PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas Kapuas, Sintang. 2 Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Influence of Land Use Changes on the Stream Flow Discharge at Sepauk Sub Watershed in Sintang District, West Kalimantan. This study was conducted at Sepauk Sub Watershed, Kapuas Watershed, West Kalimantan. Objectives of this research were to analyze land use changes using the approach of geographical information system (GIS) and to predict the influence of land use changes toward the value of maximum stream flow discharge. Analysis was done using GIS to create maps of land use changes in the year of 2001 and 2009. The prediction of value of maximum stream flow discharge (qp) at each Sepauk subsub watershed was done by using soil conservation service (SCS) method. The main results of this research revealed that the changes of land use in the year 2001 to 2009 mostly occurred in bush (8.90%) followed by secondary dry land forest (8.29%) and primary dry land forest (6.59%). The changes of the value of maximum stream flow discharge occurred in each of sub-sub watershed. The highest increase occurred in A sub-sub watershed which reached 20.43% otherwise the smallest increase occurred in D sub-sub watershed which reached 2.30%. Kata kunci: tata guna lahan, debit limpasan, soil conservation service (SCS), Sepauk Komponen biofisik Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi wadah tempat berlangsungnya proses-proses fisik hidrologis maupun kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks. Proses fisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai daur limpasan, sedangkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat lebih merupakan intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, yaitu berupa pengembangan kawasan budidaya dalam lahan DAS. Meningkatnya jumlah penduduk yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan terhadap sumberdaya alam terutama lahan menyebabkan perubahan fungsi hidrologis DAS sebagai dampak dari perluasan kawasan budidaya dalam kawasan DAS tersebut yang seringkali menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak diinginkan, seperti erosi dan sedimentasi, banjir, kemerosotan produktivitas lahan dan degradasi lahan. Kondisi ini juga terjadi pada Sub DAS Sepauk, di mana perubahan penggunaan lahan dari hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan, pertanian lahan kering dan pemukiman yang bila tidak terkendali dapat mengakibatkan terganggunya siklus hidrologi terutama dapat mengakibatkan meningkatnya nilai koefisien limpasan di Sub DAS tersebut. 111
112 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011 Koefisien limpasan dapat dipengaruhi oleh intensitas dan jumlah curah hujan, tipe tanah, geologi, keadaan topografi, luas daerah aliran dan penutupan lahan (Arsyad, 1989). Bila koefisien limpasan meningkat, maka debit limpasan air sungai juga meningkat yang akan menyebabkan banjir dan genangan air. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan tata guna lahan tahun 2001 dan 2009 dengan menggunakan pendekatan sistem informasi geografi (SIG) di kawasan Sub DAS Sepauk dan mengetahui pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap debit limpasan air di kawasan Sub DAS Sepauk. Hasil yang diharapkan dari penelitian adalah dapat menjadi bahan pertimbangan teknis dalam penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dan dapat digunakan sebagai bahan dalam perencanaan pengendalian banjir di wilayah Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Sepauk Kalimantan Barat dengan luas 119.102,86 ha yang terdiri dari 8 sub-sub DAS yaitu sub-sub DAS A (52.704,83 ha), B (14.867,20 ha), C (14.867,20 ha), D (3.984,15 ha), E (6.851,24 ha), F (6.057,24 ha), G (7.501,91 ha) dan H (22.499,42 ha). Data yang dikumpulkan adalah berupa peta dasar meliputi Peta Rupa Bumi, Citra Landsat tahun 2001 dan 2009 serta peta tematik di antaranya peta sub DAS Sepauk, peta geologi, peta jenis tanah dan peta jaringan sungai. Selain peta juga diperlukan data curah hujan tahun 2001 2009. Untuk menganalis perubahan tata guna lahan tahun 2001 dan 2009 digunakan pendekatan sistem informasi geografis dan untuk menganalis debit limpasan digunakan metode soil conservation service (SCS) dengan rumus: qp = 0,0021Q x (A/tp). qp = debit puncak (m 3 /dtk). Q = volume limpasan (mm). A = luas sub DAS yang diperoleh dengan menggunakan peta sub DAS yang telah diolah dengan menggunakan ArcView GIS. tp = waktu puncak aliran (jam) yang diperoleh berdasarkan nilai tc. Nilai tc diperoleh melalui metode Kirpich (Anonim, 2007): tc = 0,0195L, 77S, 385. tc = waktu konsentrasi (menit). L = panjang aliran (m). S = lereng aliran (m/m), yaitu merupakan perbedaan tinggi elevasi antara tempat keluar (outlet) aliran dari Sub DAS dengan titik terjauh aliran (H) dibagi panjang aliran L, sehingga S = H/L. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Tata Guna Lahan 2001 2009 Dari tumpang susun (overlay) citra 2001 dan 2009 dengan peta tutupan lahan diperoleh perubahan tata guna lahan seperti pada Tabel 1. Dari Tabel 1 diketahui bahwa terdapat 10 tipe penggunaan lahan di kawasan Sub DAS Sepauk, yaitu: alang-alang, belukar, belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan, pertambangan dan tubuh air.
Hutagaol dan Hardwinarto (2011). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan 113 Tabel 1. Perubahan Tata Guna Lahan Tahun 2001 2009 No. Tipe tutupan lahan Tahun 2001 Tahun 2009 Perubahan Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) 1 Alang-alang - - 521,00 0,44 521,00 0,44 2 Belukar 18.947,94 15,91 29.546,62 24,81 10.598,69 8,90 3 Belukar rawa 35.515,34 29,82 33.512,52 28,14-2.002,82-1,68 4 Hutan lahan 25.780,04 21,65 17.933,66 15,06-7.846,38-6,59 kering primer 5 Hutan lahan 28.640,77 24,05 18.772,01 15,76-9.868,76-8,29 kering sekunder 6 Lahan terbuka 5.745,23 4,82 6.786,09 5,70 1.040,85 0,87 7 Pemukiman 1.856,88 1,56 2.051,11 1,72 194,22 0,16 8 Perkebunan 1.112,97 0,93 6.946,60 5,83 5.833,62 4,90 9 Pertambangan 1.189,62 1,00 729,01 0,61-460,61-0,39 10 Tubuh air 313,88 0,26 2.304,05 1,93 1.990,17 1,67 Jumlah 119.102,68 100,00 119.102,68 100,00 Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2009 terjadi perubahan luas pada setiap penggunaan lahan tersebut. Perubahan penggunaan lahan yang signifikan terutama pada hutan lahan kering sekunder yang terjadi pengurangan luas kawasan sebesar 9.868,76 ha (8,29%) dan hutan lahan kering primer yang mengalami pengurangan luas kawasan sebesar 7.846,38 ha (6,59%). Pengurangan luas hutan lahan kering primer adalah karena adanya aktivitas penebangan untuk diambil hasil kayunya. Akibat dari penebangan ini seiring dengan waktu, maka terjadi perubahan tutupan lahan menjadi belukar, hutan lahan kering sekunder dan lahan terbuka. Berkurangnya luas hutan lahan kering sekunder adalah disebabkan perubahan menjadi penggunaan lahan lain seperti perkebunan, pemukiman dan pertambangan. Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan biasanya dilakukan dengan cara tebangtebas-bakar menyebabkan munculnya vegetasi berupa belukar sebesar 8,73% dan alang-alang 0,44%, kemudian lahan yang ditinggalkan juga berubah menjadi lahan terbuka yaitu sebesar 0,87%. Perubahan Debit Limpasan Maksimum/Debit Banjir Tahun 2001-2009 Berdasarkan analisis debit banjir tahun 2001 dan 2009, diketahui terjadi peningkatan nilai debit banjir pada setiap sub-sub DAS di kawasan Sub DAS Sepauk (Tabel 2). Pada Tabel 2 terlihat, bahwa telah terjadi peningkatan nilai debit banjir dalam kurun waktu 2001 2009 pada setiap sub-sub DAS yang berada pada kawasan Sub DAS Sepauk. Peningkatan nilai debit banjir paling tinggi terjadi pada sub-sub DAS A yaitu sebesar 59,12 m 3 /dtk (20,43%), sedangkan peningkatan debit terkecil terjadi pada Sub-sub DAS D yaitu 6,66 m 3 /dtk atau meningkat 2,30%. Hal ini disebabkan oleh pengaruh perubahan pola penggunaan lahan terhadap volume limpasan yang menjadikan debit banjir (debit maksimum) semakin besar. Perubahan dari hutan primer dan sekunder terutama di bagian hulu menjadi belukar, alang-alang dan lahan terbuka menyebabkan air yang jatuh di permukaan tanah lebih banyak menjadi aliran permukaan dan memperkecil infiltrasi sehingga debit limpasan meningkat.
114 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 4 (1), APRIL 2011 Tabel 2. Perubahan Debit Limpasan Maksimum 2001 2009 Sub-sub DAS Luas (ha) Debit banjir (qp) Perubahan 2001 (m³/dtk) 2009 (m³/dtk) (m³/dtk) (%) A 52.704,83 368,70 427,83 59,12 20,43 B 14.867,20 188,57 240,03 51,46 17,79 C 4.636,87 198,78 234,96 36,18 12,50 D 3.984,15 131,69 138,35 6,66 2,30 E 6.851,24 204,30 247,49 43,19 14,93 F 6.057,24 235,18 266,70 31,52 10,89 G 7.501,90 353,05 373,88 20,83 7,20 H 22.499,42 251,49 291,88 40,40 13,96 Jumlah 119.102,86 1.931,77 2221,12 289,35 100,00 Selain faktor perubahan tata guna lahan, faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan debit limpasan maksimum/debit banjir pada setiap sub-sub DAS berbeda-beda tergantung kondisi masing-masing sub-sub DAS tersebut. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Bentuk dan luas DAS. Bentuk DAS memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk DAS yang melebar atau melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di titik kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk juga memberikan pengaruh pada aliran permukaan bila hujan yang terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung lainnya, misalnya dari hilir ke hulu DAS. Pada DAS memanjang, laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum memberikan kontribusi pada titik kontrol ketika aliran permukaan dari hujan di hilir telah habis atau mengecil (Musy, 2001 dalam Anwar, 2008). Laju dan volume aliran permukaan makin besar dengan bertambahnya luas DAS. Ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik terjauh sampai titik kontrol (waktu konsentrasi), juga penyebaran dan intensitas hujan. b. Curah hujan. Curah hujan yang tinggi di kawasan ini juga menjadi penyebab peningkatan debit banjir, di mana pada tahun 2001 curah hujan harian maksimum adalah 125,6 mm dan pada tahun 2009 adalah 130 mm. c. Jenis tanah. Faktor jenis tanah juga menjadi penyebab meningkatnya debit limpasan. Tanah jenis ultisol sangat berisiko tinggi mengalami erosi (strongly erosion endangered) (Voss, 1983 dalam Puspitahati, 2008). Tingkat bahaya erosi lebih besar bila jenis tanah tersebut mempunyai kemiringan lereng besar (Asdak, 2007). Tanah ini juga memiliki stabilitas agregat yang kurang stabil, laju infiltrasi dan permeabilitas lambat (Utomo, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perubahan tata guna lahan di Sub DAS Sepauk pada tahun 2001 dan 2009 menunjukkan, bahwa hutan lahan kering sekunder, hutan lahan kering primer,
Hutagaol dan Hardwinarto (2011). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan 115 belukar rawa dan pertambangan mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 8,29%, 6,59%, 1,68% dan 0,39%, sedangkan penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah belukar, perkebunan, tubuh air, lahan terbuka, alang-alang dan pemukiman dengan persentase penambahan masing-masing sebesar 8,90%, 4,90%, 1,67%, 0,87%, 0,44% dan 0,16. Hasil analisis debit limpasan menunjukkan, bahwa pada tahun 2001 Sub-sub DAS A pada kawasan Sub DAS Sepauk memiliki nilai debit banjir (qp) paling besar yaitu 368,70 m 3 /dtk, demikian juga pada tahun 2009 dengan nilai debit 427,83 m 3 /dtk atau mengalami peningkatan nilai debit banjir sebesar 20,43% sedangkan nilai debit banjir terkecil terjadi pada Sub-sub DAS D yaitu pada tahun 2001 debit banjir sebesar 131,69 m 3 /dtk dan tahun 2009 sebesar 138,35 m 3 /dtk, sehingga terjadi peningkatan sebesar 2,30%. Saran Dengan semakin meningkatnya debit limpasan maksimum/debit banjir di kawasan Sub DAS Sepauk, maka perlu pengaturan dan pengendalian penggunaan lahan di Sub DAS Sepauk agar sesuai dengan kapabilitas lahan dan kesesuaian lahan (land capability dan land suitability) yang merujuk pada kebijakan pemerintah, sehingga meminimalkan perluasan lahan terbuka dan tidak produktif. Selain itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai kondisi hidrologis pada Sub DAS Sepauk. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Peraturan Dirjen RHL dan Perhutanan Sosial No. P.001/V-DAS/2007 Tentang Pedoman Pemantauan Tata Air DAS dengan Pendekatan Model Hidrologi. Departemen Kehutanan, Jakarta. Anwar, M.R. 2008. Model Koefisien Aliran Permukaan Menggunakan Pendekatan Karakteristik Fisik pada DAS Bango. Agritek 16 (12): 2358 2366. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor. Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Edisi Refisi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Puspitahati. 2008. Kajian Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Limpasan Air Sungai dan Kapasitas Saluran Sungai pada Sub DAS Karang Mumus. Tesis Magister Ilmu Kehutanan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman, Samarinda. Utomo, B. 2008. Perbaikan Sifat Tanah Ultisol untuk Meningkatkan Pertumbuhan Eucalyptus urophylla pada Ketinggian 0 400 m. Rajawali Press, Jakarta.