan Sarpani memilih sawah sebagai prioritas terendah, sedangkan responden lainnya memilih permukiman. Dari nilai rata-rata eigenvektor utama 12 responden, dapat dilihat bahwa penggunaan lahan LT (lahan terbuka) menjadi prioritas utama penempatan lokasi STA dengan nilai eigenvektor utama rata-rata (E) tertinggi 0.2748. Sedangkan penggunaan lahan S (sawah) menjadi prioritas terendah dengan nilai E adalah 0.0366. Dari Tabel 11 tersebut dapat dilihat bahwa nilai E antara penggunaan lahan LT (lahan terbuka), SB (semak belukar), dan HS (hutan sekunder) terhadap nilai E yang lebih rendah dibawahnya memiliki nilai yang cukup jauh berbeda. Sedangkan selang nilai E yang paling berdekatan adalah antara penggunaan lahan P (permukiman) dengan S (sawah). Skala penilaian pada faktor penggunaan lahan dari masing-masing individu memiliki kemungkinan penilaian yang berbeda terhadap yang lainnya,

32 karena pertimbangan nilai/fungsi lahan yang ada pada kawasan Cendawasari secara subjektif dapat berbeda. Secara keseluruhan tampak bahwa fungsi penggunaan lahan sawah dan permukiman merupakan yang paling utama dengan nilai eigenvektor utama rata-rata yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Fungsi dari lahan terbuka saat ini secara keseluruhan sangat rendah dan hanya berupa tanah yang tidak bervegetasi. Pada Dusun Sumberjaya, terdapat lahan kosong yang digunakan sebagai lapangan. Faktor yang kelima dalam penentuan lokasi STA adalah jarak dari permukiman (JDP). Jarak dari permukiman ditentukan dengan tiga kriteria yaitu dekat, sedang, dan jauh. Matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utamanya berturut-turut disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13. Tabel 12. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor jarak dari permukiman JDP Dekat Sedang Jauh Dekat 1 3 5 Sedang 1/3 1 2 Jauh 1/5 1/2 1 JUMLAH 1,53 4,5 8 Skala penilaian antara kriteria dekat terhadap kriteria jauh yang ditunjukkan oleh Tabel 12 adalah 5, dengan perbandingan 5 : 1. Sedangkan kriteria sedang tehadap kriteria jauh ditentukan dengan nilai 2. Kemudian kriteria dekat terhadap kriteria sedang ditentukan dengan skala penilaian 3 yang berarti merupakan nilai berkebalikan (1/3) atas kriteria sedang terhadap kriteria dekat. Tabel 13. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor jarak dari permukiman JDP Dekat Sedang Jauh E Dekat 0,6522 0,6667 0,625 0,6479 Sedang 0,2174 0,2222 0,25 0,2299 Jauh 0,1304 0,1111 0,125 0,1222 JUMLAH 1 1 1 1

33 Pada Tabel 13, prioritas tertinggi penempatan lokasi STA berada pada nilai E 0.6479 dengan kriteria dekat, dan pioritas terendah ditunjukkan dengan nilai E 0.1222 dengan kriteria jauh. Salah satu fungsi STA sebagai wadah berbagai informasi misalnya harga, lokasi STA selayaknya berada dekat dengan permukiman. Asumsinya adalah bahwa arus informasi, keamanan, serta kemudahan manajemen STA akan lebih baik berada pada/dekat dengan permukiman. Setelah pada setiap kriteria ditetapkan nilai eigenvektor utamanya, maka tahapan selanjutnya adalah perbandingan berpasangan dari setiap faktor yang telah ditentukan. Sumber penilaian dari perbandingan berpasangan terdiri dari dua, yaitu peneliti dan responden. Skala penilaian melalui matriks perbandingan berpasangan disajikan pada Tabel 14 dengan sumber dari peneliti serta Tabel 15 yang bersumber dari responden (masyarakat). Tabel 14. Matriks perbandingan berpasangan setiap faktor Faktor Penggunaan lahan Lereng JDP JDPM JDJ Penggunaan lahan 1 1/4 3 1/2 1/3 Lereng 4 1 3 2 2 JDP 1/3 1/3 1 1/3 1/3 JDPM 2 1/2 3 1 1/3 JDJ 3 1/2 3 3 1 JUMLAH 10,33 2,58 13 6,83 4 Sumber : peneliti Tabel 15. Matriks perbandingan berpasangan setiap faktor Faktor Penggunaan lahan Lereng JDP JDPM JDJ Penggunaan lahan 1 1/3 1/3 1/3 1/3 Lereng 3 1 3 2 2 JDP 3 1/3 1 2 1/2 JDPM 3 1/2 1/2 1 1/3 JDJ 3 1/2 2 3 1 JUMLAH 13 2,67 6,83 8,33 4,17 Sumber : responden

34 Pada Tabel 14, peneliti menetapkan skala penilaian faktor lereng terhadap penggunaan lahan dengan nilai 4 (lebih penting), sedangkan responden pada Tabel 15 menetapkan nilai 3 (sedikit lebih penting) untuk skala penilaian faktor lereng terhadap penggunaan lahan. Yang paling membedakan skala penilaian dari dua sumber tersebut adalah bahwa peneliti menetapkan penilaian penggunaan lahan sedikit lebih penting dengan skala 3 dibandingkan dengan jarak dari permukiman, sebaliknya responden memilih faktor jarak dari permukiman yang sedikit lebih penting dibandingkan penggunaan lahan dengan skala penilaian 3. Selanjutnya ditentukan nilai eigenvektor utama dari setiap faktor, yaitu penggunaan lahan, lereng, jarak dari permukiman (JDP), jarak dari perkebunan manggis (JDPM), serta jarak dari jalan (JDJ) dengan 2 sumber penilaian yaitu peneliti yang disajikan pada Tabel 16 serta sumber dari responden yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 16. Nilai eigenvektor utama setiap faktor Faktor Penggunaan lahan Lereng JDP JDPM JDJ E Pengunaan lahan 0,0968 0,0968 0,2308 0,0732 0,0833 0,1162 Lereng 0,3871 0,3871 0,2308 0,2927 0,5 0,3595 JDP 0,0323 0,129 0,0769 0,0488 0,0833 0,0741 JDPM 0,1935 0,1935 0,2308 0,1463 0,0833 0,1695 JDJ 0,2903 0,1935 0,2308 0,439 0,25 0,2807 JUMLAH 1 1 1 1 1 1 Sumber : peneliti Tabel 17. Nilai eigenvektor utama setiap faktor Faktor Penggunaan lahan Lereng JDP JDPM JDJ E Penggunaan lahan 0,0769 0,125 0,0488 0,04 0,08 0,0741 Lereng 0,2308 0,375 0,439 0,24 0,48 0,3529 JDP 0,2308 0,125 0,1463 0,24 0,12 0,1724 JDPM 0,2308 0,1875 0,0732 0,12 0,08 0,1383 JDJ 0,2308 0,1875 0,2927 0,36 0,24 0,2622 JUMLAH 1 1 1 1 1 1 Sumber : responden

35 Pada Tabel 16, terlihat bahwa faktor lereng menjadi prioritas utama penempatan STA dengan nilai eigenvektor utama 0.3595. dan yang paling rendah adalah faktor jarak dari permukiman (JDP) dengan nilai eigenvektor utama 0.0741. Prioritas tersebut berturut-turut dari nilai tertinggi sampai terendah adalah faktor lereng, jarak dari jalan, jarak dari perkebunan manggis, penggunaan lahan, dan jarak dari permukiman. Sedangkan pada Tabel 17 yang bersumber dari responden, prioritas utama penempatan lokasi STA adalah pertimbangan faktor lereng dengan nilai eigenvektor utama 0.3529 serta prioritas terendah dengan nilai eigenvektor utama 0.0741 adalah faktor penggunaan lahan. Urutan dari prioritas tertinggi sampai terendah adalah faktor lereng, jarak dari jalan, jarak dari permukiman, jarak dari perkebunan manggis, dan penggunaan lahan. Bobot serta skor untuk setiap faktor maupun kriteria yang bersumber dari penilaian responden disajikan pada Tabel 18.

36 Tabel 18. Bobot dan skor untuk setiap faktor dan kriteria hasil perbandingan berpasangan Faktor Bobot Kriteria Skor JUMLAH HS 0,1507 KC 0,0444 KP 0,0799 L 0,0562 Penggunaan lahan 0,0741 LT 0,2748 1 P 0,0371 PM 0,0702 S 0,0366 SB 0,2503 baik 0,6333 Lereng 0,3529 sedang 0,2605 1 buruk 0,1062 dekat 0,6479 Jarak dari permukiman 0,1724 sedang 0,2299 1 jauh 0,1222 dekat 0,6333 Jarak dari perkebunan manggis 0,1383 sedang 0,2605 1 jauh 0,1062 dekat 0,6479 Jarak dari jalan 0,2622 sedang 0,2299 1 jauh 0,1222 JUMLAH 1 Sumber : Responden Pada Tabel 18, dapat dilihat bahwa bobot terbesar dengan nilai 0.3529 adalah faktor lereng. Sedangkan bobot terendah adalah faktor penggunaan lahan dengan bobot 0.0741. Selanjutnya bobot dan skor dari setiap faktor dan kriteria penentuan lokasi STA yang bersumber dari penilaian responden dan peneliti sebagai rekomendasi penentuan lokasi STA disajikan pada Tabel 19.

37 Tabel 19. Bobot dan skor untuk faktor dan kriteria penentuan area rekomendasi lokasi STA Faktor Bobot Kriteria Skor JUMLAH Baik 0,6333 Lereng 0,3595 Sedang 0,2605 1 Buruk 0,1062 Dekat 0,6479 Jarak dari jalan 0,2807 Sedang 0,2299 1 Jauh 0,1222 Dekat 0,6333 Jarak dari perkebunan manggis 0,1695 Sedang 0,2605 1 Jauh 0,1062 LT 0,2748 SB 0,2503 HS 0,1507 KP 0,0799 Penggunaan lahan 0,1162 PM 0,0702 1 L 0,0562 KC 0,0444 P 0,0370 S 0,0366 Dekat 0,6479 Jarak dari permukiman 0,0741 Sedang 0,2299 1 Jauh 0,1222 JUMLAH 1 Sumber : Peneliti & responden Tabel 19 memperlihatkan bahwa bobot tertinggi yang merupakan prioritas utama dalam pertimbangan penentuan area rekomendasi lokasi STA adalah 0.3595 yaitu faktor lereng, sedangkan bobot terendah berada pada faktor jarak dari permukiman dengan nilai 0.0741 yang merupakan prioritas terendah. Masyarakat Desa Karacak khususnya pada kawasan Cendawasari yang juga sependapat dengan peneliti, menilai bahwa faktor lereng lebih diutamakan dalam penempatan lokasi STA, pertimbangan tersebut ternyata lebih penting

38 daripada faktor jaraknya dari jalan, jarak dari permukiman, jarak dari perkebunan manggis maupun faktor penggunaan lahannya. Penempatan lokasi STA pada kelas lereng sedang maupun buruk tidak hanya berpengaruh terhadap kemudahan akses, tetapi juga terhadap kemudahan pembangunan fisiknya. Lahan untuk menopang bangunan fisik STA haruslah berbentuk datar, sehingga untuk mendatarkan bidang dengan kemiringan lereng lebih dari 8 % akan dapat mengorbankan massa tanah, tenaga, serta biaya yang lebih besar. Berdasarkan pengamatan lapang pada salah satu area di Dusun Cengal, terdapat area yang tidak memungkinkan untuk penempatan bangunan STA bahkan untuk perkiraan luasan mínimum 10 m 2 disebabkan karena lerengnya terlalu curam. Prioritas penentuan lokasi STA pada faktor jarak dari jalan sama-sama berada pada urutan kedua berdasarkan sumber penilai dari peneliti maupun responden. Faktor tersebut mempertimbangkan bahwa lokasi STA yang fungsi utamanya adalah sebagai infrastruktur sentralisasi komoditas dan pemasaran hasil produksi, akan lebih banyak melibatkan alat transportasi darat bermotor. Selain itu akan semakin menyulitkan apabila lokasi STA jika harus berada semakin jauh dari jalan dan bahkan ada kemungkinan diperlukannya pembangunan jalan baru sebagai aksesnya terhadap STA. Pertimbangan tersebut ternyata lebih diutamakan daripada faktor jarak dari perkebunan manggis, jarak dari permukiman, maupun penggunaan lahan. Prioritas ketiga dalam penentuan lokasi STA menurut penilaian rata-rata keseluruhan responden adalah faktor jarak dari permukiman, hal tersebut didasarkan pada pertimbangan dari segi manajemen atau kepengurusan. Fungsi STA dikhawatirkan akan buruk apabila didukung oleh kepengurusan yang juga buruk. Fungsi STA tidak akan berarti apabila manajemen/kepengurusannya buruk walaupun lokasinya ternyata akan berada dekat dengan lahan manggis maupun berada pada penggunaan lahan dengan fungsi terpenting sekalipun. Berbeda dengan penilaian yang mengutamakan prioritas ketiga tersebut sebagai faktor jarak dari perkebunan manggis dengan pertimbangan dari segi fungsi STA bahwa selayaknya kemampuan akses terhadap lahan komoditas itu lebih penting. Hal tersebut juga mempertimbangkan aspek biaya, waktu dan tenaga yang harus diperhitungkan apabila sulit diakses karena akan dikorbankan

39 lebih besar daripada aspek manajemen/kepengurusan. Bahkan dikhawatirkan akan tidak berfungsinya STA tersebut sebagai infrastruktur sentralisasi komoditas. Walaupun ternyata lokasinya harus berada jauh dari permukiman, hal tersebut akan masih dapat diatasi dengan kesadaran dan kedisiplinan terhadap tanggung jawab. Prioritas keempat dari penilaian responden adalah faktor jarak dari perkebunan manggis. Hal tersebut lebih penting apabila dibandingkan dengan penggunaan lahan. Pertimbangannya adalah bahwa seluruh penggunaan lahan yang ada saat ini pada kawasan Cendawasari masih memungkinkan untuk digunakan sebagai penempatan lokasi STA, sedangkan akses terhadap komoditas menjadi lebih penting dikarenakan pertimbangan jarak yang semakin jauh akan menyulitkan dalam distribusi komoditas. Prioritas keempat selayaknya ditempati oleh faktor penggunaan lahan, karena apabila dibandingkan dengan faktor jarak dari permukiman, hal tersebut lebih penting. Terdapat penggunaan lahan yang selayaknya tetap harus dipertahankan antara lain lahan pertanian khususnya perkebunan manggis. Sedangkan jaraknya dari permukiman yang ditinjau dari aspek kemudahan informasi maupun kepengurusan/manajemen STA, saat ini masih dapat diantisipasi seperti dengan penggunaan teknologi, alat komunikasi, serta sistem kepengurusan dengan meningkatkan kedisiplinan. Faktor terendah dalam prioritas penentuan lokasi STA berdasarkan penilaian responden adalah penggunaan lahan dengan pertimbangan bahwa seluruh penggunaan lahan yang ada saat ini masih memungkinkan untuk alih fungsi lahan dengan ganti rugi yang layak. Nilai tersebut dianggap tidak lebih besar dibandingkan dengan pertimbangan kondisi topografi, aksesibilitas, kemudahan akses informasi, serta kemudahan manajemen/kepengurusan, dan keamanan STA. Sedangkan jarak dari permukiman sebagai prioritas terendah dengan asumsi bahwa aspek kemudahan arus informasi, keamanan, serta kepengurusan STA masih dapat diantisipasi dengan nilai yang tidak lebih besar dari pertimbangan kondisi topografi, aksesibilitas, maupun penggunaan lahan.

40 5.2 Peta Faktor Penentuan Lokasi STA dan Hasil Skor Faktor penentuan lokasi STA yang telah ditetapkan yaitu lereng, jarak dari jalan, jarak dari perkebunan manggis, penggunaan lahan, serta jarak dari permukiman. Masing-masing faktor dan kriteria telah memperoleh bobot dan skornya, yang selanjutnya disajikan dalam bentuk peta beserta nilai hasil skornya. 5.2.1 Lereng Lereng diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan kesesuaiannya untuk bangunan/tempat tinggal (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001), yaitu kelas lereng baik (0 8 %), sedang (8 15 %), dan buruk (> 15 %). Peta lereng disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Peta kelas lereng Cendawasari Gambar 12 menunjukkan bahwa kelas lereng baik (0 8%) memiliki pola menyebar dan berada di sekitar jaringan jalan, sedangkan kelas lereng sedang relatif mengelompok di tengah lokasi studi dan sebagian kecil berada di bagian barat kawasan. Kelas lereng buruk umumnya berada di daerah tepi kawasan, yakni

41 di bagian sebelah utara yang bersambungan dengan bagian timur, selatan dan barat kawasan Cendawasari yang banyak terpotong oleh alur jalan dan sungai. Selanjutnya adalah hasil skor yang merupakan nilai eigenvektor utama hasil perbandingan berpasangan yang kemudian dimasukkan kedalam atribut peta berupa nilai skor. Hasil skor pada faktor lereng terbagi kedalam 3 nilai yang sesuai dengan jumlah/kelas lereng yang ada. Peta hasil skor pada faktor lereng tersebut disajikan pada Gambar 13. Gambar 13. Peta skor faktor lereng Cendawasari Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa kelas lereng baik mendapat skor tertinggi dengan nilai 0.633 dan luas total 95.2 Ha. Sedangkan kelas lereng dengan skor setingkat lebih rendah dibawahnya adalah kelas sedang dengan nilai skor 0.261 dan luas totalnya adalah sekitar 108 Ha. Kelas lereng buruk mendapat skor 0.106 dan merupakan nilai terendah dari ketiga kriteria, luasan kelas lereng buruk adalah sekitar 251 Ha.

42 5.2.2 Jarak Dari Jalan Faktor yang kedua dalam penentuan lokasi STA adalah jarak dari jalan (JDJ), penetapan jarak merupakan hasil kesepakatan peneliti dan responden yang kemudian dijadikan sumber klasifikasi, yaitu dekat (0 50 m), sedang (50 100 m), dan jauh (> 100 m) dengan asumsi bahwa batas 0 merupakan tepi jalan. Mengingat data jalan berbentuk vektor tipe garis (line) pada peta, maka batas 0 tersebut merupakan garis jalan. Fungsi buffer dimanfaatkan dalam análisis sehingga seluruh wilayah Cendawasari dapat dibandingkan dan memiliki nilai/skor. Pada Gambar 14 berikut ini disajikan peta jalan wilayah studi. Gambar 14. Peta disertai zona buffer jalan Cendawasari Pada Gambar 14 tersebut, buffer jalan terbagi menjadi 3 kelas yaitu jauh, sedang, dan dekat. Fungsi buffer tersebut memperlihatkan bahwa area yang ditunjukkan dengan warna hijau muda memiliki jarak antara 0 m sampai 50 m dari garis jalan baik jalan lokal, jalan lain, maupun jalan setapak. Sedangkan area dengan warna biru memiliki jarak antara 50 m sampai 100 m dari garis jalan. Kemudian area dengan warna hijau tua memiliki jarak yang lebih dari 100 m dari

43 garis jalan. Luasan area dengan kriteria jauh dapat diperkirakan relatif lebih besar dibandingkan dengan kriteria yang lainnya. Selanjutnya adalah skor dari setiap kriteria pada faktor jarak dari jalan. Skor tersebut merupakan nilai eigenvektor utama masing-masing kriteria yang kemudian dijadikan atribut peta. Hasil skor tersebut disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Peta skor faktor jarak dari jalan Cendawasari Dari Gambar 15 tersebut, dapat dilihat bahwa kriteria yang memiliki skor tertinggi adalah kriteria dekat nilai/skor 0.648, kemudian kriteria sedang dengan skor 0.229, dan skor terendah adalah kriteria jauh 0.112. Berhubungan dengan prioritas penempatan lokasi STA, maka kriteria dengan skor tertinggi yaitu dekat, akan menjadi prioritas utama dibandingkan dengan kriteria yang lain. Kemudahan dan waktu tempuh yang dapat diakses, tentunya area dengan jarak terdekat dari jalan, merupakan kandidat yang terbaik sebagai lokasi STA.

44 5.2.3 Jarak Dari Perkebunan Manggis Faktor berikutnya dalam penentuan lokasi STA adalah jarak dari perkebunan manggis. Faktor tersebut terbadi menjadi 3 kriteria yaitu jauh, sedang, dan dekat. Pendekatan jarak yang digunakan adalah sama dengan kriteria jarak dari jalan, yaitu 0 m sampai 50 m adalah kriteria dekat, 50 m sampai 100 m adalah kriteria sedang, dan jarak yang lebih dari 100 m adalah kriteria jauh. Fasilitas buffer kembali digunakan pada tahap analisis, peta perkebunan manggis beserta hasil buffer disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Peta disertai zona buffer perkebunan manggis Cendawasari Dari Gambar 16, lahan perkebunan manggis terlihat mendominasi wilayah Cendawasari bagian utara dan timur, dan sebagian yang lain terlihat berada di sebelah selatan. Wilayah Cendawasari bagian barat terlihat tidak terdapat perkebunan manggis. Hal ini dikarenakan kegiatan budidaya komoditas manggis saat ini tidak ada pada wilayah tersebut. Jalan yang ada relatif masih dapat mengakses perkebunan manggis. Sebelah utara area perkebunan manggis masih belum dapat diakses kendaraan bermotor pada saat ini. Tiga area buffer pada

45 Gambar 6 tersebut memperlihatkan 3 kriteria berbeda, yaitu jauh (>100 m), sedang (50-100 m), dan dekat (0-50 m). Untuk menampilkan hasil skor dari ketiga kriteria yang telah ditetapkan, maka peta skor jarak dari perkebunan manggis Cendawasari disajikan pada Gambar 17. Gambar 17. Peta skor faktor jarak dari perkebunan manggis Pada Gambar 17 diatas, jarak dari perkebunan manggis dengan kriteria dekat mendapat skor tertinggi 0.633, sedangkan kriteria sedang mendapat skor 0.261, dan kriteria jauh adalah yang terendah dengan skor 0.106. Dari segi aksesibilitas dengan asumsi bahwa distribusi komoditas manggis dari perkebunan manggis ke lokasi STA akan semakin baik, maka penentuan lokasi STA pada lokasi yang terdekat dengan perkebunan manggis menjadi prioritas utama. Kriteria sedang menjadi pioritas kedua, dan prioritas terakhir adalah area dengan kriteria jauh.

46 5.2.4 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan yang ada saat ini pada kawasan Cendawasari terbagi menjadi 9 tipe, antara lain perkebunan manggis, ladang, kebun campuran, permukiman, semak belukar, lahan terbuka, sawah, hutan sekunder, dan kebun produksi. Jenis penggunaan lahan di wilayah studi secara spasial disajikan pada Gambar 18. Gambar 18. Peta penggunaan lahan kawasan Cendawasari Pada Gambar 18, penggunaan lahan kawasan Cendawasari meliputi hutan sekunder (HS), kebun campuran (KC), kebun produksi (KP), ladang (L), lahan terbuka (LT), perkebunan manggis (PM), permukiman (P), sawah (S), dan semak belukar (SB), dengan luasan total masing-masing lahan secara berurutan (Ha) adalah : 10, 199.7, 15.9, 46.1, 1.7, 55.7, 27.3, 66.3, dan 32.7. Terlihat bahwa kebun campuran mendominasi penggunaan lahan kawasan Cendawasari dengan luasan total terbesar. Secara keseluruhan, tipe penggunaan lahan yang relatif mendominasi kawasan Cendawasari adalah kebun campuran. Kebun campuran relatif berada pada kawasan Cendawasari sebelah barat, tengah, timur, selatan,

47 dan sebagian kecil berada di sebelah utara. Ladang dan permukiman relatif memiliki pola menyebar dan relatif berada dekat dengan jalur jalan, letaknya relatif berada di tengah kawasan, kemudian sebelah timur, selatan, dan sebagian kecil di sebelah utara dan barat kawasan Cendawasari. Hutan sekunder dan kebun produksi hanya terdapat pada wilayah sebelah barat, sedangkan sawah berada di daerah tepi kawasan dan relatif dekat dengan jalur sungai yaitu di sebelah utara, timur, sebagian kecil sebelah barat, dan dominan berada di sebelah selatan kawasan Cendawasari. Semak belukar relatif berada di tengah dan di sebelah utara kawasan dengan pola yang menyebar. Sedangkan lahan terbuka secara keseluruhan hanya sedikit dan terdapat di tengah, sebelah barat, dan sebagian kecil di sebelah utara dan selatan kawasan Cendawasari. Pada bagian berikutnya, hasil skoring yang ditunjukkan dengan peta dari setiap kriteria pada faktor penggunaan lahan kawasan Cendawasari, disajikan pada Gambar 19. Gambar 19. Peta skor faktor penggunaan lahan

48 Dari Gambar 19, dapat diketahui bahwa nilai/skor tertinggi adalah 0.275 dengan kriteria lahan terbuka, sedangkan skor terendah adalah 0.037 dengan kriteria permukiman dan sawah. Permukiman dan sawah memiliki skor tertinggi dibandingkan dengan kriteria-kriteria yang lainnya, hal itu disebabkan nilai prioritasnya adalah yang paling rendah dalam penempatan lokasi STA. Salah satu alasan yang paling memungkinkan adalah bahwa secara spasial, permukiman dan sawah berada dekat dengan akses jalan dan sungai, sehingga nilai/fungsinya pun menjadi lebih tinggi. 5.2.5 Jarak Dari Permukiman Faktor selanjutnya dalam penentuan lokasi STA adalah jarak dari permukiman. Faktor jarak tersebut dibedakan menjadi 3 antara lain dekat (0-50 m), sedang (50-100 m), dan jauh (>100 m). Fungsi buffer digunakan untuk membedakan kriteria-kriteria tersebut, sehingga area yang tercakup masingmasing dapat diberikan penilaian. Peta permukiman yang disertai zona buffer-nya disajikan pada Gambar 20. Gambar 20. Peta disertai zona buffer permukiman Cendawasari

49 Gambar 20 menunjukkan area permukiman yang direpresentasikan dengan warna hitam, sedangkan zona buffer-nya yang juga sebagai kriteria terbagi menjadi 3, yaitu zona dekat (0-50 m) dengan warna biru muda, zona sedang (50-100 m) dengan warna biru, dan zona jauh (>100 m) dengan warna biru tua. Selanjutnya adalah skor faktor jarak dari permukiman, nilai/skor merupakan hasil dari perbandingan berpasangan dari setiap kriteria sebagai nilai eigenvektor utama. Peta skor jarak dari permukiman Cendawasari disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Peta skor faktor jarak dari permukiman Cendawasari Dari Gambar 21, dapat diketahui bahwa kriteria dekat memiliki skor tertinggi 0.648, sedangkan kriteria sedang memiliki skor 0.23, dan kriteria terakhir dengan skor terendah adalah jauh dengan nilai/skor 0.122. Kriteria dekat menjadi prioritas yang utama dalam penempatan lokasi STA pada faktor jarak dari jalan, karena area pada kriteria tersebut diasumsikan dapat lebih memudahkan arus informasi masukan maupun keluaran, keamanan, dan manajemen STA.

50 5.3 Analisis Multi Kriteria (AMK) AMK dalam sistem informasi geografis merupakan media/alat bantu yang mampu mengkombinasikan berbagai peta digital dalam format dan skala yang sama beserta atributnya sekaligus. masukan datanya adalah bobot dan skor yang ditetapkan dalam persentase hasil dari perbandingan berpasangan berupa nilai eigenvektor utama. Bobot/skor tersebut diasumsikan merupakan nilai persentase terhadap masing-masing peubahnya yaitu 100%, dengan pengertian bahwa setiap faktor/kriteria tersebut mempunyai bobot/skor relatif terhadap 1. Dari hasil kombinasi seluruh peta yang mencakup faktor penentuan lokasi STA beserta kriterianya masing-masing, maka hasil akhir dengan nilai tertinggi merupakan area yang direkomendasikan untuk lokasi STA pada kawasan Cendawasari. Hasil analisis multi kriteria tersebut dipetakan pada Gambar 22. Gambar 22. Peta nilai akhir analisis multi kriteria Nilai akhir merupakan penjumlahan hasil perkalian setiap bobot dengan setiap skornya. Pada Gambar 22 tersebut, area dengan warna kuning dan hijau merupakan area dengan nilai akhir tertinggi yaitu 0.592. Gradasi warna dari abu-

51 abu sampai dengan hitam menunjukkan interval nilai akhir yang semakin tinggi. Area dengan nilai akhir tertinggi relatif berada di tengah-tengah wilayah Cendawasari. Kedua lokasi potensial tersebut masing-masing berada di Dusun Cengal dan Dusun Darmabakti. Peta area rekomendasi lokasi STA disajikan pada Gambar 23. Gambar 23. Peta area rekomendasi lokasi STA kawasan Cendawasari Pada Gambar 23, diperoleh informasi bahwa kedua area rekomendasi tersebut masing-masing terletak pada zona buffer 0-50 m pada faktor jarak dari permukiman, jarak dari jalan, dan jarak dari perkebunan manggis dengan penggunaan lahan semak belukar serta kemiringan lereng 0 8 % (baik). Berdasarkan perhitungan spasial, area 1 memiliki luas sekitar 845 m 2, sedangkan area 2 memiliki luas sekitar 1876 m 2.

52 5.4 Pembahasan Dalam suatu pengambilan keputusan yang berhubungan dengan objek spasial di permukaan bumi, evaluasi multi kriteria yang di kombinasikan dengan sistem informasi geografis merupakan sarana yang baik. Masukan data Multi criteria evaluation (MCE-evaluasi multi kriteria) yang digunakan, dapat bersumber dari banyak pihak dan banyak kriteria penentu pengambilan keputusan. Kemampuan SIG dalam mengakomodasikan banyak data akan dapat membantu mempercepat proses pengambilan keputusan. Hal yang berhubungan dengan posisi geografis, aspek jarak, luasan area, maupun kemiringan lereng secara spasial dalam penentuan lokasi juga dapat terukur. Pengambilan keputusan dilakukan peneliti berdasarkan proses wawancara dengan sejumlah responden. Aspek jarak merupakan hasil kesepakatan peneliti (Aby Galih Santri) dan responden kawasan Cendawasari, sedangkan kriteria penggunaan lahan ditentukan oleh responden berdasarkan fungsi/nilainya saat ini. Secara keseluruhan, penilaian tingkat prioritas dihasilkan dari kombinasi peneliti dan responden. Dari hasil penilaian prioritas antar faktor yang bersumber dari responden, kemungkinan terjadinya penilaian yang kurang baik dan mementingkan aspek-aspek tertentu secara individu akan dapat terjadi. Oleh karena itu, penilaian antar faktor dalam penentuan lokasi STA kawasan Cendawasari, dilakukan peneliti berdasarkan sumber/referensi keilmuan. Beberapa faktor penentuan lokasi STA pada penelitian ini adalah kelas lereng, jarak dari jalan, jarak dari perkebunan manggis, penggunaan lahan, dan jarak dari permukiman. Lereng merupakan prioritas paling penting dalam penetapan STA, karena merupakan kondisi topografi bumi yang lebih sulit untuk diubah dan mempertimbangan resiko bencana longsor yang mungkin terjadi. Kelas lereng 0 8 % pada area rekomendasi merupakan kelas yang baik berdasarkan kesesuaiannya sebagai tempat bangunan. Faktor selanjutnya adalah jarak dari jalan, kemudian jarak dari perkebunan manggis yang berperan terhadap distribusi manggis. Faktor penggunaan lahan menjadi prioritas selanjutnya dalam penempatan lokasi STA, dan seluruh penggunaan lahan yang ada saat ini ditinjau dari fungsi/nilainya, masih memungkinkan untuk alih fungsi lahan. Faktor kelima

53 adalah jarak dari permukiman yang diasumsikan sebagai aksesibilitasnya terhadap arus informasi dan kemudahan manajemen. Area rekomendasi merupakan lokasi yang paling baik dari segi aksesibilitas karena berada pada zona dekat jalan sejauh 50 m. Hal ini berpengaruh pada kemudahan distribusi komoditas baik di dalam maupun ke luar Cendawasari yang sebagian besar dilakukan dengan transportasi bermotor. Letaknya yang berada dekat dengan daerah permukiman akan memungkinkan arus informasi berjalan lebih baik. Dengan pertimbangan bahwa STA bertindak menjadi infrastruktur sentralisasi manggis, maka lokasi ideal selayaknya berada pada zona dengan penggunaan lahan berproduktifitas manggis tertinggi agar proses pengangkutan, penyortiran, dan pengawetan manggis dapat lebih mudah dilakukan. Ditinjau dari penggunaan lahan yang ada saat ini, produktifitas manggis rata-rata tertinggi secara keseluruhan diketahui berada pada penggunaan lahan perkebunan manggis yaitu sebesar 11.4 ton/ha. Hasil evaluasi ternyata memenuhi faktor tersebut dan area rekomendasi berada pada zona 50 meter dari perkebunan manggis. Lokasi STA perlu berada pada penggunaan lahan tertentu yang dari segi fungsinya merupakan yang paling rendah, dan pada penelitian ini adalah lahan terbuka dengan skor tertinggi untuk kriteria. Area rekomendasi tidak berada pada penggunaan lahan tersebut karena pada tahap evaluasi ternyata tidak memenuhi nilai akhir tertinggi dari hasil analisis. Semak belukar terpilih menjadi penggunaan lahan untuk lokasi STA dengan skor setingkat lebih rendah dari lahan terbuka. Semak belukar pada wilayah studi adalah lahan bekas ladang/perkebunan yang sudah ditinggalkan dan tidak dikelola lagi oleh penduduk, atau lahan yang memang tidak dikelola oleh penduduk setelah penebangan hutan sekunder. Vegetasi yang tumbuh pada semak belukar ini umumnya adalah alang alang, sianit, rumput merdeka, serta tanaman perdu lainnya. Dari hasil analisis, ditetapkan bahwa lokasi 1 terletak di Dusun Cengal antara 6 0 37 08.16-6 0 37 10.49 LS dan 106 0 37 43.61-106 0 37 45.69 BT dengan luas sekitar 845 m 2, sedangkan lokasi 2 terletak di Dusun Darmabakti yang memiliki letak geografis antara 6 0 37 04.21-6 0 37 05.52 LS dan 106 0 37 44.87-106 0 37 46.46 BT dengan luas sekitar 1876 m 2. Ditinjau dari luasannya, kedua area

54 rekomendasi lokasi STA akan cukup ideal. Mengingat bahwa karakteristik manggis yang memiliki waktu panen yang berkelanjutan dan tidak serentak dalam satu pohon maupun seluruh kawasan Cendawasari, maka area rekomendasi akan cukup untuk menampung komoditas hasil panen dengan baik.

55 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil evaluasi multi kriteria, diperoleh dua area rekomendasi dengan nilai akhir tertinggi yang sama 0.592, yaitu berada pada kelas lereng 0 8 % pada tipe penggunaan lahan semak belukar dan berada pada zona 50 m masing-masing dari jalan, perkebunan manggis, dan permukiman. Area 1 memiliki luas sekitar 845 m 2 dan terletak di Dusun Cengal, sedangkan area 2 memiliki luas sekitar 1876 m 2 dan terletak di Dusun Darmabakti. Kriteria-kriteria yang ditetapkan sebagai pendukung penentuan lokasi dapat diaplikasikan dalam SIG dan hasil evaluasinya merupakan yang terbaik dari segi aksesibilitas, kemiringan lereng, serta penggunaan lahan. Kriteria lahan terbuka sebagai skor tertinggi pada faktor penggunaan lahan ternyata bukan menjadi nilai akhir tertinggi, disebabkan lahan terbuka tidak berada pada peubah terbesar untuk semua bobot maupun skor. Teknologi sistem informasi geografis dengan metode evaluasi multi kriteria (MCE-Multi Criteria Evaluation) merupakan sarana yang baik dalam mempermudah suatu pengambilan keputusan berbasis spasial secara lebih cepat dengan kemungkinan banyak kriteria dan berbagai pihak yang hasilnya dapat disajikan dalam bentuk peta. 6.2 Saran 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang meninjau optimasi aspek ekonomi dalam penentuan lokasi STA. 2. Diperlukan manajemen STA yang baik dengan petani sebagai pelaku utama agribisnis.

56 VII. DAFTAR PUSTAKA AHP Approach Saaty, diakses tanggal 29 November 2009 dari http://www.rfptemplates.com/search/for/ahp-approach-saaty.html Barus, B, dan U.S Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis Sarana Manajemen Sumberdaya Jurusan tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata guna Tanah : Jurusan tanah Fakultas Pertanian, IPB. Prihandayani, Lestari. 2009. Perancangan Sistem Informasi Geografis Pemilihan Program Alternatif Penanganan Prasarana Jalan Menggunakan Analisis Multi Kriteria. IT TELKOM. Diakses tanggal 28 November 2009 dari http://www.ittelkom.ac.id/library/index.php?view=article&catid=25%3ain dustri&id=448%3aanalisis-multikriteria&option=com_content&itemid=15 Prahasta, Eddy. 2007. Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView. Informatika. Bandung. Pusat Kajian Buah Tropika. 2004. Program Peningkatan Produksi Dan Kualitas Kebun Manggis Rakyat Cengal Leuwiliang. LPPM-IPB. Diakses tanggal 12 September 2009 dari http://pkbt.ipb.ac.id/pages/book/download.php?f=buku_manggis_lwliang. pdf Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 2009. Masterplan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor 2006 2010. LPPM-IPB. Rustiadi, E dan Pranoto, S. 2007. Agropolitan : Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press. IPB-Bogor. Saaty, T.L. 1980. The Analytic Hierarchy Process, McGraw-Hill, New York. Shuttle Radar Topographic Mission 90 m. Diakses pada tanggal 25 November 2009 dari http://srtm.csi.cgiar.org Wairmahing, Petrus Poling. 2008. Pemanfaatan Teknologi Dalam Mengatasi Masalah Keruangan. Diakses tanggal 28 November 2009 dari http://petpoling.multiply.com/journal Yalcin, G, and Akyurek, Z. 2004. Multiple Criteria Analysis For Flood Vulnerable Areas, General Directorate of Land Registry and Cadaster, Turkey. Diakses tanggal 28 November 2009 dari http://www.isprs.org/congresses/istanbul2004/comm2/papers/154.pdf

LAMPIRAN 57

1. Data SRTM dari http://srtm.csi.cgiar.org : 58