PENDIDIKAN YANG INKLUSIF DAN MENYENANGKAN

dokumen-dokumen yang mirip
PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

KONTEKS TUGAS DAN EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

Perkembangan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa di Indonesia (Development of Special

PENDIDIKAN INKLUSIF. BPK Penabur Cimahi, 11 Juli Mohamad Sugiarmin

A. Perspektif Historis

Oleh : Sugiyatno, M.Pd

DASAR PSIKOLOGIS dalam PEMBELAJARAN

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

Centre for Disability Research and Policy

www. psld. uin-suka.ac.id

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012

TAP (TEACHER ADVISOR PROGRAM) SEBUAH STRATEGI KOLABORATIF ANTARA GURU DAN KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ORTODIDAKTIK ANAK TUNALARAS

BAB V PENUTUP. semakin menjadi penting bagi agenda reformasi pendidikan setelah Education

PERTEMUAN 13 PENYELENGGARAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA JALUR PENDIDIKAN

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI

PENDIDIKAN INKLUSI UNTUK ANAK DENGAN GANGGUAN EMOSI DAN PERILAKU (TUNALARAS)

KETERAMPILAN-KETERAMPILAN MENGAJAR

Sigit Sanyata

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sigit Sanyata

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

PENGALAMAN MENGAJAR BIPA DI SCOTTS HEAD PUBLIC SCHOOL, NSW, AUSTRALIA: TANTANGAN DAN SOLUSI

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pendekatan Problem Based Learning untuk Pembelajaran Optimal

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar bisa hidup lebih

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANAN ORANGTUA DAN PENDIDIK DALAM MENGOPTIMALKAN POTENSI ANAK BERBAKAT AKADEMIK (ABA)

Penyandang Cacat dan Permasalahannya

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

POLA ASUH DAN PENDAMPINGAN ORANGTUA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Aini Mahabbati, M.A PLB FIP UNY HP:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat di era

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

EKSISTENSI PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING DI BALIK UU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

A. STUDI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANDUNG

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

SIKAP GURU SLB TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSIF. Nia Sutisna dan Indri Retnayu. Jurusan PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Oleh Didi Tarsidi <a href=" Pendidikan Indonesia (UPI)</a>

BIMBINGAN BELAJAR BAGI MAHASISWA

1. PENDAHULUAN. Di era globalisasi bahasa lnggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa

BAB V PENUTUP. kurikulum di sekolah inklusi antara SMP Negeri 29 Surabaya dan SMP Negeri. 3 Krian Sidoarjo. Dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Pacitan khususnya pada

BAB I PENDAHULUAN. Konsep dasar pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

Pendampingan Guru dalam Peningkatan Kemampuan Penyusunan Program Pendidikan Karakter bagi Siswa Sekolah Luar Biasa

Program Peningkatan Kemampuan Guru Sekolah Dasar Dalam Melaksanakan Rintisan Sekolah Inklusif

DEFINSI MODEL PERANGKAT ASUMSI, PROPORSI, ATAU PRINSIP YANG TERVERIFIKASI SECARA

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB VIII BELAJAR KELOMPOK

PENDIDIKAN BERSERTIFIKAT PENDAMPING BELAJAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN YOGYAKARTA

KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT

BAB 3 DESKRIPSI UMUM STUDENT DESK DAN PARENT DESK BINUS INTERNATIONAL SCHOOL SERPONG

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

MG.Sri Roch Mulyani SLB Negeri Karanganyar Kab.Karanganyar Provinsi Jawa Tengah ABSTRACK. Key words : Diversity, Equality and Inclusion ABSTRAK

IKATAN MAHASISWA ELEKTRO PERIODE 2011

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya. Materi Penyuluhan

Persiapan untuk bersekolah

AKREDITASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

Beri putra putri Anda awal yang tepat untuk masuk universitas

Guru BK 2/27/2018 SEMINAR GURU BK MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN MELALUI PEDOMAN DAN PANDUAN OPERASIONAL PENYELENGGARAAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Transkripsi:

PENDIDIKAN YANG INKLUSIF DAN MENYENANGKAN Oleh : Aini Mahabbati*) Pendahuluan Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang menerima berbagai karakter dan latar belakang peserta didik untuk belajar bersama dalam satu iklim pembelajaran. Wacana mengenai pendidikan inklusif mulai dikenal di Indonesia setelah Indonesia ikut menandatangani perjanjian Salamanca tahun 1994 dan mulai berkembang di awal tahun 2000-an. Sekarang ini operasional pendidikan inklusif semakin pesat dengan payung Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif yang memuat dengan lengkap rambu-rambu mengenai pendidikan inklusif mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Wacana dan pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia juga semakin kuat setelah Indonesia ikut menandatangani ratifikasi internasional hakhak penyandang cacat pada tahun 2011. Secara sempit, pendidikan inklusif sering dihubungkan dengan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Namun sebenarnya, Pendidikan inklusi lahir atas prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural, maupun bahasa (Florian, 2008). Departemen Education Tasmania Australia merumuskan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menerima siswa yang berbeda sebagai bagian utuh dari sekolah dan merasa memiliki sekolah, diberi jaminan untuk akses, berpartisipasi, dan meraih prestasi pada seluruh bagian dari pendidikan yang dijalaninya (Kaayenoord, 2007). Berbagai karakter siswa yang berbeda dalam kelas inklusi ditanggapi dengan berbagai penyesuaian pembelajaran mulai dari perencanaan, isi, metode, media, sistem evaluasi, dan standar capaian siswa. Jadi pendidikan inklusif merupakan proses pendidikan yang dikelola oleh sekolah dengan kendali dari pemangku kebijakan terkait yang melibatkan lingkungan masyarakat, budaya, dan politik setempat untuk menerima seluruh karakter anak untuk diberi *) Dosen di Jurusan PLB FIP UNY Email : aini@uny.ac.id 1

pembelajaran dan pelatihan dengan sistem, strategi dan dukungan yang sesuai bagi mereka (Lloyd, 2007). Namun demikan, dalam pelaksanaannya, tantangan bagi pendidikan inklusif masih sangat besar. Mulai dari persoalan geografis dan infrastruktur nasional, teknis penyelenggaraan pendidikan, sampai pada keragaman peserta didik belum bisa dijawab dengan baik. Contoh kongkritnya adalah masih adanya sekolah yang secara resmi ditunjuk pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif yang belum mampu memberikan layanan pendidikan pada siswa berkebutuhan khusus di kelas secara optimal baik dari sisi pembelajaran hingga aksesibilitas sarana prasarana. Padahal sifat akomodatif yang terdapat dalam pendidikan inklusif seharusnya menjadi kemaslahatan bagi seluruh peserta didik dan stake holder pendidikan lainnya. Pendidikan Inklusif yang Menyenangkan Menurut Johnsen & Skjørten (2001), keadaan khusus siswa baik permanen maupun tidak permanen yang disebabkan karena kondisi kebutuhan khusus seperti kecacatan akan mempengaruhi pembelajaran. Namun lebih dari itu, terdapat faktor-faktor lain yang lebih penting dalam pembelajaran dan pendidikan yakni lingkungan yang responsif dan memberi stimulasi optimal, guru yang memahami keragaman peserta didik, isi dan metode pendidikan yang sesuai dengan karakter siswa, dan situasi sosial, ekonomi, dan politik yang supportif terhadap pendidikan. Selain itu, di luar kebutuhan khususnya, anak juga memiliki potensi yang akan mendukung proses pembelajaran yakni rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, kompetensi sosial, kreatifitas, temperamen, dorongan dan gaya belajar, dan kemampuan. Semua potensi eksternal dan internal tersebut apabila diarahkan akan mampu mengalahkan hambatan belajar yang dikarenakan kondisi atau kebutuhan khusus anak. Implikasinya adalah, harus ada pendidikan yang siap mengubah dan menyesuaikan seluruh komponen pembelajaran untuk mendukung setiap perbedaan kondisi siswa, baik sistemnya, aktivitas pembelajarannya, dan lingkungan pendukungnya (Johnsen & Skjørten, 2001). Dalam hal ini, kebutuhan tersebut dijawab oleh sistem pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif secara konseptual maupun operasional merupakan sistem pendidikan yang akomodatif terhadap semua komponen pendidikan, mulai dari siswa, guru, media dan 2

sumber belajar, metode, dan sarana prasarana. Farrell (2005) menyatakan karakter akomodatif pendidikan inklusif mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) Sifat pendidikan inklusif yang tidak memilih siswa yang homogen semata, melainkan mau merekrut semua karakteristik semua siswa dan tidak mengenal istilah mengeluarkan siswa dari sekolah. 2) Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling. Pemberian label pada sistem pendidikan inklusif hanya untuk kepentingan administratif dan klasifikasi semata, bukan untuk kepentingan pemberian layanan. Bahkan, melalui pendidikan inklusif label yang tidak merugikan bagi beberapa siswa dihindari dan dirubah dalam pengertian yang lebih positif. 3) Pendidikan inklusif selalu melakukan checks and balances. Maksudnya adalah, semua unsur stake holders pendidikan, mulai dari siswa, guru, orangtua siswa, masyarakat, ahli yang terkait (seperti ortopedagog, psikolog, dokter), serta pemangku kebijakan bersama-sama terlibat dalam mendorong dan mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif tidak akan optimal apabila tidak menyertakan mereka dalam satu sistem yang rapi dan terorganisasi dengan baik. Adapun dalam tataran operasional, menurut Karten (2008), pendidikan inklusif mencakup beberapa karakter komponen pembelajaran, yakni: 1) siswa (berkebutuhan khusus) yang melakukan pembelajaran sesuai dengan program pendidikan individual yang sesuai dengan kelebihan, kompetensi, dan potensi khusus masing-masing dari mereka yang diejawahtahkan dalam kurikulum; 2) guru yang bertugas mengajar dengan prinsip kolaborasi baik dengan sesama guru, siswa, sekolah, ahli lain, orangtua siswa, dan masyarakat dalam upaya untuk memahami kebutuhan siswa yang berbeda dan menerapkan pembelajaran yang efektif; 3) administrasi sekolah yang mendukung seluruh staf sekolah untuk dapat menerapkan program pendidikan inklusif, mulai dari perencanaan pembelajaran, pengelolaan, dan sistem evaluasi dan manajemennya; 4) komunikasi dan kerjasama dengan orangtua siswa untuk mengupayakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pembelajaran; dan 5) dukungan dan upaya untuk membiasakan iklim kelas dan sekolah yang kondusif serta sikap-sikap seluruh komponen sekolah dalam menerima perbedaan dengan positif. 3

Sifat pendidikan inklusif yang terbuka, akomodatif, komunikatif, dan fleksibel membawa iklim kultural yang positif bagi perkembangan kepribadian setiap anggota sekolah. Vaidya & Zaslavsky (2000) menyatakan bahwa penerapan pendidikan inklusif yang baik akan meningkatkan kemampuan personal seluruh siswa berupa pemahaman akan keberagaman dan kepedulian kepada sesama. Selain itu, akan tumbuh juga kompetensi sosial berupa kehangatan dan kemampuan menjalin persahabatan dan kerjasama pada diri siswa, dan meningkatkan bobot kegiatan yang berbasis aksesibilitas untuk seluruh siswa, serta menurunkan kecemasan akan situasi yang kompleks dan penuh tantangan (Katz & Mirenda, 2002). Macarthur (2009) menyebut bahwa pendidikan inklusif akan membuka kesempatan untuk berkembangnya komunikasi dan perasaan penerimaan terhadap sesama, hingga kemudian menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi. Semua itu dibutuhkan untuk menghadapi modernitas dan masyarakat yang dewasa ini semakin majemuk adanya. Sebuah penelitian bahkan menyatakan bahwa penerimaan berbagai karakter siswa dalam satu kelas inklusi dapat mengurangi kuantitas pembelajaran, namun ternyata tidak merubah konten pengetahuan siswa (Hussey, Fleck, & Warner, 2010 ). Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila pendidikan inklusif yang dipraktikkan dengan benar akan membuat pendidikan menjadi dunia yang menyenangkan untuk seluruh siswa. Anak-anak tidak akan merasa kuatir untuk menjadi berbeda, dan tidak sempat mengembangkan perasaan takut dan terkucil yang dapat menjadi bibit sikap memusuhi. Lebih dari itu, anak-anak akan merasa bangga untuk menerima temannya yang berbeda, memupuk konsep diri yang positif sekaligus jiwa toleransi yang tinggi, serta mampu bekerjasama dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Berbagai Dukungan Pendidikan inklusif bertujuan menciptakan kerjasama bukannya persaingan (Johnsen & Skjørten. 2001). Konsekuensi dari hal-hal tersebut di atas harus membawa perubahan penting di sekolah. Hal pertama dan utama lebih banyak penekanan pada perkembangan kesadaran sosial termasuk interaksi dan 4

komunikasi yang lebih baik dengan dan diantara seluruh komponen sekolah dan masyarakat pendukung. Peran pemangku kebijakan sangat penting dalam partisipasi dan akomodasi pendidikan inklusif. Tugasnya, mengambil inisiatif dan kebijakan dalam asesmen kebutuhan di sekolah inklusi, mengusahakan kelayakan pendidikan inklusif, dan secara kontinu mengevalusi akuntabilitas sekolah penyelenggara (Thurlow, Lazarus, Thompson, Morse, 2005). Adapun peran sekolah dan guru sebagai penyelenggara pendidikan inklusif selain mempersiapkan diri secara paradigmatis dan teknis. Kritis terhadap kurikulum yang mengandung bias bagi keberagaman, meningkatkan kemampuan mengajar, melaksanakan manajemen dan evaluasi terbuka dan komunikatif terhadap capaian sekolah, dan secara menjadi promotor dalam upaya kolaborasi dengan orangtua dan masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai dan praktik inklusi (Prior, 2007). Orangtua siswa berkebutuhan khusus, orangtua siswa lainnya, dan masyarakat sangat penting bagi pelaksanaan pendidikan inklusif yang komprehensif. Interaksi sosial dan partisipasi aktif mereka dibutuhkan untuk menegakkan aksesibilitas lingkungan bagi anak berkebutuhan khusus baik dalam tataran advokasi dan praktek dengan memanfaatkan segala sumber dan media komunikasi (Jaeger & Xie, 2008). Tidak kalah penting adalah teman anak berkebutuhan khusus. Di i lingkungan sebayanya, interaksi antara anak berkebutuhan khusus dan temannya adalah kerjasama bukannya persaingan (Johnsen & Skjørten, 2001). Implikasinya, mereka perlu mengembangkan kesadaran sosial sebagai modal bagi penerimaan keberagaman. Model Pendidikan (Inklusif) yang Menyenangkan Di Australia Pada era 1980-1990-an, pemerintah Australia memberi pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menerima anak dengan kebutuhan khusus di sekolah atau kelas reguler (Elkins, dalam Kraayenoord, 2007). Namun sekarang ini, pengertian pendidikan inklusif di Australia berkembang menjadi pendidikan yang disediakan untuk siswa dengan berbagai tingkat kebutuhan khusus, latar belakang sosial-ekonomi, dan aspirasi dalam seting sekolah reguler (Kraayenoord dkk, dalam Kraayenoord, 2007). Searah dengan pengertian itu, 5

sekolah-sekolah di Australia menyiapkan diri untuk menjadi inklusif dan responsif dengan mengubah kebijakan, praktik pengelolaan, dan latar budaya sekolah. Di Negara Bagian New South Wales Australia, pemerintah menyediakan kesempatan luas kepada seluruh anak untuk mendapatkan pendidikan yang murah, mudah, dan berkualitas. Sekolah negeri maupun swasta menerima siswa dari berbagai suku bangsa, agama, anak dari suku terpencil (Aborigin), tingkat sosial-ekonomi, dan anak berkebutuhan khusus. Konsekuensinya adalah, sekolah memiliki program yang mendukung kehidupan bersama dengan karagaman. Istilahnya adalah Diversity for Diversity (D4D), yakni 1) menggunakan diversity index untuk mengindentifikasi kebutuhan belajar setiap siswa; 2) membangun sistem sekolah dan pembelajaran yang mendukung keragaman siswa; dan 3) proses pemaknaan dan implementasi dari dasar filosofis, keterampilan pendukung, pengalaman keseharian, kepribadian dari seluruh komponen sekolah untuk memberi dukungan terhadap keberagaman dan kebutuhan siswa (Kraayenoord, 2007). Beberapa program sekolah yang menggambarkan mengenai penerimaan sekolah terhadap kondisi keberagaman siswa diantaranya adalah 1. Penerimaan siswa dari berbagai latar belakang budaya, termasuk dari suku terpencil. Sekolah memiliki kurikulum yang isinya mengenalkan kebudayaan dan kesenian aborigin kepada semua siswa. Keragaman agama dan nasionality siswa juga dihargai dengan dibolehkannya siswa untuk tidak masuk kelas saat merayakan hariraya keagamaan, meskipun tidak termasuk hari libur nasional. 2. Bagi siswa yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, sekolah memfasilitasi melalui kurikulum English as a Second Language English (ESL) untuk mereka dengan guru khusus, dengan metode klasikal, kelompok kecil, maupun individual. Keragaman juga tampak dari aktivitas kesenian dan hasil karya seni yang ditampilkan di seluruh area sekolah, dan sebagainya. 3. Adanya The Learning Support Team di sekolah untuk anak yang memiliki hambatan belajar karena gangguan kesulitan belajar atau kebutuhan khusus lainnya. The Learning Support Team di sekolah mendampingi guru kelas dalam melakukan identifikasi dan asesmen hambatan belajar dan penyebabnya, menyusun program, memonitor, dan mengevaluasi. 6

Sistem penerimaan siswa baru dilakukan secara terpusat melalui web-site resmi pemerintah (Department of Education and Training). Pendaftar akan diarahkan pada sekolah yang berada di lokasi tempat tinggalnya. Mendaftar di sekolah yang berada di luar wilayah tempat tinggal diperbolehkan dengan pertimbangan dari tim atau ahli terkait berdasarkan kebijakan pemerintah mengenai kriteria khusus anak yang membutuhkan fasilitas khusus atau akomodasi kelas yang dimiliki sekolah tertentu. Pemerintah menyediakan website khusus yang menyediakan informasi lengkap mengenai kriteria sekolah, termasuk bagi sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus tertentu. Apabila akan mendaftarkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah, orangtua bisa berkonsultasi pada kepala sekolah yang dituju. Berdasarkan konsultasi tersebut, kepala sekolah bersama the School Support Team akan memberi saran pada orangtua mengenai penempatan anak apakah di kelas reguler dengan pendukung tambahan atau di kelas khusus baik di sekolah reguler atau harus ditempatkan di SLB. Terdapat tiga sistem pendaftaran anak berkebutuhan khusus secara regional yakni: 1) penerimaan di kelas reguler dilakukan melalui sistem penerimaan siswa baru dengan prosedur yang standar; 2) sekolah umum dengan kelas khusus atau kelas pendukung, pendaftarannya melalui prosedur penempatan regional dengan rujukan tim ahli terkait; 3) sekolah khusus atau SLB, penempatan siswa melalui prosedur penempatan regional dengan rujukan tim ahli terkait. Proses asesmen dan keputusan penempatan anak tersebut melibatkan peran aktif orangtua. Kemudian setelah anak masuk di sekolah, orangtua tetap dilibatkan untuk meninjau kemajuan pembelajaran anak dan kebutuhannya di setiap jenjang kelas. Terkait dengan asesmen penempatan anak berkebutuhan khusus di kelas khusus atau di sekolah khusus, setiap sekolah negeri memiliki program sebagai berikut: 1. The Learning Assistance Program, yang memberikan seluruh layanan yang dibutuhkan oleh siswa di kelas reguler yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran baik karena gangguan kesulitan belajar, tunagrahita ringan, atau gangguan bahasa. 7

2. The Integration Funding Support Program, yakni program pendukung untuk anak berkebutuhan khusus yang diterima di kelas reguler penuh. 3. Itinerant support teachers, yang menyediakan dukungan untuk siswa yang mengalami gangguan penderangan dan atau penglihatan, atau gangguan perilaku. Layanan dukungan itu juga diperuntukkan bagi guru mereka. 4. Outreach teacher programs, memberi dukungan tingkat menengah dan tinggi bagi siswa yang mengalami kebutuhan khusus berat, termasuk autisme, gangguan emosional. Dukungan ini juga diperuntukkan untuk guru mereka. Selama siswa berkebutuhan khusus menjalani masa belajar, the School Learning Team akan melakukan identifikasi dan asesmen mengenai kondisi kebutuhan khusus dan kesulitan belajar yang dialami siswa secara berkala. Identifikasi dan asesmen dilakukan secara berkala sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Kriteria kebutuhan khusus telah ditetapkan oleh pemerintah dan dimuat dalam situs resmi. Terdapat program supportif sekolah untuk anak berkebutuhan khusus yakni: The Learning Assistance Program yang membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar di kelas reguler, berdasarkan penyebab kesulitan belajar yang dialami siswa. Program ini biasanya untuk siswa dengan gangguan kesulitan belajar, tunagrahita ringan, dan gangguan bahasa. Program serupa adalah Support Teacher Learning Assistance (STLA) yang bertujuan meningkatkan hasil belajar terutama bagi siswa yang mengalami gangguan kesulitan belajar. Tim STLA terdiri dari kepala sekolah, guru kelas, dan guru konselor, serta melibatkan peran orangtua. Tim STLA yang merupakan bagian dari the School Learning Support Team bertugas untuk : a) melakukan identifikasi dan asesmen kesulitan belajar yang dialami siswa; b) membuat perencanaan, menerapkan, memonitor, dan mengevaluasi program khusus untuk siswa; c) meningkatkan kemampuan guru untuk mengajar anak dengan berbagai tingkatan kesulitan belajar dengan berbagai program pelatihan dan pengembangan untuk guru. Selain fokus akademik, sekolah juga memiliki sejumlah program yang menunjang kemampuan pendukung akademik. Berbagai program tersebut adalah: 1. Program antibullying untuk siswa dan seluruh staff sekolah. Program ini bertujuan untuk membebaskan lingkungan sekolah dari pengrusakan, 8

intimidasi, kekerasan, dan diskriminasi. Program diperuntukkan untuk seluruh anggota sekolah ebrupa modeling dan menampilkan perilaku yang sesuai dan hubungan yang penuh tanggungjawab. 2. Program untuk siswa yang mengalami gangguan perilaku, yang terdiri dari program latihan resolusi konflik, mentoring perilaku, pendidikan nilai, konseling, dan program bicara dengan orangtua. Program ini melibatkan guru konselor, guru pendukung perilaku, bagian urusan hubungan orantuasekolah, bagian kesejahteraan siswa, dan konsultan program untuk anak berkebutuhan khusus. Apabila gangguan perilaku siswa tidak membaik, maka siswa akan dirujuk di sekolah khusus yang menyediakan program intensif untuk perbaikan perilaku. 3. Program leadership untuk siswa, merupakan program yang melatihkan kepemimpinan pada siswa melalui beberapa kegiatan Program leadership memberi kesempatan pada siswa untuk memiliki kemampuan dalam 3C. C pertama adalah mengontrol (control) aktivitas pembelajarannya (mengetahui tujuan, materi, dan cara belajar). C kedua adalah merasakan kompetensi (competence), yakni mampu untuk menjalani kehidupan belajar yang berkualitas, dapat memecahkan masalah. C ketiga adalah mampu menghasilkan karya, serta merasakan keterhubungan (connected) dengan sesama yakni dapat melakukan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, saling mendukung bersama teman, dan saling menghormati. 4. Program kesehatan, kerjasama antara sekolah dengan departemen kesehatan yang diperuntukkan untuk seluruh anggota sekolah. Program kesehatan dilakukan melalui beberapa cara yakni: a) kurikulum pengembangan diri, dan pendidikan kesehatan dan olahraga untuk siswa kelas 6, kelas 7-10, serta kelas 11-12; b) mengadakan kegiatan sekolah mengenai promosi kesehatan dan keselamatan; c) membantu siswa yang memiliki kasus kesehatan; d) memberikan pertolongan pertama dan penanganan kesehatan primer untuk siswa yang sakit atau mengalami kecelakaan di sekolah. 5. Program kesejahteraan siswa yang meliputi banyak program, diantaranya adalah asuransi kecelakaan untuk siswa, perlindungan terhadap kesamaan hak dan kesempatan seluruh siswa oleh pemerintah, perlindungan terhadap anak di luar rumah, program peer mediation yang memberi 9

pelatihan pada siswa pamong untuk resolusi konflik yang biasa terjadi di sekolah, dan sebagainya. Penutup Prinsip dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang ideal sangat sesuai dengan ketentuan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak. Oleh karena itu, upaya untuk mengembangkan praktik pendidikan inklusif harus selalu diperbaiki dan dikembangkan. Pengelolaan pendidikan inklusif di Australia dapat menjadi gambaran bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tepat dan menyenangkan bagi semua anak, bahkan bagi seluruh masyarakat. Hal ini karena, dalam sistem penyelenggaraannya, pendidikan inklusif didahului oleh prosedur asesmen yang tepat, dilaksanakan dengan berbagai dukungan yang membantu proses belajar anak, serta dimonitor dan dievaluasi secara benar dan berkala. Selain itu, berbagai hak kesejahteraan anak juga dijamin dalam keseluruhan proses pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Farrel. M, (2005). Inclussion at the Crossroads Special Education-Concept and Values. New York: David Fulton Publisher. Florian, Leni (2008). Special or Inclusive Education: Future Trends. Dalam British Journal of Special Education;35; 4; 202-208. Glebe Public School. (2012). Caring for Students. Dipetik April 18, 2012, dari Glebe Public School Web Site: http://www.glebep.schools.nsw.edu.au/caring-for-students Hussey, H.D.; Fleck, B.K..; & Warner, R.M. (2010). Reducing Student Prejudice in Diversity-Infused Core Psychology Classes. College Teaching; 58; 85 92. Jaeger, P.T. & Xie, B. (2008). Developing Online Community Accessibility Guidelines for Persons with Disabilities and Older Adults. Journal of Disability Policy Studies, October 17, 2008; 1-9. Johnson, B.H. & Skjørten, D.M. (2001), Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar, terjemahan, Bandung: Program Pascasarjana UPI 10

Karsen, Tony J. (2008). Embracing Disabilities in the Classroom, Strategies to Maximize Students Assets. California : Corwin Press. Katz, J. & Mirenda. P. (2002) Including Students With Developmental Disabilities In General Education Classrooms: Social Benefits. International Journal of Special Education; 17; 2. Kraayenoord, C. E. (2007). School and Classroom Practises in Inclusive Education in Australia. Childhood Education Proquest Research Library, 83,6, 390-394. Lloyd, C. (2007). Removing Barriers to Achievement a strategy for inclusion or exclusion? Australian Association for Research in Education Annual Conference. Fremantle, Australia. NSW Goverment, Education & Community. (2012, Februari 27). Supporting Students. Dipetik April 18, 2012, dari NSW Public Schools Web Site: http://www.schools.nsw.edu.au/ Prior, Warren. (2007) Citizens as Contestation How Inclusive/Exclusive do We Want Our School and Society to Be. The Social Educator; Desember 2007; 34-39. Thurlow, Martha L.; Lazarus, Sheryl S.; Thompson, Sandra J.; & Morse, Amanda Blount. (2005). Students with Disabilities in Large-Scale Assessments: State Participation and Accommodation. Journal of Special Education; 38; 232-240. Vaidya, W & Zaslavsky. (2000). Inclusion Classrooms: Knowledge versus Pedagogy. Teacher education reform effort for ;121,1; Proquest Education Journals Pg.14 11