HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

dokumen-dokumen yang mirip
DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

ANALISIS GERAK BINTIK MATAHARI BIPOLAR SEBELUM TERJADI FLARE PADA NOAA 0484 TANGGAL 21 DAN 22 OKTOBER 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR,

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

Diterima: 28 April 2016; direvisi: 3 Juni 2016; disetujui: 14 Juni 2016 ABSTRACT

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

ANALIS1S EVOLUSI GRUP SUNSPOTSPD WATUKOSEK UNTUK MEMPEROLEH INDIKATOR KEMUNCULAN FLARE

ANCAMAN BADAI MATAHARI

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET

1.2 Tujuan Makalah Makalah ini dibuat untuk membantu para taruna-taruni dalam hal memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan medan magnet Bumi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010

BAB III METODE PENELITIAN

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

PENGUAPAN KROMOSFER YANG TERKAIT DENGAN FLARE TANGGAL 13 MEI 2013 (CHROMOSPHERIC EVAPORATION RELATED TO THE MAY 13, 2013 FLARE)

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

Pola Variasi Reguler Medan Magnet Bumi Di Tondano

BAB III METODE PENELITIAN

GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT

MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

SOAL PILIHAN GANDA ASTRONOMI 2008/2009 Bobot nilai masing-masing soal : 1

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH UMUM

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

LIMIT BAWAH BILANGAN SUNSPOT UNTUK SUNSPOT YANG BERPOTENSI MELEPASKAN FLARE : METODA PERINGATAN DINI ANTARIKSA

ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI

Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet

ANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI

Anwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati Pusat Sains Antariksa

TELAAH MODEL NUMERIK MEKANISME TERJADINYA FLARE DI MATAHARI

ABSTRACT ABSTRAK 1 PENDAHULUAN

Gambar (a) Arah medan magnet, (b) Garis-garis medan magnet

Variasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23

LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI

ANALISIS PENGARUH FLARE DAN CME TERHADAP INDEKS DST PASCA GERHANA BULAN TOTAL 8 OKTOBER 2014

APLIKASI VEKTOR UNTUK ANALISIS PERGERAKAN GRUP SUNSPOT MATAHARI DARI DATA SUNSPOT SIKLUS KE-23

OLIMPIADE SAINS NASIONAL TAHUN 2009 TINGKAT KABUPATEN/KOTA FISIKA SMP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

TOPIK 9 ELEKTROMAGNETIK

HUBUNGAN LUAS DAN TEMPERATUR UMBRA SUNSPOT MENGGUNAKAN SOFTWARE INTERACTIVE DATA LANGUAGE (IDL)

Perbandingan Model Linier Versus Analisis Vektor pada Gerak Grup Sunspot di Lintang Selatan dari Siklus Matahari Ke-23

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

Dari data soal. Pembahasan Data dari soal di atas: r 1 = R r 2 = 2R g 1 = 10 m/s 2 g 2 =...

BAB 1 BESARAN VEKTOR. A. Representasi Besaran Vektor

PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda

KARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE

METODE BARU PRAKIRAAN SIKLUS AKTIVITAS MATAHARI DARI ANAL1SIS PERIODISITAS

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA KALA HIDUP SATELIT

PENGEMBANGAN SOFTWARE DETEKSI OTOMATIS SUDDEN COMMENCEMENT BADAI GEOMAGNET NEAR REAL TIME

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

GERAK BUMI DAN BULAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

BESARAN VEKTOR. Gb. 1.1 Vektor dan vektor

ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK

BAB II MOTOR ARUS SEARAH. searah menjadi energi mekanis yang berupa putaran. Pada prinsip

Daftar Isi. Tata Surya. Matahari. Gerak edar bumi dan bulan. Lithosfer. Atmosfer.

cuaca antariksa fenomena Edisi Revisi sebuah persembahan dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini, data harian yang diambil merupakan data sekunder

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)

GAYA LORENTZ Gaya Lorentz pada Penghantar Berarus di dalam Medan Magnet

Transkripsi:

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI Clara Y. Yatlnl Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id ABSTRACT The solar magnetic helicity obey the helicity rule. Negative helicity dominates in the northern hemisphere, and positive helicity dominates in the southern part. The magnetic helicity does not agree with the 11 or 22year solar cycles. In strong flares, the helicity patches that disagreed with the hemispheric sign rule show significant changes around the flare time, while in the weak flares, such change is not observed succesfully. ABSTRAK Helisitas di matahari mengikuti kaidah tertentu, Hemisfer utara helisitas yang dominan adalah helisitas negatif sedangkan di selatan adalah helisitas positif. Helisitas magnetik ini tidak berubah sepert siklus aktivitas matahari 11 atau 22 tahun. Pada flare yang kuat terjadi perubahan pada helisitas yang mempunyai polaritas berlawanan dengan kaidah helisitas yang cukup signifikan pada waktu sebelum dan saat terjadinya flare, sedangkan pada flare yang lemah perubahan ini belum berhasil diamati. 1 PENDAHULUAN Konsep helisitas magnetik (magnetic helicity) dibangun untuk menjelaskan topologi medan magnetik. Helisitas magnetik dapat membantu dalam memahami rekoneksi magnetik, proses dinamo, dan proses relaksasi. Dalam bidang fisika matahari konsep ini digunakan untuk mempelajari topologi medanmedan magnetik di daerah konveksi matahari, fotosfer, kromosfer, korona, dan di ruang antar planet. Di matahari banyak sekali fenomena helical. Beberapa fenomena helical di atmosfer matahari antara lain adalah whirls atau gerak memutar di sekitar bintik matahari (Gambar 11), filament chirality atau arah dan kecondongan filamen (Gambar 12), serta helisitas di fotosfer. Di korona matahari struktur yang dikenal dengan sigmoid atau berbentuk S juga merupakan akibat dari medan magnetik yang terpuntir. Sedangkan helisitas di ruang antar planet dapat ditunjukkan dengan fenomena CME (Coronal Mass Ejection atau lontaran massa korona). Gambar 1 1: Contoh penumbra! whirls (Norikura Solar Observatory, h ttp: / / solarwww. mtk. nao. a c.jp/en/norikura.html) 129

Gambar 12: Filament chirality (Big Bear Solar Observatory, http://www. bbso.njit.edu) Berkaitan dengan filament chirality atau tanda helisitas (positif atau negatif) Chae (2000) memperkenalkan metode baru untuk menentukan tanda helisitas dengan mengamati benang terang dan gelap pada fllamen pada pengamatan EUV. Asumsiasumsi yang digunakan adalah sebagai berikut. Filamen terdiri dari benang benang halus. Benangbenang halus ini mengikuti garisgaris medan magnetik di dalam filamen. Medan magnet di dalam 2 benang yang bersilangan membentuk sudut yang kecil dan mempunyai tanda helisitas yang sama. 130

I II III IV Gambar 21: Empat kondisi persilangan antara benangbenang terang dan gelap Gambar 22: Contoh pita flare yang memotong filamen. Persilangan yang ditunjukkan dengan no. 3 merupakan tipe III (helisitas negatif) (Chae, 2000) Chae (2000) menggambarkan hasil pengamatan dengan EUV seperti pada Gambar 21. Tipe I dan II mengindikasikan helisitas positif, sedangkan tipe III dan IV mengindikasikan helisitas negatif. Sebagai contoh, Gambar 22 menunjukkan helisitas negatif. 131 Untuk lebih memudahkan penggambaran helisitas ini maka digunakan metode tangan kiri dan kanan. Helisitas negatif digambarkan dengan tangan kiri, sedangkan helisitas positif digambarkan dengan tangan kanan. Tanda panah menunjukkan arah medan magnetik. Helisitas positif (puntiran

tangan kanan) ditunjukkan pada kondisi I dan II, sedangkan negatif (puntiran tangan kiri) ditunjukkan pada kondisi III dan IV (Chae, 2000) 3 DISTRIBUSI HELISITAS DI HEMIS FER MATAHARI Seehafer (1990) melihat adanya perbedaan helisitas di hemisfer utara dan selatan matahari (asimetri), yaitu salah satu helisitas (positif/ negatif) dominan di salah satu hemisfer, sementara helisitas yang berlawanan dominan di hemisfer yang lain. Tabel 31 memperlihatkan secara statistik distribusi helisitas di hemisfer utara dan selatan matahari yang diamati oleh beberapa sumber untuk siklus ke 22 dan 23. Pada tabel ini dapat dilihat perbedaan helisitas di hemisfer utara dan selatan matahari. Pada kedua siklus ini helisitas negatif lebih dominan di hemisfer utara, sedangkan helisitas positif lebih dominan di hemisfer selatan (Gambar 31). Dari sini dapat disimpulkan bahwa kaidah helisitas pada siklus ke 23 sama dengan siklus sebelumnya (siklus ke 22). Tabel 31: DISTRIBUSI HELISITAS DI HEMISFER MATAHARI Referensi Pevtsov et al. (1995) Longcope et al. (1998) Abramenko et al. (1998) Bao& Zhang (1998) Bao et al. (2000) Pevtsov et al. (2001) Siklus ke 22 22 22 22 23 23 Hemisfer selatan Negatif 70% 62% 79% 84% 59% 63% Helisitas Positif 69% 66% 86% 79% 65% 70% Sumber Data Mees Mees Huairou Huairou Huairou Mees Gambar 31: Kaidah helisitas di hemisfer. Daerah aktif di utara (selatan) hemisfer cenderung menunjukkan helisitas negatif (positif) 132

4 VARIASI HELISITAS DAN SIKLUS AKTIVITAS MATAHARI Helisitas dari medan magnetik semestinya berkaitan erat dengan mekanisme pembangkitan medan magnetik dan siklus aktivitas matahari. Telah disebutkan di atas bahwa siklus ke 23 ternyata mempunyai tanda helisitas yang sama dengan sebelumnya. Seperti yang telah diketahui bahwa medan magnetik matahari mempunyai siklus 22 tahun, yaitu 2x siklus aktivitas simspotnya. Untuk mengetahui apakah helisitas ini berkaitan juga dengan siklus 22 tahun medan magnet, maka perlu dilihat siklus yang lain, yaitu siklus ke 21. Hagino (2004) menganalisa helisitas untuk daerahdaerah aktif pada sebagian siklus ke 21 (tahun 19831986) dan mendapatkan bahwa helisitas ternyata tidak berubah, yaitu bahwa hemisfer utara mempunyai helisitas negatif, sedangkan hemisfer selatan mempunyai helisitas positif. Penyebab helisitas ini dan distribusinya di hemisfer masih dalam perdebatan. Belum ada teori yang pasti ten tang hal ini. Akan tetapi dari beberapa penelitian diketahui bahwa mekanismemekanisme seperti gaya Coriolis, rotasi diferensial, dan dinamo lapisan di matahari terlibat dalam proses ini. 5 HELISITAS MAGNETIK DAN FLARE Untuk mengetahui kaitan antara perubahan helisitas pada daerah aktif yang terkait dengan flare, maka dilakukan beberapa studi tentang helisitas pada beberapa daerah aktif yang menghasilkan flare. Sebagai contoh ditampilkan beberapa daerah aktif, yaitu NOAA 9415, NOAA 9661, NOAA 7912, dan NOAA 8100. 5.1 Daerah aktif NOAA 9415 Daerah aktif ini muncul pada bulan April 2001, dan terletak di hemisfer selatan (S22). Selama di permukaan matahari melontarkan beberapa flare kelas X, salah satunya adalah flare X2.3 pada tanggal 10 April 2001 yang mulai pada jam 05.06 UT. Sesuai dengan kaidah helisitas, maka helisitas yang dominan pada daerah ini adalah helisitas positif (Gambar 51). Helisitas pada daerah yang terjadi flare (lokal) ditunjukkan pada Gambar 52. Daerah kelabu pada gambar menunjukkan selang waktu terjadinya flare. Dibandingkan dengan total helisitas pada daerah total (seluruh daerah aktif yang teramati), maka pada helisitas lokal ini terlihat ada perubahan yang lebih jelas pada saat terjadi flare. Perubahan terjadi pada helisitas negatif. 5.2 Daerah aktif NOAA 9661 Pada tanggal 19 Oktober 2001 jam 01.05 UT daerah aktif NOAA 9661 yang terletak di lintang 6 melontarkan flare kelas XI.6. Daerah aktif ini mempunyai helisitas negatif, meskipun amplitudonya sangat kecil (Gambar 53). Gambar 54 memperlihatkan helisitas lokal pada daerah tersebut. Pada kejadian flare di sini perubahan helisitas terjadi pada helisitas positif. Sama halnya dengan daerah aktif NOAA 9415, kedua flare besar ini (kelas X) mengakibatkan perubahan helisitas pada polaritas yang berbeda dengan helisitas pada daerah yang terjadi flare. 5.3 Daerah aktif NOAA 7912 Daerah ini menghasilkan flare M4.8 pada tanggal 13 Oktober 1995 jam 05:00 dan berakhir pada jam 05:21 UT. Posisinya di S10 E43, yaitu di hemisfer selatan matahari, sehingga helisitasnya adalah positif seperti pada Gambar 55, walaupun hampir tidak terlihat. Helisitas positif ini lebih terlihat pada daerah lokal, yaitu tempat terjadinya flare, seperti pada Gambar 56. Akan tetapi pada helisitas lokal inipun tidak terlihat adanya perubahan selama ataupun sebelum terjadinya flare. Helisitas totalnya pun tidak tampak berubah. 133

Gambar 5l:Magnetogram NOAA 9415 pada tanggal 10 April 2001 (kiri). Terang (gelap) menunjukkan polaritas positif (negatif). Garis kontur pada gambar menunjukkan helisitas positif (garis tidak terputus) dan negatif (garis putusputus) (Mitaka Solar Observatory). Gambar kanan menunjukkan helisitas daerah tersebut (Hagino, 2004).Tanda o menunjukkan helisitas positif, menunjukkan helisitas negatif, dan A menunjukkan resultannya 4:00 5:00 e(ut) 5:00 Gambar 52: Helisitas lokal NOAA 9415 (daerah dalam kotak pada Gambar 51 kiri) di daerah yang terjadi flare (Hagino, 2004). Tanda o menunjukkan helisitas positif, menunjukkan helisitas negatif, dan a menunjukkan resultannya Gambar 53: Magnetogram NOAA 9611 pada tanggal 19 Oktober 2001 (kiri). Terang (gelap) menunjukkan polaritas positif (negatif). Garis kontur pada gambar menunjukkan helisitas positif (garis tidak terputus) dan negatif (garis putusputus) (Mitaka Solar Observatory). Gambar kanan menunjukkan helisitas daerah tersebut (Hagino, 2004). Simbol yang digunakan sama dengan Gambar 51. 134

Gambar 54: Helisitas lokal NOAA 9611 di daerah yang terjadi flare (Hagino, 2004). Flare terjadi di daerah dalam kotak pada Gambar 53 (kiri). Simbol yang digunakan sama dengan Gambar 52 Gambar 55: Magnetogram NOAA 7912 pada tanggal 13 October 1995 (kiri). Terang (gelap) menunjukkan polaritas positif (negatif). Garis kontur pada gambar menunjukkan helisitas positif (garis tidak terputus) dan negatif (garis putusputus). Gambar kanan menunjukkan helisitas daerah tersebut. Simbol o di atas, di tengah dan di bawah masingmasing menunjukkan helisitas positif, resultannya, dan helisitas negatif Gambar 56: Helicity lokal NOAA 9415 di daerah yang terjadi flare, yaitu daerah dalam kotak pada Gambar 55 (kiri). Simbol o di atas, di tengah dan di bawah masingmasing menunjukkan helisitas positif, resultannya, dan helisitas negatif 135

Gambar 57: Magnetogram NOAA 8100 pada tanggal 4 November 1997 (kiri). Terang (gelap) menunjukkan polaritas positif (negatif). Garis kontur pada gambar menunjukkan helisitas positif (garis tidak terputus) dan negatif (garis putusputus). Gambar kanan menunjukkan helisitas daerah tersebut. Simbol o di atas, di tengah dan di bawah masingmasing menunjukkan helisitas positif, resultannya, dan helisitas negatif Gambar 58: Helicity lokal NOAA 8100 (dalam kotak pada Gambar 57 sebelah kiri) di daerah yang terjadi flare. Simbol o di atas, di tengah dan di bawah masingmasing menunjukkan helisitas positif, resultannya, dan helisitas negatif 5.4 Daerah aktif NOAA 8100 Flare yang teramati dari daerah aktif ini adalah flare kelas C8.6 yang terjadi pada tanggal 3 November 1997. Flare muncul pada jam 04:32 dan berakhir pada 04:49 UT. Daerah aktif ini terletak di hemisfer selatan (S20), sehingga semestinya menurut kaidah helisitas helisitasnya adalah positif, walaupun helisitas ini terlihat pada daerah lokal (Gambar 58) dibandingkan dengan selur uh daerah aktif (Gambar 57) 5.5 Perubahan Helisitas Pada Daerah Aktif Dari empat daerah aktif yang dibahas di atas, semuanya mengikuti kaidah helisitas yaitu di daerah aktif yang terletak di hemisfer matahari bagian utara mempunyai helisitas negatif (NOAA 9661), sedangkan yang terletak di selatan mempunyai helisitas positif (NOAA 9415, 7912, 8100). Dari keempatnya, ada 2 daerah aktif (NOAA 9415 dan 9611) yang menunjukkan perubahan helisitas terjadi di daerah lokal (tempat terjadinya flare) yang ber 136

lawanan polaritas dengan polaritas helisitas di daerah aktif secara keseluruhan. Perubahan terjadi hampir mendekati saat terjadinya flare dan saat berlangsungnya flare tersebut. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Bao et. al. (2000) dan Hagino (2004). Akan tetapi pada dua daerah aktif yang lain, yaitu NOAA 7912 dan 8100, tidak tampak perubahan yang mencolok pada helisitasnya. Masih belum bisa dipastikan apakah perubahan hanya terjadi di daerah yang menghasilkan flare yang kuat saja, sementara untuk daerah yang menghasilkan flare yang lemah tidak terjadi perubahan. 6 KESIMPULAN Kaidah helisitas yang terdapat di matahari terbagi menjadi 2 polaritas (tanda), yaitu helisitas positif lebih dominan di hemisfer selatan, sedangkan helisitas negatif lebih dominan di hemisfer utara. Sampai saat ini diketahui bahwa kaidah helisitas ini tidak berubah seperti halnya polaritas hemisfer matahari yang mempunyai siklus 22 tahun. Pada hampir tiga siklus yang telah dirujuk, helisitas di masingmasing hemisfer matahari tidak berubah. Perubahan helisitas sebelum dan sesudah terjadinya flare terjadi pada bagian di daerah aktif yang mempunyai polaritas yang berlawanan dengan kaidah helisitas di daerah aktif tersebut (Hagino, 2004). Akan tetapi pada daerah aktif dengan flare yang kurang kuat (lemah) perubahan ini tidak teramati. Meskipun demikian, kaitan antara perubahan helisitas pada daerah aktif yang menghasilkan flare besar, yaitu adanya kenaikan helisitas pada daerah yang mempunyai helisitas yang berlawanan dengan kaidah helisitas, dapat memberikan cara untuk memprakirakan terjadinya flare yang tentunya berkaitan dengan prakiraan cuaca antariksa. DAFTAR RUJUKAN Abramenko, V.I., Wang, T.J., Yurchsin, V.B., 1996. Solar Phys. 168, 47. Bao, S., Zhang, H., 1998. Astrophys. J. 496, L43. Bao, S., Ai, G.X., Zhang, H.Q., 2000. Astron & Astrophys. 21, 303. Big Bear Solar Observatory, http://www. bbso.njit.edu. Chae, J., 2000. Astrophys. J, 540L, 115. Hagino, M., 2004. Magnetic Helicity of Solar Active Regions, PhD thesis, Meisei University. Longcope, D.W., Fisher, G.H., Pevtsov, A.A., 1998. Astrophys. J. 507, 417 Mitaka Solar Observatory, http:// solarwww.mtk.nao.ac.jp. Norikura Solar Observatory, http:// solarwww.mtk.nao.ac.jp/en/noriku ra.html. Pevtsov, A.A., Canfield, R.C., Metcalf, T.R.,1995. Astrophys. J., 440, L109. Pevtsov, A.A., Canfield, R.C., Lasushko, S.M., 2001. Astrophys. J., 549, L261. Seehafer, N., 1990. Solar Phys. 125, 219. 137