ART OF THE TRIOMPE Oleh: Dwi Wulandari Malang, 2014. Masyaallah, Lun! Pakaian kamu ituloh, gak bisa lebih ketutup dikit apa? seru lelaki yang akrab aku sapa Dan, Romdan. Hari ini pakaianku memang agak sedikit terbuka dari biasanya. Bukan karena hari ini aku akan praktik dan bertemu Pak Gatot. Aku sama sekali bukan tipe seperti itu. Aku harap nilai akhirku memang bagus karena otakku bukan karena kesexy-an tubuhku. Hiih, biasa aja kali! Gak usah histeris gitu. Biasanya jugakan aku pakai kayak begini. Huuh! balasku sambil menggerutu. Ya, ini apa coba? sahut Romdan sambil menariknarik jaket kulitku yang dipundaknya terdapat hiasan duriduri berwarna keemasan. Duh, kamu tuh ya! Kamu mau bilang lagi kalau aku terpengaruh pergaulan di tanah rantau? Enggak ya. Ini memang pakaianku. Ada masalah? balasku ketus sambil membenarkan jaket kulitku kembali. Aku rasa dia tidak kuat menghadapi cobaan bahwa hari ini tanktop dalam yang aku kenakan berhasil membelah dadaku menjadi dua. Kamu itu mau praktik atau gimana, sih? Kalau mau fashion show gak usah kuliah aja sekalian!
Aku menatap Romdan sebal. Bibirku kemudian mengerucut. Aku kehabisan kata-kata. Sedikit bercerita tentang aku dan Romdan. Aku dan Romdan disini hanya kuliah. Di salah satu kampus ternama di kota Malang. Fakultas yang mampu membeli sebuah mayat untuk di otopsi. Dan kami merupakan bagian yang dapat merasakan memegang hatinya, mengoyak jantungnya, membelah empedunya, merobek ginjalnya, dan banyak lagi. Aku bisa masuk ke fakultas ini karena orangtuaku memiliki banyak uang. Ya, dengan uang semua hal yang bernama mustahil berganti menjadi mungkin. Aku lahir dan dibesarkan di salah satu kota Industri yang ada di Indonesia, Batam. Kerasnya kehidupan disana tak mengalahkan kota Jakarta sebagai kota Metropolitan. Di Malang, aku memiliki karier sebagai model sekaligus aktor lokal. Jadi, begitulah alasan mengapa pakaian yang aku kenakan selalu terbilang minim. Sedangkan Romdan, satu-satunya lelaki yang mau menjadi temanku. Berasal dari kota Tahu, Kediri. Dia mendapat bangku di fakultas ini karena kepintarannya sehingga, beasiswa mengantarkan langkahnya menuju kampus se-elit ini. Perbedaan kasta antara aku dan Romdan sangatlah kuat. Ditambah lagi pergaulannya yang agak kampungan. Romdan juga sempat menuntut ilmu di salah satu pondok pesantren termahsyur di Jawa Timur. Setidaknya berbuah alim. Teman-teman kampusku yang mengira aku berpacaran dengan Romdan membuat lelaki berbadan tegap itu tak berkutat. Ia adalah seorang pemalu handal di kelasku sedangkan, aku adalah aktor lokal yang selalu tak 2
menghiraukan pembicaraan hoax seperti itu karena memang aku dengannya sama sekali tidak pernah menggunakan perasaan. Semoga Luna bisa cepat kembali kejalan yang benar ya, Allah. serunya mengadukan nasibku kepada Tuhan sambil menengadahkan tangan. Eh, Dan kalau mau ceramah di mimbar aja sana! balasku begitu tak terima dengan pernyataannya yang aku anggap sebagai sebuah umpatan. Antara aku dan Romdan sekarang hanya ada diam. Diam tak mau menyatukan kami agar merangkai kata demi kata. Lebih menghaluskan hati kami yang keduanya tidak pernah tampak akur dalam berbagai momen apapun. Tapi begitulah Romdan, ketika terjadi sesuatu yang buruk padaku pasti ia selalu merapal doa terbaiknya untukku. Baik yang menyebalkan. Besok aku mau ke gumul, loh! lemparku membuka sebuah perbincangan. Terus? Apa hubungannya sama aku? tanya Romdan polos. Kamu enggak mau nganterin? balasku berharap ada kata iya yang muncul dari bibir lelaki berkacamata itu. Loh, buat apa? Kamu mau ngapain kesana? Lagilagi Romdan bertanya. Kali ini pandangan itu sepenuhnya milikku. Setelah buku-buku tebal itu mencuri perhatiannya sedari berjam-jam lamanya. 3
Aku besok ada pemotretan. Kamu gak mau nemenin aku? Aku gak tahu daerah sana, loh! jelasku memaksanya menemaniku. Aku enggak bisa, besokkan ada materi dari Pak Syukur. Lagian kamu bisa pergi bareng sama teman-teman model kamu yang lainkan? Yang katanya orang-orang mereka itu modis dan juga modern. Tidak primitif sepertiku. Iyakan? Maaf ya, aku enggak bisa. Entah mengapa aku sedikit kecewa mendengarnya. Aku pikir Romdan sedang menghukumku sebab pakaianku yang terlalu nista dimatanya hari ini. Tidak seperti biasanya, dia tak lagi melarangku untuk mengambil jatah kuliah. Mungkin dia sudah bosan memberitahuku dan bosan menjadi temanku. Aku membuka bukuku dan berpura-pura tidak marah, berpura-pura tidak kecewa. *** Aku mengemasi beberapa kostum untuk pemotretan. Aku bergegas turun dari tangga dan tiba-tiba saja aku menemui Romdan didepan kosanku. Loh katanya? tanyaku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ayo naik! Aku antar kamu sampai Kediri. sahut Romdan membuatku terkejut. Bukannya kemarin kamu bilang balasku sergap menimpali. Aku masih tak percaya Romdan bersedia menjadi guide-ku dari Malang menuju Kediri. 4
Udah cepat! Aku tinggal ya? candanya mengantarkan senyum tulus padaku. yaudah. Tunggu, yah! Aku hubungi Clara dulu supaya enggak jemput aku. Udah beres, Lun. Ayo buruan! seru Romdan buru-buru menyuruhku untuk segera duduk dibelakangnya. Romdan menyelesaikan semuanya tanpa aku ketahui. Dia memang lelaki hebat yang penuh dengan kejutan! Aku mulai menaiki motor sederhana milik Romdan. Aku tidak malu berangkat dengannya toh Romdan adalah sahabat terbaikku ketika aku berada di Malang. Kamu enggak apa-apa ninggalin kuliah, Dan? Tumben banget mau ngambil jatah. tanyaku penasaran menanti jawabnya. Ya enggak apa-apa. Lagian besok juga udah libur. Kebetulan aku pengen pulang ke rumah minggu ini. Alasan masuk akal yang tidak ada unsur aku didalamnya. Kok kamu sampai bela-belain mau nganterin aku? Kamu enggak takut ya keseringan ngambil jatah? Kamu enggak takut kalau beasiswa-mu dicabut? Kali ini Romdan hanya membalasku dengan senyum. Eh, iya kamu gak pengen dapat penghasilan tambahan ya, Dan? tanyaku bak ingin memberikan tawaran pekerjaan untuknya. Ya, pengen Lun. Tapi emang mau kerja apaan? Aku gak punya modal. jelas Romdan menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Jawa-Kediri. 5