JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.1 : ISSN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan dan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas. Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu bayangan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

induced astigmatism yang rendah. Sayangnya dalam beberapa kondisi teknik operasi fakoemulsifikasi tidak bisa dilakukan, misalnya pada daerah dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin

SOP KATARAK. Halaman 1 dari 7. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon SMF. Ditetapkan Oleh Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Cilegon.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar

maka dilakukan dengan carafinger counting yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1 meter sampai 6 meter dengan visus 1/60 sampai 6/60.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi tugas dan Melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011

SKRIPSI PERBANDINGAN ASTIGMATISMA PRA DAN PASCA OPERASI KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. anak yang kedua orang tuanya menderita miopia. 11,12

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).:

AKURASI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER PADA PASIEN MIOPIA AKSIAL MENGGUNAKAN ALAT OPTICAL BIOMETRY

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. Penglihatan yang kabur atau penurunan penglihatan. adalah keluhan utama yang terdapat pada penderitapenderita

REFRAKSI. Oleh : Dr. Agus Supartoto, SpM(K) / dr. R. Haryo Yudono, SpM.MSc

TEKNIK PEMERIKSAAN REFRAKSI SUBYEKTIF MENGGUNAKAN TRIAL FRAME dan TRIAL LENS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Katarak umumnya didefinisikan sebagai kekeruhan lensa. Katarak

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAFAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS EMETROP DAN MIOPIA DERAJAT TINGGI DI RSUD DR.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Muhammadiyah Yogyakarta, 2 Departemen Mata, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya

Standar Operasional Prosedur Untuk Kader Katarak

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Mata.

Tatalaksana Miopia 1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting.

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

STANDAR OPERATING PROCEDURE (SOP) PELAYANAN KESEHATAN MATA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kesehatan indera. penglihatan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

HUBUNGAN ANTARA RISIKO TERJADINYA KATARAK SEKUNDER DENGAN BERBAGAI TEKNIK OPERASI KATARAK DI RSUD dr.saiful ANWAR MALANG PERIODE JANUARI DESEMBER 2008

BAB I PENDAHULUAN. Sembilan puluh persen dari 285 juta penderita gangguan penglihatan tinggal

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II. Kelainan refraksi disebut juga refraksi anomali, ada 4 macam kelainan refraksi. yang dapat mengganggu penglihatan dalam klinis, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva,

PERBEDAAN TEKANAN INTRAOKULAR PRA DAN PASCAOPERASI KATARAK PADA PASIEN GLAUKOMA AKIBAT KATARAK DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

Bagian-bagian yang melindungi mata: 1. Alis mata, berguna untuk menghindarkan masuknya keringat ke mata kita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti

PERBANDINGAN SENSIBILITAS KORNEA SEBELUM DAN SESUDAH OPERASI FAKOEMULSIFIKASI PADA PASIEN KATARAK SENILIS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

BAB I PENDAHULUAN. Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan menjadi penyebab

PEMERIKSAAN VISUS MATA

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

Keluhan Mata Silau pada Penderita Astigmatisma Dibandingkan dengan Miopia. Ambient Lighting on Astigmatisma Compared by Miopia Sufferer

Katarak adalah : kekeruhan pada lensa tanpa nyeri yang berangsur-angsur, penglihatan kabur akhirnya tidak dapat menerima cahaya (Barbara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding

OPTIKA CERMIN, LENSA ALAT, ALAT OPTIK. PAMUJI WASKITO R, S.Pd GURU MATA PELAJARAN FISIKA SMK N 4 PELAYARAN DAN PERIKANAN

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik

PELATIHAN KESEHATAN MATA UNTIJK GURU-GURU UKS SEKOLAH DASAR SE-KECA]W{TAN PADANG TIMUR

KEAKURATAN TAJAM PENGLIHATAN HASIL BIOMETRI DENGAN HASIL KOREKSI KACAMATA BERDASARKAN AXIAL LENGTH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI. bagian depan orbita (Moore et al., 2010). Pada anak baru lahir, rata-rata. atau dewasa (Vaughan dan Asbury, 2009)

CLINICAL SCIENCE SESSION MIOPIA. Preseptor : Erwin Iskandar, dr., SpM(K)., Mkes.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah observasional analitik yaitu penelitian yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Edema sistoid makula atau cystoid macular edema (CME) merupakan komplikasi patologis retina yang sering terjadi dan terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan yang utama di dunia. Data

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK.

ABSTRAK PROPORSI DAN KARAKTERISTIK PASIEN KATARAK PADA RUMAH SAKIT MATA BALI MANDARA TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Air mata merupakan salah satu alat proteksi mata. atau daya pertahanan mata selain alis dan bulu mata.

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN KATARAK DI POLIKLINIK MATA PUSKESMAS DAU KABUPATEN MALANG ABSTRAK

Jari-jari yang lain bersandar pada dahi dan pipi pasien. Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea bergantian

BAB 1 : PENDAHULUAN. hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya

Kata Kunci: Katarak, Diabetes Mellitus, Riwayat Trauma Mata, Konsumsi Minuman Beralkohol, Pekerjaan

PENDAHULUAN. beristirahat (tanpa akomodasi), semua sinar sejajar yang datang dari benda-benda

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

REFRAKSI dan KELAINAN REFRAKSI. Prof. Dr. H. Sidarta Ilyas SpM Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 6/12/2012 1

UNIVERSITAS UDAYANA MADE INTAN SHANTIVANI

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015.

R E F R A K S I PR P O R SE S S E S P E P N E G N L G IHA H TAN 1

PERBANDINGAN KEJADIAN ASTIGMATISMA PASCA OPERASI KATARAK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DAN SMALL INCISION CATARACT SURGERY TESIS.

RETINOSKOPI NURCHALIZA HAZARIA SIREGAR NIP DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam kandungan dan faktor keturunan(ilyas, 2006).

KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK DI BLU RSU PROF. Dr. R.D. KANDOU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dengan sifatnya yang

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan

Proses Konsultasi REGISTRASI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HANG TUAH MEDICAL JOURNAL

PERBEDAAN TAJAM PENGLIHATAN PASCAOPERASI FAKOEMULSIFIKASI ANTARA PASIEN KATARAK SENILIS TANPA MIOPIA DENGAN MIOPIA DERAJAT TINGGI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. data yang artinya terhadap subjek yang diteliti tidak diberikan perlakuan

PROFIL GLAUKOMA SEKUNDER AKIBAT KATARAK SENILIS PRE OPERASI DI RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2011 DESEMBER 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya katarak sangat berhubungan dengan faktor usia. Meningkatnya usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Sebagian besar

Transkripsi:

JST Kesehatan, Januari 2015, Vol.5 No.1 : 66 73 ISSN 2252-5416 ASTIGMAT KORNEA ANTERIOR SETELAH FAKOEMULSIFIKASI DENGAN INSISI KORNEA TEMPORAL UKURAN 2,75 MILIMETER PADA PENDERITA KATARAK Anterior Corneal Astigmatism after Phacoemulsification with 2,7 Millimeter Clear Corneal Incision to Anterior Corneal Astigmatism Fajar Ferdian, Ahmad Afifudin, Hamzah Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (E-mail: fajar_ferdian95@yahoo.com) ABSTRAK Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm terhadap astigmat kornea anterior. Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional dengan studi prospektif pada 32 pasien katarak senilis Fakoemulsifikasi dilakukan dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm dan menggunakan lensa acrylic foldable (Alcon tipe SN60WF) di Klinik Mata Celebes Eye Center ORBITA Makassar selama periode Maret 2014 Juli 2014. Penentuan nilai astigmat kornea anterior dilakukan dengan pengukuran keratometri sebelum fakoemulsifikasi, hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi. Terjadi perubahan rerata nilai astigmat kornea anterior setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm dimana sebelum fakoemulsifikasi nilai astigmat kornea sebesar 0,920 D, pada hari pertama nilai astigmat kornea meningkat menjadi 1,044 D dan hari ketujuh nilai astigmat kornea menurun menjadi 0,775 D. Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata nilai astigmat kornea pada hari pertama dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai astigmat sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama serta hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Kata Kunci: Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal ABSTRACT Cataract is the leading cause of blindness worldwide. The objective of this study was to evaluate the effect of phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision to anterior corneal astigmatism. This study used research observational design with prospective study in 32 senile cataract patients. Phacoemulsification were conducted with 2.7mm clear corneal incision and using acrylic foldable lens (Alcon type SN60WF) in Celebes Eye Center eye clinic in Makassar within period March 2014 until July 2014. Determination of anterior astigmatism were done by keratometry evaluation, before, day one after, and day seven after phacoemulsification. Mean value changes were occurred for anterior corneal astigmatism after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision whereas before phacoemulsification, the corneal astigmatism was 0.902D, day one after phacoemulsification the corneal astigmatism increased to 1.044D, and at day seven corneal astigmatism decreased to 0.775D. The study found that there was a significant difference between mean value of corneal astigmatism in day one to day seven after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision. However, there was no significant difference between astigmatism before phacoemulsification with day one and day seven after phacoemulsification with 2.7mm clear corneal incision. Keywords: Senile Cataract, Phacoemulsification, Clear Corneal Incision 66

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal ISSN 2252-5416 PENDAHULUAN Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia. Di negara berkembang, terhitung sekitar 75% penyebab kebutaan adalah katarak. Diperkirakan sekitar 12 orang menjadi buta setiap menit di dunia dan empat orang di antaranya berada di Asia Tenggara. Di Indonesia, diperkirakan setiap menit ada orang yang menjadi buta dengan berbagai sebab, dan sebagian besar dari mereka berada di daerah yang tertinggal. Tujuan utama dari bedah katarak modern adalah untuk memperoleh tajam penglihatan tanpa koreksi dengan waktu sembuh yang cepat serta komplikasi bedah yang sangat minimal. Rehabilitasi visus yang lebih cepat dapat diperoleh dengan cara mengurangi ukuran insisi sehingga luka bedah akan lebih cepat sembuh, komplikasi yang minimal, dan induksi astigmat setelah operasi yang rendah sehingga akan memberikan kepuasan pada pasien. Tetapi walaupun dengan fasilitas yang bagus dan keterampilan ahli bedah katarak yang baik, hasil visus setelah operasi masih sering disertai dengan astigmat kornea setelah operasi atau yang biasa disebut surgical induced astigmatism (SIA), sehingga membuat pasien tetap memakai kacamata. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan operasi katarak tanpa menginduksi astigmat setelah operasi atau tidak menambah pre existing astigmat dan memberikan tajam penglihatan yang terbaik tanpa koreksi serta penyembuhan yang cepat (Ilyas, 2005). Untuk mencapai tujuan tersebut di atas ahli bedah katarak harus melakukan operasi katarak dengan cara terbaik sehingga SIA dapat diminimalisasi. Karena banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ukuran, tempat dan tipe insisi mempunyai pengaruh langsung terhadap besar astigmat setelah operasi dan pada akhirnya mempengaruhi hasil operasi katarak maka sangat perlu untuk memilih jenis operasi yang tidak memberikan efek astigmat setelah operasi (Soekardi, 2004). Dengan berkembangnya teknik bedah mikro katarak serta makin majunya cara mengatasi komplikasi bedah katarak, maka komplikasi setelah operasi sudah banyak berkurang. Insidensi endoftalmitis setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal sangat rendah (0,05%). Hal ini membuat perhatian para ahli bedah katarak mulai beralih pada masalah kelainan refraksi yang ditimbulkan setelah bedah. Kelainan refraksi yang seringkali terjadi setelah operasi katarak adalah timbulnya astigmat yang tinggi sehingga rehabilitasi penglihatan pada mata masih memerlukan kaca mata atau lensa kontak. Rowan dan Thygeson menyatakan 6 minggu setelah operasi katarak rerata penurunan astigmat sebesar 2.5 dioptri pada 79 penderita. Pada pasien dengan pre existing astigmat dengan nilai astigmat <0,75 D, fakoemulsifikasi tidak boleh menginduksi astigmat kornea atau tidak menambah pre existing astigmat Meminimalkan panjang insisi di sclera atau kornea efektif menurunkan SIA. Insisi kornea dengan ukuran 4 mm dapat menginduksi SIA sebesar 0,40-0,75 D, insisi kornea dengan ukuran 2,75 mm dapat menyebabkan SIA sebesar 0,25 0,70 D, insisi kornea dengan ukuran 2 mm dapat menyebabkan SIA sebesar 0,05 0,10 D (Lindstrom, 2009). Pada penelitian yang membandingkan antara insisi 12-14 mm di kornea-sklera pada ekstracapsuler cataract extraction (ECCE) dengan insisi 3,2 mm pada kornea di aksis yang paling curam pada fakoemulsifikasi didapatkan SIA yang berbeda signifikan. Astigmat kornea pada kelompok fakoemulsifikasi di bawah satu dioptri hampir sama dengan nilai sebelum operasi. Sedangkan astigmat kornea pada ECCE meningkat sampai lebih dari tiga dioptri, tiga minggu setelah operasi akan menurun dan stabil pada bulan ke delapan dan dua belas sampai kurang dari 1.5 D (Lindstrom, 2009) 67

Fajar Ferdian ISSN 2252-5416 Dalam sebuah penelitian yang membandingkan hasil fakoemulsifikasi tanpa jahitan antara insisi 2.2 mm dengan insisi 3.5 mm, secara statistik tidak didapatkan perbedaan antara kelompok 2,2 mm dengan 3,5 mm ( Kohnen et al., 2005). Howard Fine menganjurkan letak insisi kornea di bagian limbus temporal karena diameter kornea horizontal lebih panjang dari diameter vertikal kornea, sehingga limbus temporal letaknya lebih jauh dari aksis visual dibandingkan dari arah superior. Pendataran kornea akibat insisi temporal ini akan lebih kecil pengaruhnya terhadap induksi astigmat yang terjadi pada aksis visual (Lindstrom, 2009). Untuk mengurangi pre existing astigmat, insisi dapat dilakukan pada aksis yang curam ('insisi on-axis), sehingga menyebabkan pendataran kornea. Insisi kornea dengan panjang 3,0 mm menyebabkan pendataran kornea bagian temporal antara 0,28 dan 0,53 D. Sebuah insisi kornea sebesar 2,75 mm bagian superior atau superotemporal menyebabkan pendataran hingga 1,2 D. Insisi sebesar 6 mm dapat bermanifestasi 2-3 D silinder, insisi yang lebih panjang di lokasi yang sama dapat mengakibatkan silinder yang lebih berat (Jacoebic, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm terhadap astigmat kornea anterior. BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Klinik Mata Orbita Makassar yang berlangsung selama 3 bulan atau sampai jumlah sampel terpenuhi. Desain dan variabel penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan prospektif untuk menilai bagaimana pengaruh insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm terhadap astigmat kornea anterior setelah operasi fakoemulsifikasi. Populasi dan sampel Populasi penelitian ini adalah pasien katarak baik yang menderita astigmat kornea maupun yang tidak menderita astigmat. Sampel penelitian adalah pasien katarak yang akan menjalani fakoemulsifikasi dengan menggunakan lensa foldable (Alcon tipe SN60WF) di Klinik Mata Orbita Makassar. Sampel penelitian ini diambil dari populasi pasien yang telah teridentifikasi dan memenuhi kriteria secara consecutive sampling. dan dalam penelitian ini jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 35 sampel penelitian. Metode pengumpulan data Penderita katarak yang sudah teridentifikasi dan memenuhi syarat (inklusi dan eksklusi), selanjutnya dicatat umur, jenis kelamin, dan diperiksa autokeratometrinya untuk menilai SIA yang terjadi setelah operasi fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Pada penelitian ini digunakan beberapa sarana penunjang berupa : a) trial lens set dan tes Snellen, b) Lampu senter; c) Slit Lamp Biomikroskop; d) Non contact tonometer (NCT 10 Shin Nippon); e) Mikroskop Operasi (Moeller); f) Autorefrakt o- keratometer (KR 8900 Top Con); g) Mesin fakoemulsifikasi (Compact sovereign); h) Formulir persetujuan pasien dan kartu responden; i) Bahan dan alat-alat operasi; dan j) Biometri (IOL Master). Analisis data Seluruh data yang diperoleh, dikelompokan sesuai dengan tujuan dan jenis data. Untuk selanjutnya diuji dengan menggunakan: 1) Analisis bivariat. Uji perbedaan ini rerata digunakan untuk membandingkan derajat astigmat sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Untuk itu digunakan uji T 68

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal ISSN 2252-5416 berpasangan bila data berdistribusi secara normal dengan varians yang sama. Sedangkan data lainnya akan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test. Untuk data kategorikal akan digunakan uji McNemar untuk menilai adanya perubahan berdasarkan waktu pengukuran, Pengelolaan data dan uji statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS; dan 2) Penilaian hasil uji hipotesis. Penilaian hasil uji hipotesis dinyatakan sebagai berikut : a) tidak bermakna bila p > 0,05.; b) bermakna bila p < 0,05; dan c) sangat bermakna bila p < 0,01. HASIL Telah dilakukan penelitian observasional dengan pendekatan studi prospektif untuk menilai astigmat kornea anterior sebelum dan setelah fakoemulsifikasi pada penderita katarak dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm di klinik mata Celebes Eye Center/ORBITA Makassar selama periode Maret sampai dengan Juli 2014. Jumlah sampel yang diperoleh pada penelitian sebesar 35 mata dengan jumlah pasien 32 orang. Berdasarkan umur bervariasi antara 46 92 tahun dengan rerata 65 ± 10 tahun. Untuk jenis kelamin subyek laki-laki sebanyak 21 orang (65,6%) dan perempuan 11 orang (34,4%). Rerata astigmat kornea sebesar 0,92 ± 0,6 D dan rerata keratometri yang flat 43,71 + 1,65 serta rerata keratometri yang steep 44,02 ± 1,64. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan perbandingan rerata nilai astigmat kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi. Tidak ada perbedaan antara rerata nilai astigmat kornea anterior sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan nilai p>0,05. Tetapi terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata nilai astigmat hari pertama dengan hari ketujuh dimana rerata nilai astigmat kornea hari ketujuh lebih rendah daripada hari pertama dengan nilai p<0,05. Perbandingan jenis astigmat sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama setelah fakoemulsifikasi, Terdapat perubahan jenis astigmat yang signifikan, dimana persentase yang berubah menjadi sebesar 39,3% sedangkan menjadi sebesar 3,6% dengan nilai p<0,01 (Tabel 1). Perbandingan jenis astigmat sebelum fakoemulsifikasi dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi, Terdapat perubahan jenis astigmat yang signifikan, dimana persentase yang berubah menjadi sebesar 50% sedangkan menjadi sebesar 7,1 % dengan nilai p<0,01 (Tabel 2). Perbandingan jenis astigmat hari pertama dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dimana tidak ditemukan adanya perubahan yang signifikan antara jenis astigmat dengan nilai p>0,01 (Tabel 3). Perbandingan nilai astigmat menurut jenis astigmat dimana pada astigmat tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara rerata nilai astigmat sebelum dan setelah fakoemulsifikasi sedangkan pada astigmat terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata nilai astigmat hari pertama dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dimana nilai astigmat pada hari ketujuh lebih rendah dibandingkan hari pertama dengan nilai p<0,01 (Tabel 4). Perbandingan antara rerata nilai visus menurut jenis astigmat. Pada astigmat didapatkan perbedaan yang signifikan antara rerata nilai visus sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi, Rerata nilai visus hari pertama lebih baik daripada visus sebelum fakoemulsifikasi dengan nilai p <0,01. Rerata nilai visus hari ketujuh lebih baik dibandingkan visus hari pertama setelah fakoemulsifikasi dengan nilai p<0,05. 69

Fajar Ferdian ISSN 2252-5416 Tabel 1. Perbandingan Jenis Astigmat Pre-op dengan Hari 1 Jenis Astigmat pre McNemar test (p=0,006) Jenis SIA hari 1 N 13 11 24 % 46,4% 39,3% 85,7% N 1 3 4 % 3,6% 10,7% 14,3% N 14 14 28 % 50,0% 50,0% 100,0% Tabel 2. Perbandingan Jenis Astigmat Pre-op dengan Hari Ketujuh Jenis Asitgmat pre McNemar test (p=0,004) Jenis SIA minggu 1 N 10 14 24 % 35,7% 50,0% 85,7% N 2 2 4 % 7,1% 7,1% 14,3% N 12 16 28 % 42,9% 57,1% 100,0% Tabel 3. Perbandingan Jenis Astigmat Hari 1 dengan Minggu 1 Jenis SIA hari 1 McNemar test (p=0,687) Jenis SIA minggu 1 n 10 4 14 % 35,7% 14,3% 50,0% n 2 12 14 % 7,1% 42,9% 50,0% n 12 16 28 % 42,9% 57,1% 100,0% Tabel 4. Perbandingan Nilai Astigmat menurut Jenis Astigmat Jenis Asitgmat pre n Mean SD p Pair 1 Nilai Astigmat pre 24 1,067 0,6127 0,548 Nilai SIA hari 1 24 1,155 0,6865 Pair 2 Nilai Astigmat pre 24 1,067 0,6127 0,110 Nilai SIA minggu 1 24 0,769 0,4871 Pair 3 Nilai SIA hari 1 24 1,155 0,6865 0,002 Nilai SIA minggu 1 24 0,769 0,4871 Pair 1 Nilai Astigmat pre 4 0,950 0,5802 0,715 Nilai SIA hari 1 4 1,055 0,3465 Pair 2 Nilai Astigmat pre 4 0,950 0,5802 0,715 Nilai SIA minggu 1 4 0,952 0,3342 Pair 3 Nilai SIA hari 1 4 1,055 0,3465 1,000 Nilai SIA minggu 1 4 0,952 0,3342 Wilcoxon Signed Rank test 70

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal ISSN 2252-5416 Tabel 5. Perbandingan Rerata Visus menurut Jenis Astigmat Jenis Asitgmat N Mean SD P Pair 1 VOS pre 24 1,514 0,8066 0,002 VOS hari 1 24 0,508 0,3103 Pair 2 VOS pre 24 1,514 0,8066 0,002 VOS minggu 1 24 0,232 0,1472 Pair 3 VOS hari 1 24 0,508 0,3103 0,002 VOS minggu 1 24 0,232 0,1472 Pair 1 VOS pre 4 1,016 1,3577 0,109 VOS hari 1 4 0,500 0,0000 Pair 2 VOS pre 4 1,016 1,3577 0,109 VOS minggu 1 4 0,133 0,1155 Pair 3 VOS hari 1 4 0,500 0,0000 0,102 VOS minggu 1 4 0,133 0,1155 Pada astigmat tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata nilai visus sebelum fakoemulsifikasi dengan rerata nilai visus pada hari pertama dan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan nilai p>0,05 (Tabel 5) PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata nilai astigmat kornea pada hari pertama dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai astigmat sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama serta hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm. Terjadi perubahan rerata nilai astigmat kornea anterior setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal ukuran 2,75 mm dimana sebelum fakoemulsifikasi nilai astigmat kornea sebesar 0,920 D, pada hari pertama nilai astigmat kornea meningkat menjadi 1,044 D dan hari ketujuh nilai astigmat kornea menurun menjadi 0,775 D. Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmat, pemantulan sinar tidak difokuskan pada satu titik di retina. Sinar pada astigmat direfraksikan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus refraksi. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina (Vaughan,2009). Astigmat adalah suatu keadaan asferis dari kelengkungan kornea atau lensa dimana meridian yang tidak sama mengakibatkan berkas cahaya difokuskan lebih dari satu titik. Astigmat dapat terjadi karena perubahan bentuk kornea yang sferis menjadi asferis, dimana semakin lonjong bentuk kornea maka semakin tinggi astigmat mata tersebut. Penyebab umum astigmat adalah kelainan bentuk kornea. Lensa kristalina juga dapat berperan untuk timbulnya astigmat. Astigmat paling sering disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea pada salah satu bidangnya. Astigmat setelah operasi 71

Fajar Ferdian ISSN 2252-5416 katarak dapat terjadi bila jahitan terlalu erat (Khurana, 2005). Permukaan kornea (terutama bagian anterior) mungkin merupakan penyebab astigmat terbesar pada mata. Tetapi bukan merupakan satu-satunya penyebab. Pada satu penelitian di sekolah anak-anak menemukan bahwa tingkat refraksi astigmat dan astigmat pada kornea hampir sama besar tetapi refraksi astigmat lebih dominan oblique (76% dari 6-7 tahun; 59% dari 12-13 tahun), sedangkan astigmat kornea lebih dominan with the rule (80% dari umur 6-7 tahun; 82% dari umur 12-13 tahun) (Gudmundsdottir et al., 2005). Penderita astigmat sebagian besar adalah. Insisi yang ditempatkan pada kornea akan menyebabkan pendataran pada arah yang berhadapan dengan insisi tersebut. Artinya, jika melakukan insisi dari temporal cenderung menyebabkan pendataran pada aksis horizontal kornea, dimana hal ini akan mengakibatkan induksi astigmat. Sebaliknya jika melakukan insisi kornea dari superior cenderung mengakibatkan induksi. Induksi astigmat bergantung dari panjangnya insisi, yaitu semakin panjang insisi akan semakin besar induksi astigmat (Soekardi, 2004). Proporsi astigmat pada kornea bagian anterior biasanya akan berkurang, sebaliknya untuk astigmat akan bertambah seiring waktu. Pada kornea bagian posterior akan sebagian besar menggambarkan astigmat di semua kelompok umur. Ada suatu gambaran yang signifikan tentang astigmat berhubungan dengan meningkatnya usia baik pada kornea bagian anterior maupun total keseluruhan (rerata perubahan -0,18 dan -0,16 D selama 5 tahun) dan astigmat pada permukaan posterior kornea (rerata perubahan 0,0222 D selama 5 tahun) Berdasarkan pertambahan usia, telah dilakukan observasi pada permukaan anterior dan posterior kornea. Pada kornea bagian posterior proporsi astigmat dan adalah 0% dan 98,3% pada umur 21-30 tahun serta 9,1% dan 88,6% pada kelompok usia > 71 tahun. Pada nilai astigmat kecil, gejalanya hanya terasa pandangan yang kabur. Kelainan astigmat sebesar 1-2 dioptri akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan sampai level 20/30-20/50, sedangkan astigmat sebesar 2-3 dioptri berhubungan dengan tajam penglihatan sebesar 20/70-20/100. Tapi terkadang pada astigmat yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah. Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka (Istiantoro, 2008). Karena sebagian besar astigmat disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, maka derajat astigmat dapat diketahui. Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-jari kelengkungan kornea anterior. Keratometer digunakan untuk memperkirakan kekuatan refraksi dari kornea. Kornea bagian sentral dapat dimisalkan sebagai suatu cermin sferis yang cembung yang mempunyai kekuatan yang kuat sekitar 250 dioptri. Perubahan astigmat kornea pada setelah operasi katarak dapat diketahui dengan mengukur jari jari kelengkungan kornea anterior, meridian vertikal dan horizontal, sebelum dan sesudah operasi. Keratometer digunakan untuk mengukur dua meridian utama kornea. Perbedaan antara kedua hasil pengukuran ini adalah keratometri astigmat Apabila yang terjadi astigmat regular maka kedua meridian akan pependikular satu sama lain. Evaluasi rutin kurvatura kornea sebelum dan setelah operasi membantu ahli bedah untuk mengevaluasi pengaruh tehnik insisi dan penjahitan terhadap astigmat (Liesegang et al., 2008). Retinoskopi strik adalah suatu alat untuk menentukan kelainan refraksi sferis-silinder secara objektif, untuk mengetahui apakah astigmat yang terjadi 72

Katarak Senilis, Fakoemulsifikasi, Insisi Kornea Temporal ISSN 2252-5416 reguler atau ireguler, dapat juga untuk mengetahui adanya kekeruhan dan iregularitas. Pemeriksa menempatkan lensa sferis atau silinder sampai kelainan refraksi bisa dinetralkan (Langston, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Peneliti menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara astigmat kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan hari pertama setelah fakoemulsifikasi dengan nilai P>0,05, namun ada kecenderungan nilai astigmat akan meningkat satu hari setelah fakoemulsifikasi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara astigmat kornea sebelum fakoemulsifikasi dengan astigmat setelah fakoemulsifikasi hari ketujuh dengan nilai P>0,05, namun ada kecenderungan bahwa nilai astigmat akan menurun setelah fakoemulsifikasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara astigmat hari pertama setelah fakoemulsifikasi dengan hari ketujuh setelah fakoemulsifikasi dengan nilai P<0,05 dimana nilai astigmat akan menurun. Sampel pada penelitian ini sangat terbatas dan waktu kontrol juga sangat pendek cuma satu minggu sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan waktu kontrol yang lebih lama. Penelitian ini hanya melihat bagaimana perubahan astigmat sebelum dan setelah fakoemulsifikasi dengan insisi kornea temporal, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian yang membandingkan variabel lainnya. DAFTAR PUSTAKA Gudmundsdottir et al. (2005). Five-year refractive changes in an adut population: Reykjavik Eye Study. Ophthalmology. Vol.112 No.4. Ilyas. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Istiantoro. (2008). Tips and trick phaecoemulsification. Edisi pertama. JEC. Jacobiec. (2008). Principle and practice of Ophthalmology, Astigmat and Cataract Surgery. Edisi 3 Vol. 1 Elseviere. Khurana. (2005). Comprehensive Ophthalmology. Fourth edition. New age publisher. Kohnen et al. (2005). Comparison of the induced astigmatism after temporal clear corneal tunnel incisions of different sizes. J Cataract Refract Surg. Langston. (2008). Manual of cular diagnosis and therapy. Lippincot William & wilkins. Liesegang et al. (2008). Basic and Clinical Science Course. External Disease and Cornea. Section 8. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology. Lindstrom. (2009) Control of astigmatism in cataract patient, 24: 289-304. Soekardi. (2004). Transisi menuju fekoemulsifikasi. Edisi pertama. Cetakan pertama. Jakarta: Penerbit Granit. Vaughan. (2009). Oftalmologi Umum. Optik dan refraksi. Edisi keempat belas. Widya Medika. 73