Sinda Diadema Fakhri Assyauqi F I C T I O N A R Y Penerbit Taman Lilin
F I C T I O N A R Y Oleh: Sinda Diadema Fakhri Assyauqi Copyright 2014 Penerbit Taman Lilin tamanlilin.blogspot.com Desain Sampul @sindadiadema Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Thanks for inspiring me and taking care of me Sinda Diadema 3
Secarik Catatan Malam Tepat pukul sembilan malam aku sampai di tempatku bekerja. Sudah sepi tentunya. Kebanyakan pekerja dan karyawan mungkin sudah bersiap-siap untuk beristirahat. Tapi tidak untukku. Justru saat ini lah waktuku bekerja hingga pagi nanti. Seperti kelelawar. Tidur di siang hari bekerja di malam hari. Itulah kerja para jurnalis. Bekerja dengan jadwal yang tak bisa diprediksi. Para jurnalis seakan tak mengenal waktu atau hari libur sekalipun. Aku bekerja sebagai reporter di stasiun TV lokal, Bogor Raya TV atau biasa disebut dengan BRTV. Tuntutan untuk bertahan hidup yang memberanikanku untuk memasuki dunia reportase ini. Sebelumnya aku tidak mengenal dunia ini. Aku bahkan bukan seorang lulusan Komunikasi atau Jurnalistik. Keberuntungan membawaku menyelami 4
reportase televisi ini. Tragisnya, aku sangat menikmatinya walau jadwal kerjaku terbilang aneh. Aku terus berjalan memasuki kantor. Aku bergidik mendengar derap langkahku sendiri. Dari jauh, kulihat pintu otomatis itu terbuka dan menutup kembali. Padahal aku tak melihat siapa pun melintasi pintu itu. Aneh, biasanya pintu itu terbuka sekitar radius dua meter. Aku mempercepat langkahku menuju lift. Kutekan angka 7 pada tombol lift yang menunjukkan BRTV News Room. Woy Wa! Pucet banget muka lo? Ketemu mbakmbak baju putih lagi ya di lift? Berhenti di mana dia, Wa? Hahahaha.. Bang Gery! Ngagetin aja ih! Masih di dalem kali tuh dia. Bodo ah.. Azwa.. Azwa.. Masih aja lo takut sama yang begituan. Gue cabut ah. Noh lo udah ditanyain Korlip. Ada plotingan kayaknya. Lah?? Pulang lo, Bang? Enak bener. Korlipnya siapa malam ini, Bang? Robot. Udah buruan samperin. Nanti kena omelan lagi lo. Cabut yee.. Sial. Aku berharap wanita yang kerap dipanggil mbak-mbak berbaju putih itu benar-benar masih di sana. Di dalam lift itu bersama seniorku yang paling jahil di sini. Aku masuk ruang redaksi. Tak terlalu sepi. Kulihat masih banyak reporter dan cameraman lain yang bercengkrama sehabis liputan. Aku melirik meja kordinator liputan atau korlip. Bang Robot sedang 5
tidak di tempat. Meja korlip yang paling galak itu kosong. Aku melihat jadwal liputan atau biasa disebut plotingan oleh para wartawan. Aku menatap plotingan yang terpampang di papan. Lo jalan sama Rendy, Wa. Dia lagi ngambil kaset di belakang. Sama Rendy, Bang? Di sini gue jalan sama Gito ah, Bang Rob. Gito sakit. Udah jalan aja deh. Gue bingung siapa lagi yang mau gantiin. Cuma dia doang soalnya yang bisa malem ini. Apa lo mau jalan sendiri? One Man Show? Akhirnya aku mengiyakan permintaannya daripada aku harus merangkap sebagai cameraman alias One Man Show (OMS). Aku tidak terlalu bisa mengoperasikan kamera. Beneran nggak ada campers lain nih, Bang? Rendy kan udah lama nggak di kriminal. Kenapa sih? Ada masalah lo sama Rendy? Tanda tangani aja surat jalannya. Polisi mau nyergap bandar ganja tuh di Karadenan. Lima belas menit lagi mereka nyampe TKP. Cepet jalan! Dengan kesal aku segera menandatangani surat jalan itu dan menyusul Rendy ke ruang dokumentasi. Aku tidak melihat penampakannya di sana. Itu tandanya dia sudah turun ke lantai perlengkapan liputan. Sial. Cameraman yang satu ini selalu saja cepat menghilang. Begitulah pengalaman reporter lain yang sudah pernah bertugas dengannya. Ini kali kedua aku 6
bertugas dengannya. Dia memang lebih dulu bekerja di sini. Enam bulan setelah itu, barulah aku menjajaki BRTV. Aku ingat betapa dinginnya dia ketika mengenalku. Kali pertama bertugas dengannya, dia membentakku karena aku lupa menanyakan nama narasumber. Sialnya, itu terjadi di hadapan umum. Betapa malunya aku? Sejak itu aku belum pernah lagi bertugas dengannya karena ia pindah ke berita reguler. Dugaanku benar. Ia sudah berada di sana sedang memeriksa peralatan. Memutar zoom, mengatur iris dan mengecek suara di boomer. Tampangnya? Tentu saja dingin dan serius. Lelaki tinggi menjulang itu belum juga menyadari kehadiranku. Apa aku terlalu pendek di hadapannya? Apa aku tak tampak? Seketika itu aku menyambar cube mic berlogokan BRTV. Bersiap untuk jalan. Eh, Neng Azwa. Liputan malem lagi nih? Sama Rendy? ujar salah satu teknisi peralatan, Kang Adi. Iya ni, Kang. Biasa. Bang Robot emang seneng kalau gue jadi anak malem. Hehehe. Piket malem juga, Kang? Iya atuh. Kan kemarin udah piket pagi. Plotingan kemana, Wa? Bukannya.. Kang sorry, minta HT dong. Mantau-mantau nih takut nggak dapet pantulan. Satu lagi. Kebiasaan Rendy adalah menginterupsi percakapan orang tidak pada waktunya. Seakan-akan ia harus selalu dinomorsatukan. Kang Adi segera 7
mengambil handy talky itu dan dengan segera aku menyambarnya sebelum tangan Rendy menggapainya. Mau lo yang pegang? Pantau yang bener ya.. ujarnya sambil memasukkan peralatan ke dalam tas kamera. Ya Tuhan, rasanya aku ingin melemparkan tinjuku padanya. Tak lama kami pun pamitan pada Kang Adi dan berjalan menuju mobil liputan. Aku rasa ini sudah hampir sepuluh menit dan kami belum juga sampai di TKP. Mafia robot! Mengapa baru memberi arahan 15 menit sebelum kejadian? Tidakkah ia memperhitungkan jarak dan waktu? Mobil liputan datang dan kami pun berangkat. Ren, kata Bang Robot kita ke Karadenan. Polisi mau nyergap bandar ganja. Jam berapa polisi ke TKP? Lima menit lagi kata Bang Robot sih? Hah? Lo gila? Karadenan jauh, Wa dan lo baru bilang sekarang kalo kita dapet plotingan ke sana! Kenapa lo nggak bilang dari tadi?? Eh, Ren! Dari tadi kan gue mau ngomong pas di ENG. Lo aja yang motong pertanyaan Kang Adi tadi. Makanya jangan suka motong pembicaraan. Sok stay cool lagi! Loh kok lo jadi nyalahin gue? Gue mana tau lo mau ngomong gitu. Lo juga nggak nanya. Gue pikir lo juga udah tau. Kebuut, Bang Jo! Kebut!!! To be continued 8