BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupannya dengan baik. Maka dari itu untuk mencapai derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Upaya untuk meningkatkan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 28H dan pasal 34 Undang-Undang Dasar Dalam Undang Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. besarnya biaya yang dibutuhkan maka kebanyakan orang tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Rumah Sakit menjadi

ANALISIS ADMINISTRASI KLAIM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL RAWAT JALAN RSUD KOTA SEMARANG TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 1

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sistem INA CBG s (Indonesia Case Base

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan yang sempurna kepada pasien baik pasien rawat jalan, rawat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam bidang kesehatan. World Health Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Nasional) yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan Pelaksanan Jaminan

PENCEGAHAN FRAUD DALAM PELAKSANAAN JKN KOMISI VIII

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FRAUD PMK NO.36 TAHUN 2015 TENTANG FRAUD

BAB I PENDAHULUAN. Bedasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. No.269/MENKES/PER/III/2008 Bab I Pasal I tentang Rekam Medis, yang

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan Jaminan Sosial dalam mengembangkan Universal Health

BAB I PENDAHULUAN. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS. Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, klaim

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jamkesmas ( Jaminan Kesehatan Masyarakat ) kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi

HARAPAN dan ALTERNATIF KONSEP PROGRAM JKN di MASA MENDATANG *pandangan pengelola rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23/1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 40/2004, penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Undang-undang No.40 Tahun 2004 pasal 19 ayat1. 1

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. intervensi pemerintah dalam pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara komprehensif yang

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Untuk memenuhi hak masyarakat miskin dalam. agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan

IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL. dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan adalah dengan memantapkan penjaminan kesehatan melalui. jaminan kesehatan. Permenkes No. 71 tahun 2013 tentang Pelayanan

VI. PENUTUP A. Kesimpulan

POTENSI FRAUD DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA & RUJUKAN TINGKAT LANJUT (FKTP&FKTL)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

KESIAPAN & STRATEGI RUMAH SAKIT SWASTA MENGHADAPI JKN

BAB I PENDAHULUAN. medis maupun non medis. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan. Republik Indonesia No. 269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis

KEKHAWATIRAN DAN HARAPAN RUMAH SAKIT PRIVAT TERHADAP PELAKSANAAN UU. SJSN/BPJS. Oleh: Mus Aida (Ketua ARSSI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

Kebijakan Pembiayaan untuk pelayanan Dialisis di FKRTL dalam era JKN. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Jakarta, 08 April 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengembangan sistem sosial di masyarakat (WHO, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan adalah sesuai dengan standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan

MEKANISME KAPITALISASI DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Maulana Yusup STIE Pasundan Bandung

Perbaikan sistem pembiayaan kesehatan era JKN menuju Universal Health Coverage

BAB I PENDAHULUAN. paripurna yang menyediakan pelayanan rawat jalan, rawat inap dan. rawat darurat. Rustiyanto (2010), mengatakan bahwa pelayanan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai sebuah pelayanan yang baik bagi pasien. sesuai dengan klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10) tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Friedrich Ebert Stiftung ( Paham JKN Jaminan Kesehatan

POLA KERJASAMA BPJS KESEHATAN RUMAH SAKIT

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Inovasi PERSI dalam Mutu Pelayanan Kesehatan di RS dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional

PELAKSANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Pada era JKN

(GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program

BUPATI HULU SUNGAI SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang

dalam pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Adapun salah satu upaya dilakukan melalui suatu sistem jaminan kesehatan.

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Kementrian Kesehatan RI,Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis,Jakarta: 2008

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. miskin (Pasal 28H UUD 1945). Kesadaran tentang pentingnya. jaminan perlindungan sosial terus berkembang hingga perubahan

RS dan JKN T O N A N G D W I A R D Y A N T O

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia (Sugihartono, et al. 2007). Sementara menurut Walgito (2004), persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap suatu stimulus yang diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Sehingga dapat diartikan bahwa persespi adalah cara individu memaknai atau menginterpretasikan sensasi yang diterima berdasarkan stimulus yang ditangkap melalui alat indera. Persepsi petugas medis maupun non medis di rumah sakit sebagai salah satu komponen dalam pelaksanaan sistem INA CBG s ini tentunya sangat beragam, sebab makna dari proses persepsi tersebut akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu yang bersangkutan (Miswar, 2011). Adapun hal hal yang dapat mempengaruhi suatu persepsi seseorang menurut Hamidiyah (2013) diantaranya : 1. Pelaku persepsi (perceiver) Suatu penafsiran individu pada suatu target sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individual itu. 2. Objek yang dipersepsikan Karakteristik karakteristik dalam target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan oleh individu. 8

9 3. Situasi Situasi merupakan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi persepsi individu dimana situasi ini mencakup waktu, keadaan lingkungan, dan juga keadaan sosial. 2.2 Pelaksanaan kebijakan Pelaksanaan kebijakan pada prinsipnya merupakan suatu upaya agar kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan. Menurut Grindle (1980), implementasi merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan antara tujuan kebijakan publik dengan realitas yang diinginkan. Sementara Nakamura, et al. (1980) berpendapat bahwa implementasi adalah suatu kegiatan untuk menyempurnakan apa yang dikehendaki pembuat kebijakan, yang artinya menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan menunjuk pada aktivitas menjalankan kebijakan, baik yang dilakukan pemerintah maupun pihak pihak yang telah ditentukan dalam kebijakan (Bardah, 2012). Pelaksanaan kebijakan merupakan tahap yang penting dimana tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar benar dapat diterapkan di lapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcome seperti yang direncanakan (Indiahono, 2009). Berdasarkan pendapat diatas, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan dalam bentuk peraturan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan suatu hasil yang dapat diukur dengan segera dan juga dampak akhir dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan dapat dibedakan kedalam dua model (Buse, 2012) yaitu diantaranyya :

10 1. Teori Implementasi Top-Down Teori ini mengedepankan pembagian yang jelas antara formulasi kebijakan dan implementasi, proses implementasi yang rasional dan linier dimana tingkat tingkat dibawahnya melaksanakan praktek berdasarkan apa yang diarahkan oleh pihak yang tingkatannya lebih tinggi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Teori Implementasi Bottom-Up Teori implementasi Bottom-Up mengakui dimana tingkatan yang lebih rendah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam proses implementasi, selain itu juga memiliki keleluasaan untuk merubah kebijakan dalam sistem. Dengan demikian tujuan kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang dikehendaki ataupun dengan jalan yang tidak dibayangkan oleh pihak atas. 2.3 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Hak untuk hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh segenap bangsa bangsa di dunia termasuk Indonesia. Untuk mewujudkan komitmen global tersebut, maka pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perseorangan. Sesungguhnya usaha pemerintah dalam mewujudkan universal health coverage telah dirintis dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial bidang kesehatan melalui PT.Askes (Persero) dan PT.Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai sipil, penerima pension, veteran, dan pegawai swasta. Sementara untuk masyarakat yang tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), namun terjadi permasalahan tidak terkendalinya biaya kesehatan dan mutu pelayanan.

11 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib atau mandatory berdasarkan undang undang no.40 tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak untuk diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Adapun manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Pada dasarnya penyelenggaraan JKN berpedoman pada prinsip kendali mutu dan kendali biaya dimana efektifitas dan efisiensi dari suatu pelayanan sangat diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut maka dalam penyelenggaraannya lebih ditekankan agar sesuai dengan standar yang ada, seperti misalnya menyesuaikan pelayanan dengan SPO, melakukan pengadaan obat dan alkes yang sesuai dengan standar dan kebutuhan rumah sakit. Maka, untuk mengantisipasi tingginya harga obat diberlakukanlah kewajiban penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah (Kemenkes RI, 2010) dengan mengacu pada formularium nasional untuk pengadaannya. Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Kementerian Hukum dan HAM, 2011). Untuk Jaminan Kesehatan Nasional, diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dimulai pada tanggal 1 Januari 2014 dengan mengelola 149 juta peserta (50,1 juta masih dikelola badan lain), dengan peserta PBI 96,4 juta dan non PBI 2,5 juta peserta (Mukti,2012). Meskipun Undang Undang yang mengatur tentang JKN pada SJSN telah disahkan

12 pada tahun 2004, namun disebabkan karena adanya berbagai hambatan dan persiapan yang cukup panjang maka usaha untuk mencapai universal health coverage melalui JKN ini baru dapat dilaksanakan sepuluh tahun kemudian pada awal tahun 2014. Jaminan Kesehatan Nasional merupakan suatu reformasi pelayanan kesehatan, dimana melalui JKN diupayakan untuk mengurangi pembiayaan kesehatan dari kantong sendiri (fee for service) dan lebih diarahkan untuk melakukan pembiayaan kesehatan dengan sistem pembayaran pra upaya (prospective payment system). Hal ini bertujuan untuk menghindari pengeluaran biaya pelayanan kesehatan dalam jumlah yang besar dan cenderung sulit diprediksi. Dengan menerapkan sistem pembayaran pra upaya yang mewajibkan peserta untuk membayar premi dengan besaran yang tetap, mengakibatkan pembiayaan kesehatan dapat ditanggung bersama secara gotong royong sehingga tidak memberatkan secara perorangan. Kepesertaan BPJS Kesehatan terdiri dari penerima bantuan iuran (PBI) JKN dan bukan PBI JKN. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah bagi pekerja penerima upah atau sesuai nominal tertentu bagi bukan penerima upah dan peserta PBI. Sementara untuk sistem pembayaran iuran bagi peserta PBI dibayarkan oleh pemerintah. Jumlah penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional tahun 2016 yang telah ditetapkan yaitu sebanyak 94.400.000 peserta di seluruh daerah di Indonesia (Kemensos RI, 2015). BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan program JKN bekerjasama dengan pemberi pelayanan kesehatan yang kemudian dibedakan menjadi dua yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Untuk FKTP, BPJS Kesehatan akan membayar pelayanan yang diberikan kepada peserta dengan sistem kapitasi, sementara untuk FKRTL klaim

13 pelayanan kesehatan yang diberikan akan dibayarkan dengan sistem paket INA CBG s. Dalam pelaksanaan program JKN, tentunya tidak lepas dari berbagai permasalahan yang muncul seperti salah satunya yaitu terjadinya tindakan tindakan fraud. 2.3.1 Fraud pada JKN Adanya fraud dalam pelaksanaan sistem jaminan kesehatan tentunya memberikan dampak yang tidak baik. Kerugian yang dapat ditimbulkan dari terjadinya fraud pada sistem kesehatan ini cukuplah besar. Seperti yang terjadi di USA pada tahun 2006 diketahui kerugian yang terjadi akibat adanya fraud mencapai 20% dari volume industri kesehatan USA yang bernilai US $ 2 triliun per tahun (Hendrartini, 2013). Fraud dalam sektor kesehatan biasanya mengambil salah satu ataupun gabungan dari tipe fraud berikut ini (Busch, 2012) : 1. Pernyataan atau klaim palsu (false statements or claims) 2. Pengelabuan yang direncanakan (elaborate schemes) 3. Menyembunyikan fakta atau kebenaran (cover-up strategies) 4. Kekeliruan atas suatu nilai (misrepresentations of value) 5. Kekeliruan dalam memberikan pelayanan (misrepresentations of service) Fraud dalam pelaksanaan JKN merupakan suatu perbuatan curang yang dilakukan secara sengaja dan menyalahi aturan yang ada dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan JKN dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam peraturan menteri kesehatan no.36 tahun 2015 disebutkan bahwa tindak kecurangan (fraud) JKN dapat dilakukan oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, dan atau penyedia obat dan alat kesehatan.

14 Beberapa contoh fraud yang dilakukan oleh peserta BPJS yaitu memalsukan status kepesertaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, memanfaatkan haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak perlu dengan memalsukan kondisi kesehatan, atau memanipulasi penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar. Tindakan kecurangan yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan diantaranya yaitu melakukan kerjasama dengan peserta atau fasilitas kesehatan untuk mengajukan klaim palsu, membayarkan dana kapitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, dan memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin. Adapun tindakan fraud yang dilakukan oleh penyedia obat dan alat kesehatan dapat berupa melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk mengubah obat atau alat kesehatan yang tercantum dalam e-catalogue dengan harga yang tidak sesuai dengan e-catalogue ataupun tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan dalam memenuhi kebutuhan obat atau alat kesehatan. Sementara fraud yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Fraud yang dilakukan pada FKTP meliputi tindakan pemanfaatan dana kapitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, memanipulasi klaim pada pelayanan yang dibayar secara non kapitasi, ataupun menerima komisi atas rujukan ke FKRTL. Sementara, fraud yang dapat dilakukan pada FKRTL cukuplah banyak. Beberapa diantaranya yaitu melakukan upcoding (penulisan kode diagnosis yang berlebihan), melakukan klaim palsu (phantom billing), penjiplakan klaim dari pasien lain (cloning), penggelembungan tagihan obat dan alkes, memanipulasi kelas perawatan, memperpanjang lama perawatan, tidak melakukan tindakan yang sesuai

15 dengan prosedur, dan lain sebagainya. Beberapa dari tindakan fraud yang dapat dilakukan oleh pihak FKRTL ini sangat erat kaitannya dengan SPO atau clinical pathway. Adapun yang dimaksud dengan clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara rinci mengenai tahap tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan (Pahriyani, 2014), sehingga untuk menghindari timbulnya fraud ini hendaknya pelayanan yang diberikan disesuaikan dengan clinical pathway yang telah dibuat. Fenomena fraud menjadi sesuatu hal yang lumrah di rumah sakit, hal ini disebabkan karena belum memadainya instrumen organisasi untuk menciptakan pengelolaan yang baik dan belum terbangunnya komitmen yang tinggi dari para pengelola rumah sakit (Purwitasari, 2013). Rumah sakit yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan JKN menerapkan sistem INA CBG s sebagai metode pembayaran klaim. Tidak sedikit rumah sakit yang beranggapan bahwa besaran tarif INA CBG s belum cukup memuaskan dan masih perlu ditingkatkan, sehingga potensi untuk terjadinya fraud pada pelaksanaan JKN diakui memang cukup besar dalam penerapan sistem INA CBG s (BPJS Kesehatan, 2015). Sejak pertama kali diberlakukan,tercatat hanya 81 rumah sakit swasta di Jakarta yang bergabung dengan BPJS Kesehatan, alasan penolakan kerjasama dari rumah sakit tersebut karena keberatan degan premi yang ditawarkan pemerintah, menurut pihak rumah sakit biaya yang diatur dalam sistem INA CBG s terlalu rendah (Gabby, 2015). Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambarriani (2014), ia menyebutkan bahwa jika dilihat dari perbandingan tarif, pada setiap kelas dan tingkat keparahan kasus, besaran tarif klaim berdasarkan INA CBG s lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif rumah sakit.

16 Begitu pula yang terjadi pada kasus rawat jalan maupun rawat inap, besaran tarif klaim berdasarkan INA CBG s juga lebih tinggi daripada tarif rumah sakit. Akan tetapi, ia juga menambahkan bahwa pihak rumah sakit perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah sistem JKN benar-benar bermanfaat bagi kinerja keuangan rumah sakit. Berdasarkan hal tersebut, maka masih perlu dilakukan penyesuaian tarif INA CBG s agar dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit sehingga misi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat bisa tercapai. 2.4 Indonesian Case Base Groups (INA CBG s) Dalam implementasi JKN, telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan dengan menggunakan sistem INA CBG s. Indonesian Case Base Groups (INA CBG s) adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan sama atau homogen. Pengelompokan ini bertujuan sebagai pembiayaan kesehatan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional sebagai pola pembayaran prospektif (Kemenkes RI, 2014). Konsep INA CBG s pada mulanya bernama INA DRG (Indonesia Diagnosis Related Groups), dan konsep ini telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2006 dengan menggunakan sistem casemix. Kemudian pengelompokan diagnosis INA DRG diperbarui dengan INA CBG s pada tahun 2010 dengan melakukan perubahan penggunaan software grouper dari 3M grouper ke grouper dari United Nation University (UNU Casemix Grouper). Sejak diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia, telah terjadi tiga kali perubahan besaran tarif yaitu tarif INA DRG tahun 2008, tarif INA CBG tahun 2013 dan tarif INA CBG s tahun 2014. Untuk tarif INA

17 CBG s dikelompokkan ke dalam tujuh kluster rumah sakit yang terdiri dari tarif RS kelas A, kelas B, kelas B Pendidikan, kelas C, kelas D, RS Khusus Rujukan Nasional, dan RS Umum Rujukan Nasional (Kemenkes RI, 2014). Adapun penghitungan tarif INA CBG s untuk penyusunan tarif JKN berdasarkan pada data costing 137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus) di rumah sakit. Dalam sistem INA CBG s komponen biaya yang ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan terdiri atas biaya perawatan, penginapan, tindakan, obat obatan, penggunaan alat kesehatan, dan jasa yang dihitung terpadu dalam paket. Adanya tarif paket INA CBG s diharapkan mampu menekan tingginya biaya kesehatan, dimana salah satu pelayanan kesehatan yang memerlukan biaya yang tinggi di rumah sakit adalah tindakan operasi atau bedah (Munawaroh, 2014). Namun menurut Septianis et al. (2010), pelayanan tindakan medis operatif pada pasien jaminan kesehatan masyarakat ada kecenderungan merugi bagi rumah sakit karena besar biaya tindakan tidak sesuai dengan tarif INA CBG s. Dengan adanya perbaharuan tarif INA CBG s pada era JKN ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit dan tentunya memperbaiki opini merugi bagi pihak rumah sakit, agar nantinya BPJS mampu menjalin kerjasama dengan lebih luas lagi demi mewujudkan tercapainya universal health coverage. INA CBG s memiliki 1.077 kelompok tarif yang terdiri dari 789 kode grup rawat inap dan 288 kode grup rawat jalan. Dasar pengelompokan dalam INA CBG s menggunakan acuan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems) untuk diagnosis dan ICD-9-CM (International Classification of Diseases Revision Clinical Modification) untuk tindakan atau prosedur (Kemenkes RI, 2014). Koding sangat menentukan dalam sistem pembiayaan

18 prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke rumah sakit, dimana setiap kelompok kode INA CBG s dilambangkan dengan kode kombinasi alphabet dan numerik. Kode INA CBG s dan deskripsinya tidak selalu menggambarkan diagnosis tunggal tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis ataupun kumpulan diagnosis dan prosedur. Dalam penerapan sistem INA CBG s ini sangat diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dengan koder agar mendapatkan hasil grouper yang benar (Kemenkes RI, 2014). Kegiatan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari resume medis dilakukan dengan menggunakan software INA CBG s yang sudah terinstal di rumah sakit yang melayani peserta JKN. Rumah sakit sudah harus memiliki kode regristrasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, lalu kemudian akan dilakukan aktifasi software INA CBG s setiap rumah sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasinya. Proses entri data pasien ke dalam aplikasi INA CBG s dilakukan oleh petugas koder setelah pasien selesai mendapat pelayanan di rumah sakit dengan menggunakan data dari resume medis yang berisi informasi klinis (kode ICD-10 dan ICD-9CM), harus dilengkapi pula data sosial pasien sebelum kemudian dilakukan grouping oleh software INA CBG s. Selanjutnya akan muncul kode INA CBG s yang kemudian akan digunakan untuk melakukan klaim tarif atas pelayanan yang telah diberikan. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Mahayanti (2015), disebutkan bahwa terdapat sepuluh poin yang sebaiknya dilakukan rumah sakit agar pemberlakuan sistem INA CBG s dapat berjalan dengan baik. Penelitian yang dilakukan di RSUD Badung ini secara umum melihat upaya upaya penerapan sistem INA CBG s berdasarkan pada lima aspek yaitu diantaranya membangun tim rumah sakit, meningkatkan efisiensi, memperbaiki mutu rekam medis, memperbaiki

19 kecepatan dan mutu klaim, serta melakukan standarisasi dari segi input maupun proses. Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No.27 tahun 2014, dalam penerapan INA CBG s harus diikuti dengan adanya perubahan pada level manajemen rumah sakit maupun profesi khususnya dokter. Adapun upaya yang sebaiknya dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam mengoptimalkan penerapan sistem INA CBG s yaitu : 1. Membangun tim rumah sakit Manajemen dan profesi serta seluruh komponen rumah sakit harus memiliki persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerjasama untuk menghasilkan produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost effective. Disinilah pentingnya fungsi dari sebuah tim rumah sakit agar pelayanan rumah sakit tetap mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. 2. Meningkatkan efisiensi Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya farmasi, alat medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang umumnya menjadi area profesi tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan pengadaan barang dan jasa yang umumnya menjadi tanggung jawab menejemen. Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek efektifitas sedangkan sisi input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Dalam hal melakukan efisiensi juga harus mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan pelayanan yang berlebihan dan tidak diperlukan (over treatment dan over utility).

20 3. Memperbaiki mutu rekam medis Kelengkapan dan mutu dokumen rekam medis akan sangat berpengaruh pada koding, grouping dan tarif INA CBG s yang nantinya akan menentukan tarif INA CBG s. Maka dari itu mutu rekam medis rumah sakit harus terus ditingkatkan setiap waktunya. 4. Memperbaiki kecepatan dan mutu klaim Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit. Kecepatan klaim sangat dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam medis. Sehingga rumah sakit harus menata sistem pelayanan rekam medis yang baik agar kecepatan dan mutu rekam medis bisa memperbaiki dan meningkatkan cash flow rumah sakit. 5. Melakukan standarisasi Standar input dan proses di tingkat rumah sakit harus terus dibangun. Penetapan standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan keputusan standar input. Adapun yang dimaksud dengan standar input misalnya farmasi, alat medik habis pakai, maka perlu dibuatkan formularium rumah sakit, standar pengadaan obat rumah sakit. Sementara standar proses misalnya PPK (Panduan Praktek Klinik) atau SPO (clinical pathway). 6. Membentuk tim casemix / tim INA CBG s rumah sakit Tim Casemix/Tim INA-CBG s rumah sakit akan menjadi penggerak membantu melakukan sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA CBG s di rumah sakit. 7. Memanfaatkan data klaim Data INA CBG s rumah sakit tidak hanya dapat digunakan sebagai klaim tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk menilai performance rumah sakit dan performance

21 SDM khususnya profesi dokter. Data INA CBG s juga bisa digabungkan dengan data HIMS (Health Information Management System) bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang sekelas. Jadi data INA CBG s dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan ataupun kebijakan tingkat rumah sakit. 8. Melakukan review post-claim Review post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam pelayanan yang akan diberikan. Idealnya kegiatan review ini melibatkan seluruh unit yang ada di rumah sakit baik manajemen, tenaga profesional, serta unit penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang telah dianalisis oleh tim casemix rumah sakit. 9. Pembayaran jasa medis Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBG s sebaiknya diikuti dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis. Pembayaran jasa medis sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan sistem remunerasi berbasis kinerja. 10. Pengiriman data koding dan costing Seluruh rumah sakit provider JKN sebaiknya bisa berkontribusi untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan tarif yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit. 2.5 Rumah Sakit Sebagai FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik

22 dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Sebagai institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, rumah sakit menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Kemenkumham, 2009). Rumah sakit dapat didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta. Rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah merupakan unit pelaksana teknis dari instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan ataupun instansi pemerintah lainnya. Rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Sementara rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan (Kemenkes RI, 2014). Untuk mendukung penyelenggaraan program JKN, rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebagai FKRTL memberikan pelayanan kesehatan untuk peserta dengan menggunakan tarif INA CBG s. Adapun jumlah rumah sakit yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yaitu sebanyak 1752 rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta (BPJS Kesehatan, 2016). Pada era JKN saat ini, rumah sakit harus terus berupaya dalam meningkatkan kualitasnya agar terus dapat bersaing dengan rumah sakit lainnya dalam memberikan mutu pelayanan yang terbaik, hal ini sangat penting dilakukan mengingat tarif INA CBG s yang diberlakukan antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta adalah sama. Dalam penerapan sistem INA CBG s pihak rumah sakit harus menciptakan komunikasi yang baik untuk menentukan pilihan pelayanan yang paling cost effective dengan mengedepankan kendali mutu dan kendali biaya. Untuk dapat

23 memberikan pelayanan medik yang bermutu, dokter dan petugas medis lainnya harus berpedoman pada clinical pathway atau standar pelayanan operasional (SPO), dimana SPO yang diterapkan di rumah sakit berdasar pada pedoman nasional pelayanan kedokteran yang dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh menteri (Kemenkes RI, 2010). Pelayanan kesehatan dalam program JKN diberikan secara berjenjang, efektif, dan efisien dengan menerapkan prinsip kedali mutu dan kendali biaya. Dimana peserta BPJS Kesehatan harus mengutamakan pengobatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama terlebih dahulu seperti dokter keluarga atau puskesmas, apabila pasien tidak dapat ditangani di FKTP barulah pasien tersebut dirujuk untuk melakukan pengobatan di FKRTL dengan membawa surat rujukan terkecuali dalam keadaan darurat pasien boleh langsung mendapatkan pelayanan kesehatan di FKRTL (Kemenkes RI, 2014). Rumah sakit sebagai provider BPJS Kesehatan setelah menangani pasien peserta BPJS Kesehatan dan melakukan grouping pada sistem INA CBG s dapat mengajukan klaim ke pihak BPJS Kesehatan. Pengesahan tagihan dilakukan oleh direktur atau kepala fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan dan petugas verifikator BPJS Kesehatan. Klaim diajukan secara kolektif dan akan dibayarkan oleh BPJS Kesehatan selambat lambatnya 15 hari setelah pengajuan klaim (Kemenkes RI, 2014). Agar dapat mengajukan klaim dengan akurat, maka mutu rekam medis harus sangat diperhatikan sebab rekam medis merupakan berkas atau dokumen penting yang berisi segala informasi mengenai pasien dimulai dari identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Kemenkes RI, 2008). Kelengkapan dan keakuratan dari rekam medis pasien akan

24 sangat mempengaruhi hasil grouping yang akan digunakan untuk mengklaim tarif INA CBG s. Adapun alur serta proses klaim BPJS dimulai dari verifikasi internal pada bagian pendaftaran sampai verifikasi eksternal yang dilakukan oleh pihak BPJS, dimana alur serta proses pelaksanaan klaim BPJS terkait sistem casemix INA CBG s di RSJ Grhasia DIY dinilai sudah sesuai dengan manual pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan (Nurkonita, 2014). Dalam penelitian tersebut juga diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa kendala yang dihadapi rumah sakit dalam pelaksanaan INA CBG s yaitu terkait dengan sumber daya manusia yang meliputi pihak yang mengajukan klaim, tenaga medis, dan petugas perekam medis; material yang meliputi surat rujukan, cetakan SEP; dan mesin yang meliputi server BPJS yang terkadang off, mesin pencetak SEP yang bermasalah, dan permasalahan terkait aliran listrik RSJ Grhasia. Berbagai permasalahan diatas menimbulkan dampak secara langsung terhadap rumah sakit seperti diantaranya resume medis yang tidak lengkap dan ketidaksesuaian persyaratan dengan ketentuan mengakibatkan klaim BPJS tidak dapat diklaim atau proses klaimnya terhambat, sedangkan kendala teknis yang dihadapi mengakibatkan terjadinya penumpukan pekerjaan dan kesalahan dalam entry data. Disamping itu, permasalahan terkait kodifikasi juga terjadi di RS Panti Rapih Yogyakarta. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryati (2014), hasil analisis keakuratan kode diagnosis menunjukkan adanya 44.56% kode yang sudah sesuai dengan ICD-10 dan terdapat 377 atau 57.12% kode tindakan yang sudah sesuai dengan ICD-9-CM. Keakuratan kode diagnosis dan tindakan tersebut dinilai belum tercapai secara maksimal, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya Sumber

25 Daya Manusia (SDM), kendala dalam update database ICD-10 dan ICD-9-CM, dan belum dilakukannya evaluasi atau audit tentang kode diagnosis dan tindakan. Setelah dua tahun dilaksanakannya program JKN dengan menerapkan sistem INA CBG s pada FKRTL, maka perlu untuk dilihat gambaran pelaksanaan sistem INA CBG s berdasarkan persepsi yang dimiliki oleh masing masing petugas di rumah sakit yang memiliki peranan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan logic model yang dikembangkan oleh kellogg, dimana logic model ini pada dasarnya merupakan gambaran yang digunakan untuk mengetahui pelaksanaan program, dan menyajikan pemahaman tentang hubungan antara sumber daya yang dimiliki untuk mengoperasikan program, kegiatan yang direncanakan, dan perubahan atau hasil yang ingin dicapai (Kellogg, 2004). Adapun aspek aspek yang dapat digunakan untuk mengetahui ketersediaan dan peranan input yang menunjang penerapan sistem INA CBG s dapat dilihat dari konsep 6M yang terdiri dari man, money, method, materials, market, dan machine (Muninjaya, 2004).