BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber daya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembelajaran fisika adalah pembelajaran yang tidak mengabaikan hakikat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Oleh karena itu maka setiap manusia

2015 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN S LEARNING IN SCIENCE

2014 ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN MISKONSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GERAK BERDASARKAN HASIL THREE-TIER TEST

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah mendapat perhatian yang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan dasar

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

Meilantifa, Strategi Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu. Strategi Konflik Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetap juga merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah proses. pengkonstruksian pengetahuan oleh individu pembelajar sebagai upaya

2015 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS II D I SD N HARAPAN 1 BAND UNG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang alam semesta dan segala isinya.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Hal ini karena mata pelajaran IPA khususnya, akan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan menengah. Salah satu bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi yang telah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memiliki cakupan materi yang sangat luas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agus Latif, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurvita Dewi Susilawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. matematika kurang disukai oleh kebanyakan siswa. Menurut Wahyudin (1999),

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesenjangan. Diperlukan penataan kembali sistem pendidikan secara menyeluruh

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Pembentukan Pengetahuan Menurut Model Konstruktivis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eva Agustina,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan melahirkan

I. PENDAHULUAN. Saat ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Mella Pratiwi, 2013

SANTI BBERLIANA SIMATUPANG,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan eksak yang digunakan hampir

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan. dapat menunjang hasil belajar (Sadirman, 1994: 99).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penguasaan konsep IPA yang dapat menunjang kegiatan sehari-hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. lebih kearah penanaman pengetahuan tentang konsep-konsep dasar, sebagaimana para saintis merumuskan hukum-hukum dan prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPA MATERI DAUR AIR

BAB I PENDAHULUAN. baik sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat (Amri, 2010 : 13). Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. intelektual siswa. Dalam lembaga formal proses reproduksi sistem nilai dan budaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA MATERI GAYA MAGNET MELALUI METODE INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan Sekolah Dasar adalah memberikan bekal pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Langeveld pendidikan adalah pemberian bimbingan dan bantuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tujuan pembelajaran IPA di atas yakni menumbuh kembangkan pengetahuan dan keterampilan, maka hal ini sesuai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Mulyasa, 2005 :70).

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Pendidikan adalah usaha terencana untuk mewujudkan suasana belajar

I. PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENINGKTAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH SISWA KELAS V SD KARTIKA XX-1 KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. materi pelajaran dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Jika guru dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. proses ini perubahan tidak terjadi sekaligus tetapi terjadi secara bertahap

Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 ISBN : Surabaya, 25 Pebruari 2012

I. PENDAHULUAN. pengembangan diri atau pribadi siswa secara utuh, artinya pengembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelly Fitriani, 2013

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tantangan berat bangsa Indonesia adalah menyiapkan sumber

cara kerja suatu alat kepada kelompok siswa.

BAB I PENDAHULUAN. Semua pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek yang biasanya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah, dalam kaitannya dengan pendidikan sebaiknya dijadikan tempat

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif. pendidikan (UUSPN No. 20 TH. 2003, Bab I pasal 1:2).

BAB I PENDAHULUAN. dan kerja keras sedini mungkin. Walaupun hal tersebut telah diupayakan, namun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iva Sucianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuanita, 2013

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusa. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi tumpuan utama agar suatu bangsa dapat berkompetisi. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan formal merupakan salah satu wahana dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan IPA sebagai bagian dan pendidikan formal seharusnya ikut memberi kontribusi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Pendidikan IPA yang diberikan di sekolah yang pada dasarnya bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan sifat zat serta penerapannya (Wospakrik, 1994 : 1). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan bahwa fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bagian-bagian dan alam dan interaksi yang ada di dalamnya. Ilmu fisika membantu kita untuk menguak dan memahami tabir misteri alam semesta ini (Surya, 1997: 1). 1

2 Tujuan utama yang ingin dicapai dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi mata Mata Pelajaran IPA di SD/MI adalah ( Depdiknas, 2001: 4):(1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-nya, (2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat, (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan (5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, dan (7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep diri keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran tersebut maka pada setiap akhir program pengajaran dilakukan evaluasi. Indikator keberhasilan dan pencapaian tujuan pengajaran tersebut adalah kemampuan belajar siswa yang diwujudkan dalam bentuk Nilai Ebtanas Murni (NEM). Hasil NEM IPA yang diperoleh siswa dan tahun ke tahun sangat tidak menggembirakan. Hal ini menandakan kualitas pendidikan IPA masih rendah. Penyebab masih rendahnya mutu pendidikan IPA yang secara umum diterima oleh para pendidik IPA adalah adanya miskonsepsi dan kondisi

3 pembelajaran yang kurang memperhatikan prakonsepsi yang dimiliki siswa. Penyebabnya adalah dari 16 orang yang lulus KKM hanya 8 anak. Jadi yang lulus hanya 50%. Dengan asumsi tersebut mereka masih perlu ditingkatkan nilai rata-rata kelas. Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematika dan pengetahuan sosial. Tidak semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Hal ini dapat diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan sosial seperti nama hari, tanda atom dan lambang matematika dapat dipelajari secara langsung. Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras siswa untuk mengorganisasi pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema atau struktur mental yang telah ada sebelumnya ( De Vries and Zan, 1994 : 193-195 ; Bodner, 1986 : 2 ; Dahar, 1988: 192). Miskonsepsi pada siswa yang muncul secara terus menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Pembelajaran yang tidak memperhatikan miskonsepsi menyebabkan kesulitan belajar dan akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar mereka. Pandangan tradisional yang menganggap bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa perlu digeser menuju pandangan konstruktivisme yang berasumsi bahwa pengetahuan dibangun dalam diri siswa ( Howe, 1996 :45).

4 Secara khusus diperlukan perubahan pola pikir yang digunakan sebagai landasan pendidikan. Pada umumnya kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada pengajaran dari pada pembelajaran. Pembelajaran diartikan sebagai perubahan dalam kemampuan, sikap, atau perilaku siswa yang relatif permanen sebagai akibat dan pengalaman atau pelatihan. Pola pikir pembelajaran pun perlu diubah dari sekedar memahami menuju pada penerapan konsep dan prinsip keilmuwan. Dalam pilar-pilar pembelajaran dan UNESCO, selain terjadi learning to know (pembelajaran untuk tahu), juga harus terjadi learning to do (kemampuan untuk berbuat). Pembelajaran terfokus pada siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator (Depdikbud, 2001:2). Dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, pada saat munculnya miskonsepsi, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekualibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru, diharapkan dapat menyadarkan siswa atas kekeliruan konsepsinya dan pada akhirnya mereka merekonstruksi konsepsinya menuju konsepsi ilmiah. Dengan demikian pembelajaran IPA akan menimbulkan suasana belajar yang bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna terjadi bila informasi terkait dengan konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif (Dahar, 1988:112). Pengubahan konsepsi yang dilakukan dengan menyajikan proses pembelajaran dengan model konstruktivis ini berpijak pada konstruktivisme Piagetian dan Vygotskian. Penerapan model belajar konstruktivis dan Piaget

5 menyatakan bahwa siswa yang aktif menciptakan struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitif ini, siswa menyusun pengertiannya mengenai realitasnya Struktur kognitif senantiasa harus disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungannya. Siswa tidak secara pasif menerima realitas-obyektif yang diterimanya. Siswa berpikir aktif serta mengambil tanggung jawab atas proses pembelajaran dirinya (Piaget, 1988 : 60). Pembelajaran yang berpijak dan persepektif konstruktivis dan Vygotsky menekankan pada hakekat pembelajaran sosio kultural melalui kegiatan interaksi sosial individu dalam konteks budaya. Model pembelajaran konstruktivis dari Vygotsky memberi peluang kepada siswa untuk terlibat aktif, meningkatkan interaksi dalam sasaran belajar, saling mengisi dalam memecahkan masalah (Howe 1996 : 4). Jika diperhatikan dengan seksama konsep-konsep yang ada dalam materi IPA utamanya fisika di SD sebagiannya akan ditemukan konsepkonsep yang sifatnya abstrak. Agar siswa dapat memahami materi tersebut dengan lebih bermakna maka diharapkan siswa sudah memiliki penalaran formal. Sebab jika tidak, subyek didik akan mengalami pseudo learning yaitu belajar yang tidak fungsional. Siswa yang tidak berada pada tahap konkret operasional bila mencoba mempelajari materi yang memerlukan proporsional dan probabilitas mungkin akan berhasil dengan menghafal materi tetapi tidak akan mampu melakukan penalaran. Tentu hal ini sangatlah merugikan siswa (Ali, 2002: 15).

6 Dengan demikian, selain harus mempertimbangkan miskonsepsi yang dimiliki siswa sebelum mendapatkan pembelajaran, guru juga harus mempertimbangkan penalaran formal yang berbeda-beda yang dimiliki oleh siswa. Hal ini dapat dilaksanakan dengan baik bila informasi tentang penalaran formal siswa sudah dimiliki guru. Piaget menyatakan bahwa anakanak dianggap siap mengembangkan konsep khusus jika memperoleh skemata yang diperlukan. Hal ini berarti anak-anak tidak dapat belajar (tidak dapat mengembangkan skemata) jika tidak memiliki keterampilan kognitif. Artinya proses belajar mengajar menjadi terhambat bila penalaran formal siswa tidak sesuai dengan yang diperlukan (Sunardi, 2002:44). Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan implementasi model konstruktivis dalam pembelajaran IPA. Sadia (1996: 211) melakukan studi dengan menerapkan model belajar konstruktivis dalam pembelajaran konsep energi, usaha dan suhu. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas pengembangan model belajar konstruktivis. Penelitian ini menggunakan konflik kognitif sebagai strategi pengubahan miskonsepsi siswa menuju konsep ilmiah yang berpijak pada teori konstruktivis Piaget dan menggunakan metode diskusi yang berpijak pada teori konstruktivis Vygotsky. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa model belajar konstruktivis memiliki keunggulan komparatif terhadap model belajar konvensional dan tidak adanya efek interaksi yang signifikan antara inteligensi dan model belajar.

7 Pearsall, Skipper dan Mintzes (1996: 193) menjelaskan bahwa dalam dua dekade terakhir dan 3500 studi dalam pembelajaran sains, disimpulkan bahwa siswa sering gagal dalam memahami konsep dalam pembelajaran ilmu alam (natural science). Miskonsepsi sering terjadi dalam upayanya memahami kejadian dan obyek alamiah. Mintzes menawarkan peta konsep (concept map) yang berlandaskan konstruktivis sebagai suatu alternatif guna mengatasi masalah-masalah tersebut. Dalam penelitiannya (p< 0.01) ditemukan bahwa model ini telah mampu memudahkan siswa untuk memahami konsep-konsep dalam pembelajaran ilmu alam. Soetopo (2000:203-209) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang kesanggupan berpikir formal. Hasil analisis data tentang proporsi kesanggupan berpikir formal menurut wilayah dengan Tes Berpikir Formal Bentuk Obyektif (POFI) dan Tugas-tugas Model Piaget (PTI) dengan sampel 598 siswa menunjukkan bahwa kesanggupan berpikir formal dapat dikatakan belum muncul pada siswa kelas V Sekolah Dasar (rerata usia 10,5 tahun). Pada uji korelasi antara kesanggupan berpikir formal yang diukur dengan tes POFI dengan Prestasi Belajar Pengetahuan Dasar MIPA diketahui ada hubungan yang signifikan antara kesanggupan berpikir formal dengan prestasi belajar pengetahuan dasar MIPA. Penelitian yang dilakukan oleh Amien (1996:291) menunjukkan bahwa berpikir formal dapat diukur pada siswa SLTP. Melalui kelas (dan berdasarkan umur) terdapat pertambahan signifikansi dalam hal bagaimana anak usia 15 tahun memiliki tingkat berpikir formal yang lebih tinggi daripada anak usia 14 tahun. Ditemukan pula perbedaan-perbedaan ditinjau dan jenis

8 kelamin, tempat tinggal (kota dan desa), dan tingkat pendidikan keluarga. Lingkungan perkotaan dan lingkungan keluarga yang orang tuanya memiliki pendidikan lebih tinggi lebih merangsang anak dalam mengembangkan penalaran formalnya. Sunardi (2002:47-51) mengadakan studi tentang penalaran formal. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah Test of Logical Thinking yang dikembangkan Tobin dan Capie yang telah diadaptasi menjadi Tes Kemampuan Penalaran Formal oleh Nur. Sunardi menyimpulkan bahwa anak-anak mencapai tingkat operasi formal pada umur yang lebih tinggi daripada umur yang ditetapkan oleh Piaget. Penelitian yang dilakukan oleh Ali (2002 : 26) menemukan bahwa kemampuan berpikir formal mempunyai korelasi positif dengan hasil belajar fisika baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, meskipun dilakukan pengontrolan terhadap variabel kreativitas dan motivasi berprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir formal secara konsisten berkorelasi positif dengan hasil belajar fisika. Hal tersebut juga berarti makin tinggi kemampuan berpikir formal siswa, makin tinggi basil belajar fisika. Dari uraian di atas, terlihat bahwa miskonsepsi yang dialami siswa bersifat resisten dalam pembelajaran, sedangkan di sisi lain anak-anak memiliki penalaran formal yang berbeda-beda. Dalam hal ini, siswa membutuhkan suatu model pembelajaran yang tepat agar pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dengan demikian model belajar menggunakan CTL dipilih sebagai suatu studi remidial dalam upaya untuk mengurangi miskonsepsi siswa ditinjau dari penalaran formal siswa. Model belajar dengan

9 CTL yang diimplementasikan dalam penelitian ini berpijak pada konstruktivisme Piagetian dan Vygotskian. B. Identifikasi Masalah Prestasi belajar siswa dalam bidang studi IPA dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: lingkungan belajar, metode, media, pengelolaan kelas, interaksi di dalam kelas, inteligensi, penalaran formal, dan lain-lan. Dari latar belakang masalah di atas muncul berbagai masalah yang akan diidentifikasi dengan mengetengahkan berbagai pernyataan berikut. Bagaimanakah profil prior knowledge dan miskonsepsi yang dialami siswa? mengapa terjadi demikian? bagaimanakah resistensinya dalam proses pembelajaran? bagaimanakah cara mengatasi miskonsepsi tersebut agar menjadi konsepsi ilmiah? Model pembelajaran yang bagaimanakah sebaiknya diterapkan di kelas, dimana kemampuan berpikir siswa sangatlah beragam? Model pembelajaran yang digunakan guru sangat erat kaitannya dengan resistensi miskonsepsi yang dialami siswa. Apakah ada perbedaan prestasi belajar siswa bila model belajar CTL tersebut diterapkan di kelas mengingat dalam kelas terdapat siswa yang memiliki kemampuan berpikir yang sangat beragam? Semua siswa yang memiliki penalaran formal tinggi dan rendah tentu akan membutuhkan model pembelajaran yang berbeda untuk meningkatkan prestasinya. Semua masalah yang ditanyakan itu merupakan fokus penelitian yang mendasar dan menarik untuk diungkapkan.

10 C. Pembatasan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah yang diuraikan, maka penelitian ini akan dilakukan di SD N 2 Ngabeyan Karanganom Klaten yang terfokus pada proses pembelajaran IPA dengan menerapkan model belajar CTL. Permasalahan yang diteliti meliputi: 1) pengetahuan awal siswa (prior knowledge) dan miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat pada diri siswa 2) strategi pengubahan miskonsepsi. Dari sisi lain penalaran formal siswa merupakan suatu unsur yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar, utamanya dalam mata pelajaran IPA (fisika). Dalam IPA selain harus mempertimbangkan miskonsepsi yang dimiliki siswa sebelum mendapatkan pembelajaran, guru juga harus mempertimbangkan penalaran formal yang berbeda-beda yang dimiliki oleh siswa. Dalam studi remidial ini, penalaran formal digunakan sebagai variabel moderator untuk memperoleh informasi apakah model belajar CTL cocok bagi semua siswa atau hanya cocok bagi kelompok siswa dengan stratum penalaran formal tertentu. Materi pelajaran yang akan dicobakan dalam penerapan model belajar CTL adalah pokok bahasan mengenal berbagai bentuk benda dan kegunaannya serta perubahan wujud yang dapat dialaminya. Akan diberikan pada kelas II semester I tahun ajaran 2012/2013.

11 D. Rumusan Masalah Sejalan dengan pembatasan masalah yang dilakukan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Apakah melalui strategi CTL dapat menghasilkan pembelajaran IPA di kelas II SD N 2 Ngabeyan Karanganom Klaten? E. Tujuan Sesuai dengan permasalahan yang telah ditetapkan, maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil IPA melalui strategi CTL di kelas II SD 2 Ngabeyan, Karanganom Kabupaten Klaten. F. Manfaat Peneitian Penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi siswa guru dan sekolah khususnya bagi dunia pendidikan. Manfaat penelitian tersebut dapat dijadikan: 1. Manfaat Teoritis a. Mendapatkan pengetahuan baru tentang cara meningkatkan kemampuan siswa dalam menemui pengetahuan sendiri melalui model CTL. b. Memberikan wawasan yang lebih luas tentang penggunaan model CTL untuk meningkatkan hasil belajar siswa. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

12 a. Bagi Siswa Manfaat penelitian bagi siswa adalah : 1) Meningkatkan kemampuan siswa dalam menemukan pengetahuan sendiri. 2) Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan. 3) Meningkatkan hasil belajar siswa. 4) Meningkatkan perhatian siswa dalam pembelajaran b. Bagi Guru Manfaat penelitian bagi guru adalah : 1) Dapat menggunakan metode CTL dalam pembelajaran IPA. 2) Memahami berbagai metode mengajar dengan berbagai karakteristik, sehingga mampu memilih metode belajar siswa yang berdampak pada hasil belajar siswa. 3) Dapat meningkatkan belajar siswa yang nantinya dalam berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa. c. Bagi Kepala Sekolah 1) Memberi pelatihan kepada guru tentang metode pembelajaran yang inovatif pembelajaran IPA. 2) Memberi masukan kepala sekolah upaya memperbaiki dan menemukan metode strategi CTL 3) Meningkatkan pembelajaran IPA selama proses pelajaran IPA dengan menerapkan strategi CTL.