BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP :

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

Menetapkan Tebal Lapis Perkerasan

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( )

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah

DAFTAR ISI KATA PENGATAR

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

PROYEK AKHIR. PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang...

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

BAB II STUDI PUSTAKA

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN PANDAAN TAPEN KOTA MADYA SALATIGA TUGAS AKHIR

BAB II1 METODOLOGI. Berikut ini adalah bagan alir (Flow Chart) proses perencanaan lapis

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB II LANDASAN TEORI DAN STANDAR PERENCANAAN

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

PERENCANAAN GEOMETRIK, TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN TINGKIR TENGAH BENDOSARI KOTAMADYA SALATIGA

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP:

NOTASI ISTILAH DEFINISI

LEMBAR PENGESAHAN. TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad )

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR EVALUASI DAN PERANCANGAN PENINGKATAN JALAN SELATAN-SELATAN CILACAP RUAS SIDAREJA - JERUKLEGI

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERENCANAAN GEOMETRIK, TEBAL PERKERASAN, DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN GONDANG SAMBUNG MACAN KABUPATEN SRAGEN

LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN TOL SEMARANG KENDAL

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA

I Dewa Made Alit Karyawan*, Desi Widianty*, Ida Ayu Oka Suwati Sideman*

Dalam perencanaan lapis perkerasan suatu jalan sangat perlu diperhatikan, bahwa bukan cuma karakteristik

ABSTRAK PERENCANAAN GEOMETRIK DAN TEBAL PERKERASAN JALAN NGIPIK KECAMATAN KEBOMAS KABUPATEN GRESIK

PERENCANAAN GEOMETRIK TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KARTASURA SUKOHARJO

BAB II DASAR TEORI. Bab II Landasan Teori

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

5.3. Perencanaan Geometrik Jalan 1. Alinyemen Horisontal Spiral-Circle-Spiral

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI Tinjauan pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2)

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik

BAB III LANDASAN TEORI. A. Klasifikasi Jalan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II DASAR TEORI. harus memiliki jarak pandang yang memadai untuk menghindari terjadinya

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Tol Pandaan-Malang dengan Jenis Perkerasan Lentur

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN BLITAR - SRENGAT (STA STA ) DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perhitungan

PERENCANAAN GEOMETRIK, TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN NGAWEN KARANGPADANG KOTAMADYA SALATIGA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V VERIFIKASI PROGRAM

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

terjadi, seperti rumah makan, pabrik, atau perkampungan (kios kecil dan kedai

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODA PERENCANAAN

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KECAMATAN SIDOMUKTI KINTELAN KIDUL KOTAMADYA SALATIGA

Soal 1: Alinemen Horisontal Tikungan Tipe S-S

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

BAB II DASAR TEORI D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida

KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ANTAR KOTA

xxi DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

TUGAS AKHIR. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1) Diajukan Oleh : ADI SISWANTO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP:

Soal 1: Alinemen Horisontal Tikungan Tipe S-C-S

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUAS JALAN SEMARANG GODONG DENGAN STABILISASI TANAH MENGGUNAKAN BAHAN KIMIA ASAM FOSFAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Fungsi Jalan 2.1.1. Pengertian Jalan Kemajuan teknologi menjadi sangat cepat dan berlanjut sampai sekarang. Pengetahuan dan segala penemuan mengenai tanah dan material jalan raya lainnya dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material dan disain tersebut sekarang menjadi lebih ekonomis dan dapat dipercaya. Berbagai pendekatan baru telah dikembangkan di bidang perencanaan jalan raya dan transportasi kota, seperti disain geometris dan struktur, serta kontrol lalu lintas. Jalan dalam arti yang luas adalah sebagian ruang baik di darat, di laut dan di udara yang khusus dan pantas digunakan sebagai penghubung antara beberapa tempat di muka bumi. Jalan dalam hal ini merupakan salah satu sarana transportasi yang melayani kegiatan manusia kesehariannya dan berfungsi menghubungkan daerah yang satu ke daerah yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang cepat dan langsung. Pengertian jalan raya diperuntukan bagi kendaraan bermotor sebagai pemakai utama. 2.1.2. Golongan dan Klasifikasi Jalan Raya Jalan raya dapat digolongkan berdasarkan fungsinya, antara lain: 1. Sesuai dengan pelayanan - Sebagai prasarana sosial dan ekonomi - Sebagai prasarana politik dan militer / jalan stategi II-1

2. Sesuai dengan pengawasan - Jalan desa - Jalan kabupaten / kotamadya - Jalan provinsi - Jalan negara Sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No.13 tahun 1970, jalan terbagi dalam kelas-kelas sebagai berikut : 1. Jalan Utama Yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas tinggi antar kota-kota penting sehingga harus direncanakan dapat melayani lalu lintas cepat dan berat. 2. Jalan Sekunder Yaitu jalan yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi antara kota-kota penting dengan kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya. 3. Jalan Penghubung Yaitu jalan untuk keperluan aktivitas daerah. Tabel 2.1. : Klasifikasi Jalan Klasifikasi Kelas Jalan LHR dalam SMP Utama I >20.000 Sekunder IIA 6.000 20.000 IIB 1.500 8.000 IIC <2.000 Penghubung III - SMP = Satuan Mobil Penumpang II-2

Berdasarkan Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan tahun 1992, jalan dibagi menjadi kelas perencanaan sebagai berikut : II-3

2.1.3. Tahap Pekerjaan Perencanaan Jalan A. Studi kelayakan Studi kelayakan merupakan tahapan pertama yang harus dilaksanakan agar dapat menentukan layak tidaknya suatu jalan dibangun pada lokasi rencana yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi, hokum, teknis (keadaan medan atau lokasi), lingkungan hidup dan pelaksanaan dilapangan. B. Perencanaan Awal (preliminary design) Survey dan analisa terhadap lalu lintas yang akan melintas jalan yang akan dibangun atau terhadap jalan yang akan ditingkatkan (rekonstruksi) merupakan langkah awal dalam penggolongan jalan raya dan penentuan geometrik rencana jalan. Setelah jalan dinyatakan layak untuk dibangun maka dilakukan perencanaan awal. Secara garis besar menentukan trase jalan (as jalan) dan mengadakan penelitian secara umum tentang rute jalan yang dipilih untuk menentukan kemungkinan adanya hambatan yang dapat berupa keadaan topograpi seperti : bukit, jurang, gunung, muka air tanah yang tinggi, tata guna lahan dan sebagainya. C. Perencanaan Akhir (final engineering design) Adalah perencanaan lengkap dengan detail yang menjadi pegangan dasar pembangunan jalan, terdiri dari : - Perencanaan geometrik jalan, meliputi : Alinemen horizontal II-4

Alinemen vertical Potongan memanjang dan melintang Marka dan rambu - Perencanaan perkerasan - Spesifikasi teknis 2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Jalan A. Lalu lintas - Volume / Jumlah Lalu Lintas Lalu lintas dinyatakan dalam rata-rata perhari untuk satuan tahun berikut arah dan tujuan lalu lintas yang biasa disebut Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR). Data LHR sudah cukup untuk perencanaan jalan dengan lalu lintas rendah, sedangkan untuk lalu lintas tinggi sebagai dasar adalah volume lalu lintas pada saat sibuk yang besarnya adalah + 15% LHR. - Kecepatan Kecepatan merupakan faktor utama dari segala macam transportasi yang besarnya tergantung dari beberapa hal, yaitu : Pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan Keadaan fisik jalan Cuaca Gangguan dari kendaraan lain Dalam istilah lalu lintas dikenal beberapa macam kecepatan, antara lain : o Kecepatan Rencana II-5

Adalah kecepatan yang ditetapkan untuk disain dan dipilih untuk perencanaan yang dikorelasikan dengan bentuk-bentuk dari suatu jalan raya seperti : tikungan, jarak pandang, kelandaian dan sebagainya, yang akan mempengaruhi operasi kendaraan o Kecepatan yang diizinkan Adalah kecepatan tertinggi yang diperbolehkan berdasarkan peraturan lalu lintas, yang dapat dipertahankan pada tempat tertentu pada jalan dimaksud biasanya dipasang pada papan / rambu di pinggir jalan dan biasanya lebih kecil dari kecepatan rencana. o Kecepatan kendaraan Adalah kecepatan yang dicapai oleh kendaraan. Seorang pengemudi yang bertanggung jawab tidak akan melampaui kecepatan yang diizinkan. B. Topografi Merupakan faktor penting dalam menentukan jalan yang biasanya berpengaruh terhadap geometrik. Untuk memperkecil biaya pembangunan jalan, perlu perencanaan disusaikan dengan keadaan topografi dengan tidak menyimpang dari standar perencanaan. Tabel 2.2 : Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang Daerah datar (D) 0 9,9% Daerah bukit (B) 10% 24,9% Daerah gunung (G) >25% C. Keadaan Geologi Tanah Dasar D. Sosial Ekonomi II-6

2.2. Kapasitas Jalan Dalam peninjauan kapasitas dimungkinkan tercipta korelasi antara volume lalu lintas sekarang / mendatang dengan tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan pada saat sekarang atau sebagai pengukur terhadap fasilitas-fasilitas yang direncanakan agar memenuhi criteria tingkat pelayanan. Kapasitas merupakan arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan persatuan jam pada kondisi tertentu. Untuk menentukan kapasitas dibedakan menjadi dua bagian yaitu untuk jalan dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah dan untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap nilai kapasitas rencana adalah : - Lebar jalan - Pemisah arah (median) - Hambatan samping dan bahu jalan - Ukuran kota (jumlah penduduk) Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas : C = C o x FC w x FC sp x FC sf x FC cs Dimana : C = Kapasitas (SMP/jam) C o = Kapasitas dasar (SMP/jam) FC w = Faktor penyesuaian lebar jalan FC sp = Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan yang tidak terbagi) FC sf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan / kerb FC cs = Faktor penyesuaian ukuran kota II-7

II-8

II-9

2.3. Standar Geometrik Jalan Raya Dalam perencanaan jalan raya bentuk geometrik harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal pada kegiatan lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Peraturan resmi tentang perencanaan geometrik jalan raya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum. Maka semua perencanaan jalan Indonesia harus didasarkan atas peraturan tersebut. 2.3.1. Jarak Pandang Jarak pandang adalah panjang bagian jalan di depan pengemudi yang masih dapat dilihat oleh pengemudi diukur dari titik kedudukan pengemudi. Untuk mencapai keamanan yang cukup, suatu jalan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat menyediakan jarak pandang yang cukup panjang, sehingga dapat memungkinkan pengemudi mengatur kecepatan kendaraannya agar terhindar dari bahaya. Bahaya tersebut dapat ditimbulkan oleh penghalang yang berada pada lintasannya yang berlawanan, yaitu pada waktu melakukan penyiapan kendaraan lain. Untuk mendapatkan jarak pandang yang cukup pada waktu merencakan harus disesuaikan pada dua hal, yaitu : II-10

- Jarak yang diperlukan oleh kendaraan untuk berhenti, hal ini diperlukan untuk semua jalan raya. - Jarak yang diperlukan untuk menyiap / mendahului kendaraan lain, hal ini hanya diperlukan pada jalan raya 2 lajur / 3 lajur 2 arah tanpa medium. Besarnya jarak pandangan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor yang meliputi faktor pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan dari faktorfaktor tersebut yang terpenting adalah : - Waktu sadar dan reaksi dari masing-masing Pengemudi - Waktu yang diperlukan untuk menghindari bahaya pada keadaan bahaya - Kecepatan kendaraan a. Jarak pandang henti Adalah panjang bagian jalan yang diperlukan oleh pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman. Jarak pandang henti minimum haruslah sedemikian panjang untuk dapat memungkinkan kendaraan yang berjalan dengan kecepatan maksimum berhenti sebelum mencapai suatu penghalang yang berada pada lintasannya. Panjang jarak pandang henti ditentukan oleh dua bagian jarak, yaitu : 1. Jarak yang ditempuh kendaraan dari saat pengemudi melihat suatu panghalang dimana diperlukan untuk berhenti, sampai pada saat pengemudi mulai menginjak rem atau biasa disebut jarak PIEV. Rumus d p = 0,278 x V x t Dimana : d p = jarak PIEV (m) II-11

V t = kecepatan rencana (km/jam) = waktu PIEV (detik) 2. Jarak yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan dengan rem diinjak, biasa disebut jarak mengerem. Rumus dr V 254 n f m Dimana : dr V = jarak rem (m) = kecepatan permulaan (km/jam) f m = koefisien gesek ban dengan perkerasan f m = 0,2 V =100 km/jam 0,45 V = 40 km/jam b. Jarak pandang menyiap / mendahului Jarak pandang menyiap adalah panjang bagian jalan yang diperlukan oleh pengemudi suatu kendaraan untuk melaksanakan gerakan menyiap / mendahului kendaraan lain yang lebih lambat dengan aman. Pada jalan raya dua lajur dan tiga lajur tidaklah dapat dihindarkan kejadian dimana suatu kendaraan harus menggunakan jalur lain yang dipakai oleh lalu lintas yang berlawanan arah. Apabila gerakan ini akan dilakukan dengan aman tentu saja harus melihat ke depan cukup jauh sehingga dapat menyelesaikan penyiapan tanpa memotong kendaraan lawan yang mungkin datang saat melakukan penyusulan. II-12

Gambar 2.1. Gerakan Menyiap Perkiraan Sumber : Modul Perkuliahan Jarak ini ditentukan dengan rumus : d 1 = 0,278 x t 1 x (v-m+1/2at 1 ) d 2 = 0,278 x Vt 2 d 3 = 30 m sampai 100 m d 4 = 2/3 d 2 d pm = d 1 + d 2 + d 3 + d 4 Keterangan : t = Waktu selama pengendara mengikuti sampai suatu titik akan beralih ke arah lawan (diambil 3,7-4,3 detik) V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang disiap dengan menyiap a = Percepatan rata-rata yang besarnya dari kecepatan yang berkisar antara 2,26 km/jam/detik sampai 2,36 km/jam/detik t2 = Waktu dimana kendaraan yang menyiap berada di lajur kanan. Dari penyelidikan berkisar 9,3 sampai 10,4 detik. II-13

2.3.2. Alinyemen Horisontal Yang dimaksud dengan alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang peta. Alinyemen horizontal disebut juga trase jalan yang merupakan susunan dari potongan-potongan garis lurus yang biasa disebut dengan tangent. Tangent yang satu dengan lain dihubungkan dengan lengkungan yang dapat berupa busur lingkaran saja atau busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan yang biasa disebut tikungan atau lengkung horizontal. a. Jari-jari lengkung minimum Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana sebagaimana tercantum dalam Daftar I Standard Perencanaan Geometrik 1970, ditentukan berdasarkan miring tikungan maksimum dan koefisien gesekan melintang maksimum dengan rumus : R min 127 2 V e f m Dimana : Rmin = Jari-jari lengkung minimum (m) V = Kecepatan (km/jam) e = Kemiringan tikungan maksimum (%) e luar kota : 10% e dalam kota : 8% fm = Koefisien gesek maksimum fm = -0,000625 V + 0,19 II-14

b. Lengkung peralihan Pada suatu bagian jalan yang lurus ke tikungan bagi kendaraan yang melewati bagian jalan tersebut secara teoritis harus dilakukan secara mendadak tetapi secara praktek hal tersebut tidak mengkin terjadi dengan pertimbangan : - Untuk membuat sudut belokan roda depan, pengemudi memerlukan suatu jangka waktu tertentu, berarti juga memerlukan jarak. - Kendaraan yang berjarak pada tikungan yang berjari-jari tertentu akan menerima gaya sentrifugal tertentu pula, dengan timbulnya gaya ini secara mendadak akan menimbulkan gaya lemparan pada diri penumpang (kendaraan). Maka dari itu dalam perencanaan tikungan dibuat lengkung peralihan yang berfungsi untuk mengadakan peralihan dari bagian yang lurus ke bagian yang mempunyai jari-jari kelengkungan atau sebaliknya. Rumus L s = B x m x (en+e) Dimana : B = ½ lebar perkerasan m = 1:landai relatif en = kemiringan normal (2%) c. Kemiringan melintang perkerasan jalan Ada tiga metode mengubah kemiringan melintang perkerasan jalan : - As jalan sebagai sumbu putar - Tepi dalam sebagai sumbu putar - Tepi luar sebagai sumbu putar II-15

Bentuk diagram kemiringan melintang jalan (super elevasi) untuk masingmasing tikungan berbeda-beda. 1. Gambar diagram super elevasi untuk tikungan penuh Gambar 2.2. as jalan sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan Gambar 2.3. tepi dalam sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan Gambar 2.4. tepi luar sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan 2. Gambar diagram super elevasi untuk tikungan spiral circle spiral Gambar 2.5. as jalan sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan II-16

Gambar 2.6. tepi dalam sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan Gambar 2.7. tepi luar sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan 3. Gambar diagram super elevasi untuk tikungan spiral-spiral Gambar 2.8. as jalan sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan Gambar 2.9. tepi dalam sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan II-17

Gambar 2.10. tepi luar sebagai sumbu putar Sumber : Modul Perkuliahan d. Pelebaran perkerasan pada tikungan Pelebaran perkerasan pada tikungan diperlukan karena dalam prakteknya kendaraan pada tikungan tidak dapat membuat lintasan seperti pada lintasan lurus. Hal ini karena kendaraan mempunyai panjang tertentu sedangkan yang diberi sudut belokan hanya roda depan. Sehingga bila kendaraan berjalan lambat ditikungan akan terjadi lindasan roda depan akan lebih besar dari lintasan roda belakang, sedangkan pada waktu kendaraan berjalan cepat akan terjadi ketidak stabilan kendaraan (slip), perlu juga dipertimbangkan pula as roda depan dengan bamper depan, pada lintasan lurus hal ini tidak berpengaruh terhadap lebar perkerasan tetapi pada tikungan berpengaruh. Dari ketiga hal tersebut di atas maka lebar perkerasan pada tikungan perlu diperhitungkan perlu ditambah atau tidak. Rumus-rumus : - Akibat off tracking b 2 2 " R R P b = b+b II-18

- Akibat kendaraan tidak stabil Z 0.105 R V - Akibat as bumper (tonjolan depan) 2 Td R A 2P A R Lebar perkerasan pada tikungan B n b' c n 1 Td Z Dimana : B n = lebar perkerasan pada tikungan (m) = jumlah lajur lalu lintas b = lebar lintasan kendaraan truk pada tikungan (m) Td Z c = lebar melintang akibat tonjolan depan (m) = lebar tambahan akibat kelalaian dalam mengemudi = kebebasan samping (biasanya diambil 0,80m) e. Bentuk-bentuk tikungan Dalam perencanaan tikungan jalan dikenal tiga macam bentuk tikungan, yaitu : 1. Lengkung penuh (full circle) 2. Tikungan Spiral Circle Spiral (CS) 3. Tikungan Spiral Spiral (SS) Lengkung penuh (Full Circle) Tikungan bentuk ini biasa digunakan pada tikungan yang mempunyai jarijari yang besar dan sudut tangent yang relative kecil (<<10 ) sesuai dengan kecepatan rencana. II-19

Rumus-rumus untuk bentuk tikungan Full Circle : Tc = R.Tg Δ/2 Tt cos R 2 R R 1 cos 2 1 L = Δ/360 x 2πR e e max 2 Dmax D 2 e max D max D Dimana : e = super elevasi / kemiringan tikungan e m D D = kemiringan tikungan maksimum = derajat kelengkungan = 1432,4 / R D max = derajat kelengkungan maksimum D max = 1432,4 / R min = 181914,8 (e m +f m )/V 2 Keterangan rumus dan gambar : PI = Point of Intersection R = Jari-jari (m) Δ = Sudut tangent (diukur dari gambar trase) Tc = Tangent circle (awal lengkung) Ct = Circle tangent (akhir lengkung) Tt = Jarak Tc PI L = Panjang lengkung Tc Ct Et = Jarak PI ke lengkung V = Kecepatan rencana II-20

Gambar 2.11. Lengkung Full Circle Tikungan Spiral Circle Spiral Rumus-rumus untuk bentuk tikungan Spiral Circle Spiral adalah sebagai berikut : V 2 Lsmin 0.022 2. 727 R C V e C Rumus di atas berdasarkan perubahan gaya sentrifugal, dimana : Ls = Panjang lengkung spiral (m) V = Kecepatan rencana (km/jam) R = Jari-jari circle (R rencana) C = Perubahan percepatan (0,4 m/s 2 ) e = Super elevasi (e riil) Ls berdasarkan landai relative Ls = B x m x e total Ls = Lengkung peralihan fiktif B = ½ lebar perkerasan II-21

m = 1 : landai relatif e total = Kemiringan total (en+e riil ) Dari Ls dan Ls diambil yang paling besar untuk pedoman minimum Xc Ls Ls 5 2 2 40 R Ls yc = Ls 3 / (6xRxLs) θ θ = Ls / (2xR) (radian) = 28,648 Ls / R (derajat) P = yc [Rx(1-cos θ)] K = xc R sin θ Tt = [(R+P)xTg Δ/2]+K Et = [(R+P)/(cos Δ/2)] R Δc = Δ 2 θ Lc = (Δc / 360) x 2 πr L = Lc + 2 Ls Gambar 2.12. Lengkung Circle Spiral Circle II-22

Bentuk tikungan Spiral Spiral Bentuk tikungan jenis ini biasanya digunakan pada sudut belokan-belokan yang tajam. Adapun rumusnya sama dengan rumus tikungan Spiral Circle Spiral yang berbeda hanya rumus Ls-nya dan ada hal penting yaitu : Lc = 0 Δ = 2,0 Lc = 0 L = 2Ls Ls = (2 π R / 360) x 2 θ (rad) Ls = (θ x R) / 28,648 (derajat) Gambar 2.13. Lengkung Spiral Spiral 2.3.3. Alinyemen Vertikal Dalam perencanaan jalan raya perlu juga diperhitungkan alinyemen vertikal untuk menambah kenyamanan bagi pengguna jalan. Alinyemen vertikal adalah garis potong yang dibentuk oleh bidang vertikal, bentuk ini memberikan gambaran tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli ada beberapa unsur dari alinemen vertikal, yaitu : II-23

a. Landai maksimum - Landai jalan adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya kenaikan atau penurunan dalam jarak horizontal. - Landai maksimum ini sendiri adalah batas dari landai jalan Landai maksimum digunakan bila pembangunan sangat memaksa (kondisi lapangan) dan jarak pendek. b. Panjang kritis Panjang kritis adalah panjang maksimum landai jalan yang masih dapat diterima tanpa mengurangi arus lalu lintas. Akibat panjang ini diperkirakan pengurangan kecepatan maksimum sampai 25 km/jam. Tabel 2.3. : hubungan landai jalan dengan panjang kritis (maksimum) Landai % 3 4 5 6 7 8 10 12 Panjang kritis 480 330 250 200 170 150 135 120 Bila keadaan lapangan ternyata panjang maksimum terlampaui maka diperlukan suatu penambahan lajur khusus pendakian kendaraan berat. Lengkung vertikal Lengkung vertikal adalah garis yang menghubungkan dua kelandaian yang berbeda. Ada dua bentuk lengkung vertikal, yaitu : A. Lengkung vertikal cembung Gambar 2.14. Lengkung Cembung II-24

Rumus : o Berdasarkan jarak pandang henti Lv A S 100 2 h1 2 h2 2 2 Dimana : Lv = Panjang lengkung vertikal (m) A = Perbedaan aljabar landai (%) S = Jarak pandang (m) h 1 = Tinggi mata pengemudi (1,25m) h2 = Tinggi penghalang (0,1m) o Berdasarkan jarak pandang menyiap Lv 25 200 h1 A h2 2 Dimana : h1 = 1,25m h2 = 1,25m B. Lengkung vertikal cekung Rumus-rumus : 1. S < Lv Gambar 2.15. Lengkung Cekung Lv A 150 2 S 3.5 S 2. S > Lv II-25

Lv 150 3.5 A S Rumus umumnya : a q1% 2 q2% Lv 2.4. Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Penentuan tebal perkerasan di sini untuk konstruksi yang menggunakan material berbutir, memiliki parameter-parameter seperti dijelaskan dalam subbab berikut sesuai standar perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen. 2.4.1. Lalu lintas a. Jumlah Lajur berdasarkan Lebar Perkerasan Jalur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan berdasarkan tabel berikut : Tabel 2.4 : Jumlah Lajur berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan (L) (m) Jumlah lajur (n) L<5,50 1 lajur 5,50< L < 8,25 2 lajur 8,25< L < 11,25 3 lajur 11,25< L < 15,00 4 lajur 15,00< L < 18,75 5 lajur 18,75< L < 22,00 6 lajur II-26

b. Koefisien Distribusi Kendaraan Koefisien distribusi kendaraan (c) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana ditentukan menurut tabel berikut : Tabel 2.5 : Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jumlah Kendaraan Ringan *) Kendaraan berat **) Lajur 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,00 2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,50 3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475 4 lajur - 0,30-0,45 5 lajur - 0,25-0,425 6 lajur - 0,20-0,4 *) berat total < 5 ton, misalnya : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran **) berat total > 5 ton, misalnya : truk, bus, traktor, semi traktor, trailer c. Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen - Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan rumus berikut : LEP n j 1 LHRj Cj Ej Dimana : j = jenis kendaraan - Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan rumus berikut : LEA n j 1 LHRj i 1 UR Cj Ej Dimana : i j = perkembangan lalu lintas = jenis kendaraan UR = Umur Rencana - Lintas Ekivalen Tengah (LET) dihitung dengan rumus berikut : LET = (LEP + LEA) / 2 - Lintas Ekivalen Rencana (LER) dihitung dengan rumus berikut : LER = LET x FP II-27

FP = Faktor Penyesuaian Faktor Penyesuaian tersebut di atas ditentukan dengan rumus berikut : FP = UR / 10 2.4.2. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi sebagai berikut : Gambar 2.16. Korelasi CBR dan DDT II-28

2.4.3. Faktor Regional, Indeks Permukaan dan Koefisien Kekuatan Relatif a. Tabel 2.6 : Faktor Regional Iklim I <900mm/th Iklim II >900mm/th Kelandaian I (<6%) Kelandaian II (6-10%) Kelandaian III (>10%) % kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat < 30% >30% < 30% >30% < 30% >30% 0,50 1,00-1,50 1,00 1,50-2,00 1,50 2,00-2,50 1,50 2,00-2,50 2,00 2,50-3,00 2,50 3,00-3,50 b. Indeks Permukaan (IP) Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lalu lintas ekivalen, menurut tabel berikut : Tabel 2.7. : Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP) LER = Lintas Ekivalen Klasifikasi Jalan Rencana*) lokal kolektor arteri tol <10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0-10-100 1,5 1,5-2,0 2,0-100-1000 1,5-2,0 2,0 2,0 - >1000-2,0-2,5 2,0-2,5 2,5 *) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal Catatan : Pada proyek-proyek penunjang jalan, Jalan murah atau jalan darurat maka IP dapat diambil 1,0 II-29

Tabel 2.8. : Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP o ) Jenis Lapis Perkerasan IP o Roughness*) (mm/km) LASTON >4 <1000 3,9-3,5 >1000 LASBUTAG 3,9-3,5 <2000 3,4-3,0 >2000 HRA 3,9-3,5 <2000 3,4-3,0 >2000 BURDA 3,9-3,5 <2000 BURTU 3,4-3,0 <2000 LAPEN 3,4-3,0 <3000 2,9-2,5 >3000 LATASBUM 2,9-2,5 - BURAS 2,9-2,5 - LATASER 2,9-2,5 - JALAN TANAH <2,4 - JALAN KERIKIL <2,4 - c. Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien ini masing-masing bahan yang digunakan pada lapis permukaan, lapis pondasi atas dan pondasi bawah. Ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk material dengan aspal) atau dengan cara lain seperti : Hveem Test, Hubbard Field, dan Smith Triaxial. Koefisian kekuatan relatif tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini : II-30

Tabel 2.9. : Kekuatan Relatif (a) Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan bahan Jenis Bahan a1 a2 a3 Kt(kg/cm) CBR(%) Ms 0,4 744 Laston 0,35 590 0,32 454 0,3 340 0,35 744 Lasbutag 0,31 590 0,28 454 0,26 340 0,3 340 HRA 0,26 340 Aspal macadam 0,25 Lapen (mekanis) 0,2 Lapen (manual) 0,28 5980 Laston atas 0,26 454 0,24 340 0,23 Lapen (mekanis) 0,19 Lapen (manual) 0,15 22 Stabilitas tanah 0,13 18 Dengan semen 0,14 100 Pondasi macadam (basah) 0,12 60 Pondasi macadam (kering) 0,14 100 Batu pecah (A) 0,13 80 Batu pecah (B) 0,12 60 Batu pecah (C) 0,13 70 Sirtu (A) 0,12 50 Sirtu (B) 0,11 30 Sirtu (C) 0,1 20 Tanah lempung Kepasiran II-31

II-32