9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Perubahan fakta cerita novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara ke dalam film Pintu Terlarang disutradarai oleh Sheila Thimoty belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang mempunyai kemiripan dengan penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut. Transformasi fakta cerita novel ke dalam film perempuan berkalung sorban karya Abidah Al-Khalieqi (2011) oleh Anton Ngadi yang membahas tentang transformasi penokohan novel PBS ke film PBS, transformasi pengaluran novel PBS ke film PBS, dan transformasi pelataran novel PBS ke film PBS. Analisis yang digunakan yaitu analisis komparatif dan hermeneutik dengan berlandaskan pada teori ekranisasi. Hasil penelitian ini menggambarkan transformasi yang terjadi dalam proses perubahan dari novel ke dalam film baik yang meliputi penokohan, alur, serta latar. Transformasi Tokoh, Alur dan Latar Novel ke Film Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy (Suatu Kajian Komparatif) oleh Sarapratiwi Ramadina Tangahu (2012). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) transformasi tokoh novel Dalam Mihrab Cinta ke film Dalam Mihrab Cinta, (2) transformasi alur novel Dalam Mihrab Cinta ke film Dalam Mihrab Cinta, (3) transformasi latar novel Dalam Mihrab Cinta ke film Dalam Mihrab Cinta. Analisis yang digunakan yaitu analisis komparatif dengan berlandaskan pada teori ekranisasi. Hasil penelitian ini menggambarkan transformasi yang 9
10 terjadi dalam proses perubahan dari novel ke dalam film baik yang meliputi penokohan, alur, serta latar. Dari kedua kajian yang relevan sebelumnya tersebut dapat dilihat perbedaan dan persamaan antara penelitian sebelumnya dan penelitian ini. Pesamaan antara penelitian ini dengan penelitian Anton Ngadi terletak pada metode komparatif dan teori ekranisasi yang digunakan. Sedangkan, dari segi objek yang dikaji dan pembahasannya jelas berbeda. Hal tersebut juga terlihat pada kajian relevan yang kedua. Pesamaan antara penelitian peneliti dengan penelitian Sarapratiwi Ramadina Tangahu adalah penggunaan teori ekranisasi dan metode penelitian komparatif. Sedangkan, dari segi objek yang dikaji dan pembahasannya jelas berbeda. 2.2 Landasan Teori Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ekranisasi. Teori ini akan digunakan sebagai pisau bedah yang akhirnya akan terlihat proses perubahan pada cerita dalam novel Pintu Terlarang yang dialihkan ke dalam film Pintu Terlarang. Perubahan ini difokuskan pada tiga aspek yakni penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi. 2.2.1 Hakikat Novel Novel adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Istilah lain: roman (Sudjiman, 1990: 55). Novel juga merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. 10
11 Menurut Forster (dalam Eneste, 1991: 12) cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Kramer (dalam Soedjarwo, 2004: 89), berpendapat novel atau novela menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang luar biasa karena dari kejadian itu terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengubah jurusan mereka. 2.2.2 Hakikat Film Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kelampauan, melainkan berkonotasi pada kekinian, pada sesuatu yang sedang terjadi (Eneste, 1991: 16). Film adalah salah satu bentuk kesenian yang saling mempengaruhi antara cahaya dan bayang-bayang secara halus. Film melakukan komunikasi verbal melalui dialog (seperti drama), film mempergunakan iram yang komplek dan halus (seperti music), film berkomunikasi melalui cerita, metafora, dan lambanglambang (seperti puisi), film memusatkan diri pada gambar bergerak (seperti pantomime) yang memliki ritmis tertentu (seperti tari), dan akhirnya film memiliki kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, memajukan atau memundurkannya secara bebas dalam batasbatas wilayah yang cukup lapang. Boggs (Boogs diterjemahkan oleh Asrul Sani, 1992: 4-13) juga mengatakan bahwa film tetaplah sesuatu yang unik walaupun terdapat kesamaan dengan media yang lain. Film melebihi drama karena film memiliki kemampuan mengambil sudut pandang yang bermacam-macam, gerak, 11
12 waktu dan ruang yang tidak terbatas. Berbeda dari novel, film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak diatas halaman kertas sehingga memerlukan suatu penterjemahan oleh otak ke pelukisan visual dan suara, tapi melalui gambar-gambar visual dan suara nyata (Boggs diterjemahkan oleh Asrul Sani, 1992: 4-13). 2.2.3 Fakta Cerita Elemen-elemen pembangun prosa fiksi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita meliputi plot, tokoh dan latar. Sesuatu yang akan diceritakan dirangkai dalam susunan peristiwa dalam kerangka ketiga sublemen itu (Sayuti, 2000:29). Fakta cerita terdiri atas dua kata yakni fakta dan cerita. Kata fakta dan cerita berbeda maknanya. Fakta adalah peristiwa atau kejadian yang merupakan kenyataan yang benar-benar ada atau benar-benar terjadi, sedangkan cerita adalah tuturan yang memaparkan terjadinya suatu peristiwa ataupun kejadian. Dari cerita tersebut, kita akan mengetahui apa saja yang dilakukan oleh pelaku. Pelaku yang dimaksud adalah manusia maupun binatang. Menurut Forster cerita adalah pengisahan kejadian dan waktu (dalam Nurgiyantoro, 2009:91). Fakta cerita merupakan salah satu elemen pembangun prosa fiksi hal ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Stanton (2007:22) karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita. Struktur faktual 12
13 merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang. Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita seperti yang telah diuraikan di atas dijelaskan sebagia berikut: 1) Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26). Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemenelemen lain, alur alur memiliki hukum-hukum sendir; alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:28). Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu. (Stanton, 2007:32). 13
14 plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah dipertimbangkan (Sayuti, 2000: 29). 2) Tokoh atau Karakter Tokoh atau biasa disebut karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (Sayuti, 2000: 67; Stanton, 2007: 33). Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu tokoh utama yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Alasan seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan motivasi (Stanton, 2007:33). 3) Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlansung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu. Latar terkadang berpengaruh pada karakter-karakter. Latar juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosiaonal yang melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer. Atmosfer 14
15 bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Sayuti, 2000: 125; Stanton, 2007:35-36). 2.2.4 Sastra Bandingan Benedecto Crose (Giffod dalam Endraswara 2008: 128), berpendapat bahwa studi sastra bandingan adalah kajian yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), alterna-tion (penggantian), pengembangan (development), dan perbedaan timbal balik diantara dua karya atau lebih. Sastra perbandingan adalah wilayah keilmuan sastra yang mempelajari keterkaitan antara sastra dan perbandingan sastra dengan bidang lain. Jalinmenjalin antar karya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari penulis lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain. Disamping itu, sastra bandingan juga dimungkinkan membandingkan antara sastra dengan bidang lain yang relevan. Tak sedikit bidang lain, seperti sejarah, agama, filsafat, arsitektur dan sebagai yang bersinggungan dengan sastra. Kedua belah pihak kadang-kadang saling mendukung, ada titik temu, dan sebaliknya juga ada yang berseberangan. Untuk itu, diperlukan perbandingan agar ditemukan varian-varian jelas di antara bidang ilmu tersebut. 2.2.5 Alih Wahana Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian 15
16 lain. Cerita rekaan bisa diubah menjadi tari, drama, atau film, sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagi atau lukisan. Hal yang sebaliknya bisa juga terjadi, yakni novel ditulis berdasarkan film atau drama, sedangkan puisi bisa lahir dari lukisan atau lagu (Damano, 2005: 96). 2.2.6 Ekranisasi Yang dimaksud dengan ekranisasi sebenarnya adalah suatu proses pemindahan atau pengadaptasian dari novel ke film. Eneste (1991: 60) menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayar-putihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Prancis berarti layar ). Ia juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan. Ekaranisasi bertujuan untuk melihat proses perubahan yaitu penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi yang terjadi dalam proses pelayar putihan sebuah novel. Pada perkembangannya sekarang, ekranisasi bukan saja perubahan atau adaptasi dari novel ke film, tetapi sekarang banyak pula bermunculan adaptasi dari film ke novel. Berkaitan dengan ini, Damono (2005; 96) menyebutnya dengan istilah alih wahana. Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam jenis kesenian lain. Ekranisasi sebenarnya adalah suatu pengubahan wahana dari kata-kata menjadi wahana gambar. Di dalam novel, segalanya diungkapkan dengan katakata. Pengilustrasian dan penggambaran dilukiskan dengan gambar. Sedangkan dalam film, ilustrasi dan gambaran diwujudkan melalui gambar. Gambar di sini 16
17 bukan hanya gambar mati, melainkan gambar hidup yang bisa ditonton secara langsung, menghadirkan sesuatu rangkaian peristiwa yang langsung pula. Penggambaran melalui kata-kata yang dilakukan dalam novel akan menimbulkan imajinasi-imajinasi dalam pikiran pembacanya. Apa yang terjadi di sini sebenarnya adalah proses mental. Dengan membaca, pembaca akan menangkap maksud-maksud yang ingin disampaikan pengarang. Sedangkan dalam film, penonton disuguhi satu gambar-gambar hidup, konkret, dan visual. Penonton seolah-olah sedang menyaksikan suatu kejadian yang sesungguhnya, yang nyata terjadi. Perbedaan wahana atau dunia-dunia kata dan dunia gambar yang dimiliki oleh dua media ini novel dan film tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Istilah Ekranisasi yang dikenalkan oleh Pamusuk Eneste (1991) dalam bukunya yang berjudul Novel dan Film meskipun tampak sangat dangkal isi dan jangkauan teorinya tetap memberikan satu khasanah baru dalam teori maupun kajian sastra ke film maupun adaptasi secara umum. Patut diakui memang bahwa keberadaan teori ini masih belum mapan. Apalagi kalau kita benar-benar mempelajari isi teori tersebut. Akan tetapi, lahirnya istilah ekranisasi tersebut, yang pada perkembangan berikutnya pada beberapa perguruan tinggi maupun pembahasan seputar adaptasi karya sastra ke film, merupakan satu bentuk respons yang sangat cerdas terhadap munculnya fenomena perubahan atau adaptasi/perubahan karya sastra ke film yang pada perkembangan terakhir cukup menunjukkan perkembangannya. Tentu saja bukan hanya di negara barat, tetapi juga di Indonesia. Istilah ekranisasi pun kemudian 17
18 sering digunakan dan menjadi bahan rujukan pada beberapa kajian atau penelitian sastra. 18