II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

ANALISIS INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

PENGELOLAAN DAS TERPADU

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

III. METODE PENELITIAN

PENGARUH BANJIRTERHADAP PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN TANASITOLO KABUPATEN WAJO

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara dan Kelurahan Cisarua,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

2 TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Penginderaan Jauh dalam Penutupan Lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

TINJAUAN PUSTAKA. diartikan berkaitan dengan jumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah,

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

BAB I PENDAHULUAN I.1.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

Transkripsi:

3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam suatu kawasan atau wilayah dilakukan dan dilaksanakan dengan mengacu kepada rencana tata ruang. Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang yang senantiasa memperhatikan dan mengacu kepada rencana tata ruang dengan sendirinya akan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang agar senantiasa mengindahkan aspek-aspek keselarasan dan kelestarian lingkungan hidup (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Menyingkapi fenomena penataan ruang yang cenderung mengutamakan sisi ekonomi dibandingkan sisi ekologi, sosial kultural, dan perspektif jangka panjang dikarenakan kepentingan di bidang ekonomi lebih kuat, maka penataan ruang yang mencakup unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan, harus bisa mengakomodasi ketiga elemen tersebut agar berjalan seimbang. Rencana tata ruang yang baik harus responsif terhadap kemajuan global serta tidak meninggalkan sosial budaya sebuah wilayah agar tercapai hakekat perencanaan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2008). Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Konsep pola pemanfaatan ruang wilayah menunjukkan bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial-budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, pertahanan keamanan, fungsi lindung, budidaya dan estetika lingkungan, dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang. Adapun yang menjadi dasar dalam pertimbangan perencanaan pola pemanfaatan ruang

4 wilayah adalah dinamika perkembangan wilayah, kebijakan pembangunan, potensi unggulan, optimalisasi ruang untuk kegiatan, kapasitas serta daya dukung sumberdaya. Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta kawasan prioritas (Rustiadi et al., 2009). 2.2. Inkonsistensi Tata Ruang Inkonsistensi tata ruang merupakan bentuk ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang dengan peruntukan tata ruang. Pemanfaatan ruang dinilai tidak sesuai dengan RTRW apabila pemanfaatan ruang (penggunaan lahan) memiliki land rent yang lebih tinggi dibandingkan land rent peruntukan pemanfaatan ruangnya (inkonsisten). Apabila pemanfaatan ruang (penggunaan lahan) memiliki land rent yang lebih rendah dibandingkan dengan land rent peruntukan pemanfaatan ruangnya maka pemanfaatan ruang tersebut dinilai konsisten terhadap arahan RTRW yang telah ditetapkan (Gambar 1). Pemanfaatan Ruang (Penggunaan Lahan Eksisting) (ELU) Tidak Sama Land Rent ELU < Land Rent PLU Konsisten Overlay Land Rent ELU > Land Rent PLU Inkonsisten Peruntukan Pemanfaatan Ruang (RTRW) (PLU) Sama Konsisten Gambar 1. Diagram Alir Penetapan Pemanfaatan Ruang yang Dinilai Konsisten dan Inkonsisten Terhadap RTRW Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

5 Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuansi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1) pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap pengguanaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan 2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktifitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). 2.3. Kawasan Lindung Kawasan lindung adalah kawasan yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kawasan lindung dapat berupa warisan alam maupun hasil olahan manusia dengan tujuan memiliki fungsi lindung. Kawasan lindung mempunyai fungsi utama sebagai penyimpan cadangan air, penstabil debit air, pelindung daerah bawahnya dari kerusakan karena gejala alam (longsor, banjir), penyedia oksigen, penjaga spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan dari kepunahan (Tarigan, 2005). Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan lindung utama adalah hutan lindung, yang merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan di bawahnya. Langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung diantaranya adalah: (1) optimalisasi peruntukan dan pengendalian kawasan lindung, (2) pengembalian fungsi kawasan lindung bila terganggu fungsinya, dan (3) mengendalikan fungsi kawasan lindung agar terhindar dari kegiatan budidaya (Rustiadi et al., 2009). 2.4. DAS Ciliwung Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit/gunung,

6 maupun batas buatan, seperti jalan/tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluar (outlet). Menurut kamus Webster dalam Suripin (2002), DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau/laut. Apapun definisi yang dianut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, abiotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponenkomponen DAS yang berupa vegetasi, tanah, dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor (Suripin, 2002). Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak mulai dari Desa Tugu, Puncak (Hulu DAS) sampai Teluk Jakarta (Outlet DAS). Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu maupun hilir tergolong sangat intensif. Di daerah hulu terutama di Puncak merupakan daerah wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, khususnya dari Jakarta, sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai daerah wisata prioritas. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan lahan yang mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan permukaan dan erosi yang justru akan menurunkan produktivitas lahannya serta memperburuk kondisi tata air. Keadaan seperti ini, ditambah dengan peningkatan populasi penduduk, menyebabkan terjadinya perluasan pertanian pada lahan-lahan yang tidak layak untuk diusahakan atau perluasan ke areal hutan, serta menjadi lahan-lahan pemukiman dan industri yang terjadi di daerah tengah dan hilir (BPDASCTW, 2008). 2.5. Kawasan Puncak Pemerintah Kabupaten Bogor menetapkan empat kawasan strategis, yakni kawasan strategis Puncak, kawasan strategis industri, kawasan strategis pertambangan, dan kawasan strategis perbatasan dalam Perda No. 19 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025.

7 Rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir yang meliputi: (1) Kecamatan Cisarua, (2) Kecamatan Megamendung, dan (3) sebagian wilayah Kecamatan Ciawi (Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025). Mantan Menteri Kehutanan M.S Kaban (2009) mengatakan bahwa kerusakan hutan di Kawasan Puncak yang ada di Kabupaten Bogor semakin parah, akibat alih fungsi lahan, dari kawasan hutan lindung menjadi obyek komersial. Ironisnya kerusakan hutan di Kawasan Puncak ini, disebabkan banyaknya pejabat dan pengusaha yang sengaja menjadikan Kawasan Puncak sebagai obyek komersial, seperti villa, sehingga membuat cagar alam di Kawasan Puncak rusak (Harian Pelita, 2009). Kliping mengenai Kawasan Puncak dapat dilihat di Lampiran 3. 2.6. Land Rent Land rent atau rente lahan didefinisikan sebagai segala bentuk surplus manfaat (ekonomi, lingkungan, dan sosial) yang diperoleh atas pemanfaatan ruang/lahan. Dilihat dari dinamika produksi pertanian dalam penggunaan lahan, mekanisme alokasinya ditentukan melalui asas-asas economic rent. Economic rent adalah surplus pendapatan yang diperoleh atas penggunaan sebidang lahan yang nilainya ditentukan oleh kemampuan lahan pada lokasi tertentu untuk menghasilkan penerimaan dan menutupi biaya produksi. Economic rent sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas: (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan produktivitas lahan (ricardian rent); dan (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent). Istilah locational rent digunakan untuk memahami organisasi spasial produksi dimana besarnya nilai tersebut dipengaruhi oleh jarak, dengan asumsi menurut teori Von Thunen Isotropic Plain (tanah homogen) (Rustiadi et al., 2009). Dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas yang land rent-nya lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari

8 perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya, proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif. Walaupun hukum pasar yang terus mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi, namun konversi atau pergeseran penggunaan lahan juga berlangsung secara searah dan bersifat irreversible (tidak dapat balik), seperti lahan-lahan hutan yang sudah dikonversi jadi lahan pertanian umumnya sulit untuk dihutankan kembali. Demikian juga, sawah yang terkonversi menjadi perumahan atau kawasan terbangun lainnya hampir tidak mungkin kembali menjadi sawah. Secara teoritis masalah konversi timbul karena nilai land rent di dalam mekanisme pasar tidak mencerminkan seluruh nilai barang, jasa dan biayabiaya yang tidak ditransaksikan di pasar, seperti nilai dari jasa-jasa lingkungan (Rustiadi et al., 2009). 2.7. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System atau GIS, pada saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh kalangan perencana atau kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan. Sistem informasi geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Di Indonesia, perkembangan pemakaian SIG dan inderaja mulai semarak sekitar tahun 1990-an, dimana kebanyakan instansi pemerintah sudah mulai memanfaatkan SIG sebagai sarana untuk pengelolaan data spasial. Instansi pemerintah yang sudah memakai SIG secara efektif antara lain: Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan dan Energi, Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal, Departemen Dalam Negeri (Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan Departemen Pekerjaan Umum (Barus dan Wiradisastra, 1996).

9 2.8. Analisis Regresi Model regresi linear sederhana adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara satu peubah bebas (X, indenpendent variable) dan satu peubah tak bebas (Y, dependent variable), dimana dugaan hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai suatu garis lurus. Model regresi berganda merupakan pengembangan dari model regresi sederhana. Persamaan model regresi linear berganda secara umum adalah sebagai berikut: Y 1 = β 1 X 1i + β 2 X 2i + β 3 X 3i +... + β k X ki + ε i Dimana: Y 1 = Peubah yang diduga (Dependent Variable) X 1 = Peubah penduga (Independent Variable) β = Koefisien regresi ε = Error Dalam analisis regresi seringkali terjadi bahwa peubah tak bebas dipengaruhi, tidak hanya oleh peubah yang dapat dinyatakan secara kuantitatif pada skala yang didefinisikan dengan baik (kepadatan penduduk dan persentase keluarga miskin) tapi juga dengan peubah yang bersifat kualitatif (ada atau tidak penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain). Peubah yang bersifat kualitatif seperti ada atau tidak penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain memang mempengaruhi peubah tak bebas dan seharusnya dimasukkan di antara peubah yang menjelaskan. Karena peubah yang menjelaskan seperti itu biasanya menunjukkan adanya atau tidak adanya kualitas atau ciri-ciri, satu metode untuk membuatnya kuantitatif dari atribut seperti itu adalah dengan membentuk peubah buatan yang mengambil nilai 1 atau 0, 1 menunjukkan adanya ciri tadi dan 0 menunjukkan ketidakhadiran ciri tadi. Sebagai contoh, 1 menunjukkan bahwa adanya penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain dan 0 menunjukkan tidak adanya penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain. Peubah yang mengambil 1 dan 0 disebut variable dummy (Juanda, 2008).