KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23
|
|
- Budi Kartawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 190 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal KARAKTERISTIK BADAI GEOMAGNET BESAR DALAM SIKLUS MATAHARI KE-22 DAN 23 Sarmoko Saroso Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) INTISARI Badai geomagnet besar dengan indeks Dst lebih kecil dari 100 nt dalam siklus matahari ke 22 dan ke 23 berjumlah 158 kejadian. Telah dilakukan pengolahan data dan analisisnya sepanjang siklus ke 22 dan saat aktivitas maksimum pada siklus ke 23. Selain itu, juga dibahas kejadian badai geomagnet besar dalam periode tersebut dengan berbagai karakteristiknya, seperti keterkaitannya dengan siklus matahari dan variasi musim. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemunculan badai geomagnet tahunan berkorelasi sangat kuat dengan siklus bilangan sunspot, tetapi tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Durasi fase awal paling dominan adalah antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Dari variasi musiman terlihat bahwa puncak terjadinya badai geomagnet besar adalah pada bulan April dan Oktober. Kata Kunci: Badai Geomagnet, Indeks Dst, Siklus Matahari I. PENDAHULUAN Kejadian badai geomagnet berhubungan dengan fenomena yang timbul di matahari terutama pada saat matahari aktif, yaitu berupa lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection-CME) yang menyebabkan gangguan terhadap angin matahari dan berakibat pada peningkatan aktivitas medan magnet bumi melalui kopling angin matahari magnetosfer ionosfer yang akan memicu terjadinya badai geomagnet. Lontaran massa korona merupakan peristiwa terlontarnya plasma dalam jumlah besar dan membawa medan magnet dari matahari yang seringkali berasosiasi dengan flare. Materi ini menuju medium antar planet dan bila mengarah ke bumi akan mencapai bumi dalam waktu 1 5 hari. CME ini dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya gangguan di ruang antar planet yang akan memicu terjadinya badai geomagnet (Thompson, 1989; Webb et al., 2000). Akan tetapi tidak semua CME dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet (Cane et al., 2000). Medan magnet antar planet yang kuat terkait dengan aliran plasma berkecepatan tinggi yang berasal dari lontaran massa korona (CME) dan gelombang kejut serta medan terkompresi akibat tumbukan antara plasma berkecepatan tinggi dengan angin surya yang berkecepatan rendah yang mendahuluinya. Dalam hal ini, kompresi yang terjadi bergantung pada intensitas gelombang kejut yang terkait dengan aliran plasma berkecepatan tinggi. Makin tinggi kecepatan aliran plasma makin kuat gelombang kejut serta medan terkompresi. Pada saat matahari maksimum, aktivitas matahari didominasi oleh flare dan CME. CME berkecepatan tinggi (> 500 km/s) yang berasal dari matahari bergerak menuju ruang antar planet dengan membawa medan magnet yang berintensitas tinggi. Dampak dari CME ini akan menimbulkan gelomban kejut yang menjalar ke bumi melalui medium antar planet yang mengakibatkan terjadinya SSC (Sudden Storm Commencement) dan SI (Sudden Impulse). Pada saat matahari minimum, pengaruh lubang korona (coronal holes) sangat dominan pada medium antar planet. Lubang korona tersebut akan bermigrasi dari daerah polar ke lintang yang lebih rendah bahkan kadang-kadang sampai ke ekuator matahari (Jackson, 1997). Data hasil observasi Ulysses menunjukkan bahwa aliran plasma yang berasal dari lubang tersebut mempunyai kecepatan km/s dan didominasi oleh gelombang Alfven yang beramplitudo besar. Pada saat siklus matahari menurun, ketika lubang korona bermigrasi ke lintang yang lebih rendah, aliran plasma yang berasal dari lubang korona akan corotate dalam interval 27 hari yang dikenal sebagai corotating streams. Aliran plasma ini akan menerpa magnetosfer bumi dengan interval yang periodik dan akan menyebabkan badai geomagnet yang berulang (recurrent geomagnetic storms). Tetapi pada umumnya badai geomagnet tersebut hanya berkekuatan sedang (Tsurutani et al., 1995). Corotating streams dapat menimbulkan medan magnet yang intens bila aliran plasma tersebut berinteraksi dengan aliran plasma yang berkecepatan lebih rendah. Fenomena ini pertama kali diketemukan dari data hasil observasi Pioneer 10 dan 11, dan daerahnya oleh Smith and Wolf (1976) dinamakan sebagai Corotating Interaction Regions (CIRs).
2 Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan Untuk mengetahui aktivitas matahari yang berpengaruh pada bumi perlu dilakukan pengamatan terhadap CME dan flare secara kontinu. Meskipun CME dan flare merupakan fenomena yang berbeda namun seringkali terjadi secara simultan. Pengamatan terhadap kedua fenomena ini menunjukkan bahwa CME dan flare berkaitan dengan kejadian badai geomagnet, sedangkan fenomena kompresi yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dinamis dari angin matahari mengakibatkan terjadinya peningkatan awal dari medan magnet bumi sebelum terjadinya badai geomagnet yang dikenal sebagai peristiwa SC (Sudden Commencement) di mana pada saat itu komponen medan magnet antar planet mengarah ke selatan. Jika badai geomagnet terjadi tanpa diawali oleh peningkatan awal dari medan magnet bumi, maka peritiwa tersebut dikenal sebagai GC (Gradual Commencement) yang terjadinya disebabkan oleh angin matahari yang berkecepatan tinggi yang berasal dari lubang korona (Zirker, 1977). Pengamatan yang terkait dengan kejadian badai geomagnet telah sejak lama dilakukan, yaitu yang pertama kali oleh Broun (1861) kemudian oleh Adams (1892) dan dilanjutkan oleh peneliti lainnya. Akan tetapi yang pertama kali dapat mengidentifikasi pola badai magnet adalah Moos (1910) yang mengamati terjadinya peningkatan mendadak dari komponen H geomagnet di Colaba, India, kemudian diikuti oleh penurunan yang cepat selama beberapa jam dan diakhiri dengan fase pulih yang lambat selama 2-3 hari. Chapman (1918) mendefinisikan kejadian tersebut sebagai magnetic storm dan menamakan urutan kejadian badai magnet tersebut, yang pertama terjadi sebagai SC kemudian fase awal (initial phase), fase utama (main phase), dan diakhiri dengan fase pulih (recovery phase). Selain itu, Chapman juga yang pertama kali mengamati dampak badai magnet di berbagai stasiun geomagnet di dunia. Sugiura and Chapman (1960) telah melaporkan hasil studi mereka yang monumental dari 346 kejadian badai magnet di 24 stasiun selama rentang waktu Mereka juga mendefinisikan terminologi baru, yaitu Disturbance storm time yang direpresentasikan sebagai indeks Dst, yang menggambarkan gangguan pada komponen H geomagnet saat terjadi badai. Tingkat badai geomagnet dapat diklasifikasikan sebagai badai besar (Dst -100), badai sedang (-100 < Dst < -50) dan badai lemah (Dst -50). Tanda negatif menunjukkan gangguan pada komponen H geomagnet arahnya ke selatan. Dalam makalah ini dianalisis secara statistik karakteristik badai geomagnet besar yang sangat diperlukan dalam menjelaskan berbagai aspek terkait dengan kejadian badai geomagnet II. METODE PENELITIAN Langkah awal dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi terhadap munculnya badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai besar dengan kriteria indeks Dst lebih kecil dari 100 nt dalam siklus matahari ke-22 dan 23. Kemudian ditentukan frekuensi kejadian badai SC dan GC. Setelah itu, ditentukan pula frekuensi kejadian untuk fase awal dalam selang waktu 0-2, 3-4, 5-6, 7-8, dan > 8 jam, fase utama dalam selang waktu 0-6, 7-12, 13-18, 19-24, dan > 24 jam, dan fase pulih dalam selang waktu 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5 dan> 5 hari. Selanjutnya diamati variasi musiman dari kejadian badai geomagnet besar yang terjadi selama tahun Pengumpulan data indeks Dst jam-an diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database ( swdcdb.kugi.kyoto-u.jp/dstdir) and from National Space Science Data Center (NSSDC) database ( dan dan waktu kejadian SC (Sudden Commencement) diperoleh dari National Geophysical Data Center (NGDC) database (ftp;//ftp.ngdc.noaa.gov/stp/solar DATA/ SUDDENCOMMENCEMENT/STORM2.SS/). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Badai geomagnet besar dengan indeks Dst lebih kecil dari 100 nt dalam siklus matahari ke 22 dan ke 23 berjumlah 158 kejadian, dimana 82 kejadian badai tipe SC dan 76 kejadian badai tipe GC. Pada umumnya, badai geomagnet besar terjadi saat aktivitas matahari maksimum dan hanya sebagian kecil saja yang terjadi saat matahari minimum akibat pengaruh lubang korona. Data yang ditinjau dalam siklus matahari ke-22 dan 23 adalah dari periode tahun , dimana periode tahun , dan adalah saat aktivitas matahari minimum dan periode tahun and 2000 adalah saat aktivitas matahari maksimum. Umumnya siklus matahari hanya mempunyai satu puncak dimana bilangan sunspotnya maksimum. Akan tetapi siklus matahari yang ke-22 merupakan kekecualian karena mempunyai dua puncak, yaitu pada tahun 1989 dan Fase maksimum dari siklus matahari ke-22 hanya ditentukan dari periode tahun Jumlah frekuensi kejadian badai geomagnet dalam periode , yang terdiri dari badai SC dan badai GC pada saat aktivitas matahari maksimum dan minimum dapat dilihat pada Tabel 1.
3 192 Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23 Tabel 1 - Jumlah frekuensi kejadian badai geomagnet saat aktivitas matahari maksimum dan minimum dalam siklus matahari ke-22 dan 23 Tipe Badai Frekuensi kejadian Fase maksimum Fase minimum Badai besar 15,50 7,38 Badai SC 8,25 3,76 Badai GC 7,25 3,62 Dari Gambar 1 terlihat bahwa kejadian badai geomagnet besar mempunyai korelasi yang signifikan dengan bilangan sunspot, dan tidak demikian halnya dengan kejadian badai SC dan GC tiap tahunnya yang tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Saat awal terjadinya badai umumnya bersamaan dengan kejadian SC (Gonzales et al., 1992). Zhu dan Wada (1983) menyatakan bahwa indeks Dst mencapai minimum dalam waktu sekitar jam setelah kejadian SC dan jumlah kejadian SC tidak bergantung pada setiap perubahan dari besarnya indeks Dst. Dalam penelitian ini, 52% dari kejadian badai geomagnet besar berkaitan dengan kejadian SC, dan juga teramati bahwa untuk sebagian besar kasus, saat awal dari fase utama selalu diikuti kejadian SC. Untuk kasus dimana kejadian SC bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar, perbedaan waktu antara kejadian SC dan saat awal dari fase utama bervariasi antara 0-2 jam, serta waktu pulihnya lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai geomagnet besar yang tidak bersamaan dengan kejadian SC. Gambar 1. Frekuensi kejadian badai geomagnet besar dari tahun , yang terdiri dari badai SC, total kejadian badai, dan badai GC. Kejadian badai geomagnet dapat dibagi menjadi tiga fase, yang pertama adalah fase awal, kemudian fase utama, dan diakhiri dengan fase pulih. Gambar 2 menunjukkan histogram dari durasi ketiga fase. Gambar 2. Histogram dari frekuensi kejadian badai geomagnet besar dari tahun dan durasi fase awal, fase utama, dan fase pulih.
4 Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan tersebut. Selanjutnya ditentukan frekuensi kejadian untuk fase awal dalam selang waktu 0-2, 3-4, 5-6, 7-8, dan > 8 jam, fase utama dalam selang waktu 0-6, 7-12, 13-18, 19-24, dan > 24 jam, dan fase pulih dalam selang waktu 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5 dan> 5 hari, karena umumnya fase pulih lebih lama. Dari histogram tersebut terlihat bahwa durasi fase awal paling dominan antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Selain itu, durasi fase awal selalu lebih lambat dari fase pulih, dan waktu pulih saat kejadian SC yang bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar akan selalu lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai yang tidak bersamaan dengan kejadian SC. Hasil pengolahan data ini bersesuaian dengan hasil yang diperoleh Kane (1977). Dari Gambar 3 terlihat bahwa frekuensi kejadian badai geomagnet besar pada bulan Januari s.d. Desember dari tahun menunjukkan variasi setengah-tahunan (semi-annual variation). Menurut Russel and McPherron (1973) hal ini disebabkan oleh lontaran plasma dari matahari yang mengarah ke bumi dalam jumlah besar bergantung pada variasi musim. Variasi setengah-tahunan (semi-annual variation) dari aktivitas geomagnet ini telah dianalisis dengan menggunakan berbagai metode (Crooker and Siscoe, 1986; Crooker, et al., 1992, Saroso, 2006; Gonzales et al., 2007). Hasil analisis tersebut diantaranya menunjukkan bahwa pengaruh angin surya pada magnetosfer menjadi semakin kuat pada saat musim semi (spring) dan musim gugur (fall). Crooker et al. (1992) menyatakan bahwa 30-40% kejadian badai geomagnet terjadi selama matahari berada di ekuinoks, yaitu pada bulan Maret dan September dan 5% terjadi pada bulan Juni dan Desember. Pengaruh dari variasi musim terhadap kejadian badai ini sangat jelas terlihat pada Gambar 3 di mana variasinya merupakan siklus setengah-tahunan yang puncaknya disekitar bulan April dan Oktober. Gambar 3. Histogram dari frekuensi kejadian badai geomagnet besar pada bulan Januari s.d. Desember dari tahun , dan bil. sunspot (SSN) rata-rata bulanan. IV. KESIMPULAN Telah dilakukan pengolahan data dan analisis dari kejadian badai geomagnet besar sepanjang siklus ke 22 dan saat aktivitas maksimum pada siklus ke 23. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemunculan badai geomagnet tahunan berkorelasi sangat kuat dengan siklus bilangan sunspot, tetapi tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan fase maksimum dan minimum dari siklus matahari. Durasi fase awal paling dominan adalah antara 0-2 jam, sedangkan durasi fase utama dan fase pulih masing-masing antara 7-12 jam dan 2-3 hari. Selain itu, durasi fase awal selalu lebih lambat dari fase pulih, dan waktu pulih saat kejadian SC yang bersamaan dengan kejadian badai geomagnet besar akan selalu lebih cepat bila dibandingkan dengan kejadian badai yang tidak bersamaan dengan kejadian SC. Variasi setengah-tahunan dari kejadian badai geomagnet besar menunjukkan bahwa variasinya merupakan siklus setengah-tahunan yang puncaknya disekitar bulan April dan Oktober. V. DAFTAR PUSTAKA Adams, W.G Comparison of simultaneous disturbance at several observatories. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series A 183, Broun, J.A Horizontal force of the earth s magnetism. Transactions of the Royal Society of Edinburg 22, 511.
5 194 Sarmoko Saroso / Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari Ke-22 dan 23 Cane, H. V., Richardson, I. G., St. Cyr, O. C Geophys. Res. Letter, 27, Chapman, S An outline of theory of magnetic storms. Proceedings of the Royal Society of London A 95, Crooker, N. U. and Siscoe, G. L Physics of the Sun, edited by P. A. Sturrock, Reidel, Massachusetts, 193. Crooker, N. U., Cliver, E. W. and Tsurutani, B. T J. Geophys. Res. Lett. 19, 429. Gonzalez, W. D., Gonzalez, A. L. C., Mendes O. (Jr) and Tsurutani, B. T EOS Trans AGU, 180. Gonzalez, W. D., Echer, E., Clua-Gonzalez, A. L., and Tsurutani, B. T Geophys. Res. Lett., 34, L06101, doi: /2006gl Jackson, B.V., Heliospheric observations of solar disturbances and their potential role in the origin of storms. In: Tsurutani, B.T., Gonzalez, W.D., Kamide, Y. (Eds.) Magnetic Storms, Mon. Ser., Vol. 98. Amer. Geophys. Union Press, Washington D.C., p. 59. Kane, R. P J. Geophys. Res., 82, 561. Moos, N.A.F Magnetic observations made at the government observatory Bombay and their discussion. Part II. The phenomenon and its description. Russell, C. T. and McPherron, R. L Space Science Review, 205. Saroso, S., Proc. of International Conference on Mathematics and Natural Sciences, Bandung, Indonesia, Sugiura, M., Chapman, S The average morphology of geomagnetic storm with sudden commencement. Abhandlungen der Akademie der Wissenschaften in Gottingen Mathematisch Physikalische Klasse Sonderheft 4, Thompson, R. J Geomagnetic precursors of the solar cycle, Solar-Terrestrial Physics Workshop, Leura. Tsurutani, B.T., Ho, C.M., Arballo, J.K., Goldstein, B.E., Balogh, A Large Amplitude IMF Luctuations in corotating interaction regions: Ulysses at midlatitudes, Geophysical Research Letters 22, Webb, D. F., Cliver, E. W., Crooker, N. U., St. Cyr, O. C., and Thompson, R. J J. Geophys. Res. 105, Zhu, B. Y. and Wada, M Proceedings of 18 International Cosmic Ray Conference, Bangalore, India, MG-6-16, 213. Zirker, J. B Coronal holes and high speed wind stream, Colorado Ass. Univ. Press, Boulder.
STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA
284 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 284-288 STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA Setyanto Cahyo Pranoto Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciGANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT
GANGGUAN GEOMAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET YANG TERKAIT Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Sains Antariksa, LAPAN email: mruhimat@yahoo.com ABSTRACT Geomagnetic disturbances
Lebih terperinciDISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 1 Maret 28:5-54 DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET (2-21) Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciPENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT
Penentuan Posisi Lubang Korona Penyebab Badai Magnet Kuat (Clara Y. Yatini) PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email:
Lebih terperinciKARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE
6 Jurnal Sains Dirgantara Vol. 6 No. 1 Desember 28:6-7 KARAKTERISTIK SUDDEN COMMENCEMENT DAN SUDDEN IMPULSE DI SPD BIAK PERIODE 1992-21 Anwar Santoso, Habirun, Sity Rachyany, Harry Bangkit Peneliti Bidang
Lebih terperinciIDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET
Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 3, Desember 2015 IDENTIFIKASI LUAS DAERAH AKTIF DI MATAHARI PENYEBAB KEJADIAN BADAI GEOMAGNET Kholidah 1,*, Rasdewita Kesumaningrum 2,, Judhistira Aria Utama 1 1Departemen Pendidikan
Lebih terperinciVariasi Pola Komponen H Medan Geomagnet Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23
Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 29 Variasi Pola Komponen H Medan Stasiun Biak Saat Kejadian Solar Energetic Particle (SEP) Kuat Pada Siklus Matahari Ke-23 Anwar Santoso Pusat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari sendiri ditandai oleh kemunculan bintik Matahari (Sunspot) yang
Lebih terperinciANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 2 Juni 2010:36-41 ANALISIS PENURUNAN INTENSITAS SINAR KOSMIK Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Penyebab
Lebih terperinciANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET
Seminar Nasional Statistika IX Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 7 November 29 ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET Oleh : Anwar Santoso Staf Peneliti Bidang
Lebih terperinciKETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 08:112-117 KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN 1996 01 Clara Y. Yatini, dan Mamat Ruhimat Peneliti Pusat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi setiap saat selalu dihujani oleh atom-atom yang terionisasi dan partikel subatomik lainnya yang disebut sinar kosmik. Sinar kosmik ini terdiri dari partikel yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi didalamnya. Beragam aktivitas di permukaannya telah dipelajari secara mendalam dan
Lebih terperinciMODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER
MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER Habirun Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) email: h a b i r u n @ b d
Lebih terperinciDISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23
DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23 Tiar Dani dan Jalu Tejo Nugroho Peneliti Matahari dan Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl.
Lebih terperinciSEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 2 Juni 28:9-94 SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains
Lebih terperinciKETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT
Lebih terperinciAnwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati Pusat Sains Antariksa
Estimasi Badai Geomagnet... (Anwar Santoso et al) ESTIMASI BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN KONDISI KOMPONEN ANGIN SURYA DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET (ESTIMATION OF GEOMAGNETIC STORM BASED ON SOLAR WIND COMPONENT
Lebih terperinciKARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET
KARAKTERISTIK LONTARAN MASSA KORONA (CME) YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET Clara Y. Yatini, Suratno, Gunawan Admiranto, Nana Suryana Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
1 BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran
Lebih terperinciKARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA
KARAKTERISTIK VARIASI HARIAN KOMPONEN H GEOMAGNET REGIONAL INDONESIA Habirun Pusat Sains Antariksa-LAPAN Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Email : e_habirun@yahoo.com PENDAHULUAN Karakteristik variasi
Lebih terperinciANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG
ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG 1. Burchardus Vilarius Pape Man (PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin
30 BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin surya, dan badai geomagnet selama selang waktu tahun 1998-2003. Berikut dijelaskan metode penelitian
Lebih terperinciDAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA
DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Perubahan cuaca antariksa dapat menimbulkan dampak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu pendek dan skala waktu panjang (misalnya siklus Matahari 11 tahunan). Aktivitas dari Matahari
Lebih terperinciANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK
ANALI5IS BADAI MAGNET BUMI PERIODIK Visca Wellyanita, Sity Rachyany, Mamat Ruhimat Peneliti Bidang Aplikasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Periodic magnetic storms are those related to
Lebih terperinciYANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 1 Maret 2011: 6-11 YANG TERKAIT DENGAN LUBANG KORONA TANGGAL 22 AGUSTUS 2010 Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Lubang
Lebih terperinciAnalisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 29 Analisis Variasi Komponen H Geomagnet Pada Saat Badai Magnet Habirun Peneliti
Lebih terperinciAnwar Santoso Peneliti Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pusat Sains Antariksa, Lapan
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 12 No. 1 Desember 2014 :42-59 42 GEO-EFEKTIVITAS AKTIVITAS MATAHARI DAN LINGKUNGAN ANTARIKSA PADA SAAT BADAI GEOMAGNET [GEO-EFFECTIVENESS OF SOLAR ACTIVITY AND SPACE ENVIRONMENT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari mungkin tidak pernah ada kehidupan di muka Bumi ini. Matahari adalah sebuah bintang yang merupakan
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id MODEL EMPIRIK GANGGUAN GEOMAGNET TERKAIT DENGAN LONTARAN MASSA KORONA (EMPIRICAL MODEL OF GEOMAGNETIC DISTURBANCE ASSOCIATED WITH
Lebih terperinciIDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 275 hal. 275-283 IDENTIFIKASI KONDISI ANGIN SURYA (SOLAR WIND) UNTUK PREDIKSI BADAI GEOMAGNET Anwar Santoso Bidang Aplikasi Geomagnet
Lebih terperinciBADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA
Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer...(Clara Y.Yatini et al.) BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA Clara Y. Yatini, Jiyo, Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciAWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET
Awan Magnet pada Fase Minimum...(Clara Y. Yatini et al.) AWAN MAGNET PADA FASE MINIMUM AKTIVITAS MATAHARI DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN GEOMAGNET Clara Y. Yatini dan Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Sains
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cuaca antariksa adalah kondisi di matahari, magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi kondisi dan kemampuan sistem teknologi baik yang landas bumi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi utama perubahan kondisi lingkungan antariksa. Matahari terus-menerus meradiasikan kalor, radiasi elektromagnetik pada seluruh panjang
Lebih terperinciProsiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya
13 Prosiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya http://www.lapan.go.id Korelasi Puncak Gangguan Komponen H Medan Magnet Bumi dengan Durasi Badai Geomagnet Correlation of Geomagnetic H Component
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan
BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan kejadian gelombang kejut dengan
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN VARIASI HARIAN KOMPONEN H PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET
ANALISIS PERUBAHAN VARIASI HARIAN KOMPONEN H PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET Habirun, Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: e_habirun@yahoo.com ABSTRACT Changes in the daily
Lebih terperinciPENENTUAN WAKTU ONSET SUDDEN COMMENCEMENT KOMPONEN H GEOMAGNET DI BIAK
Penentuan Waktu Onset SC (Sudden Commencement)... (Anwar Santoso) PENENTUAN WAKTU ONSET SUDDEN COMMENCEMENT KOMPONEN H GEOMAGNET DI BIAK Anwar Santoso Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciPENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013 PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI S.F. Purba 1, F. Nuraeni 2,*, J.A. Utama
Lebih terperinciPENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak
PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Nani Pertiwi 1, Bambang Setiahadi 2, Sutrisno 3 1 Mahasiswa Fisika, Fakultas
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage:http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage:http//www.lapan.go.id PENGARUH BADAI GEOMAGNET TERHADAP ANOMALI IONISASI EKUATORIAL DI BPAA SUMEDANG (GEOMAGNETIC STORM EFFECT ON EQUATORIAL IONIZATION
Lebih terperinciDiterima 11 Agustus 2017; Direvisi 10 Januari 2018; Disetujui 10 Januari 2018 ABSTRACT
Analisis Kondisi Fluks Elektron di... (Siska Filawati) ANALISIS KONDISI FLUKS ELEKTRON DI SABUK RADIASI ELEKTRON LUAR BERDASARKAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET (BZ) DAN KECEPATAN ANGIN MATAHARI (ANALYSIS OF
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus mempergunakan data semburan radio Matahari tipe II yang
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id KOREKSI HARIAN DALAM SURVEI GEOMAGNET DI PARE-PARE, SULAWESI (DAILY CORRECTION IN GEOMAGNETICS SURVEY AT PARE-PARE, SULAWESI)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di Antariksa bukan berupa hujan air atau salju es seperti di Bumi, melainkan cuaca di Antariksa terjadi
Lebih terperinciCUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN
CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Cuaca antariksa meliputi kopling antara berbagai daerah yang terletak antara matahari
Lebih terperinciPENGEMBANGAN SOFTWARE DETEKSI OTOMATIS SUDDEN COMMENCEMENT BADAI GEOMAGNET NEAR REAL TIME
Pengembangan Software Deteksi Otomatis Sudden... (Anwar Santoso et al.) PENGEMBANGAN SOFTWARE DETEKSI OTOMATIS SUDDEN COMMENCEMENT BADAI GEOMAGNET NEAR REAL TIME Anwar Santoso *), Sarmoko Saroso *), Habirun
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id PENGARUH CIR DAN CME TERHADAP FLUKS ELEKTRON SEPANJANG TAHUN 2011 (THE EFFECT OF CIR AND CME ON THE ELECTRON FLUX IN 2011) Siska
Lebih terperinciABSTRACT ABSTRAK 1 PENDAHULUAN
PROBABILITAS KETERKAITAN SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II DENGAN LONTARAN MASSA KORONA Suratno Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN e-mail: suratno@bdg.lapan.go.id ABSTRACT Investigation on probability
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN
IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT The geomagnetic disturbance level called geomagnetic index.
Lebih terperinciModel Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 29 Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang Habirun Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciPERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011 PERAN DIMENSI FRAKTAL DALAM RISET GEOMAGSA John Maspupu Pussainsa LAPAN,
Lebih terperinciPENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG
PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG Hablrun, Sity Rachyany, Anwar Santoso, Visca Wellyanita Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Geomagnetic
Lebih terperinciDiterima 18 April 2016, Direvisi 23 Juni 2016, Disetujui 28 Juni 2016 ABSTRACT
Pengaruh Orientasi Medan Magnet... (Anton Winarko dan Anwar Santoso) PENGARUH ORIENTASI MEDAN MAGNET ANTARPLANET PADA GANGGUAN GEOMAGNET DI LINTANG RENDAH (THE EFFECT OF INTERPLANETARY MAGNETIC FIELD ORIENTATION
Lebih terperinciPENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM
Jurnal Fisika Vol. 3 No. 1, Mei 2013 63 PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM Buldan Muslim 1,* Pusat Sains Antariksa Deputi Bidang Pengakajian, Sains dan Informasi Kedirgantaraan,
Lebih terperinciMETODE PENGUKURAN ARUS GIC PADA TRANSFORMATOR JARINGAN LISTRIK
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 71 hal. 71-76 METODE PENGUKURAN ARUS GIC PADA TRANSFORMATOR JARINGAN LISTRIK Setyanto Cahyo P Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,
Lebih terperinciKETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA.
KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA. Wilson Sinambela 1, Tiar Dani 1, Iyus Edy Rustandi 1, Jalu Tejo
Lebih terperinciANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI
ANALISIS MOEL VARIASI ARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERASARKAN POSISI MATAARI T-15 abirun Bidang Aplikasi Geomagnet an Magnet Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. r. Junjunan No. 133 Bandung
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id ANALISIS PENGARUH BADAI GEOMAGNET TERHADAP RESPON fof2 IONOSFER DI BPAA SUMEDANG (GEOMAGNETIC STORM EFFECT TO THE FOF2 IONOSPHERE
Lebih terperinciANCAMAN BADAI MATAHARI
ANCAMAN BADAI MATAHARI 1. Gambaran Singkat Badai Matahari (Solar Storm) adalah gejala terlemparnya proton dan elektron matahari, dan memiliki kecepatan yang setara dengan kecepatan cahaya. Badai Matahari
Lebih terperinciPREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011 PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK John Maspupu Pussainsa
Lebih terperinciAnalisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)
Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG) 1. Rahmat Setyo Juliatmoko, M.Si (PMG Ahli Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang) 2. Burchardus
Lebih terperinciIDENTIFIKASI PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA
IDENTIFIKASI PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI PADA fof2 Dl BIAK DAN TEC IONOSFER Dl BANDUNG Wilsom Sinambela, Anwar Santoso, dan Asnawi Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains dan Antariksa Lcmbaga Penerbangan dan
Lebih terperinciKEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET
KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET Sri Ekawati 1), Asnawi 1), Suratno 2) 1) Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciANALISIS DAMPAK FLARE TIPE X SEPTEMBER 2014 TERHADAP SISTEM NAVIGASI DAN POSISI BERBASIS SATELIT DARI PENGAMATAN GISTM KUPANG
DOI: doi.org/10.21009/03.snf2017.02.epa.11 ANALISIS DAMPAK FLARE TIPE X SEPTEMBER 2014 TERHADAP SISTEM NAVIGASI DAN POSISI BERBASIS SATELIT DARI PENGAMATAN GISTM KUPANG Asnawi Husin 1,a), Tiar Dani 1,b),
Lebih terperinciSTUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT
STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT Habirun dan Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Statistical study on correlation
Lebih terperinciSkripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI
ANALISIS KORELASI SPREAD F IONOSFER DENGAN GEMPA DI SUMATERA BARAT ( STUDI KASUS GEMPA SOLOK TANGGAL 6 MARET 2007 DAN GEMPA PADANG PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Lebih terperinciMETODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24
METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24 Johan Muhamad Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN E-mail: johan_m@bdg.lapan.go.id ABSTRACT A Non-linear Fitting method was
Lebih terperinciMATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA
Berita Dirgantara Vol. 9 No. 1 Maret 2008:6-11 MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA Neflia Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Neflia103@yahoo.com RINGKASAN Kata cuaca antariksa sangat erat
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK
IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Geomagnetic K Index is the index that expressing magnetic disturbance
Lebih terperinciPemisahan Sinyal Noise Pada Pengolahan Data Medan Magnet Bumi Menggunakan Transformasi Wavelet
Pemisahan Sinyal Noise Pada Pengolahan Data Medan Magnet Bumi Menggunakan Transformasi Wavelet Setyanto Cahyo Pranoto Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional - LAPAN, Jl. DR.
Lebih terperinciANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI
Analisis Semburan Radio Matahari Tipe II... (Suratno et al.) ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI MAGNET BUMI Suratno dan Santi Sulistiani Peneliti Bidang
Lebih terperinciTELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG
TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG Sity Rachyany, Habirun, Eddy Indra dan Anwar Santoso Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN ABSTRACT By processing and analyzing the K index data
Lebih terperinciSTUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September 2010:80-86 STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
19 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Dalam mengidentifikasi semburan radio Matahari (solar
Lebih terperinciPERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)
PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS) Anwar Santoso dan Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Studies on geomagnetic
Lebih terperinciRESPONS SINTILASI SINYAL GPS SAAT BADAI GEOMAGNET Dl LINTANG RENDAH
RESPONS SINTILASI SINYAL GPS SAAT BADAI GEOMAGNET Dl LINTANG RENDAH Asnawl PeneliU Bldang Ionosfer dan Telekomunlkasl, LAPAN nawi@bd2.lapan.go.ld ABSTRACT S4 index data of ISM (Ionospheric Scintillation
Lebih terperinciKAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE
KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE Varuliantor Dear Peneliti Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan
Lebih terperinciLEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI
Ledakan Matahari Pemicu Anomali Dinamika Atmosfer Bumi (Suratno) LEDAKAN MATAHARI PEMICU ANOMALI DINAMIKA ATMOSFER BUMI Suratno Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN e-mail: suratno@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007
ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007 Dwi Pujiastuti 1, Sumi Daniati 1, Badrul Mustafa 2, Ednofri 3 1 Laboratorium Fisika Bumi Jurusan Fisika Universita Andalas 2 Jurusan Teknik
Lebih terperinciLIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK
Fibusi (JoF) Vol.1 No.3, Desember 2013 LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK S.U. Utami
Lebih terperinciPENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 7 No. 1 Maret 2012 :38-46 38 PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Sri Suhartini, Septi Perwitasari, Dadang Nurmali
Lebih terperinciSri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT
Frekuensi Kritis Lapisan F2 di atas...(sri Suhartini et al.) FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 DI ATAS KUPANG: PERBANDINGAN DATA DENGAN MODEL THE INTERNATIONAL REFERENCE IONOSPHERE (IRI) (KUPANG F2 LAYER CRITICAL
Lebih terperinciMODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23
MODEL SPEKTRUM ENERGI FLUENS PROTON PADA SIKLUS MATAHARI KE-23 Wilson Sinambela, S. L Manurung, Nana Suryana Peneliti Pusat Pamanfaatan Sains Antariksa, LAPAN e-mail:wilson@bdg.lapan.go.id e-mail:manurung@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciSTUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO
STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO AnwAr Santoso Peneliti Bidang Aplihasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Phenomena of ionospherics irregularities such as process
Lebih terperinciPola Variasi Reguler Medan Magnet Bumi Di Tondano
JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 3 (1) 30-34 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Pola Variasi Reguler Medan Magnet Bumi Di Tondano Teguh Prasetyo a,b*, Adey Tanauma a, As ari a a
Lebih terperinciLAPISAN E IONOSFER INDONESIA
LAPISAN E IONOSFER INDONESIA Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN Karakteristik lapisan ionosfer, baik variasi harian, musiman, maupun variasi yang berkaitan dengan
Lebih terperinciPENENTUAN MODEL POLA HARI TENANG STASIUN GEOMAGNET TANGERANG MENGGUNAKAN DERET FOURIER
PENENTUAN MODEL POLA HARI TENANG STASIUN GEOMAGNET TANGERANG MENGGUNAKAN DERET FOURIER Habirun Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Quiet day pattern depict geomagnetic variation
Lebih terperinciVARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG
VARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG Ednofri *), Sri Suhartini **) Ednofri_lapan@yahoo.com *) Peneliti Stasiun Pengamat Dirgantara, LAPAN **) Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Lebih terperinciFLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT
FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT Santi Sulistiani, Rasdewlta Kesumaningrum Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN ABSTRACT In this paper we present the relationship
Lebih terperinciKALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER
Kalibrasi Magnetometer...(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat) KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER Harry Bangkit, Mamat Ruhimat Pusat Sain Antariksa Lembaga Penerbangan dan
Lebih terperinciSTUDI PERBANDINGAN DISTRIBUSI INDEKS K GEOMAGNET ANTARA STASIUN BIAK DENGAN MAGNETOMETER DIGITAL DAN STASIUN TANGERANG DENGAN MAGNETOMETER ANALOG
STUDI PERBANDINGAN DISTRIBUSI INDEKS K GEOMAGNET ANTARA STASIUN BIAK DENGAN MAGNETOMETER DIGITAL DAN STASIUN TANGERANG DENGAN MAGNETOMETER ANALOG Anwar Santoso dan Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciKESETARAAN KECEPATAN GELOMBANG KEJUT SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II DAN LONTARAN MASSA KORONA
KESETARAAN KECEPATAN GELOMBANG KEJUT SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II DAN LONTARAN MASSA KORONA Suratno, Santi Sulistiani, Gunawan A., dan Johan Muhamad Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN e-mail
Lebih terperinciPOLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS
POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian
Lebih terperinciPENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE
PENGARUH SINAR KOSMIK TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN TOTAL DAN AWAN ATAS WILAYAH INDONESIA DALAM PERIODE 1979-1995 Aldino A. Baskoro*), Clara Y. Yatini*), Dhani Herdiwijaya**). *)Peneliti Astronomi Institut
Lebih terperinciPREDIKSI TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET LOKAL D(T) MENGGUNAKAN PENDEKATAN STATISTIK
Prosiding SNaPP2012 : Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 2089-3582 PREDIKSI TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET LOKAL D(T) MENGGUNAKAN PENDEKATAN STATISTIK 1 Habirun 1 Peneliti Pusat Sains Antariksa-LAPAN e-mail
Lebih terperinciARUS CINCIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MEDAN GEOMAGNET DI WILAYAH INDONESIA (RING CURRENT AND IT'S EFFECT ON THE GEOMAGETIC FIELD IN INDONESIA REGION)
Arus Cincin dan Pengaruhnya Terhadap... (Mamat Ruhimat) ARUS CINCIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MEDAN GEOMAGNET DI WILAYAH INDONESIA (RING CURRENT AND IT'S EFFECT ON THE GEOMAGETIC FIELD IN INDONESIA REGION)
Lebih terperinci